Pages

Senin, 17 Desember 2012

Bakso Khalifatullah


Bakso Khalifatullah

Setiap kali menerima uang dari orang yang membeli bakso darinya, Pak Patul
mendistribusikan uang itu ke tiga tempat: sebagian ke laci gerobagnya, sebagian
ke dompetnya, sisanya ke kaleng bekas tempat roti.
“Selalu begitu, Pak?”, saya bertanya, sesudah beramai-ramai menikmati bakso
beliau bersama anak-anak yang bermain di halaman rumahku sejak siang.
“Maksud Bapak?”, ia ganti bertanya.
“Uangnya selalu disimpan di tiga tempat itu?”
Ia tertawa. “Ia Pak. Sudah 17 tahun begini. Biar hanya sedikit duit saya, tapi kan
bukan semua hak saya”

Sabtu, 15 Desember 2012

Kumpulan Tulisan Emha 7


Pangkal Dan Ujung Segala Peradaban

Mengapa Tuhan menurunkan hampir semua agama itu di sekitar jazirah Arab? Mungkin tuhan punya alasan, bahwa budaya Arab itu menakutkan, sehingga disana itu merupakan letak setan yang paling ganas dan juga malaikat yang paling suci. Maka acuan pertama adalah Subhaanalladzii asyroo bi 'abdihii laillamminal masjidil haraami ilal masjidil aqshalladzii baaraknaa haulahu linuriyahu min aayaatina innahu huwassamii'ul bashiiru, atas dasar ini bisa dikaji secara antropologi kosmologis, bahwa antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha ada satu lingkaran geografis yang oleh Allah dikhususkan untuk menurunkan segala macam puncak-puncak atau sumber-sumber barokah-Nya. Maka segala macam ilmu, eksak dan macam-macam tingkat yang paling arif dari ilmu sosial berasal dari sekitar lingkaran antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha. Bahkan kalau kita mencari sumber-sumber dan cakrawala musik, juga akan ditemukan juga.

Kumpulan Tulisan Emha 6


Pada saat heningnya malam itu, kawan saya tiba-tiba bertemu dengan Nabi Muhammad. Ia kaget setengah mati. Bahkan sangat canggung sikapnya.
Barangkali takut, atau, lebih tepat, ia dihinggapi semacam rasa pekewuh yang amat merepotkan hatinya.

“Nah, sahabatku,” berkata Nabi. “Kamu sebenarnya sayang sama aku atau tidak, sih?”
Agak gelagapan kawan saya menjawab pertanyaan Nabi.
“Sayang sih, sayang wahai Nabi….”
“Kenapa kamu tidak pernah ingat aku? Kenapa kamu tidak pernah menyebut namaku?”
“Aduh, Nabi, gimana yaaa, …”
Ia gemetar, “bukannya tidak cinta. Tapi mana sempat, ya, Nabi.
Waktuku terkuras habis, bahkan kurang, untuk mengingat-ingat Allah.
Juga tak ada lagi ruang bagi yang selain Ia. Mulutku, darah dan urat syarafku, hati dan jiwaku seakan sudah hilang lenyap. Tinggal Allah. Allaaah melulu….”

Sungguh tidak enak rasanya. Kawan saya merasa posisinya sangat ruwet.
Sebetulnya ia ingin menjelaskan lebih panjang lebar lagi, tapi mungkinkah Kanjeng Nabi Muhammad, Rasul Sakti pamungkas segala derajat ilmu itu, tak mengetahui apa yang ia ketahui? Misalnya, bukankah Muhammad sendiri yang menganjurkan kita umat manusia tidak menumpahkan seluruh hidup mati ini kepada yang selain Allah. Kalau bocor sedikit saja, syirik namanya.
Wajah Muhammad tidak boleh kita gambar. Bukankah itu berarti segala apa pun sirna di hadapan Allah? Memangnya apa yang sungguh-sungguh ada selain Ia?

Pada masa mudanya kawan saya itu selalu bertanya:
Mengapa orang-orang tua selalu menganjurkan agar kita membaca salawat Nabi dalam situasi-situasi bahaya? Kok aneh. Kalau pesawat oleng, kalau ada dar-der-dor di sana-sini, kalau ada bahaya mengancam, kok malah disuruh membaca salawat yang mendoakan keselamatan Muhammad. Padahal justru kita yang perlu selamat. Sedangkan Muhammad sendiri sudah jelas selamat, terjaga, terpelihara, terpilih di singgasana paling karib di sisi Allah. Akhirnya kawan saya memperoleh penjelasan bahwa konteks bersalawat adalah keseimbangan jual beli kita semua dengan Muhammad. Semacam take and give. Kita mendoakan Muhammad, berarti kita “pasang radar” untuk memperoleh getaran doa Muhammad bagi keselamatan seluruh umat-Nya. Muhammad itu agung hatinya, amat kasih kepada semua “anak buah”-Nya di muka bumi, amat merasakan segala situasi hati kita, duka derita kita semua.

Kawan saya itu bingung: Tuhan menciptakan seluruh alam semesta ini seolah-olah hanya untuk suatu permainan birokrasi. Sudah jelas semua manusia, bebatuan, pepohonan, angin, langit, jin druhun prayangan, tidak bisa tidak kembali kepada-Nya, tetapi itu harus ditempuh melalui berbagai aturan permainan sandiwara dan kode etik pengembaraan yang dahsyat di satu pihak dan sepele di lain pihak. Maka, di tengah kegalauan rasa pusing filosofis, permainan bahaya politik, ekonomi dan budaya, serta di tengah simpang siur rahasia hidup yang maha tak terduga, kawan saya itu akhirnya memutuskan untuk memusatkan diri pada Allah saja, Allah, Allaah, Allaaah terus sampai melewati liang lahad, alam barzakh, dan seterusnya nanti.

Tiba-tiba Kanjeng Nabi Muhammad nongol… menagih cinta.
Alangkah tak enak posisi macam ini! Apa yang terjadi!
Ternyata Beliau malah tertawa, “Kamu kok kelihatan takut, sahabatku. Mengapa?”
“Aku merasa pekewuh, Nabi….”
Nabi tertawa lagi. “Mengapa pakai pekewuh segala?
Mungkin kamu orang Jawa, ya? Kamu pikir aku bakal marah atau tersinggung, ya, karena kamu tidak ada waktu lagi untuk ingat aku?”
Kawan saya tersipu-sipu.
“Coba, apa sih bedanya kamu ingat Allah dengan ingat aku?” berkata Nabi.
“Kalau kau menumpahkan seluruh hidupmu untuk Allah, cukuplah itu, sama saja….”

Mendadak Muhammad lenyap dari hadapannya.
Kawan saya menarik napas lega.
Haihaaata! Ini pertemuan agung, pertemuan agung!
Sebenarnya sudah bisa diduga bahwa nabi anggun dari Timur Tengah itu bukan tipe manusia cerewet atau pencemburu yang membabi buta.
Ia empan papan, dan mengerti inti jagat. Tapi diam-diam ada yang tetap mengganjal di hati kawan saya. Itu berkaitan dengan rahasia hati yang amat diyakininya, namun belum pernah satu kali pun ia ungkapkan, apalagi kepada manusia, baik di pasar maupun di mesjid.

Pintu rahasia itu pada akhirnya jebol, pada suatu hari, tatkala Allah bertanya kepadanya, “Hai, sebenarnya kamu itu sayang Aku atau tidak, sih?”
Modarlah kawan saya.

Ketika ia menjawab,”Sayang sih, ya sayang….”
Tuhan terus mengejarnya, persis seperti yang dilakukan oleh Muhammad,
“Mengapa kamu tidak pernah ingat Aku?
Kenapa kamu tidak pernah menyebut nama-Ku?”
Dalam rasa takut yang amat puncak, kawan saya nekad.
“Begini, ya, Tuhan. Aku ini orang melarat. Sekolah saja tidak pernah rampung. Kalah terus-menerus di segala persaingan, terutama dalam bidang cari pekerjaan. Makan minumku tak menentu.
Bahkan tempat tinggalku juga selalu darurat. Padahal, aku juga tahu amat banyak saudaraku yang sama melaratnya dengan aku, bahkan banyak yang jauh lebih melarat. Aku juga melihat banyak hal yang tidak benar yang dilakukan oleh penguasa-penguasa manusia dalam manajemen alam semesta ini. Dalam persoalan ini Tuhan ‘kan jauh lebih mengerti dibandingkan dengan aku. Jadi, aku tidak perlu omong soal kemiskinan struktural, monopoli ekonomi, atau kebudayaan jahiliyah modern. Seandainya bisa, aku ini maunya sih, punya tangan yang besar, panjang, dan kuat, sehingga mampu mengatasi semua problem ketidakadilan dan ketidakbijaksanaan itu.Tapi aku, Tuhan ‘kan tahu, tidak punya tangan.
Aku tak memiliki kaki. Darahku tak begitu merah lagi. Tulang-belulangku tidak lebih dari hanya kayu-kayu kering. Mulutku terbungkam.
Aku hanya tinggal memiliki hati untuk menangis
Tapi aku tidak boleh menangis, bukan? Seluruh waktuku, tenagaku, hidupku, ruang usiaku terkuras habis oleh hal-hal yang kusebutkan itu.
Lalu bagaimana mungkin aku sanggup melunasi utang cintaku kepada-Mu?
Apakah Engkau masih butuh untuk kuingat dan kusebut nama-Mu?
Aku ini lapar, kau tidak memberiku makan. Aku ini sakit, Kau tidak menjengukku.
Aku ini kesepian, Kau tidak menyapaku…"

Allah tersenyum. Kalimat-kalimat terakhir itu adalah kata-kata-Nya sendiri.
(Emha Ainun Nadjib/"Slilit Sang Kiai"/Grafiti Press/PadhangmBulanNetDok)
MESKIPUN bukan siapa-siapa, saya turut mengucapkan beribu terima kasih kepada semua Anda di seluruh Indonesia dan dunia yang bersedia bersusah payah, berkeringat dan keluar biaya untuk melakukan unjuk rasa menentang dan mengutuk penyerbuan Israel ke Palestina di Gaza.

Meskipun tidak bisa diandalkan di hadapan Allah, tetapi saya mendoakan semoga pengorbanan Anda semua diganjar Allah dengan tambahan rezeki melimpah, ketenteraman keluarga, kesejahteraan anak turun, serta terselesaikannya masalah-masalah apapun yang Anda hadapi.

Tidak penting apakah muatan unjuk rasa Anda itu tepat atau tidak. Tidak masalah demonya ke mana dan sasaran demonya siapa. Juga tidak persoalan pemahaman Anda semua dan saya melenceng atau tepat atas apa yang sesungguhnya terjadi di Timur Tengah.

Yang penting Anda dan saya sungguh-sungguh berniat membela hamba-hamba Allah dari kezaliman, setia mempertahankan “rahmatan lim’alamin”. Dan itu efeknya bukan hanya akan sampai ke Palestina, tapi insya Allah merupakan investasi bagi keselamatan keluarga kita dan kesejahteraan anak cucu kita kelak.

Dan yang lebih penting lagi: berkat ikhtiar Anda, sekarang Israel mengubah sikap dan program berikutnya. Berkat teriakan Anda semua yang bersambungan bersahut-sahutan dengan teriakan umat manusia lain di seantero muka bumi, telah membuat Israel mengambil keputusan untuk –sesudah Palestina ini, membatalkan serangannya ke Iran.

Kalau yang di Gaza, itu bukan “pertandingan”, tapi pembantaian. Ayyamul malhamah atau Yaumul Malhamah, hari-hari pembantaian kalau pinjam istilah Nabi Muhammad SAW dulu setelah menaklukkan Makkah dan menjamin bahwa semua tentara musuh dimerdekakan, Yaumul Marhamah, Hari Kasih Sayang. Nah, kalau Israel jadi menyerang Iran, itu baru “duel”.

Israel memanfaatkan posisi “status quo” kekuasaan Pemerintahan Amerika Serikat. Barack Obama belum tentu nanti akan bagaimana, tapi Bush pasti oke, karena toh sebentar lagi dia hengkang dan tak ikut menanggung akibat apa-apa. Ini bukan soal Israel-Palestina. Juga bukan Israel-Arab. Ini adalah perang dingin dan akan bisa jadi perang sungguhan antara Israel dengan Iran.

Minumlah seteguk air yang mengalir ke dalam badan kita diiringi doa oleh kedalaman hati kita. Duduk rileks. Tarik napas panjang. Kita luangkan sedikit waktu untuk menabung pembelajaran tentang itu semua. Pelan-pelan, tidak dengan kemarahan tapi dengan mesin ilmu dan ketenangan batin.

Katakanlah kita berpendapat bahwa saat-saat ini masalah nasional bangsa dan negara kita kalah urgen dibanding Gaza. Oke, kapan-kapan kita perdebatkan lagi. Tetapi pasti bahwa kalau bisa jangan seorang pun dalam kehidupan ini pernah berbuat sesuatu, membela sesuatu, melawan sesuatu, apalagi sampai ke tingkat pertentangan kelas dunia – tanpa terlebih dahulu mempelajari segala sesuatunya dengan objektif, waspada, dan dewasa.

Kalau Gaza itu perang agama, antar pemeluk agama apa? Yahudi lawan Islam? Kalau ini peta-nya, bagaimana dengan orang Yahudi yang beragama Islam dan orang bukan Yahudi yang beragama Yahudi? Apakah Israel representasi formal dari Agama Yahudi dan juga Ras Yahudi? Bagaimana dengan teman kita orang Indonesia, Muslim, nikah dengan gadis Yahudi, asli Israel, dan tetap bukan Muslim –dan Islam tidak melarang teman kita itu berposisi demikian?

Banyak sekali “korsleting” dalam konteks itu. Apakah Israel sama dengan Yahudi? Apakah Yahudi sama dengan Zionis? Apakah Zionis sama dengan Israel? Apakah rakyat Israel sama dengan Zionis? Kita pening kepala kalau muter-muter di situ. Kalau ditambah Kristen lebih pecah lagi kepala kita. Kristen Katolik atau Protestan? Apakah pemeluk Agama Yahudi satu pihak dengan pemeluk Kristen? Istrinya almarhum Yasser Arafat yang Nasrani kita apakan?

Kalau pokoknya kita anggap saja Umat Islam musuhan sama orang Kristen dan Yahudi, lantas apa saja langkah-langkah Umat Islam? Membunuhi mereka di mana saja ketemu? Di perumahan tempat tinggal kita, di pasar, di kantor? Boikot seluruh produk orang Kristen? Kita pantang naik pesawat yang bukan bikinan Umat Islam? Pantang pakai handphone, komputer, kulkas, celana jeans? Kita kosongi rumah kita, masjid kita, kantor kita, sekolahan kita, dari segala macam unsur yang ada hubungannya dengan Yahudi dan Kristen?

****

Terutama Anda yang sangat mencintai Rasulullah Muhammad SAW, menangis di Raudlah, beriktikaf di Masjidil Haram, ingin naik Haji tiap tahun, sesekali cobalah jawab pertanyaan awam seperti ini: Arab Saudi itu “musuhan” sama Israel ataukah “kompak”? Hati kita cukup kuat mungkin untuk mengucapkan bahwa Arab Saudi selalu oke dengan Amerika Serikat, keluarga Bin Laden yang memborong penyelenggaraan haji mulai tahun kemarin bukan benar-benar punya anak bernama Osamah yang merupakan musuh utama Amerika Serikat.

Tetapi hati kita masih sangat rapuh untuk mengakui bahwa memang tidak benar-benar ada tanda bahwa Arab Saudi itu bermusuhan dengan Israel. Bagaimana kalau Anda ditamui orang dan melaporkan: “Israel sudah berunding dengan Saudi Arabia, Syria, dan Mesir sekitar Juli 2008 tentang rencana penyerbuan ke Gaza sebagai pemanasan sebelum menyerbu Iran. Ketiga Negara Arab Islam itu sudah menyetujui atau merestui, sebagaimana dulu Irak diserbu”.

Maka ada baiknya kita mulai belajar memahami masalah secara objektif meskipun menyakitkan. Yang dekat-dekat dulu: bangsa kita sudah mampu mencapai kualitas bagus dalam hal memilih ketua RT. Sekarang kita belajar lebih tinggi: belajar memilih lurah, sampai besok-besok sekitar tiga era lagi insya Allah kita akan punya kemampuan kualitatif untuk memilih Presiden.
(Emha Ainun Nadjib/"Kaltim Pos"/17 Januari 2009/PadhangmBulanNetDok)
BIASANYA Sudrun memang mendadak datang di bilik saya lewat tengah malam, untuk mengingatkan agar saya jangan sampai tertidur di saat-saat pa!ing bening seperti itu: justru ketika hampir semua orang terbaring lelap, ketika berbagai jenis kesibukan-kesibukan duniawi sedang beristirahat.
Tapi tadi malam Sudrun hadir tidak untuk itu. la tidak duduk di bibir ranjang seperi biasanya, mengusap jidat saya dengan wajah tersenyum. Melainkan berdiri di pojok ruang, tangannya bersedakap dan matanya melotot merah padam ke arah saya.
"MasyaAlllah...ada apa Drun?", terloncat pertanyaan dari mulut saya.
"Ada apa ada apa ndasmu!", ia membentak dengan ketus.
Saya terhenyak bangun. Terbelalak mata saya karena sungguh-sungguh tidak paham apa yang terjadi pada sahabat saya ini.
"Kali ini saya tidak bisa memaafkanmu. Saya tidak bersedia memohonkan ampun kepada Tuhan untukmu!" katanya lagi, "Dan kalau mungkin nanti Tuhan bertanya kepada saya apakah sebaiknya kamu dimaafkan, saya akan kemukakan pendapat bahwa kamu harus membayarkan ongkos yang sangat mahal untuk mungkin memperoleh ampunan. Soalnya kamu ini main-main..."
"Apa-apaan ini? Main-main apa?", saya memotong.
"Kamu ini artis, tapi merasa Kiai. Kamu ini pedagang, tapi merasa jadi juru dakwah!"
"Lho Iho Iho....", saya semakin tidak paham, "Omong apa ini! Artis bagaimana? Pedagang bagaimana?"
Tapi rupanya Sudrun tidak perduli pada ketidakpahaman saya. la meraih peci saya di meja dan memasukkan ke dalam tasnya sambil menggerundel: "Kamu pikir peci ini tanda kemusliman atau kekyaianmu? Dulu salah seorang tokoh PKI juga tiap hari pakai peci!". Kemudian surban yang tersampir di sandaran kursi diambilnya pula dengan kasar, ia lemparkan ke atas almari, "Selembar kain yang membuat jutaan orang terserang tahayul! Sehingga mereka percaya kepada sesuatu yang tidak bisa dipercaya, sehingga mereka merindukan hal¬-hal yang sesungguhnya tidak ada!"
la terus menyerbu dengan gencar.
"Dan kamu menikmati tahayul itu. Kamu menikmati kebodohan massal orang-orang yang mengerumunimu. Hanya dengan uluk salam yang fasih dan kutipan satu dua firman ditambah kelicinan menggelitik telinga, mereka percaya bahwa kamu adalah segala-galanya..."
Tiba-tiba satu tangannya memegang dagu saya, mendongakkannya dan menghadapkan airmukanya yang amat keras ke wajahku, "Dan yang paling celaka dari seluruh celaka rutin massal itu, kamu tahu apa? lalah bahwa kamu sendiri percaya bahwa kamu adalah segala-galanya bagi ummatmu!"
Saya tertunduk lemas. Saya sungguh-sungguh tidak mengerti semua ini.
"Kamu adalah manusia makhluk biasa ciptaan Tuhan yang dijunjung-junjung oleh sejuta orang. Tiap hari dijunjung-junjung, setiap saat disanjung-sanjung, sehingga kamu sendiri akhirnya yakin bahwa kamu memang pantas dijunjung-junjung dan disanjung-sanjung. Sejuta orang memusatkan perhatian dan cintanya kepadamu. Sejuta orang bersetia kepadamu seharian di bawah terik matahari dan guyuran hujan. Sejuta orang beranggapan bahwa kamu sedemikian pentingnya bagi mereka, hampir melebihi pentingnya Tuhan itu sendiri. Maka akhirnya kamu sendiri menomersatukan dirimu, mengutamakan nama besarmu, melahap posisimu. Kamu lupa bahwa kamu tidak penting. Kamu lupa bahwa jangankan kamu: bahkan alam semesta dan seluruh isinya inipun tidak pentilng – yakni pada saat kamu tenggelam di dalam kesunyian cintamu yang tunggal dan utuh kepada Tuhanmu. Kamu lupa bahwa kamu ini bukan apa-apa...."
"Lantas kamu pikir apa kamu ini apa-apa!?", kali ini saya yang membentak.
"Apalagi aku!", ia mengejek, "Sedangkan kamu saja tidak penting, apalagi aku. Justru karena aku tahu terus-menerus bahwa aku bukan apa-apa, maka aku punya posisi dan kewajiban untuk mengingatkanmu bahwa kamu inipun bukan apa-apa. Mulutmu yang manis bukanlah bikinanmu. Suaramu yang melengking bukanlah produkmu. Retorika dan orasi romantikmu bukanlah hasil dari kehendakmu. Bahkan kamu tidak pemah sanggup menciptakan sehelai rambutpun. Jadi kenapa kamu merasa penting? Sehingga kamu sedemikian dahsyat mengkomoditisasikan pentingnya kamu di mata berjuta-juta orang itu, lantas managemenmu kacau. Lantas kamu sanggupi tumpukan keharusan-keharusan yang kamu tidak sanggup memenuhi. Lantas terpaksa ingkar janji kepada nasabah-nasabah dan konsumen-konsumen tertentu di suatu daerah? Apa kamu ini bintang film? Apa kamu ini produser yang memasang brooker-brooker di setiap propinsi yang memperoleh laba dari perniagaan keartisanmu? Sedangkan pedagang yang asli pedagang
sajapun setia untuk berdisiplin mensuplai pesanan¬pesanan yang sudah terkonfirmasi. Kalau sebuah toko sudah terlanjur membayarkan uang panjar dan memesan barang ke sebuah perusahaan pemasok, lantas pada saatnya barang itu ternyata tidak datang: ia tidak akan menerima alibi ‘manusia merencanakan, tapi Tuhan jua yang menentukan’. Pedagang saja tidak logis dan tidak etis beralibi demikian. Apalagi kamu!", ¬ia mengepalkan kedua tangannya, "Aku sudah bosan mendengar berita semacam itu berulangkali!"
Sudrun terengah-engah sendiri oleh serbuan-serbuan gencarnya kepada saya.
(Emha Ainun Nadjib/"Kiai Sudrun Gugat"/Graffiti Press/PadhangmBulanNetDok)
APABILA berbicara tentang ummat, Sudrun selalu menangis. Sama dengan kalau ia bersujud selewat dua paruh malam: ia melukisi kesunyian malam dengan isakan-isakan tangis. Padahal untuk yang selain dua itu ia tak pernah menangis. Terhadap rasa derita dirinya sendiri Sudrun selalu tertawa. Semakin pribadinya bersedih, semakin ia tertawa. Tetapi setiap kali ia rasakan tangis ummat di sekitarnya, setiap kali pula ia menangiskannya bertipat-lipat.
"Pusatkanlah perhatian dan enerji hidupmu kepada ummatmu, karena Allah lebih bersemayam di kandungan hati mereka dibanding hati pemimpin-pemimpinnya", katanya, terbata-bata karena isakan tangisnya, "Aku tahu itu dan aku bersaksi atas pengetahuanku!"
Ya, arnpun. Dia jongkok meringkuk di sisi pintu bilikku.
"Aku sangat kecewa selama ini", ia meneruskan, "karena kamu terlalu asyik memperhatikan dirimu sendiri. Kamu terlalu tenggelam berkonsentrasi pada kebesaranmu, pada perusahaan popularitasmu. Padahal ummatmu sangat lapar, amat sangat lapar, tanpa tahu apa yang sesungguhnya ingin mereka makan – dan kamu tidak menunjukkan kepada mereka hal itu. Ummatmu sangat merasa kehausan, amat sangat kehausan, tanpa mereka mengerti apa yang sebaiknya mereka reguk – dan kamu tidak menyodorkan minuman yang tepat bagi rasa haus mereka yang telah berkurun-kurun lamanya..."
Sudrun bagai hendak meraung. Dan aku sendiri lebih dari itu: aku ingin memekik-mekik sekeras-kerasnya untuk menggulung habis seluruh getombang perasaan yang membelit dadaku. Aku ingin badanku meledak, pecah berantakan dan sirna!
*****
Beberapa waktu yang lalu Sudrun mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan beruntun yang membuatku tergagap karena kebingungan, sehingga akhirnya ia jawab sendiri kebanyakan dari pertanyaan-pertanyaan itu.
"Siapakah kamu?"
Aku menyebut namaku.
"Bukan!", bentaknya, "itu hanya namamu. Itu belum tentu kamu!"
Kemudian ia memegani tanganku, lenganku, pundakku dan seterusnya sambil terus mencecar: "Ini tanganmu, bukan kamu. Ini lenganmu, bukan kamu. Ini pundakmu, bukan kamu. Ini otakmu, bukan kamu. Ini hatimu, bukan kamu. Ini semua bukan kamu, meskipun kamu dan semua orang menyangka ini adalah kamu. Ini semua bukan kamu. Kamu adalah yang memimpin ini semua!"
"Yang dikerumuni oleh sejuta orang itu juga bukan kamu, bukan namamu, melainkan suara kerinduan di kedalaman jiwa mereka sendiri. Kamu jangan salah sangka, jangan GR, jangan mengambil alih dan memonopoli sesuatu yang kamu sangka kamu dan milikmu. Kamu ini hanya kaca, bukan cahaya. Kamu hanya lempengan pemantul, bukan sumbernya! Kalau orang membungkuk-bungkuk dan menciumi tanganmu karena mengagumi, sesungguhnya bukan kamu yang dikagumi. Kamu hanya petugas yang mengantarkan sesuatu yang dikagumi oleh nurani ummat manusia. Kalau karnu menyangkua bahwa sesuatu itu adalah kamu sendiri, kamu akan hangus terbakar!"
Di hadapan Sudrun, mulutku selalu kelu.
"Kamu ini Muslim. Siapa Muslim? Muslim adalah manusia yang merelakan dirinya dipekerjakan oleh Allah. Dipekerjakan bagaimana? Siap menjalankan amanatNya. Amanat apa? Serangga-serangga kecilpun diselenggarakan eksistensinya oleh Tuhan dengan mengamban amanat. Ayam diamanati untuk memasok gizi kepada manusia dengan daging dan telornya. Laba-laba diamanati untuk melindungi Rasul Allah dan Sayyid Abu Bakar ketika mereka dikejar saat berhijrah oleh pasukan Abu Lahab. Dan apa amanat untuk kamu?"
"Ada perbedaan serius antara kamu dengan ayam. Ayam langsung menjalani amanat itu tanpa jarak ontologis, tanpa eksplorasi intelektual dan tanpa kreativitas budaya. Laba-laba langsung mengerjakan amanat itu tanpa harus memiliki wawasan yang matang tentang apa yang sedang berlangsung di dalam sejarah kemarin, sekarang dan besok. Ular menjalankan amanat itu tanpa kewajiban untuk mengantisipasi dan menemukan determinasi terhadap struktur-struktur permasalahan mikro dan makro komunitas manusia. Dedaunan, akar-akar pohon, sulur di rimba raya, menjalani amanat itu tanpa keharusan untuk berpikir konstan agar menemukan modus gerakan sejarah yang paling effektif. Kalau kamu menjalankan amanat di pundakmu tanpa upaya maksimal untuk merancang gerakan sejarah semacam itu, maka apa beda antara kamu dengan serangga, dengan ayam, ular dan laba-laba? Padahal di balik amanat itu, Allah telah memberimu fasilitas-fasilitas yang canggih, yakni yang berupa kesanggupan
magnetikmu untuk menyerap sejuta ummat, serta ummat itu sendiri. Ummat adalah fasilitas dari Tuhanmu. Ummat adalah pemantul amanatNya untukmu..."
(Emha Ainun Nadjib/"Sudrun Gugat"/Grafitti/PadhangmBulanNetDok)
ITULAH malam paling menyakitkan yang pernah kualami.Tapi akhirnya aku tahu bahwa ada perbedaan besar antara rasa sakit dengan penyakit. Penyakit itu destruksi terhadap hakekat hidup. Tapi sakit justru sanggup membawamu memasuki sebuah situasi sakral yang misterius. Ada semacam tetesan kebahagiaan yang diiming-imingkan oleh rasa sakit, oleh luka dan kepedihan. Aku yakin engkaupun tahu bahwa ternyata rasa sakit dan kepedihan sesungguhnya adalah kebahagiaan yang tidak menjumpai tempat persemayamannya di dalam jiwamu.

Sudrun menghardikku sepanjang malam, sebelum akhirnya ia mendadak lenyap entah ke mana tatkala fajar berakhir. la kemudian digantikan kehadirannya oleh cahaya matahari, yang pagi itu lain sama sekali dengan cahaya yang pernah kukenali sebelumnya, ketika kutatap dengan mataku dan kuhayati dengan batinku.
Aku merasa bukan aku. Aku merasa lahir kembali sebagai aku yang sama sekali bukan yang kemarin.

Aku pernah menjadi seorang Bupati dan aku menyangka bahwa aku adalah Bupati, sehingga ketika aku tak lagi menjabat sebagai Bupati aku merasa kehilangan diriku sendiri. Aku pernah menjadi seorang Menteri, di saat lain aku menjadi seorang Jendral dengan jabatan dan kewenangan besar. Aku juga pernah menjadi seorang bos besar dari sebuah perusahaan, kemudian menjadi pemimpin panutan beribu-ribu orang yang setiap kali ketemu setia mencium punggung tanganku.

Ketika kemudian aku berangkat tua, aku mulai tak bisa mengelak untuk mengerti bahwa sesungguhnya aku bukan bos besar, bukan penguasa dan bukan pemimpin. Dan akhirnya tatkala orang-orang mengakat kerandaku dan memasukkanku ke lubang kuburan yang begitu amat sempit dibandingkan yang pernah kubayangkan tentang kebesaran hidupku: aku sungguh-sungguh memahami bahwa yang dikuburkan ini bukanlah menteri, bukan bos besar, bukan pemimpin masyrarakat. Yang meringkuk di kuburan dan tak bisa mengelak dari tangan Mungkar dan Nakir ini adalah diri yang sama sekali lain, yang selama hidupku justru jarang kusapa dan kuperhatikan.
Pada saat itulah tumbuh kecerahan pikiran dan sekaligus penyesalan. Betapa si bupati, si menteri, si bos besar dan si pemimpin ummat, seharusnya sudah sejak awal kukuburkan sendiri; dan semestinya aku melawan habis-habisan apabila beribu-ribu orang itu mencoba menggali, menghidupkan, mengangkat di atas kepala mereka sambil menyanjung-nyanjung sesuatu yang telah kukuburkan itu.

Aku bukan bupati, karena yang disebut bupati itu hanyalah bajuku. Aku bukan menteri, sebab yang bernama menteri itu hanyalah nama dari tugasku. Aku bukan bos, bukan pemimpin, bukan kiai, bukan ulama, bukan budayawan dan bukan apa saja – karena semua itu sekedar inisial untuk menandai pekerjaan hidup sosialku.
Baju itu tanggal di hadapan Allah. Dan tanggalnya bajuku tak usah menunggu mautku. Tak usah menunggu hari tua rentaku. Tak usah menunggu habisnya masa tugasku. Tak usah menunggu orang lain mencopotnya paksa dariku. Di hadapan keagungan Allah baju telah tanggal sekarang juga, bahkan sudah tanggal sebelum ia kukenakan di badanku.
Di hadapan Allah baju itu tanggal. Jadi di manakah ada tempat di mana baju itu tidak tanggal? Di manakah aku hidup, bertempat tinggal, bekerja, bersujud dan bernyanyi-nyanyi, selain di hadapan Allah? Adakah tempat untuk mengungsi dari hadapanNya selain di wilayah¬Nya jua? Adakah alam, kosmos, arasy, galaksi, ruang dan waktu di mana aku bisa terhindar dari penglihatan-Nya?

Jadi di hadapanNya aku hanya sanggup telanjang.

Aku tidak bisa hidup kecuali di hadapanMu, ya Ailah. Kalau aku berdiri di podium, Engkaulah itu yang menatapku. Kalau mulutku memekik-mekik dan tanganku kuacung¬acungkan di hadap beribu orang di lapangan atau stadion, Engkaulah hadirinku yang nomer satu. Wajahku menatap ribuan orang itu, tapi jiwaku tidak menghadap mereka, jiwaku bukanlah yang sedang mereka tonton dan kagumi: karena hanya Engkaulah satu-satunya yang berhak atas segala puji, segala kekaguman, rasa cinta dan syukur.
Kami semua, berjuta-juta orang, bersama alam, matahari, cahaya dan segala yang tersembunyi di baliknya, menatap ke satu arah yang sama, yakni Engkau.
Aku tidak akan membiarkan diriku menjadi pusat perhatian mereka yang berjuta-juta itu, ya Rabbi, karena aku tak kuasa menjadi pusat perhatian. Aku tidak akan membiarkan orang berjuta-juta itu melihat kearahku, mengkonsentrasikan jiwanya kepadaku, ya Rabbi, karena aku akan terbakar luluh sirna jika berani-berani mengambil alih sesuatu yang menjadi hakMu. Aku akan berlari dari setiap arus massa yang mengidolakanku, yang memberhalakanku, yang memenjarakanku di dalam sangkar tahayul mereka. Aku akan memberontak dari setiap enerji sosial yang menyandera hakekatku untuk dijadikan patung sesuai dengan konsep budaya dan penyakit jiwa mereka. Kalau mereka memaksaku, aku akan menghilang. Kalau mereka mendesakku, aku akan terbang. Kalau mereka memojokkanku, aku akan tiba-tiba berada di balik punggung mereka. Kalau mereka mencengkiwing leherku dan mencengkeram tengkukku untuk mereka jadikan sesuatu yang berdasarkan klenik kesengsaraan mereka, aku akan berlaku gila
sampai mereka membenciku.

Ya Allah, ampunilah hambaMu yang bodoh ini. Ampunilah saat-saat ketika aku tidak sanggup melihat apa-apa kecuali yang kusangka kebesaranku. Ampunilah tahun-tahun tatkala aku menikmati posisiMu: dipuja-puja, dijadikan bahan histeria sejarah, sehingga seolah-olah jiwaku bergumam sendiri - 'Laa ilaha illaAna...'
Ampunilah hari-hari kedunguanku di mana yang kunomersatukan adalah namaku, popularitasku, posisi sejarahku di jenjang kursi yang amat tinggi yang disangga oleh pundak jutaan orang. Ampunilah kelalaianku yang nikmat membiarkan berjuta-juta orang menyangka bahwa aku ini besar dan sungguh-sungguh memiliki kebesaran. AllahuAkbar Wa Lastu...

Tetapi kutuklah dan persiapkan api neraka bagi kejahatanku tatkala aku memperniagakan kebesaran yang kusangka milikku. Tatkala aku mengkapitalisasikan, memperdagangkan, dan mengeksploitasikan amanatMu itu untuk perolehan kemewahan hidup keduniaanku.

Ya Allah, Dzat satu-satunya yang benar-benar ada, betapa terlambat aku mengakui bahwa pada hakekatnya aku ini tiada. Bahwa segala yang seolah-olah kumiliki ini adalah milikMu. Bahwa kehidupan, alam semesta, kemanusiaan, dan yang kusebut diriku sendiri ini sesungguhnya tiada. Engkau meng-ada-kannya, Namun ada-ku palsu. Engkau sajalah yang sejati ada.
(Emha Ainun Nadjib/"Sudrun Gugat"/Graffiti/PadhangmBulanNetDok)
Muhammad adalah sufi teragung yang pemah ada di muka bumi. Ucapan-ucapan beliau amat puitis dan mengandung keindahan yang kaffah bersama kebaikan dan kebenaran. Namun yang lebih penting yaitu bahwa beliau tidak hanya berhenti merenung di gua Hira dan berasyik-asyik sebagai sufi-nabiy yang "masuk sorga tanpa mengajak orang lain". Muhammad keluar dan gua, tampil membebaskan masyarakatnya dari belenggu jahiliyah. Ia menjadi manusia pemimpin dalam arti yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Ia menjalankan fungsinya yang ganda, tak hanya menjadi sufi-nabiy, namun juga sufi-rasuli dan itulah karya tasauf terbesar.

Maka engkau semua adalah sufi-sufi, sebab bagaimana mungkin kita hindarkan dirnensi-dimensi tasauf itu dalam proses taqorrub kepada Allah. Aku kira akan segera kita jelang suatu masa di mana kaum Muslimin makin mampu menemukan formula kekhalifahan mereka dengan mengorganisir mengerjasamakan pekerjaan-pekerjaan rasuli dengan pekerjaan-pekerjaan nabi.

Pertumbuhan baru dalam masyarakat Muslimin menunjukkan bahwa term khalifah dan kullukum roo'in yang diwahyukan oleh Allah, bukan sekedar perintahNya, melainkan sekaligus janjiNya. Masyarakat Muslimin perlahan-lahan merasakan dan menyadari bahwa mereka bisa memimpin kehidupan, bahwa kalau organisasi-organisasi Islam resmi nampak tidak cukup progresif menanggapi perkembangan tantangan jaman: ummat Muslimin akan mengerjakan pengisian kekurangan tersebut otomatis dengan sendirinya.

Kini semakin melebar dan teracu berbagai pertanyaan dan terobosan terhadap pemaknaan-pemaknaan baru atas nilai-nilai Islam. Ummat Islam telah mulai belajar kembali, menyongsong kewajiban mereka di masa datang untuk memimpin kebudayaan dunia islami. Pengertian-pengertian yang jumud tentang Islam kini mulai diurai kembali. Arti sholat dikembangkan sayapnya. Telinga mereka makin kritis kalau harus mendengar fatwa-fatwa klise tentang puasa yang selalu disebut "untuk menghayati penderitaan kaum miskin" seolah-olah puasa itu dikhususkan bagi orang-orang kaya, sehingga puasa bagi orang miskin ialah "untuk menghayati penderitaan dirinya sendiri". Zakat digugat. Tentu bukan zakatnya yang digugat, melainkan kebekuan radar kreativitas kita terhadap arti zakat. Islam mulai menumbuhkan sistemisasi zakat yang lebih realistis, sekaligus merintis pendidikan manusia-manusia penzakat yang tidak lagi harus ditodong agar berzakat. Dan puasa, diterjemahkan ke dalam kehidupan
nyata. Orang mulai berkata: Kalau sekedar puasa Ramadhan, tidaklah terlalu berat. Tetapi justru puasa dalam kehidupan nyata yang berkaitan dengan kesempatan kerja, penikmatan ekonomi, jabatan, uang pensiun, popularitas, dan seterusnya sungguh-sungguh merupakan tantangan yang menawarkan kematangan kemusliman yang baru dan lebih realistis. Akan juga tiba giliran pertanyaan kepada perolehan air madu haji: bahwa rukun haji bukan hanya menyangkut persoalan fasilitas. Bahwa haji tidak sekedar nomor unit sesudah syahadat. Haji adalah merupakan peringkat sesudah mencapai kematangan sholat, puasa dan zakat. Siapapun silahkan memfungsikan haji sebagai instrumen kepentingan mobilisasi politik atau investasi bisnis ekonomi, namun anak-anak muda Muslimin mulai peka saraf-saraf rohaninya terhadap kebenaran tempelan yang berbeda dengan kebenaran sejati.

Pada saat yang sama proses pemaknaan kembali atas nilai-nilai Islam itu disertai oleh urgensi keharusan mengatasi problem kaum mustadh'afin. Dan tidak sedikit anak-anak muda Kaum Muslimin yang sudah terjun langsung ke dalam pekerjaan melelahkan ini, betapapun organisasi dan strategi-strategi untuk itu belum benar-benar ditemukan rumusnya. Mereka tidak bisa tahan hati menunggu keputusan seminar para dewa yang akan mengungkapkan strategi itu, maka meskipun masih bersifat sporadik, fragmentaris dan ornamental mereka sudah mencoba langsung mengerjakannya. Untuk mewujudkan perilaku kemusliman tidak hams menunggu mode baru Ratu Adil yang berupa suksesi tampuk kepemimpinan politik atau tersedianya wadah kenegaraan bagi sistem nilai baru yang islami. Mereka langsung menabung

Apa yang saya maksud dengan "tabungan Islam" adalah proses islarnisasi dalam arti kebudayaan luas serta dalam satuan-satuan nilai yang universal. Mereka Menabung agar tidak terbawa menjadi lemah tanpa harus menunggu formula kenabian baru dari atas yang coba dibangun dengan buku-buku dan diskusi-diskusi. Mereka menabung agar tidak ikut dilemahkan tanpa harus menanti usaha rekonstruksi lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah atau Nandlatul Ulama, tanpa harus menanti perombakan total isi siaran televisi, lahirya sutradara-sutradara film yang islami atau keinsyafan kultural edukatif para cukong perdagangan kebudayaan sekuler. Mereka menabung untuk tidak melemahkan dengan melatih diri terbiasa berpuasa menahan diri dari segala godaan kesempatan, terutama kekuasaan, uang dan kemewahan; dengan merintis pemanfaatan kebiasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk suatu langkah yang lebih islami. Mereka menabung pekerjaan-pekerjaan yang mereka yakini bersifat
islami tanpa harus menunggu keputusan para Ulama dan cerdik cendekia tentang definisi islami yang paling tepat dan tidak subversif. Mereka menabung untuk tidak mendmbali jumlah orang yang lemah dan dilemahkan tidak dengan hanya membayangkan bagaimana memperoleh granat tangan untuk meledakkan gedung ini dan kantor itu, tidak dengan menyelesaikan dahulu penyelidikan atas rahasia World Bank, rencana-rencana CIA dan KGB atau apa maksud sebenamya dari dilimpahkannya uang dengan jumlah yang sangat banyak oleh organisasi-organisasi non-pemerintah di luar negeri kepada yang disebut pejuang-pejuang penolong kaum dhu'afa. Mereka menabung untuk tidak menambah jumlah orang yang lemah dan dilemahkan tidak dengan membayangkan bagaimana meng-genggam seluruh persoalan dunia ini di sebuah tangannya; melainkan dengan mengerjakan apa yang dapat is kerjakan sebatas langkah kakinya, jangkauan tangannya dan kapasitas tenaga hidupnya.

Pada suatu hari kegagapan makro dan hubungan mikro itu akan bertemu dalam suatu rangka pengelolaan yang lebih artikulatif strateginya. Ummat Islam telah rnulai bekerjasama dengan janji Allah "wanuriidu an-namunna
'alalladziina-studh'ifuu filardli wanaj'aluhum al-immatan wanaj'aluhumu-lwaaritsuun ..."

Bandung, 11 September 1986
(selesai)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Dalam skema 'segitiga terpotong' ala rasionalisme dan etos kerja peradaban Barat (dimana titik puncak A adalah manusia, A ke B adalah penelusuran ilmu pengetahuan dan B ke C adalah penerjemahan teknologinya serta B ke A adalah pemfungsian teknologi bagi cita-cita manusia), anak-anak muda Muslimin kini mulai melihat bahwa kebuntuan garis B ke A (kembali) ala Barat adalah karena tidak dikawinkannya teknologi dengan etos keimanan. Bahwa bagi aspirasi Islam, A bukanlah manusia melainkan Allah: dan ini yang menyebabkan kehampaan modernitas abad-20. Maka kini anak-anak muda Muslimin tergerak untuk ikut berpacu mematangkan perjalanan ilmu pengetahuan ke B dan berfastabiqul khoirat mencapai C, tetapi kemudian mengaplikasi garis C ke A dengan Iman, Islam, lhsan. Artinya, tidak lagi terjebak untuk anti ilmu pengetahuan dan fobi teknologi, sebab persoalannya 'tangan bagaimana' yang menggenggam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Itulah thariqat modem. Itulah thariqat islami, yang historis, realists, tidak melarikan diri.

Bagiku sendiri menjadi kelas beda antara tasauf nabiy dan tasauf rasuli. Kejelasan itu memberi petunjuk bahwa aku-aku atau engkau-engkau para mujahid yang sebagian tergolong dalam mujahid-nabiy, sebagian lain mujahid rasuli.
Pertama tetap kupegang kesadaran tentang kepemimpinan rohani tasauf atas perjalanan hidup manusia. Tasauf memelihara kedalaman, menjaga kemesraan pergaulan dengan Allah, dan selalu mengingatkan kita untuk mempedomaniNya. Dimensi tasauf yang ini sama sekali tidak bisa digugat.
Pedoman pada kepemimpinan spiritual tasauf yaitu suatu pekerjaan thariqat yang realitas dalam urusan-urusan kehidupan manusia dan masyarakat.

Kita senantiasa sudah memahami posisi kekhalifahan muslim, bahkan semua manusia di muka bumi. Tinggal dibedakan antara kekhalifahan tipe rasul dengan tipe nabi. Seorang Rasul dibebani kewajiban untuk menjadi penggembala ummat secara langsung: ia harus menguasai semua persoalan masyarakat, ia mungkin seorang negarawan, seorang pemimpin politik, bahkan seorang panglima perang, seorang sosiolog, budayawan, serta segala sesuatu yang memiliki kualitas kaffah sebagai manusia. Sedangkan seorang Nabi tidak dituntut sejauh itu, meskipun dalam beberapa segi barangkali ia lebih kental dan mumpuni dibanding manusia Rasul.

Masing-masing tipe ini membawa serta tanggung jawab yang berbeda, perilaku dan strategi yang berbeda, godaan-godaan yang berbeda, kemudahan-kemudahan dan kesulitan yang berbeda.

Seorang sufi yang memiliki sifat kenabian (nabiy) mewujudkan kekhalifahannya dalam bentukan-bentukan sosial budaya yang mungkin eksklusif dan terbatas skala effektivitasnya. Ia mungkin menuliskan doa-doa puisi seperti Rabi'ah Al-Adawiyah: selebihnya ia menjalankan perilaku kehidupan yang seolah sengaja tidak diintegrasikan kepada bahasa kebudayaan orang banyak, sehingga ia sangat 'strategis' untuk disalahpahami atau bahkan dihukum gantung.

Akan tetapi seorang sufi-rasuli tidak boleh mengingkari alam hidup ummat, bahasa-bahasa dan idiom-idiomnya. Segala karya tasaufnya harus diterjemahkan ke dalam bahasa ummat, dengan resiko ia bisa menjadi tidak kental sebagai individu karena pada hakekatnya yang ia lakukan ialah melebur diri ke dalam hatinuraninya dan tubuh ummat. Karya tasaufnya tidak diwujudkan dalam sistem format subyektif individual, melainkan integral dengan keperluan-keperluan Islami sebuah masyarakat.

Muhammad adalah sufi teragung yang pemah ada di muka bumi. Ucapan-ucapan beliau amat puitis dan mengandung keindahan yang kaffah bersama kebaikan dan kebenaran. Namun yang lebih penting yaitu bahwa beliau tidak hanya berhenti merenung di gua Hira dan berasyik-asyik sebagai sufi-nabiy yang "masuk sorga tanpa mengajak orang lain". Muhammad keluar dan gua, tampil membebaskan masyarakatnya dari belenggu jahiliyah. Ia menjadidangkan seorang Nabi tidak dituntut sejauh itu, meskipun dalam beberapa segi barangkali ia lebih kental dan mumpuni dibanding manusia Rasul.

Masing-masing tipe ini membawa serta tanggung jawab yang berbeda, perilaku dan strategi yang berbeda, godaan-godaan yang berbeda, kemudahan-kemudahan dan kesulitan yang berbeda.

Seorang sufi yang memiliki sifat kenabian (nabiy) mewujudkan kekhalifahannya dalam bentukan-bentukan sosial budaya yang mungkin eksklusif dan terbatas skala effektivitasnya. Ia mungkin menuliskan doa-doa puisi seperti Rabi'ah Al-Adawiyah: selebihnya ia menjalankan perilaku kehidupan yang seolah sengaja tidak diintegrasikan kepada bahasa kebudayaan orang banyak, sehingga ia sangat 'strategis' untuk disalahpahami atau bahkan dihukum gantung.

Akan tetapi seorang sufi-rasuli tidak boleh mengingkari alam hidup ummat, bahasa-bahasa dan idiom-idiomnya. Segala karya tasaufnya harus diterjemahkan ke dalam bahasa ummat, dengan resiko ia bisa menjadi tidak kental sebagai individu karena pada hakekatnya yang ia lakukan ialah melebur diri ke dalam hatinuraninya dan tubuh ummat. Karya tasaufnya tidak diwujudkan dalam sistem format subyektif individual, melainkan integral dengan keperluan-keperluan Islami sebuah masyarakat.
(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Itu semua semacam thariqat.

Kegagapan sejarah semacam itu juga dialami oleh anak-anak muda berbagai sejarah dan tempat, namun anak-anak muda Muslimin kini boleh menjalinnya dengan kesadaran dan sikap nilai yang baru. Bahkan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman keilahian yang lebih suci dan dewasa sebagai anak-anak muda itu kini secara naluriah mengambil jarak dari Tuhannya. Kita barangkali mencemaskan mereka karena sudah lama tak sembahyang, bahkan Allah seperti dibencinya dan bahkan dianggapnya tidak ada. Kita tinggal terus mengawani mereka dengan kadar cinta kasih yang lebih tebal, serta dengan menerjemahkan serinci mungkin kesadaran tharigat itu ke dalam kemungkinan-kemungkinan sistem nilai manusia dan masyarakat sehingga mereka 'berpapasan' kembali dengan Allah yang sejati.
Sadar atau tidak sadar kini telah dirintis suatu terobosan pemahaman dan pengalaman keislaman. Anak-anak muda Muslimin telah lama tidak puas dengan polo-pola thariqat para pejalan agama tradisional: dzikir-dzikir verbal, gerak-gerak menuju mabuk, dengan beratus ribu orang lain yang terorganisir, yang akhirnya terjebak untuk sekedar melarikan diri dari dunia yang tidak mampu dirumuskan dan diatasinya. Eskapisme tasauf 'budhistik' ini akhirya menjadi kartus-minus bagi keperluan riil sejarah ummat manusia. Di saat lain kecenderungan ini bahkan menjadi semacam legalisasi kemunafikan, ingatlah umpamanya suatu model teologi timbangan (mizan) di mana pada siang hari orang-orang itu suntuk mengerjakan berbagai kemungkaran yang hampir selengkap malima (maling, madat, minum, madon dan main), sementara malam harinya mereka bersama-sama berdzikir verbal, bersujud kepada Allah dan menangis sejadi-jadinya.

Anak-anak muda Muslimin sudah terlanjur diajari mengerjakan penalaran dan akal sehat, meskipun dengan banyak ironi-ironi sebagai sertaan pendidikan tersebut. Namun akal sehat mereka membawa kesadaran untuk tidak menerima sebagian perilaku thariqat tradisional tersebut.

Pada mulanya mereka mengalihkan kepercayaan kepada simbol-simbol dunia modern: rasionalisme, beragama dengan akal sehat, menolak taqlid buta maupun tak buta. Namun orientasi pokok modernitas yang ternyata sama parsialnya dengan kejumudan perilaku tradisional, membikin mereka tidak menemukan kebenaran yang dikangeni oleh kedalaman jiwa mereka.

Mereka lantas kembali menengok tradisi, namun sudah dilandasi dengan paradigma sikap, wawasan dan kedewasaan ijtihad yang baru. Mereka menggagas dan melayani alam tradisi dan alam modern mulai dengan suatu cara bergaul yang kaaffah. Mereka tidak lagi meninggalkan tradisi tanpa sisa, melainkan melihat bahwa apa yang terjadi hanyalah mandegnya kreativitas thariqat tradisional. Alam modern juga tidak dilihatnya sebagai sebuah dunia lain sama sekali, melainkan sebagai sejarah kreativitas kemanusiaan baru yang sesungguhnya memberi arti dan fenomena baru bagi thariqat lama yang beku dan kekanak-kanakan.

Anak-anak muda Muslimin bahkan mulai tahu bahwa thariqat-thariqat verbal itu bukan tak mereka butuhkan. Itu tetap merupakan tehnik penyucian dan pembongkaran rokhaniah yang praktis. Namun diketahui oleh mereka juga bahwa bentuk-bentuk thariqat kini sangat berkembang ragam karena tantangan-tantangan persoalan manusia pun sudah sangat berbeda. Tinggal persoalannya bagaimana memperlakukan sekolah, buku-buku sekuler, terminologi-terminologi peradaban buntu, segala pemahaman dan perlawanan terhadap gejala jahiliyah dengan suatu sikap tharikat yang sadar dan selalu dibersihkan. Sepanjang mereka berwudlu pada setiap pengalaman kesejarahan, yang kecil maupun besar, maka makna thariqat itu akan insya Allah mereka peroleh sebagai nuur Allah.

Mereka akan mema'rifati kehidupan, mema'rifati problem-problem secara tepat, mema'rifati kebenaran yang sejati, serta mema'rifati cara yang penuh hikmah untuk mengatasinya.

Itu semua merupakan rintisan perwujudan giliran Islam untuk memimpin sejarah dunia.

Syari'at adalah alam. Hakikat adalah realitas sosial. Thariqat merupakan semacam kata kerja dialektis yang berada di antara syari'at dan hakikat serta sekaligus mentrandensi atau mengatasinya. Hanya dengan kekhusyukan thariqat maka ma'rifat akan dicapai.
Islam sangat lengkap dengan petunjuk. Agama ini sedemikian bercahaya. Anak-anak muda Muslimin kini makin menyadari bahwa Al-Qur'an adalah kepustakaan utama. Mereka kini merasuki kitab sucinya dengan pola pendekatan modem yang mereka peroleh dari keilmuan Barat. Pada suatu hari mereka akan menemukan bahwa Al-Qur'an itu sendiri adalah sebuah pendekatan, adalah sebuah metodologi, adalah gambaran dasar dari cara pandang dan terminologi hadiah Allah untuk melihat dan mengolah dunia, manusia dan proses kembali ke sumbernya.

Alyauma akmaltu lakum diinakum hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu segala sesuatu yang dimungkinkan oleh jatah kodrat manusia telah dipuncaki oleh Muhammad dan Al-Qur'an. Kalimat ini kita ucapkan tidak sebagai kamuflase dari kekalahan kesejarahan Ummat Islam atau sebagai hiburan-hiburan jumud sehabis kita tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan abad ini secara islami. Kalimat ini kita ucapkan dengan landasan keyakinan dan iman, dibangun di atasnya rintisan-rintisan pengislaman diri dan dunia dengan membanting tulang dan memeras keringat dalam thariqat.

Muhammad telah menjadi pamungkas segala Nabi dan sesudah beliau tidak ada lagi wahyu diturunkan. Mendengar berita kesempumaan itu lantas anak-anak muda Muslimin lantas kecewa, dengan rasa pilu seolah-olah mereka hidup amat jauh dari Muhammad dan wahyu. Seolala-olah sejarah pencahayaan dan Allah telah berhenti 14 abad yang lalu, dan kini mereka hanya menerima pantulan-pantulan dari cahaya dari tangan yang entah keberapa ribu.

Kini mereka merasakan Muhammad hanya terkubur tulang dagingnya, namun Muhammad sangat mengendap di hati mereka dengan terprogram amat kuat di jaringan komputer pikiran mereka. Kesempurnaan kenabian Muhammad adalah informasi Allah bahwa uswatun hasanah agung itu merupakan cakrawala akhir dari segala yang mungkin dicapai oleh peradaban manusia. Wahyu selesai pada beliau berarti segala puncak prestasi pemikiran dan segala kreativitas manusia telah disediakan sumbernya oleh Al-Qur'an dan terakomodir oleh sistem nilai Islam jika hal tersebut sungguh-sungguh dithariqati. Wahyu tidak berhenti pada abad ke-8, namun puncak kualitas petunjuk Allah artinya yang Ia jatahkan bagi manusia telah terjadi di abad itu atas Muhammad.
Kita sudah lama bagai tidak percaya kepada wahyu, bahkan kepada karomah atau ilham. Kita menjadi inferior dan bergantung kepada informasi-informasi keilmuan dari kaum superior. Ini tidak berarti melihat bahwa wahyu itu sebuah kutub dan informasi 'non-Islam' itu sebuah kutub yang lain. Para kaum superior itu telah mengerjakan, apa yang tidak dikerjakan dari bagian Al-Qur'an, meskipun tak dilandaskan pada etos keimanan dan ikhsan islami. Kini anak-anak muda Muslimin mulai mengerti betapa penting menyerap informasi-informasi itu, namun musti secara islami.
(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Anak-anak muda yang lain, di atas kapal sejarah yang oleh mereka, mencari pegangan apa saja, pokoknya pegangan: sesuatu yang bisa menolong mereka untuk merasa ada dan berdiri, atau hilang sama sekali. Partai-partai oposan? Kalau menggunakan lensa pandang jangka pendek sesungguhnya mereka hanya terlibat dalam partai apusan. Organisasi-organissasi sosial yang sejauh ini ada cenderung hanya siap menjadi perangkat dari mekanisme yang mereka tidak setujui. Bahkan Tuhan, yang seolah diam abadi, sangat mengecewakan mereka. Dan pada kejadian krisis semacam itu: ternyata din mereka sendiri tidaklah bisa mereka pegang.

Maka anak-anak berlari ke narkotika kebudayaan, tenggelam ke dasar dangdut dan musik rock, sentimentalitas mabuk dunia pop, menulikan telinganya dengan olahraga dan histeria tinju, mengintensifkan eskapisme mistik, atau membikin koloni-koloni kecil di mana mereka menyembah sujud di hadapan arca kepahlawanan Karl Marx atau fundarnentalisme Khomeiny.

Pada momen-momen pertama pegangan-pegangan tersebut mereka genggam dengan tegangan tinggi, sedemikian rupa sehingga dunia tuyul pun bisa dipercayai untuk digenggam. Mereka mencari kemutlakan, kepastian, karena kemutlakan dan kepastian adalah lawan kata dari ketidakmenentuan. Maka mata dan telinga kemutlakan yang juga selalu mereka pakai untuk melihat dan mendengarkan apapun; sebab kalau sesaat saja mereka kehilangan rasa mutlak, berarti terjerumus kembali ke dunia ketidakmenentuan.

Ongkos dari mobilitas kemutlakan ini antara lain ialah keterjebakau untuk mengulang beberapa kegagalan sejarah di masa silam, di Indonesia dan di dunia. Aku merasa tidak perlu mengungkapkan hal ini dengan bahasa jelas karena aku meyakini sepenuhnya bahwa apa ini adalah proses menuju kematangan yang sesungguhnya. Aku merasakan semuanya itu tetaplah ungkapan kemarahan suci, gairah qudus akan sesuatu yang lebih baik sedemikian suci dan kudusnya sehingga sering tidak tepat untuk (perubahan) dunia yang sudah penuh dengan lendir.
Mereka sangat mengasihi kaum dhu'afa, dan sekujur tubuh dan jiwanya terasa gatal untuk segera memperjuangkan nasibnya. Tetapi semua orang mengerti bahwa mencintai itu amatlah tidak gampang: ia harus sangat memberi, namun pada saat yang sama ia sangat egoistis. Misalnya egoistis dengan pegangan ideologinya.

Sahabat saya pernah menulis dengan amat erosional dan aku menyetujui emosi yang memang syah itu. Inilah hasil dari rezim yang terlalu kuat, tetapi ini juga kebiasaan sejarah. Mayoritas anak-anak muda dijadikan dan menjadi bebek-bebek, ternak-ternak, angka-angka, barisan robot mesin politik perusahaan negara. Sementara tumbuh minoritas yang fanatik, puritan, kolot, absolut, penuh 'garis partai', maunya radikal namun untungnya mereka masih kurang tahan dengan gigitan nyamuk.

Anak-anak muda itu membuat kelompok-kelompok kecil, berkeping-keping, tak saling kenal dan belajar bergaul di antara kelompok-kelompok tersebut. Pandangan mereka parsial, watak mereka stereotip, pengetahuan mereka linier, cekcok satu sama lain sehingga kurang sempat benar-benar memahami ilmu-ilmu perubahan. Pada tingkat wawasan intelektual, pada umumnya mereka masih terbengkelai. Namun pada saat yang sama mereka seolah-olah harus menyelenggarakan pekerjaan politik, yang juga masih dimuallafinya.

Untuk hadir di tengah-tengah mereka para 'oposan bikirtari konteksnya tentu saja 'dialektika kekuasaan'. Anak-anak suci tersebut digosok sampai nikmat, dikasih kacamata kuda, dikasih sabun untuk onani politik, dipacu, dijaring, diwuwu, dibikin merasa berjuang, merasa pahlawan, merasa secara intelektual mereka yang paling tahu dibanding seluruh penduduk seluruh dunia dan secara politis mereka akan memimpin perubahan sejarah. Namun pada saat yang sama mereka dibodohkan, dijadikan seperti ular yang berkulit terlalu lembut dengan kepala mendongak terbuka untuk pada suatu hari dipukul dengan popor senapan. Setidaknya akan datang para pekerja publisitas yang memotreti pekerjaan mereka, dan situasi itu memang memuaskan, karena tidak sedikit dari mereka meletakkan diri tidak pada aksentuasi kepentingan perubahan melainkan pada ekshibisi bahwa merekalah perubah-perubah. Artinya, yang mereka artikulir dan mereka perjuangkan, bukanlah kaum lemah yang selalu
disebut-sebut oleh teriakkan mereka, melainkan supremasi model baru kelas mereka sendiri.

Kawan itu mengeluh juga soal kesenian. Di satu pihak kesenian asyik onani sendiri dengan apa yang disebut seni tinggi, lainnya sibuk mengelontongkan ludah indah di pasar persekutuan kapitalis, lainnya lagi di'partai'kan secara plat sehingga kehilangan kesenian, kehilangan kebudayaan, dan akhirnya kehilangan manusia.
Ia seolah-olah, ketika itu, berputus asa: sesungguhnya, ia berkata, di hadapan rakyat miskin, kita bukanlah pemrakarsa perubahan dalam arti yang obyektif historis, melainkan tidak lebih sebagai pejuang dari pamrih-pamrih ideologis
kita sendiri. Kita ingin memperkosa rakyat dengan fanatisme cara pandang kita, dengan mimpi-mimpi Eropa atau Iran kita, dengan azas tunggal kebenaran kita...
Namun aku yakin begitulah memang proses mencari kebenaran. Pada suatu hari ia akan mengendap, dan apa yang perlu diorganisir, akan siap untuk itu.

Aku melihat perubahan memang ada alamnya sendiri. Apalagi dunia anak-anak muda. Mengapa kita harus menolak gejala-gejala itu. Ada belajar, ada diskusi, ada percekcokan, ada pertentangan, pendapat nasional diantara para calon pemimpin, ada bendera yang terlalu cepat dikibarkan, ada penyakit jiwa, ada kelahiran prematur, ada kcbengongan sejarah. Ada cinta kasih kerakyatan, ada ketololan perjuangan, ada kesadaran baru, ada karbit, ada kesetengahmatangan, ada muallaf, ada putus asa, ada harapan, ada belajar, terus ada belajar

(bersambung) =====>>

(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Dalam khasanah tasauf, Adam disebut sebagai melambangkan kesehatan. Kesehatan ialah angka pertama dari pekerjaan dan pencapaian apapun yang dimungkinkan oleh kehidupan manusia. "Rumah yang melindungi, baju yang menutup auratnya, sepotong roti serta air" begitu kata Muhammad (Rasul si potret segala yang mungkin dipuncaki oleh prestasi baik manusia), merupakan rukun awal dari kehidupan. Hanya dengan tubuh sehat manusia mampu dan jernih mengucapkan syahadat, mengerjakan sholat, mendidik anak, menjadi pedagang, memimpin kaum, atau menulis syair. Dengan kesehatan itu pula manusia menyadari posisi ahsani taqwimnya, mencapai dimensi yang dilambangkan oleh sang Nuh si derajat, kemudian menggagas dan mengalami keilahian bagi Ibrahim yang memilihNya dan dipilihNya. Demikian seterusnya sampai ia terbanting bagai Ismail, kembali belajar merumuskan antum a'lamu bi-umuuri dunyaakum - bagai Musa, lantas menemukan inti ruh bagai Isa dan menggenggam cahaya puncak
kemakhlukan dan kekhalikan bagai Muhammad kekasih Allah.

Demikianlah jangka gelombang Adam hingga Muhammad adalah gambaran plot kehidupan individu manusia maupun kelompok masyarakat.

Akan tetapi Iblis yang berusaha keras membuktikan kebenaran peringatannya kepada Allah tentang ide penciptaan manusia si pengucur darah (tubuh dan jiwa), cukup sukses dengan program-programnya. Para mujahid bercerita kini ada sekitar 100 juta manusia hidup di jaman pra-Adam; tak memperoleh hak kesehatan dasar, sementara sisanya tak cukup punya iktikad untuk mencapai Muhammad.

Di depan rumah berarsitektur istana berpagar tinggi berkawat duri, dari balik jeruji pintu, kita menawar harga belanga dari Rp 250,00 menjadi Rp 100,00. Cita-cita kita ialah ikut memenuhi jalan-jalan raya dengan mobil-mobil pribadi, sehingga hak jutaan orang yang berjejal-jejal antri di Bus atas jalan raya tidak sungguh-sungguh menjadi hak. Kita menyembah manipulasi dan akumulasi, kita menumpahkan tenaga dengan musik rock atau segala macam kebudayaan penghisap daya rohani yang sesungguhnya bisa kita pakai untuk urun memperbaiki dunia; sementara nyanyian Ummi Kaltsurn yang menghimpun energi terasa amat ikut 'penerbang' elite intelektual. Dan dengan bekal kedewasaannya itu mereka telah secara serius mengerjakan banyak hal yang mereka sangka sebagai menolong dan mendidik orang-orang tertindas. 'Blunder'nya terletak pada dua faktor; pertama kualitas manusia mujahidnya, kedua pada jarak antara pengetahuan dengan realitas.

Itu memprihatinkan, dan kita butuh menyadarinya sebagai keprihatinan, karena kita. sungguh-sungguh ingin berbuat sesuatu untuk persoalan mendasar itu. Pada saat yang sama keadaan itu patut disyukuri: semua gejala itu jujur secara sejarah. Itulah anak jaman kita apa adanya. Dajjalisme dan dajjalisasi sudah sedemikian menjadi dan mobil kebingungan di tengah-tengahnya adalah situ model langkah yang sama sekali tidak aneh.

Di dalam perspektif jaman dajjal anak-anak muda merasa diri berada dalam kurungan imperium raksasa di mana 'atas' menginjak 'bawah', di mana 'utara' menguasai 'selatan', di mana 'barat' mengalahkan 'timur' - meskipun yang terakhir mulai cenderung pupus karena lewat kebudayaan orang lebih mampu antisipatif dibanding kalau mereka menghadapi kerajaan politik atau dominasi ekonomi.

Di dalam struktur pokok itu mereka menjumpai dan langsung menghadapi penerjemahan-penerjemahannya ke dalam skala-skala yang lebih kecil dengan berbagai variabel yang saling silang dan sering amat membingungkan daya terminologis mereka. Aku sendiri amat terlibat dalam kebingungan itu. Sejarah ialah sungai pasir berwarna-warni dengan arus yang membuat jumlah pasir tak terhitung itu menjadi kait-mengkait. Aku tidak tahu bagaimana meletakkan rakyat Amerika dalam tubuh imanku. Aku tidak mampu menjelaskan immanensi dunia politik yang anti manusia itu kepada hati nuraniku. Aku tidak paham uang Saudi Arabia itu dipakai untuk apa. Aku tak sanggup menerangkan kepada diriku sendiri tentang konperensi perdamaian yang dibiayai oleh sebagaian hasil penjualan senjata. Aku tidak selalu bisa memelihara ingatan yang menyuruh aku melihat tali yang menghubungkan antara tetanggaku yang selalu terlambat membayar uang bulanan TK anaknya sebesar Rp 7.500,- dengan Bank Dunia.
Ternyata aku ketahuan tidak memiliki cukup tenaga untuk terus menerus mengejar munculnya modifikasi barn struktur kekuasaan kota-desa, negara-rakyat, atau bahkan ulama-ummat dalam konteks kaitan tertentu antara kepemimpinan religius dengan kekuasaan politik; apalagi untuk senantiasa mendzikirkan keprihatinan yang menciptakan jarak antara sesisir pisang di gendongan seorang Ibu dari Nglipar Wonosari dengan sebiji pisang di restoran Cina . Jiwaku terkoyak-koyak ketika setiap kali harus dipanggang oleh jarak yang terlalu jauh antara kenyataan masyarakat dengan segala sesuatu yang setiap hari disuarakan oleh dunia informasi.
Pada saat-saat tertentu amat terasa dunia ini adalah ketidakmenentuan, kegaduhan yang kosong, kemegahan yang hampa, pegangan-pegangan yang tidak bisa dipegang namun selalu dipaksakan untuk dipegang.

Dan tidak ada yang lebih menyiksa dalam hidup ini kecuali bermusuhan melawan ketidakmenentuan. Maka sebagaian anak-anak muda ingin secepatnya menemukan sosok yang dianggapnya paling jelas mewakili sumber ketidakmenentuan itu, dan segera pula menabrakkan kepalanya ke dinding karang sosok tersebut. Hal semacam ini sama sekali tidak aneh, karena sang anak ketidakmenentuan akan melahirkan juga ketidakmenentuan.
(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Aku merasa jelas bahwa aku tak kunjung paham kedua-duanya. Namun aku melihat jarak itu ada, dan di dalam jarak tersebut aku sering menyaksikan usaha-usaha santunan dari yang pertama kepada yang kedua mengalami kebuntuan atau keterjebakan. Oleh jarak itu aku sendiri sering dibikin gagap, tak becus mendudukkan pikiran, bingung menentukan kuda-kuda sikap, bahkan tidak jarang aku menjadi kehilangan diriku sendiri. Di dalam perjuangan gencar memerangi proses pemiskinan itu sering aku menjumpai diriku tak lebih dari sejumlah kalimat indah yang hampa.

Maka aku juga bersyukur bahwa Para mujahid itu tidak bertanya apa yang telah kukerjakan untuk ikut mengatasi problem kemiskinan membebaskan kaum dlu'afa? Sedang kakak-kakakku dalam sejarah lebih mengajariku untuk mensiapakan aku, untuk memacu siapa aku agar melebihi siapa-siapa pun lainnya di muka bumi ini. Aku kurang dididik untuk menyerahkan diri kepada kebaikan proses masyarakat, melainkan dicontohi bagaimana memfungsikan proses masyarakat untuk kepentingan eksistensialku. Itu bisa ditempuh dengan cara menunggang kuda kemiskinan orang banyak, atau menunggang kuda baru yang diciptakan untuk mengantisipasi kuda kemiskinan. Sedemikian rupa, sehingga semakin cepat kuda kemiskinan berlari, makin cepat pula kudaku memacu diri. Jika kuda kemiskinan berhenti, akupun tak bisa mengendarai kuda apapun.

Aku berharap hal yang terakhir ini tidak bakal terjadi. Namun kenyataannya banyak bukti di lapangan memberitahukan kepadaku bahwa para mujahid sehubungan dengan itu butuh sangat berhati-hati, terutama terhadap dirinya sendiri.

Pikiran semacam itu memperbesar ketakutan dan ketidakrelaanku terhadap diriku sendiri apabila aku berbicara tentang problem kemiskinan hanya dengan pikiran-pikiranku.

Sangat nikmat untuk mengepulkan asap warna-wami, menghias angkasa dan koran-koran dan itu baik, sungguh baik tetapi Allah maha lembut bagai sapuan angin sekaligus maha besar melampaui alam semesta: di hadapanNya, seorang muslim menjawab segala sesuatu dengan hidupnya.

Kata-kata dari seseorang, terhindar dari dosa bahkan dosa besar apabila ia merupakan hidup seseorang itu. Aku mengalami bahwa di antara pikiran-pikiran dengan kehidupan, terdapat banyak ragam lakon dosa. Pembayangan terhadap lakon itu merupakan cara yang balk untuk memojokkan diri hanya sungguh-sungguh ke Allah. Ke Allah, yang dewasa ini nampaknya harus dilalui melewati jalan di mana keadaan hidup orang-orang miskin muncul di hadapan akidah kemusliman sebagai amrullah, perintah Allah untuk mengatasinya.

Konteks yang menyatukan orang-orang miskin dengan amrullah ini mungkin berat kita sangga: jaman ini makin memiliki kecanggihan untuk menghiasi jarak antara pikiran-pikiran dan bukti, kenyataan hidup

Lihatlah, bukankah ungkapan ini berasal dari cacah jiwa orang miskin: emosi, impian dan inferioritas? Ketiga faktor psikologis itu tidak pernah dimiliki oleh misalnya seorang perampok, apapun jenis, nama atau julukan bagi perampok itu.

Aku tidak sedang berbicara tentang term 'kapitalistik' yang menyebut adanya kaum intelektual profesional', atau pekerjaan-pekerjaan melelahkan membantu orang miskin yang terjebak oleh kenyataan 'an other trickle down effect'.

Sungguh-sungguh aku berbicara tentang ketakutan bahwa jangan-jangan aku termasuk dalam golongan kaum mustadh'afin, orang-orang (dalam birokrasi atau setidaknya dalam suatu organisasi ‘otomatis’) yang melemahkan orang-orang lain. Banyak orang sudah mencoba berpuasa, yakni sebisa-bisa menghindarkan diri dari mekanisme pelemahan itu dengan resiko 'eksistensial' sehubungan dengan kemungkinan perolehan politis, ekonomis dan kultural; namun toh berbagai informasi dari kaum strukturalis bagai tak menyisakan ruang untuk tak berdosa.

Mungkin ini sentimentil aku saja. Mengapa aku tak bisa tidak mengungkit-ungkit 'manusia'? Apakah karena manusia telah tak bisa menjadi troof perubahan dunia manusia itu sendiri? Apakah karena segala teori perubahan cenderung mengandaikan manusia itu tak bisa dipercaya? Dan istiiah 'tabungan manusia' itu tidak memaksudkan manusia sebagai manusia, melainkan manusia sebagai instrumen dari abstraksi-abstraksi yang diciptakan oleh manusia sendiri?

Dan anggaran bagi kucing dan anjing Amerika mencapai 3,2 milyar dollars setahun. Dan ribuan becak yang tak manusiawi itu dikubur di laut. Dan seorang tukang becak melarikan becaknya pulang kampung, dari Jakarta ke Tegal, siang sembunyi, malam mengayuh becaknya dengan rasa takut memuncak seolah-olah senapan Kumpeni mengacu beberapa meter di jidat dan di belakang punggungnya
(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Mengikuti jejak para mujahid, aku harus berbicaradan menjawab pertanyaan mengenai problem kemiskinan,yakni tema utama yang makin mendesak kehidupan manusia di atas bumi Allah yang kaya raya ini.

Secara agak licik aku bersyukur mereka tak langsung memojokkanku dengan pertanyaan apakah aku tidak terlibat langsung maupun dalam proses penciptaan orang-orang miskin. Apakah aku tidak termasuk dalam golonganorang-orang yang dimiskinkan dalam arti luas sedemikian rupa sehingga tak ada kemungkinan lain bagi hidupku selain ikut berpartisipasi dalam organisasi pemiskinan, atau sekurang-kurangnya aku membonceng hidup dari cipra-tan hasil pekerjaan memiskinkan. Sebab, kata para piawai, jaringan proses pemiskinan itu tidak cukup kita pahami melewati gambaran tentang sejarah penjajahan, politik adikuasa, pembukuan perusahaan-perusahaan besar, tatanan ketergantungan, ketimpangan-ketimpangan amat tajam dari kesempatan hidup orang, atau segala sesuatu yang seolah-olah berada nun jauh di sana. Jaringan proses pemiskinan itu menyangkut segala mekanisme yang tidak pernah kubayangkan tetapi yang memungkinkan aku memiliki beberapa potong baju rapi sementara banyak
tetanggaku tidak dan aku mau tak mau terdorong untuk memelihara dan mempertahankan kemungkinan pemi¬likan semacam itu. Bahkan kabarnya jaringan proses pe¬miskinan itu sangat terkait dengan urat-urat dalam otakku, rencana-rencana spontan kaki dan tanganku, atau segala sesuatu yang hampir tak terpisahkan lagi dari nyawaku. Hal-hal mengenai proses pemiskinan itu relatif gampang untuk sedikit banyak ikut kupercakapkan, selama ini se¬mua kubayangkan berada jauh di luar diriku apalagi jarak jauh itu dijaga dan dilindungi dengan seksama oleh akidah dunia ilmu pengetahuan di mana tulisan ini berpartisipasi.

Sesungguhnya itu mengerikan. Namun jauh lebih mengerikan lagi adalah kabar lain yang menyatakan bahwa jaringan proses pemiskinan itu bukanlah seperti benang kusut, melainkan justru merupakan rajutan benang yang sedemikian rapinya sehingga beberapa orang hanya melihat jalan teror untuk mencoba memperoleh ke¬kusutan-kekusutan kecil.

Jadi, apakah pada suatu hari kemungkinan teror itu akan menimpaku, sebab memang aku cukup layak untuk itu? Aku berkata: Ya Allah, masukkan saja aku ke dalam neraka yang bukan ciptaanMu

Aku berlindung kepada Allah, jangan-jangan proses kebiadaban peradaban manusia yang kini diadili oleh makin banyak orang itu terkandung dalam hidupku, dalam cara kerja otakku, dalam tas kerja profesiku, dalam bagian dari doa-doa sembahyangku, bahkan menjadi isi-isi terpenting dari kamar-kamar rumahku. Bersediakah para malaikat, dengan kesucian mereka, membantu kami meneliti kemungkinan itu?

Pernah kubaca sebagian amat kecil dari ratusan atau mungkin ribuan buku mengenai persoalan kemiskinan, yang pasti amat sedikit saja mampu kupahami sehingga dalam kesempatan ini aku sangsi apakah aku tidak sekedar menulis ulangkan hal-hal yang sama, dengan hasil yang lebih buruk.

Sementara itu aku hidup bersama banyak orang miskin. Bahkan aku sendiri, menurut ukuran dari konteks persoalan ini, tak lain adalah juga seorang miskin. Tetapi yang terakhir ini pun tak akan bisa benar-benar kutuliskan, sebab jiwa orang miskin dipenuhi oleh emosi, impian dan inferioritas betapapun itu mereka sandang seolah-olah dengan ringan dan kuat sedangkan apa yang diatas kusebut akidah dan kaidah ilmu pengetahuan: hanya bersedia menulis ketiga hal itu, dan tak memperkenankan ketiga hal itu menuliskan dirinya.
Sebab yang lain ialah karena aku mengalami jarak yang tidak pendek antara anatomi persoalan kemiskinan dengan manusia miskin. Yang pertama berasal terutama dari seolah-olah para dewa yang transenden, atau penerbang yang untuk memperoleh pandangan yang seluas-luasnya atas skala bumi maka ia melayang setinggi-tingginya. Banyak kali para penerbang itu memang memusatkan pandangan matanya ke titik-titik tertentu yang paling tajam, namun jelas bahwa manusia-manusia di bumi tampak hanya sebagai guratan-guratan di mata mereka. Manusia hanya terlihat sebagai akibat dari suatu sebab, pergeseran dari suatu gerak, atau semacam lautan buih di seputar arus gelombang pokok.

Sedangkan yang kedua merupakan suatu dunia immanen, suatu keniscayaan tanpa jarak: badan kumal yang seolah-olah tubuhku sendiri, bau buruk yang seakan-akan berasal dari kedalaman hidungku sendiri, keringat pengap yang seperti mengucur dari punggungku sendiri; atau semacam komposisi yang absurd dan membingungkan antara derita dan keceriaan, antara kekecutan dan keperkasaan, antara kepasrahan dan kenekadan, atau antara dunia bayi dan kebijakan seorang tua yang telah berusia berabad-abad lamanya.
(bersambung)---->
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Andaikan makhluk yang bernama fatwa sudah sejak dulu menemani bangsa Indonesia, tentu masyarakat kita menjadi terbiasa bergaul dengannya sehingga tidak mudah uring-uringan seperti yang hari-hari ini terjadi.

Misalnya pada awal 1900-an kaum ulama melontarkan fatwa bahwa Kebangkitan Nasional bangsa Indonesia itu wajib hukumnya (sehingga tidak bangkit itu haram hukumnya). Demikian juga mempersatukan seluruh pemuda Indonesia itu fardhu kifayah( semua orang tidak bersalah asal ada sebagian yang menjalankannya).

Sumpah Pemuda itu fardhu ‘ain, kewajiban bagi setiap orang, kalau tidak bersumpah bergabung dalam persatuan Indonesia haram hukumnya. Berikutnya begitu Hiroshima- Nagasaki dibom atom, ulama Indonesia sigap melontarkan fatwa bahwa memproklamasi kan kemerdekaan Republik Indonesia itu wajib sehingga masuk neraka bagi siapa saja yang menolak 17 Agustus 1945.

Lantas diikuti oleh ratusan atau bahkan ribuan fatwa berikutnya: demokrasi itu wajib (meskipun di dalamnya ada komunisme itu haram).Tidak menaati UUD 1945 itu haram. Konstituante dan Piagam Jakarta dicari formula fatwanya. Katakanlah sejak pra-Kebangkitan Nasional hingga era Reformasi sekarang ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menelurkan lebih dari 5.000 fatwa.

Makhluk Suci dari Langit

Sementara kita simpan di laci dulu perdebatan tentang positioning antara negara dengan agama. Kita istirahat tak usah bergunjing ulama itu sejajar dengan umara (pemerintah) ataukah di atasnya ataukah di bawahnya. Juga kita tunda menganalisis lebih tinggi mana tingkat kekuatan fatwa kaum ulama dibandingkan undang-undang dan hukum negara.

Entah apa pun namanya makhluk Indonesia ini: negara sekuler, demokrasi religius, kapitalisme sosialis atau sosialisme kapitalis,atau apa pun. Kita mengandaikan saja bahwa produk kaum ulama,khususnya MUI, berposisi sebagai inspirator bagi laju pasang surutnya pelaksanaan kehidupan bernegara dan berbangsa.

Sebutlah ulama adalah partner pemerintah. Kaum ulama adalah makhluk suci berasal dari langit, memanggul amanat Allah sebagai khalifatullah fil ardli Indonesia. Kita semua pun bersyukur karena dalam menjalankan demokrasi kita ditemani oleh utusan-utusan Tuhan.Dulu para rasul dengan mandat risalah, para nabi dengan mandat nubuwah, dan para ulama dengan mandat khilafah.

Tidak semua soal kehidupan mampu diilmui oleh akal manusia, maka kita senang Tuhan kasih informasi dan tuntunan, terutama menyangkut hal-hal yang otak dan mental manusia tak sanggup menjangkau dan mengatasinya. Kaum ulama dalam majelisnya terdiri atas segala macam ahli dan pakar.

Ada ulama pertanian, ulama ekologi, ulama perekonomian, ulama kehutanan, ulama kesehatan dan kedokteran, ulama, ulama kesenian dan kebudayaan, ulama fiqih, ulama tasawuf dan spiritualisme, ulama olahraga, dan segala bidang apa pun saja yang umat manusia menggelutinya karena memang seluruhnya itulah lingkup tugas khilafah atau kekhalifahan.

Tradisi Fatwa dalam Negara

Akan tetapi tradisi itu tak pernah ada.Fatwa terkadang nongol dan sangat sesekali. Mendadak ada fatwa tentang golput tanpa pernah ada fatwa tentang pemilu, pilkada, pilpres dengan segala sisi dan persoalannya yang sangat canggih. Tiba-tiba ada fatwa tentang rokok tanpa ada fatwa tentang pupuk kimia, tentang berbagai jenis narkoba, suplemen makanan dan minuman,penggusuran,pembangunan mal, industri, kapitalisasi lembaga pendidikan,serta seribu soal lagi dalam kehidupan berbangsa kita.

MUI mengambil bagian yang ditentukan tanpa pemetaan konteks masalah bangsa, tanpa skala prioritas, tanpa pemahaman konstelasi serta tanpa interkoneksi komprehensif antara berbagai soal dan konteks. Itu pun fatwa membatasi diri pada ”benda”. Makan ayam goreng halal atau haram? ”Dak tamtoh,” kata orang Madura.Tak tentu.Tergantung banyak hal.Kalau ayam curian,ya haram.

Kalau seseorang mentraktir makan ayam goreng sementara teman yang ditraktirnya hanya dikasih makan tempe, lain lagi hukumnya. Makan ayam goreng secara demonstratif di depan orang berpuasa malah bisa haram, bisa makruh, bisa sunah. Haram karena menghina orang beribadah. Makruh karena bikin ngiri orang berpuasa.

Sunah karena dia berjasa menguji kesabaran orang berpuasa. Beli sebotol air untuk kita minum, halal haramnya tak terletak hanya pada airnya. Kalau mau serius berfatwa perlu dilacak air itu produksi perusahaan apa, modalnya dari uang kolusi atau tidak, proses kapitalisasi air itu mengandung kezaliman sosial atau tidak?

Kalau kencing dan buang air besar mutlak wajib hukumnya. Sebab kalau orang menolak kencing dan beol, berarti menentang tradisi metabolisme tubuh ciptaan Allah SWT. Berzikir tidak wajib, bahkan bisa makruh atau haram. Misalnya suami rajin salat dan berzikir siang malam, istrinya yang setengah mati cari nafkah. Atau kita wiridan keraskeras di kamar ketika teman sekamar kita sedang sakit gigi.

Hak Tuhan

Butuh ruangan lebih lebar untuk menguraikan berbagai perspektif masalah yang menyangkut fatwa. Negara dan masyarakat tak perlu mencemaskan fatwa karena ada jarak serius antara fatwa dengan agama, apalagi antara fatwa dengan negara dan hukumnya.Terlebih lagi jarak antara fatwa dengan Tuhan.

Yang berhak me-wajib-kan, menyunah- kan, me-mubah-kan, memakruh- kan dan meng-haram-kan sesuatu hanya Tuhan.Ulama dan kita semua hanya menafsiri sesuatu. Kalau MUI bilang ”rokok itu haram”, itu posisinya beliau-beliau berpendapat bahwa karena sesuatu dan lain hal, maka diperhitungkan bahwa Tuhan tidak memperkenankan hal itu diperbuat.

Setiap orang, sepanjang memenuhi persyaratan metodologis dan syar’i, berhak menelurkan pendapat masing-masing tentang kehalalan dan keharaman rokok dan apa pun. Muhammadiyah dan NU pun tidak merekomendasikan pengharaman rokok. Artinya, para ulama dari dua organisasi Islam terbesar itu memiliki pendapat yang berbeda.

Sebelum saya mengambil keputusan untuk mewakili pendapat Tuhan untuk mewajibkan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu hal, sangat banyak persyaratan yang harus saya penuhi. Terutama persyaratan riset, sesaksama mungkin dan ini sungguh persoalan sangat besar, ruwet, luas, detail.

Kemudian andaipun persyaratan itu mampu saya penuhi, saya tidak punya hak untuk mengharuskan siapa pun saja sependapat dengan saya atau apalagi melakukan dan tidak melakukan sesuatu sejalan dengan pandangan saya.Nabi saja tidak berhak mewajibkan siapa pun melakukan salat.

Hak itu ada hanya pada Tuhan, Nabi sekadar menyampaikan dan memelihara kemaslahatannya. Para ulama dan kita semua bisa kelak teruji, ternyata sependapat dengan Tuhan,bisa juga akan terlindas oleh peringatan keras Allah: ”Lima tuharrimu ma ahallallohu lak”,kenapa kau haramkan sesuatu yang dihalalkan oleh Tuhan untukmu?

Tapi jangan lupa bisa juga terjadi sebaliknya: kenapa aku halalkan yang Allah haramkan? Mungkin benar rokok itu haram dan saya akan masuk neraka karena itu, bersama ulama agung Indonesia Buya Hamka,perokok yang jauh lebih berat dibandingkan saya yang sama sekali tidak nyandu rokok. Juga ada teman saya di neraka almarhum Kiai Mbah Siroj Klaten yang hingga usianya 94 tahun merokok empat bungkus sehari. Dengan demikian bangsa Indonesia akan tercatat sebagai pemegang rekor tertinggi masuk neraka karena rokok.(*)
(Emha Ainun Nadjib /Koran SINDO/Jumat, 30 Januari 2009/PadhangmBulaNetDok)

Sungguh gembira hati ini menyaksikan semakin bermunculan para calon pemimpin bangsa. Panggung demi panggung terbangun. Terkadang mereka tampak bersaing ketat, tetapi kemudian nyata sekali bahwa mereka sesungguhnya bukan memikirkan eksistensi, kepentingan, atau ambisinya masing-masing, melainkan bersama-sama mengkonsentrasikan diri pada kepentingan bangsa.

Lihatlah itu Dewan Integritas Bangsa: Salahuddin Wahid, Bambang Sulistomo, Marwah Daud Ibrahim, Rizal Ramli, dan masih banyak lagi. Kompetisi di antara mereka bukanlah yang terpenting, melainkan kebersamaannya untuk siap memimpin bangsa. Begitu tampak wajah Gus Sholah, muncul kalimat di hati: "Gus Dur sudah uzur? Masih ada Gus Sholah." Sekilas wajah Rizal Ramli membuat decak kagum: "Gila, ini orang berani menantang debat Presiden SBY." Marwah Daud? "Kartini abad ke-21, intelektual, lihat ketangkasan geraknya di panggung nasional." Dan Bambang Sulistomo: "Bung Tomo saja sudah bikin geger dunia. Apalagi putra beliau!"

Megawati gegap-gempita lagi: lantang vokalnya, brilian pemikirannya, keluasan perspektif gagasan-gagasannya, dari gerakan mega mendung hingga naik turunnya yoyo. Sri Sultan X membuat dada mongkog dan wajah banyak orang berbunga-bunga. Prabowo yang mantap, Sutiyoso yang rawe-rawe rantas, malang-malang tuntas, Wiranto kesatria yang kalem. Hidayat Nurwahid sang ustad ahli ushulul-fiqh sehingga mendahului Majelis Ulama berpikir tentang halal-haramnya golput. Dan Pak SBY sendiri, jangan tanya: beliau semakin piawai bagaimana melangkahkan kaki dan melambaikan tangan.

Sebagian mereka datang ke Mega bukan untuk audisi semacam Pildacil agar dipilih jadi calon wakil presiden. Kehadiran beliau-beliau mencerminkan kerendahan hati dan kebesaran jiwa, bahwa yang utama bukanlah self-dignity, melainkan pengabdian terhadap segala kemungkinan yang terbaik bagi bangsa.

Memang ada sebagian rakyat kita merasa pesimistis, atau apatis, terhadap Pemilu 2009. Itu normal, bisa dimafhumi: hak-hak dasar untuk sejahtera sebagai warga negara memang belum cukup terpenuhi selama ada negara Indonesia dengan berkali-kali ganti pemerintahan dan kepemimpinan. Tapi Indonesia akan bangun. Salah satu tanda-tandanya, sejak tahun lalu sudah bergulir suatu “historical refreshment”, gagasan pencerahan zaman yang mendambakan kaum muda segera tampil memimpin bangsa. Itu bagai tembang “Bang-bang Wetan”: matahari baru semburat di timur.

Memang kecakapan dan kedewasaan tidak selalu berbanding lurus dengan usia. Kalau memang bangsa ini menjumpai ada pemimpin sudah 70 tahun tapi ia paling capable, apa salahnya. Tapi kan sangat banyak orang usia tua tapi tak dewasa, atau awet remaja bahkan tetap kekanak-kanakan. Dan bukankah justru banyak anak muda yang secara mental dan ilmu bergerak cepat melampaui usianya?

Jadi, ayolah: “bang-bang wetan!” A new “install”. Buka pintu anak-anak muda untuk bikin set-up baru sejarah dan peradaban. Rizal “Chelly” Mallarangeng, Fajrul Rahman, Ratna Sarumpaet, Marwah Daud Ibrahim, siapa pun kaum muda yang akan naik panggung? Chelly punya seabrek pengalaman aktivisme dari Yogya hingga negeri Obama, ia sanggup menarik garis dari penjual wedang, satpam Akademi AU, hingga istana neoliberalisme. Fajrul penuh nyali dan ilmu yang memadai. Sarumpaet sangat menguasai “teater global” dan “drama kehidupan”. Marwah malang-melintang dari high-tech hingga santri Tebuireng.

Mereka bukan hanya layak tanding, tapi pasti unggul secara fenomenologis dan futurologis. Anak-anak muda ditakdirkan oleh “kebiasaan” Tuhan untuk pada zaman apa pun membawa paradigma baru. Mereka pelopor dan perintis. Mujtahid, aktivis ijtihad, kata Islam. Mereka adalah Obama-Obama Indonesia. Andaikan saja ada persediaan ilmu dan metodologi untuk mengerti apa hubungan kepresidenan Obama dengan tiga tahun ia di Jakarta. Tetapi jelas anak-anak muda Indonesia, untuk mencapai puncak kepemimpinan Negara, tidak harus menempuh 12 tahun persiapan sebagaimana Obama penggemar teks Pancasila membutuhkannya sebelum menjadi presiden kulit hitam "not too black" pertama di negeri adikuasa elang macannya jagat raya.

Indonesia adalah anak bungsu suatu bangsa besar yang pernah melahirkan Bandung Bondowoso yang sanggup membikin seribu candi hanya dalam waktu satu malam. Kaum muda cucu Bondowoso bisa menjadi presiden kapan saja, bahkan secara instan, karena kita bukanlah bangsa dengan kemampuan “konvensional” sebagaimana bangsa-bangsa lain. Penduduk NKRI bukanlah bangsa burung "emprit", melainkan "garuda".

Bung Karno cukup lulusan Bandung, tidak perlu kuliah di Belanda dan bergabung dalam kelompok aktivis "Perhimpunan Indonesia" untuk menjadi pemimpin terbesar mengungguli Bung Hatta dan tokoh-tokoh siapa pun yang lain. Soeharto cukup menyerap saripati tari Bedoyo Ketawang untuk mempecundangi kita semua selama 32 tahun. Habibie bahkan naik takhta "min haitsu la yahtasib" alias "blessing in disguise". Gus Dur “wong agung” dengan kebesaran dan kaliber ekstra di mana Indonesia bergulir-gulir seperti butiran kelereng di genggaman tangannya. Megawati tidak perlu berkeringat dan mengerahkan ilmu, kekuatan atau aji-aji apa pun saja untuk sanggup menjadi pemimpin puncak. Dan beliau pemimpin hari ini, Susilo Bambang Yudhoyono, tangkai bandul, penjaga keseimbangan, pembersih wajah zaman agar senantiasa resik dan berkilau.

Tentu saja bagi calon-calon pemimpin muda itu bukan ringan bersaing melawan presiden yang sekarang, yang sangat peka momentum kapan kasih BLT, kapan menaikkan dan menurunkan harga minyak, kapan tanam pohon, kapan menggratiskan pendidikan. Ia jugalah konseptor reformasi TNI dan prajurit bangsa yang paling awal merintis pemikiran dan aspirasi reformasi.

Wiranto, Prabowo, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Sutiyoso, Yusril Ihza Mahendra, karena mereka juga cucu bangsa besar sebagai adik-adiknya, memiliki ajian pinunjul-nya sendiri-sendiri. Wiranto gagah perkasa menentang perintah Presiden Soeharto untuk memberangus gerakan mahasiswa dan makar jarah 1998. Prabowo tegak punggungnya, tajam pandangan mripatnya, sunyi menanggung risiko terbanting dari tembok rumah keluarganya, dan ia memiliki keanggunan serta kegagahannya sendiri jika nanti sebagai presiden berdiri berjejer di hadapannya para pembalak triliunan rupiah uang rakyatnya.

Sri Sultan jangan diragukan lagi, “keris” di tangan kirinya sebagai "Khalifatullah ing Bhumi Ngayogyakartahadiningrat" dan “pedang” di tangan kanannya sebagai Presiden Republik Indonesia: jika kedua “kesaktian” sejarah itu bergerak, rakyat percaya beliau akan membukakan pintu-pintu perubahan yang tak terduga. “Keris” itu lambang kesadaran nenek moyang dan estafet pencapaian-pencapaian peradaban, “pedang” adalah garda depan ilmu dan kecakapan modern.

Sutiyoso dipandang oleh segala parameter rasional modern sangat tepat dan cakap menjadi presiden, karena sukses besarnya menjaga keseimbangan Ibu Kota selama dua periode, dengan terobosan-terobosan yang susah dicari tandingannya. Yusril "Cheng Ho" ahli hukum tata negara adalah “panglima” yang mengerti persis bagaimana membangunkan kembali sejumlah kebesaran bangsa yang pernah muncul dalam demokrasi era 1950-an, dengan formula yang terukur dosisnya dan pada proporsi yang relevan untuk kekinian.

Tua atau muda, bangsa kita bergelimang pemimpin. Si pemuda ganteng Yuddy Chrisnandi dengan ragam pengalaman aktivismenya, Rizal Ramli dengan keempuannya di bidang yang paling urgen dari permasalahan bangsa: kebangkitan ekonomi. Dan Bambang Sulistomo, putra Bung Tomo yang menggegerkan dunia dari Surabaya dengan “ilmu sihir” yang menggulingkan rumus ibu perang modern. Itu baru Bung Tomo, belum putra beliau yang pasti jauh lebih berkaliber kependekarannya dibanding bapaknya.

Alhasil, kita optimistis menjalani 2009 ke atas. Kalau Anda mengajak bertanding untuk mengkritik dan menemukan kekurangan atau keburukan para calon pemimpin kita, saya abstain. Sebab, bagi saya sekarang, yang tepat adalah membesarkan hati seorang dan setiap calon pemimpin.
(Emha Ainun Nadjib/Koran tempo/31 Januari 2009/PadhangmBulanNetDok)
TULISAN ini sekadar mengandaikan bahwa fatwa ulama benar-benar ‘nimbrung’ ke dalam urusan pemilu, pilkada, dan golput dari segala sisi dan kemungkinannya.

Bagi mereka yang serius mempertimbangkan halal-haram dalam menjalani kehidupan, jangankan soal golput, sesendok makanan sebelum masuk mulut dihitung dulu seluruh faktornya sampai sah disebut halal. Beli sebotol air, benda airnya itu sendiri mungkin tak ada masalah, tapi perusahaan apa produsernya, bagaimana asal usul keuangannya, posisinya dalam konstelasi keusahaan masyarakat luas ‘menyakiti’ pihak lain atau tidak.

Identifi kasi dan analisis menuju kepastian halal mungkin bisa lebih luas, detail, dan ruwet daripada itu. Maka Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim memerlukan ‘label haram’ bukan ‘label halal’. Di negara-negara yang muslimnya minoritas memerlukan ‘label halal’ karena di belakangnya terdapat asumsi bahwa makanan dan minuman umumnya ‘belum tentu halal’. Tapi di negara mayoritas muslim asumsinya adalah makanan minuman ‘umumnya halal’ sehingga yang dibutuhkan adalah ‘label haram’.

Pekerjaan utama rakyat Indonesia sejak lima tahun terakhir ini adalah pergi ke kotak pemilihan, dari level lokal, regional, sampai nasional untuk menentukan sesuatu yang entah mereka pahami dan kuasai masalahnya atau tidak. Tahun 2009 adalah kulminasi dari ‘profesi’ massal itu. Maka benar-benar diperlukan kejelasan dari apa yang Ketua MPR Hidayat Nur Wahid tempo hari pernah menganjurkan. Yakni agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram bagi golput. Itu telah disahkan dalam Ijtimak Fatwa Ulama III MUI di Padang Panjang, Sumatra Barat, akhir pekan lalu. Rakyat Indonesia dan umat Islam pada umumnya kariernya tidak sukses dan penghidupannya miskin. Kalau bisa, jangan ditambahi dengan kepastian ‘masuk neraka’ hanya karena 2 menit masuk kotak pemilu atau tidur di rumah karena ogah ke arena pemilihan.

Takkan menjilat ludah

Kalau fatwa itu tidak keluar, apa gerangan artinya? Kalau ada fatwa golput haram, berarti haram, meskipun itu sebatas pendapat Majelis Ulama Indonesia. Kalau tak keluar fatwa, apakah berarti golput halal, termasuk bagi MUI? Kita butuh ketegasan dan kepastian, kalau tidak tentang hukum (fi kih agama) golput, ya tentang apa pendapat MUI, yang dalam struktur kehidupan berislam menempati posisi al-mufty, pedoman hukum bagi seluruh umat.

Kalau bagi Hidayat Nur Wahid, pasti golput itu haram, ada fatwa MUI atau tidak, disepakati atau tidak oleh siapa pun. Sekali haram tetap haram, beliau bukan intelektual picisan yang bisa menjilat ludahnya. Apakah berarti itu juga pendapat parpol beliau tidak bisa diklaim siapa pun, kecuali ditentukan secara organisasional oleh parpol yang bersangkutan.

Fatwa tak sama dengan agama

Tetapi fatwa itu tidak sama dengan agama. Fatwa itu sekian langkah dari agama.Untuk satu masalah bisa lahir jutaan fatwa sejumlah pemeluk agama Islam sepanjang mereka memenuhi syarat keilmuan dan metodologis untuk memproduksi fatwa.

Jangankan fatwa, syariat Islam, atau fikih (hukum) Islam pun tidak sama dan sebangun dengan Islam. Islam itu karya Allah, sedangkan syariat Islam adalaghasil penafsiran oleh para ulama. Pun fi kih. Maka ada banyak mazhab dan boleh ada 200 mazhab lagi yang lahir tahun ini dan 300 lagi tahun depan, seiring dengan makin banyaknya cendekiawancendekiawan ulul albab, ulul abshar, ulun nuha hasil persekolahan Islam.

Fatwa bahwa sesuatu itu haram tidak sama dengan ‘sesuatu itu pasti haram’. Ia hanya haram menurut salah satu pendapat. Anda boleh punya pendapat yang sama atau berbeda. Bahkan kepada para nabi pun Allah memperingatkan, “Kenapa kau haramkan yang dihalalkan oleh Allah?” Peringatan itu pasti berlaku seribu kali lebih urgent kepada kita yang bukan nabi. Fatwa bukan fi rman Tuhan. Fatwa adalah hasil penghayatan manusia terhadap nilai baikburuk, benar-salah, indah-jorok. Adalah produk dinamika manusia dalam memahami, meneliti, menganalisis, dan mengambil keputusan tentang sesuatu hal di antara ranah-ranah kebaikan hidup yang begitu luasnya.

Menjadi dewasa

Fatwa itu huruf Arabnya fa’, ta’, wawu. Kata kerja fataa atau fatiya menjelaskan situasi seseorang ‘menjadi dewasa’ sudah tidak kanak-kanak lagi. Secara khusus, ia mengaksentuasi pada nilai bahwa kedewasaan itu perolehan kemuliaan dan kehormatan. Anjuran untuk mengeluarkan fatwa itu mencerminkan tingkat atau kadar kedewasaan penganjurnya.

Halal-haram itu mutlak milik Allah. Ia yang memiliki hak asasi untuk mengharamkan atau menghalalkan sesuatu karena saham-Nya atas kehidupan semua makhluk hampir 100%. Haram makan babi, berzina, atau mencuri, itu langsung dari Allah, take it or leave it. Tapi kalau pemilu, golput, bikin negara, itu wilayah yang Allah mempersilakan manusia untuk berdiskusi.

Jadi, boleh ada fatwa golput haram, dengan hujah bahwa warga negara tidak baik kalau apatis terhadap urusan negaranya. Bisa juga lahir fatwa golput itu sunah atau bahkan wajib karena keputusan golput itu justru lahir dari kepedulian yang sangat serius dan mendalam terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Saya sendiri menunggu setelah fatwa itu dikeluarkan, kemudian disetujui negara dan diundang undangkan, terserah pada tingkat mana. Bisa keputusan menteri, keputusan presiden, atau dibuat khusus undang-undang haram golput. Maka akan muncul tuntutan agar dikeluarkan fatwa hukum pemilu. Wajib itu kalau sangat manfaat. Haram itu sangat mudlarat.

Tengahnya mubah atau halal. Yang lumayan manfaat namanya sunah yang lumayan mudlarat disebut makruh. Yang paling mengalami dan mengerti manfaat mudlarat-nya pemilu, dan adanya parpol, adalah rakyat langsung. Maka silakan bikin jajak pendapat ke rakyat, satu pertanyaan saja, adanya parpol dan pemilu sejauh yang Bapak-Ibu alami lebih banyak manfaatnya atau mudlarat-nya? LSI atau siapa pun silakan bikin simulasi. Insya Allah sudah relatif tahu kira-kira bagaimana hasilnya.
(Emha Ainun Nadjib/Media Indonesia/27 January 2009/Padh
Puji Tuhan aku ditakdirkan jadi rakyat Indonesia. Sedap nian dipresideni Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, Bu Mega, dan Pak Sus. Aku syukuri dan nikmati sedap yang itu ataupun sedap yang lain dari Ratna Sarumpaet, Rizal Mallarangeng, Sultan HB X, Fajrul Rahman, Wiranto, Marwah Daud, Prabowo, Sutiyoso, dan sekian lagi… wahai Tuhan, panjangkan umurku agar kualami sedapnya menjadi rakyat beliau-beliau secara bergiliran.

Kita memiliki stok pemimpin yang berlimpah-limpah. Jumlah di atas 30 kontestan Pemilu 2009 mencerminkan betapa banyak dan canggih mesin kepemimpinan yang kita miliki. Sudah enam presiden memberiku kenikmatan, dengan keistimewaan, kewibawaan, dan keunikannya masing-masing. Tentu saja juga dengan satu-dua kekurangan, tapi tidak terlalu signifikan.

Dan rasanya, 2009 mempersembahkan kepada kita sedap yang lain lagi dari pemimpin baru. Kalaupun umpama tetap yang lama, pasti terasa baru: bagaikan Idul Fitri, baju boleh yang itu-itu juga, tapi pandangan kita terhadap baju itu "refreshed".

Kita pernah punya pemimpin yang sejak masa kanak-kanak mengalami pengasingan di sebuah dusun pelosok di dekat perbukitan. Ia menggembalakan kambing, tanpa teman-temannya sesama penyabit rumput pernah mengerti siapa dia dan dari mana asal usulnya, sampai kelak ia tampil sebagai orang nomor satu. Dengan sabit (arit, celurit) di tangannya, sudah tampak bakatnya sebagai strategi ulung. Hampir tak pernah ia menyabit rumput, karena tiap hari ia nantang teman temannya untuk lempar tepat sabit di batang pohon. Siapa yang lemparannya paling akurat mendekati titik sasaran mendapat bagian seperempat rumput hasil ngarit setiap peserta kontes. Dan ia tak pernah kalah. Selalu pulang ke kambingnya membawa rumput tanpa capek-capek menyabit.

Menjelang usia remaja, ia pindah wilayah dan kerja di kantor semacam bank pengkreditan untuk rakyat. Kemudian ia belajar berbaris dan menembak. Tetapi ilmu utamanya untuk menjadi pemimpin bukan dari sekolah dan pengalaman kerja, melainkan dari pencerapan ilmu nenek moyangnya. Yakni "Ilmu Katuranggan", metode untuk mengenali, mengidentifikasi, menyelami, memetakan, dan memolakan watak-watak manusia. Digabung dengan “Ilmu Pranotomongso”, pandangan dan analisis tentang musim, segala macam musim yang berlaku dalam kehidupan alam dan manusia. Ia memimpin negara seperti pawang pengendali hujan, pengatur kemarau, penjinak angin, dingin, dan panas, siang dan malam.

Itu sekadar snapshot kebesaran salah satu pemimpin kita. Enam buku emas tebal untuk enam pemimpin tertinggi. Aku mencintai mereka semua. Semua rakyat pun mencintai mereka, dengan macam-macam cara. Ada yang memakai idiom gelas. Ada pemimpin gelasnya tak pernah kosong, meskipun selalu dituang-tuangkan menjadi gagasan besar, mimpi besar, dan pernyataan besar yang membahana ke seantero bumi. Ada pemimpin yang gelasnya juga penuh, tapi dijaga jangan sampai tumpah: gelas itu kalau ditambahi air akan tumpah, kalau diambil bisa mengurangi citra kepenuhannya.

Ada lainnya yang gelasnya baru diminum sedikit: mendadak hilang gelas itu. Lainnya lagi gelasnya bolong, saking jujur dan ikhlasnya, sehingga minuman apa pun dan seberapa pun saja dituangkan ke dalamnya akan langsung habis karena bolong bawahnya. Sementara itu, ada yang sampai akhir kepemimpinannya tak ketahuan gelasnya: bukan karena beliau tak mengerti gelas itu apa, melainkan karena sangat ketat menyembunyikan gelasnya.

Mahakaya Tuhan dengan ragam rupa ciptaannya. Ada sebagian rakyat yang mencari watak pemimpinnya melalui cara mengidentifikasi mereka dengan para pemimpin lama: Majapahit, Demak, Khalifah Empat, para rasul dan nabi, atau mengambil simbolisme dari dunia pewayangan dengan menyebut tokoh macam-macam: Bima, Arjuna, Gareng, Bagong, Limbuk, raksasa Kumbokarno, dan sebagainya.

Semuanya itu figur baik. Bima jujur gagah perkasa. Arjuna sakti pendiam, Gareng filsuf guru bangsa, Limbuk pengabdi yang setia tapi kritis, Kumbokarno raksasa besar pencinta dan pembela tanah air. Ada yang melalui jurusan Joyoboyo Syekh Ali Syamsu Zen hingga Ronggowarsito: pemimpin 2009 ini mesti dihitung berdasarkan parameter kualitas “satrio pinandhito sinisihan wahyu”.

Yang memimpin sekarang adalah Satrio Pambuko Gerbang, pembuka paradigma perubahan ke arah zaman baru. Sesudah itu, pemimpin sejati muncul dengan tiga syarat berkualitas tinggi. Ia harus "satrio": cakap, ulet, pejuang, prigel, profesional, menguasai multi-masalah, manajer pembangunan, dan panglima solusi. Tapi sekaligus harus lebih tinggi dari itu: "pinandhito", tak terpesona oleh harta dan kedudukan, filosofi hidupnya matang mendalam, punya "wisdom", arif dan adil dalam kehidupan nyata, "spiritually grounded", berkadar pemimpin rohani, kaliber "begawan" atau "panembahan".

Itu belum cukup. Ia harus "sinisihan wahyu". Harus tampak indikator bahwa Tuhan turut aktif dalam Pemilu 2009, terlibat mempengaruhi aspirasi konstituen, ikut memilih presiden sehingga tak mungkin pilihan Tuhan dikalahkan. Dalam pandanganku, semua yang tampil dalam kontes pemimpin 2009 memenuhi syarat Pak Ronggo itu, tinggal Tuhan mempergilirkan siapa duluan. Syukur-syukur Tuhan kali ini tidak membiarkan rakyat Indonesia memilih pemimpinnya tanpa "informasi" dari-Nya.
(Emha Ainun Nadjib/GATRA/1 Januari 2009/PadhangmBulanNetDok)
Ribuan jilbab berwajah cinta
Membungkus rambut, tubuh sampai ujung kakinya
karena hakekat cahaya Allah
Ialah terbungkus di selubung rahasia

Siapa bisa menemukan cahaya?
Ialah suami, bukan asal manusia
JIka aurat dipamerkan di koran dan di jalanan
Allah mengambil kembali cahayaNya

Tinggal paha mulus dan leher jenjang
Tinggal bentuk pinggul dan warna buah dada
Para lelaki yang memelototkan mata
Hanya menemukan benda

JIka wanita bangga sebagai benda
Turun ke tingkat batu derajat kemakhlukannya
Jika lelaki terbius oleh keayuan dunia
Luntur manusianya, tinggal syahwatnya

(Emha Ainun Najib/PadhangmBulanNetDok)
Kalau ibunda membelai rambutmu
Kalau ibunda mengusap keningmu, memijiti kakimu
Nikmatilah dengan syukur dan bathin yang bersujud
Karena sesungguhnya Allah sendiri yang hadir dan maujud

Kalau dari tempat yang jauh engkau kangen kepada ibunda
Kalau dari tempat yang jauh ibunda kangen kepada engkau,
Dendangkanlah nyanyian puji-puji tuk Tuhanmu Karena setiap bunyi
Kerinduan hatimu adalah
Sebaris lagu cinta Allah kepada segala ciptaanNya

Kalau engkau menangis
Ibundamu yang meneteskan airmata
Dan Tuhan yang akan mengusapnya
Kalau engkau bersedih Ibundamu yang kesakitan
Dan Tuhan yang menyiapkan hiburan-hiburan

Menangislah banyak-banyak untuk ibundamu
Dan jangan bikin satu kalipun ibumumenangis karenamu
Kecuali engkau punya keberanian
Untuk membuat Tuhan naik pitam kepada hidupmu
Kalau ibundamu menangis,
Para malaikat menjelma jadi butiran-butiran air matanya
Dan cahaya yang memancar dari airmata ibunda
membuat para malaikat itu silau dan marah kepadamu

Dan kemarahan para malaikat adalah kemarahan suci
sehingga Allah tidak melarang mereka tatkala
menutup pintu sorga bagimu
Ibu kandungmu adalah ibunda kehidupanmu

Jangan sakiti hatinya, karena
Ibundamu akan senantiasa memaafkanmu.
Tetapi setiap permaafan ibundamu atas setiap kesalahanmu
akan digenggam erat-erat oleh para malaikat
untuk mereka usulkan kepada Tuhan
agar dijadikan kayu bakar nerakamu

(Emha Ainun Nadjib/"Ibu Tamparlah Mulut Anakmu"/PadhangmbulanNetDok)
Makhluk dari mana Israel ini, adigang adigung adiguna, boleh melakukan apa saja, pembunuhan massal, penggusuran besar-besaran, pemberangusan dan pemusnahan atas umat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan, kapan saja dia mau, tanpa sanksi yang memadai dari pihak manapun di muka bumi.

Nama kelompok kebangsaannya disebut paling banyak di Alquran, bahkan dipakai sebagai nama Surah. Beberapa identifikator sejarah penciptaan oleh Tuhan menyimpulkan yang disebut ‘’Dajjal’’, perusak dunia kelas wahid, berasal dari suku Yahudi ini dan berambut keriting. Tapi orang tidak benar-benar berani mengutuknya karena mereka keturunan Nabi Besar yang amat kita takdzimi, yakni Ibrahim AS, entah dari beliau Ismail atau Ishaq. Dan kemah ajaran beliau, millah Ibrahim, adalah induk segala ajaran, teologi monotheisme, nama beliau kita sebut pada rakaat salat kita semulia kekasih Allah, Muhammad SAW junjungan kita semua.

Mayoritas aset moneter global dan segala jenis modal perekonomian, bank dunia dan institusi-institusi keuangan primer dunia dipegang oleh turunan beliau dan strategi pengelolaannya sampai ke Kongres Amerika Serikat berada di genggaman turunan yang lain dari beliau juga. Sejumlah futurolog ekonomi menganjurkan anak-anak kecil sekarang mulailah diajari berbahasa Arab karena akan menjadi bahasa utama dunia: pergilah cari kerja ke Negeri koalisi 16 Pangeran di Jazirah Arab. Bahasa Ibrani tak perlu dipelajari, karena para fungsionaris dari Israel mungkin lebih pandai berbahasa Arab dibanding Raja Saudi dan lebih mlipis berbahasa Indonesia dibanding orang Indonesia.

***

Anda tidak akan paham menemukan peta Indonesia Raya dijadikan center display di sebuah web Israel dan Amerika Serikat. Juga agak miris melihat tanda warna merah pada daerah tertentu dari Nusantara. Di Belanda, November 2008 saya ngobrol panjang dengan pemimpin Yahudi internasional Rabi Awraham Suttendorp yang sangat mengenal Indonesia lebih detail dari kebanyakan orang Indonesia sendiri, sebagaimana di kantor Perdana Menteri Israel Anda bisa dolan ke sana dan melirik ruangan khusus yang berisi segala macam data tentang Indonesia segala bidang yang di-update setiap pekan.

Israel juga punya situs berbahasa Indonesia. Kepada Rabi saya tanyakan kenapa disain tengah atas atau puncak mahkota keagamaan yang beliau pakai memimpin peribadatan di Synagoge sama dengan disain bagian atas rumah-rumah Pulau Jawa bagian utara. Kenapa ibukota Israel tidak Tel Aviv saja tapi Java Tel Aviv. Kenapa kantor-kantor Yahudi di berbagai negara pakai kata Java. Apa pula hubungan dua konsonan yang sama itu: J dan W. Jewish dan Jawa. Mana yang lebih tua: Jewish atau Jawa. Kalau Sampeyan keturunan Nabi Ibrahim, apakah nenek moyang kami manusia Nusantara yang seluruhnya berpuluh abad yang lalu disebut Jawa atau Jawi adalah ‘’keponakan’’-nya Ibrahim ataukah lebih tua dari Ibrahim.

Dari dunia Jawa dimunculkan sedikit informasi bahwa beberapa waktu yang akan datang akan terjadi hasil ‘’taruhan’’ antara Yahudi (Jewish) dengan Jawa (bukan Jawa non-Sunda non-Batak dalam pengertian 100 tahun terakhir): Kalau Yahudi yang memenangkan persaingan memimpin dunia, maka mereka akan ajak Jawa menjadi rekanan kerja. Kalau Jawa yang ‘’juara’’ mereka akan berguru kepada Jawa.

***

Apa-apaan itu? Dari bidang ilmu dan teknologi diberitakan bahwa revolusi invensi atau penemuan-penemuan baru akan mengubah geo-ekonomi, geo-politik dan kebudayaan dunia dari Cina, Brazil, Jepang dan Indonesia.

Bangsa Indonesia memasuki 2009 sebagai ‘’orang lugu’’ dan tidak perduli pada dirinya sendiri karena habis waktu dan enerjinya untuk urusan kotak suara. Padahal sejumlah makhluk Tuhan di luar manusia yang ditugasi menemani pertumbuhan peradaban ummat manusia sudah menyiapkan dibukanya sejumlah penemuan di bidang telekomunikasi, energi dan pertanian.

Sengaja saya tuturkan kepada sidang pembaca hal-hal yang ‘’tidak-tidak’’. Nanti kita akan sampai ke yang lebih ‘’tidak-tidak’’ lagi: Lemorian, banjir Nuh, Parikesit, terciptanya pulau-pulau Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dst. Dan akan saya sambung pada tulisan berikutnya pekan depan.

Tapi kita jangan bilang tidak masuk akal dulu sebelum kita bisa menjawab seberapa masuk akal kelakuan Israel sekarang ini: Dengan lancar dan mulus-mulus saja menghajar Palestina di depan rumah saudara-saudaranya sendiri sesama bangsa Arab, di depan hidung PBB.

Berdasarkan sejumlah ‘’khayalan’’ saya di atas, ucapkan: ‘’Ayo, Israel! Kalau berani jangan hanya berantem sama anak kemarin sore. Datang ke Indonesia, sini kamu, carok kita!’’.
(Emha Ainun Nadjib/Riau Pos/09 Januari 2009/PadhangmBulanNetDok)
Kereta Purbaya mbludag penumpangnya. Ketika itu 'bau' lebaran memang belum usai. Orang tumpah-ruah sampai ke daerah pintu masuk. Namun Tuhan Maha Baik. Saya dapat tempat duduk.
Ada toilet yang tak beres. Air luber sampai keluar sehingga tempat sekitar sebuah pintu masuk jadi becek dan menjijikkan. Belum lagi 'aromannya'
Disitulah saya berdiri sambil berpegangan daun pintu. Sendirian. sebab orang lain memilih berdesakan ditempat lain dari pada 'berdomosili' di tempat seperti itu.
Tetapi pada dasarnya saya tak bersedia untuk terpaksa berdiri selama '6 jam' dari Yogja ke Jombang. Saya mau berdiri sepanjang perjalanan, tetapi tak mau terpaksa. Maka saya harus mencari semacam makna atau alasan kenapa 'perjuangan berdiri' ini mesti saya lakukan. Dengan demikian 'kalu saya lelah' itu bukanlah kelelahan oleh keterpepetan keadaan, melaikan karena perjuangan.
Tapi apa makna ? Melatih otot dan ketahanan kaki ? Belajar sabar ?
Menguji stamina ? Memakai keadaan itu untuk mengolah pemikiran tentang sesuatu hal, misalkan kenapa khalayak ramai jarang yang ingat bahwa negara kita punya utang yang luar biasa banyaknya.
Nah, sampai Prambanan, perjuangan saya adalah menentukan apa tema perjuangan yang sebaiknya saya lakukan.
Kemudian Klatenpun menjelang. Dan saya diperintah oleh seorang Ibu tua untuk pindah tempat agak ke dalam menjauhi pintu. Kaget saya, tentu saja. Sedang Bupati Jombang pun belum tentu memerintahkan sesuatu pada saya.
Rupanya Ibu itu mempersiapkan sesuatu. Ia, tampaknya, seorang bakul. Mungkin ia 'mracang', dan kulakan macam-macam di pasar Beringharjo atau entah dimana. Ada tiga paruh karung entah berisi apa disandingnya. Beberapa onggok kayu bakar.
Dua tumpukan kardus. Belum lagi semacam tenggok yang, saya lihat, segera di gendongnya dengan jarit di punggung.
Tentulah ia akan turun di Klaten.
Saya bilang saya tak usah pindah, nanti saya bantu menurunkan itu semua dari kereta. Tapi sang Ibu, atau lebih tepat Nenek, begitu acuh tak acuh terhadap tawaran saya. Ia bersikeras agar meminta saya bergeser ke tengah. Dan sebelum kereta berhenti, ia lemparkan karung itu satu persatu, juga kardus dan kayu.
Sedemikian rupa sehingga satu karung sudah ertinggal di sebuah gerbong terakhir, karung kedua di gerbong tengah dan seterusnya. Baru ketika kemudian kereta berhenti, ia turun dengan tenggoknya, lantas berjalan menyusuri rel sebelah menghampiri barang-barangnnya yang tertinggal.
Jelaslah bagi saya, nenek itu sedang menerapkan kemandirian, disetiap detik dan jengkal ruang kehidupannnya. Mripatnya yang acuh kepada saya tentulah sebenarnya berkata, " Kalau memang mau membantu, kenapa cuma menurunkan barang-barang ini dari kereta ?"
Nenek udik itu memang lebih rasional dan independen dibanding seorang dekan yang ketika pagi-pagi ia sampai di kantor kerjanya berkata kepada bawahannya: " ambil kan tas saya di mobil, ini kuncinya !"
Ia juga lebih tinggi derajatnya dibanding sementara pejuang rakyat yang canggih membikin proposal tentang orang-orang semacam Nenek ini, untuk diajukan dan ditukar dengan dana milyaran rupiah, dan untuk itu ia peroleh persentase untuk beli mobil atau peralatan rumah dengan segala kenikmatannya.
Tapi nenek itu tak akan pernah berkata, " Tak usah menolong saya,. Mulailah saja selenggarakan keadilan ekonomi sehingga di negeri kaya raya ini tak usah ada seorang nenek bekerja seperti saya .."
Nenek itu tak akan pernah berkata demikian, meskipun para cendekiawan atau para pejuang yang mewakili nasibnya juga belum tentu akan berkata demikian.

(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/PadhangmBulanNetDok)