Pages

Sabtu, 29 Oktober 2011

kumpulan puisi Cak Nun


Antara tiga kota

Oleh :
Emha Ainun Najib

di yogya aku lelap tertidur
angin di sisiku mendengkur
seluruh kota pun bagai dalam kubur
pohon-pohon semua mengantuk
di sini kamu harus belajar berlatih
tetap hidup sambil mengantuk
kemanakah harus kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
Jakrta menghardik nasibku
melecut menghantam pundakku
tiada ruang bagi diamku
matahari memelototiku
bising suaranya mencampakkanku
jatuh bergelut debu
kemanakah harus juhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga
surabaya seperti ditengahnya
tak tidur seperti kerbau tua
tak juga membelalakkan mata
tetapi di sana ada kasihku
yang hilang kembangnya
jika aku mendekatinya
kemanakah haru kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997


BEGITU ENGKAU BERSUJUD
Oleh :
Emha Ainun Najib

Begitu engakau bersujud, terbangunlah ruang
yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
pula telah engkau dirikan masjid
Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
telah kau bengun selama hidupmu?
Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
meninggi, menembus langit, memasuki
alam makrifat
Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara
adzan
Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
Allah, engkaulah kiblat
Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
didengar Allah, engkaulah tilawah suci
Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
Allah, engkaulah ayatullah
Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
menjadilah engkau masjid
1987
DARI BENTANGAN LANGIT
Oleh :
Emha Ainun Najib

Dari bentangan langit yang semu
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu, Ia, kemarau itu
dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997
DITANYAKAN KEPADANYA
Oleh :
Emha Ainun Najib

Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri
Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
Tak demikian Allah menata
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta
Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
Tak demikian sunnatullah berkata
Maka cerdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
Menjadi kacaulah sistem alam semesta
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya sapakah penindas
Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan
Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
Burung Allah tak sedia bunuh diri
Maka berdusta ia
Ditanyakn kepadanya siapa orang lalai
Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar
Ialah air yang mengalir ke angkasa
Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
Maka berdusta ia
Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
Orang wajib menebangnya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah orang lemah perjuangan
Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
Orang harus menggertak jiwanya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah pedagang penyihir
Ialah kijang kencana berlari di atas air
Orang harus meninggalkannya
Agar tak berdusta ia
Adapun siapakah budak kepentingan pribadi
Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
Agar tak berdusta ia
Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta
Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
Nyanyikan puisi di telinganya
Agar tak berdusta ia
1988

DOA SEHELAI DAUN KERING
Janganku suaraku, ya 'Aziz
Sedangkan firmanMupun diabaikan
Jangankan ucapanku, ya Qawiy
Sedangkan ayatMupun disepelekan
Jangankan cintaku, ya Dzul Quwwah
Sedangkan kasih sayangMupun dibuang
Jangankan sapaanku, ya Matin
Sedangkan solusi tawaranMupun diremehkan
Betapa naifnya harapanku untuk diterima oleh mereka
Sedangkan jasa penciptaanMupun dihapus
Betapa lucunya dambaanku untuk didengarkan oleh mereka
Sedangkan kitabMu diingkari oleh seribu peradaban
Betapa tidak wajar aku merasa berhak untuk mereka hormati
Sedangkan rahman rahimMu diingat hanya sangat sesekali
Betapa tak masuk akal keinginanku untuk tak mereka sakiti
Sedangkan kekasihMu Muhammad dilempar batu
Sedangkan IbrahimMu dibakar
Sedangkan YunusMu dicampakkan ke laut
Sedangkan NuhMu dibiarkan kesepian
Akan tetapi wahai Qadir Muqtadir
Wahai Jabbar Mutakabbir
Engkau Maha Agung dan aku kerdil
Engkau Maha Dahsyat dan aku picisan
Engkau Maha Kuat dan aku lemah
Engkau Maha Kaya dan aku papa
Engkau Maha Suci dan aku kumuh
Engkau Maha Tinggi dan aku rendah serendah-rendahnya
Akan tetapi wahai Qahir wahai Qahhar
Rasul kekasihMu maíshum dan aku bergelimang hawaí
Nabi utusanmu terpelihara sedangkan aku terjerembab-jerembab
Wahai Mannan wahai Karim
Wahai Fattah wahai Halim
Aku setitik debu namun bersujud kepadaMu
Aku sehelai daun kering namun bertasbih kepadaMu
Aku budak yang kesepian namun yakin pada kasih sayang dan pembelaanMu
Emha Ainun Nadjib Jakarta 11 Pebruari 1999

IKRAR
Oleh :
Emha Ainun Najib

Di dalam sinar-Mu
Segala soal dan wajah dunia
Tak menyebabkan apa-apa
Aku sendirilah yang menggerakkan laku
Atas nama-Mu
Kuambil siakp, total dan tuntas
maka getaranku
Adalah getaran-Mu
lenyap segala dimensi
baik dan buruk, kuat dan lemah
Keutuhan yang ada
Terpelihara dalam pasrah dan setia
Menangis dalam tertawa
Bersedih dalam gembira
Atau sebaliknya
tak ada kekaguman, kebanggaan, segala belenggu
Mulus dalam nilai satu
Kesadaran yang lebih tinggi
Mengatasi pikiran dan emosi
menetaplah, berbahagialah
Demi para tetangga
tetapi di dalam kamu kosong
Ialah wujud yang tak terucapkan, tak tertuliskan
Kugenggam kamu
Kau genggam aku
Jangan sentuh apapun
Yang menyebabkan noda
Untuk tidak melepaskan, menggenggam lainnya
Berangkat ulang jengkal pertama
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997








 
KETIKA ENGKAU BERSEMBAHYANG
Oleh :
Emha Ainun Najib

Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar
Bacaan Al-Fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya
Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi
Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis
Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup
Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali
Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya
Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun
Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan
1987



 KITA MASUKI PASAR RIBA
Oleh :
Emha Ainun Najib

Kita pasar r iba
Medan perang keserakahan
Seperti ikan dalam air tenggelam
Tak bisa ambil jarak
Tak tahu langit
Ke kiri dosa ke kanan dusta
Bernapas air
Makan minum air
Darah riba mengalir
Kita masuki pasar riba
Menjual diri dan Tuhan
Untuk membeli hidup yang picisan
Telanjur jadi uang recehan
Dari putaran riba politik dan ekonomi
Sistem yang membunuh sebelum mati
Siapakah kita ?
Wajah tak menentu jenisnya
Tiap saat berganti nama
Tegantung kepentingannya apa
Tergantung rugi atu laba
Kita pilih kepada siapa tertawa
1987

KUDEKAP KUSAYANG-SAYANG
Oleh :
Emha Ainun Naijb

Kepadamu kekasih kupersembahkan segala api keperihan
di dadaku ini demi cintaku kepada semua manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan
diri dalam hidup demi mempertahankan kemesraan rahasia,
yang teramat menyakitkan ini, denganmu
Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah
persemayaman dalam jiwa remuk redam hamba-hambamu
Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang, dan ketika
mereka tancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah dari
mereka sendiri, sehingga bersegera aku mengusapnya,
kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang-sayang,
kupeluk,
kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan
lagi pisau ke punggungku, sehingga mengucur lagi darah
batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya,
kusumpal,
kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku, kudekap,
kusayang-sayang.
1994
(Dari Kumpulan sajak Abracadabra Kita Ngumpet,
Yayasan Bentang Budaya Yogyakarta, 1994, halaman 7)
Republika, 24 Januari 1999

 MEMECAH MENGUTUHKAN
Oleh :
Emha Ainun Najib

Kerja dan fungsi memecah manusia
Sujud sembahyang mengutuhkannya
Ego dan nafsu menumpas kehidupan
Oleh cinta nyawa dikembalikan
Lengan tanganmu tanggal sebelah
Karena siang hari politik yang gerah
Deru mesin ekonomi membekukan tubuhmu
Cambuk impian membuat jiwamu jadi hantu
Suami dan istri tak saling mengabdi
Tak mengalahkan atau memenangi
Keduanya adalah sahabat bergandengan tangan
Bersama-sama mengarungi jejeak Tuhan
Kalau berpcu mempersaingkan hari esok
Jangan lupakan cinta di kandungan cakrawala
Kalau cemas karena diiming-imingi tetangga
Berkacalah pada sunyi di gua garba rahasia
1987


SEPENGGAL PUISI CAK NUN
Oleh :
Emha Ainun Najib

sayang sayang kita tak tau kemana pergi
tak sanggup kita dengarkan suara yang sejati
langkah kita mengabdi pada kepentingan nafsu sendiri
yang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiri
loyang disangka emas emasnya di buang buang
kita makin buta yang mana utara yang mana selatan
yang kecil dibesarkan yang besar di remehkan
yang penting disepelekan yang sepele diutamakan
Allah Allah betapa busuk hidup kami
dan masih akan membusuk lagi
betapa gelap hari di depan kami
mohon ayomilah kami yang kecil ini


SERIBU MASJID SATU JUMLAHNYA
Oleh :
Emha Ainun Najib

Satu
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati
Tak boleh hilang salah satunyaa
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu
Dua
Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati
Tiga
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada
Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikkannama Allah ta'ala
Kita diajari mengenali-Nya
Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna
Empat
Sangat mahal biaya masjid badan
Padahal temboknya berlumut karena hujan
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan
Masjid badan gmpang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
Oleh gempa ambruk dindingnya
Masjid ruh mengabadi
Pisau tak sanggup menikamnya
Senapan tak bisa membidiknya
Politik tak mampu memenjarakannya
Lima
Masjid ruh kita baw ke mana-mana
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya
Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab majid ruh adalah semesta raya
Jika kita berumah di masjid ruh
Tak kuasa para musuh melihat kita
Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
Mereka menembak hanya bayangan kita
Enam
Masjid itu dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan
Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
Melampaui ujung waktu nun di sana
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
Hinggap di keharibaan cinta-Nya
Tujuh
Masjid itu dua macamnya
Orang yang hanya punya masjid pertama
Segera mati sebelum membusuk dagingnya
Karena kiblatnya hanya batu berhala
Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
Tidak memiliki tanah pijakan
Sehingga kakinya gagal berjalan
Maka hanya bagi orang yang waspada
Dua masjid menjadi satu jumlahnya
Syariat dan hakikat
Menyatu dalam tarikat ke makrifat
Delapan
Bahkan seribu masjid, sjuta masjid
Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah
Sesekali kita pertengkarkan soal bid'ah
Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
Itu sekedar pertengkaran suami istri
Untuk memperoleh kemesraan kembali
Para pemimpin saling bercuriga
Kelompok satu mengafirkan lainnya
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
Sambil menggali penemuan model imamah
Sembilan
Seribu masjid dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan
Seribu orang mendirikan satu masjid badan
Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
Hadir engkau semua menyodorkan kawruh
Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
Bergetar menyatu sejumlah Allah
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
Melainkan dengan hikmah kepemimpinan
Allah itu mustahil kalah
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya 'Alal Falah!
1987

TAHAJJUD CINTAKU
Oleh :
Emha Ainun Najib

Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan
Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima
Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara
Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya
Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang
Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan
Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya
1988


LELAKI KE-1000 DI RANJANGKU
Emha Ainun Nadjib
Lelaki pertama yang meniduriku adalah suamiku sendiiri dan lelaki yang mencampakkan ke lelaki kedua adalah suamiku sendiri dan untuk perempuan yang begini busuk dan hampir tak mampu lagi melihat hal-hal yang baik dalam hidup ini maka lelaki kedua hanyalah saluran menuju lelaki ketiga, keempat, kesepuluh, keempat puluh, keseratus, ketujuh ratus….
Kututup pintu kamarku keras-keras, kukunci dan, “Pergi kau lelaki! Cuci mulut dan tubuhmu baik-baik sebab istrimu di rumah cukup dungu untuk kau kelabui.”
Bayangkan lelaki itu masih bisa berkata, “Kau jangan murung dan menderita, Yesus dulu disalib untuk sesuatu yang lebih bernilai bagi ummat manusia….”
“Aku tak punya Yesus! Aku pintar ngaji!” aku memotong.
Ia tersenyum , dan memandangku mirip dengan mripat burung hantu. “Kau putus asa Nia….”
“Aku memang putus asa. Bukan kau. Jadi pergilah!”
“Kau bukan perempuan yang tepat untuk berputus asa. Percayalah bahwa kehidupan ini sangat kaya. Dan aku ini laki-laki. Laki-laki sejati hanya mengucapkan kata-kata yang memang pantas dan ia yakini untuk diucapkan. Keinginanku untuk mengambilmu dari neraka ini dan mengawinimu….”
“Cukup Ron! Jangan ucapkan apa-apa dan pergi!”
“Nia!…..”
Kudorong ia keluar. Pintu kututup.
Jangan ganggu. Kini aku mau tidur. Sama sekali tidur. Jangan ada mimpi dan jangan ada apapun juga. Semua buruk dan durhaka.
Kuhempaskan tubuhku yang gembur, tenagaku yang terbengkelai dan jiwaku yang arang keranjang.
Tengah malam sudah lewat. Kulemparkan handuk kecil basah ke kamar mandi mini di pojok. Di luar, musik sudah surut. Tinggal geremang suara lelaki, sesekali teriakan mabuk. Tapi Simon lulusan Nusakambangan itu pasti bisa membereskan segala kemungkinan.
Kupasrahkan segala kesendirianku di kasur. Tubuhku tergolek dan semuanya lemas. Kuhembuskan nafas panjang. Tak cukup panjang. Dadaku selalu sesak. Sahabatku dinding, atap, almari, kalender porno, handuk-handuk—sebenarnya ini semua kehidupan macam apa? Seorang perempuan, dari hari ke hari, harus mengangkang…..
Kumatikan lampu, “Sudahlah! Aku mau tidur. Sebenar-benarnya tidur. “Tuhan, kenapa jarang ada tidur yang tanpa bangun kembali? Alangkah gampangnya ini bagiku. Namun baiklah. Asal sekarang ini jangan ada yang menggangguku. Kalau ada yang mengetuk pintu, akan kuteriaki. Kalau ia mengetuk lagi, teriakanku akan lebih keras. Kalau ia ulang lagi, akan kubuka pintu sedikit dan kuludahi mukanya. Dan kalau ia masih mencoba merayu juga, akan kubunuh.
Datanglah besok, pada jam kerja, semaumu. Nikmati tubuh dan senyumanku, kapan saja kau bernafsu. Tapi jangan ganggu saat sendiriku. Sebab tak bisa lagi aku tersenyum. Aku tak boleh tersenyum untuk diriku sendiri. Aku bisa kehabisan, sebab ratusan bahkan ribuan lelaki sudah menunggu untuk membeli dan karena itu mereka merasa berhak sepenuhnya untuk memiliki keramahanku
Padahal aku sesungguhnya tak punya keramahan lagi. Coba, siapa yang lebih bijak dari pelacur? Tersenyum terus menerus kepada setiap lelaki, meladeninya seperti seorang permaisuri yang terbaik atau setidaknya seorang istri teladan, melakukan segala kemauannya tanpa boleh menolaknya kecuali aku kehilangan kemungkinan di hari-hari berikutnnya. Aku harus ramah, supel, senyum, dalam keadaan apapun. Jadi hitunglah berapa kekuatan jiwa yang kubutuhkan untuk melakukan itu tanpa ada hentinya. Sedang Pak Kyai di desaku sudah sukar tersenyum. Meladeni sekian ratus atau sekian ribu orang tiap hari, dan ia menjadi patung yang mengulurkan tangannya. Tetapi ia dipercaya seperti Tuhan, dan aku, hanya tergantung pada dagingku.
Ah, kenapa mengeluh! Pelacur yang baik tak pernah mengeluh. Sekarang, “Tidur, tidur…”
Apa lagi? Aku sudah hampir menyelesaikan salah satu kesempurnaan hidupku di muka bumi ini. Kini aku telah sampai pada lelaki ke-993. Bukan rekor yang cukup hebat, tapi ini ambang pintu kesempurnaan tersendiri bagiku. Tiga belas bulan sudah aku menekuni karierku ini, dengan berusaha sebaik-baiknya memenuhi segala aturan dan sopan santunnya. Terhadap hampir semua lelaki, moral dan solidaritasku tinggi. Karena itu, sebagai primadona salah satu wisma “Pasar Daging” ini, rata-rata aku menerima 8 lelaki. Dalam sebulan, kira-kira libur seminggu. Dan selama ini aku ambil cuti hampir dua bulan. Cobalah hitung sendiri. Rekorku pasi lebih tinggi kalau saja tidak cukup banyak lelaki yang mengulangi hasratnya atasku beberapa kali…..
Dan besok, kukira aku akan berpesta diam-diam dalam diriku, buat lelakiku yang keseribu. Tak tahu bagaimana, ini semua tidak ada yang baik bagiku, tetapi ada hal yang menarik. Apa yang bisa menghiburku di dunia ini? Delapan lelaki setiap hari adalah hiburan yang berlebihan sehingga kehilangan daya hiburnya dan berubah menjadi kebosanan, kejenuhan dan rasa perih lahir batin. Minum? Sudah tak terhitung lagi, jiwaku sudah kebal. Nonton? Tamasya? Main kartu? Semua sudah hampa. Jangan pula sebut tentang kata-kata manis dari mulut lelaki!
Aku sudah mengecap segala yang manis dari laki-laki. Tetapi manis hanyalah manis dan kenyataan hidup adalah bau yang lain lagi. Suamiku dulu kurang apa? Anak muda yang manis, pengusaha swasta yang berhasil, caranya berjalan seperti pendekar dan mulutnya seperti pujangga. Segala mimpi dan bayangan tentang hari depan ada dalam genggamannya. Namun alasan terkuat sehingga aku menjadi istrinya adalah karena aku mencintainya, tanpa aku pernah mencintai lelaki manapun sebelumnya. Apa yang kurang? Orang tuaku melarang kehendakku karena mempertimbangkan latar belakang lelakiku: perbedaan agama, lingkungan pergaulannya, serta kata Ibu, ‘Cahaya matanya.”
Akan tetapi kata orang, “Ini zaman perubahan, anak dan orang tua tak akan bisa dipertemukan. Maka akhirnya kutempuh riwayat paling buruk dengan orang tuaku. Kami lari. Aku berbahagia sebentar, sampai akhirnya perlahan-lahan tiba saat kehidupan ini menujukkan kuku-kukunya yang asli. Suamiku nafasnya pendek. Keramahannya terhadapku singkat umurnya dan makin surut. Dan, sederhana saja, belakangan kuyakini bahwa ia mulai bermain perempuan lagi, dan ia nampak bergembira karena itu.
Teranglah sudah. Tak bisa kukuasai lukaku, tak bisa kurumuskan semua itu dengan pikiranku, dan untuk kembali ke orang tua aku amat sangat merasa dosa dan malu. Dan, untuk terperosok ke karierku yang baru ini, adalah kejadian yang sepele orang beli rokok, meskipun untuk itu aku kemudian hijrah ke kota yang jauh dari daerah kelahiranku. Soal surat-menyurat resmi? Sangat gampang dibereskan. Dan orang tuaku bukan keluarga yang cukup. Dengan kukirimi uang rutin, mulut mereka terkatup, meskipun ingatan tentang mereka merupakan siksaan sendiri bagiku. Janganlah persoalkan hal-hal sepele seperti itu. Bahkan di sini banyak kawan-kawanku yang memang sengaja dijual oleh suaminya, serta banyak contoh lain di antara puluhan ribu sahabat-sahabatku di kota ini.
“Kenapa kau bisa sampai di sini, Nia ?” banyak sekali lelaki menanyakan seperti itu. Dan jawabanku sudah “kufotocopy” ratusan lembar. Sebab aku tahu tak ada pertanyaan lelaki yang mendalam. Mereka hanya “mesin” dari nafsunya, dan untuk hal-hal yang berbau cinta, kulayani mereka cukup dengan “kertas-kertas loakan” Cinta itu tidak ada. Karena itu terlalu banyak dibicarakan.
“Kau pantas jadi bintang film!”. Ratusan lelaki memujiku. Dan mendengar itu selalu aku ingin berak.
“Mau jadi istriku?” rayunya.
“Kau yang jadi istriku, aku suamimu!” jawabku.
“Aku tidak mengerti…”
“Lelaki tak pernah mengerti!”
“Tidak semua, Nia”
‘Ya, Tidak semua. Jika lelaki ialah perempuan, maka bisa mengerti.”
“Aduh. Perempuan selalu membingungkan….”
“Lelaki selalu membunuh perlahan-lahan!”
Kalau sudah begitu mereka biasanya lantas putus asa dan cepat-cepat saja menggulatiku seperti monyet makan mangga. Tak ada bedanya. Semua yang mendatangiku adalah monyet-monyet. Biar ia sopir, pelaut, guru, pengusaha, mahasiswa, seniman, gali, penjudi, dosen, makelar, peternak, tuan tanah, pelayan, lurah, camat, jagal, pegawai, bandar, germo, botoh maupun bupati. Beberapa di antara mereka yang putus asa hidupnya, agak sedikit lebih baik. Yang lainnya menumpahkan segala dosa dan kehinaan di wajahku.
Jadi, buat apa kupikirkan monyet-monyet?
Sekarang, “Tidur, tidur….”
Tidur lebih baik dari segala sesuatu. Kalau saja ada tidur yang terbebas dari kenyang dan lapar. Kalau saja ada kamar, sekecil apapun, yang memberiku tidur yang sekekal-kekalnya….
Aku tersentak tiba-tiba oleh suara adzan yang keras. Mesjid hanya seratus meter dari tempatku ini. Jadi ini sudah pagi? Dan aku belum tidur sekejappun. Kuraih pil tidur di meja dan kutelan. Suara adzan terus mengalun dan mengejekku. Dalam warna-warni yang malang melintang di mataku, akhirnya aku lenyap ke dalam mimpi buruk. Mimpi seburuk-buruknya, yang bahkan tak pernah dialami oleh setan maupun malaikat.
Tapi tak lama. Setidaknya begitu kurasakan. Dalam remang sakit batinku terdengar ketukan di pintu, “Nia! Nia! Bangun! Ada tamu!”Aku tergeragap dan meloncat dari ranjang. Iti suara Om Jiman, germo bossku, lelaki yang beruntung di dunia, tuan tanah yang kaya raya dan berkuasa penuh atas sawah-sawahnya, yang menyediakan sawah-sawah itu untuk disingkal, disingkal, disingkal, kapan saja ia mau.
Kubuka pintu dan tersenyum. Lihat, aku tersenyum—inilah kemampuan dahsyat yang membuatku laris. Kulirik jam: 8.35 WIB .Gusti Allah, siapa gerangan lelaki yang di pagi buta begini sudah hendak beli sarapan? Kupandang tamuku itu: lelaki setengah tua gendut rapih dan berwajah pemabuk. Tak ada yang menarik. Tapi kuladeni juga seperti Ken Dedes meladeni Ken Arok. Masih sangat ngantuk dan tidur masih kuat menjadi bagian dari diriku. Tapi kuladeni. Juga lelaki berikutnya dan berikutnya lagi. Mas mas yang budiman, kenapa tak berbagi hasrat kepada sahabat-sahabatku di kamar lain, sesekali, meskipun sebagai sawah mereka kurang indah, kurang liat dan kenyal? Aku sesungguhnya bukanlah perampas ekonomi mereka.
Namun hari ini, memang “Hari Besar “ bagiku . Di sore hari, dalam tubuh dan jiwa lungkrahku, sampailah aku di pelukan lelaki ke-1000 di ranjangku. Anak muda yang menarik, pakai jean dan bawa tustel. Kelihatannya ini pegawai surat kabar.
“Mau memfoto aku bugil kan?” kucoba melangkahi maksudnya.
Ia menggeleng dan tersaenyum, “Kau tak menghendaki itu kan?”
Aku hampir menunduk. Tapi kutahankan. Tapi segala sikap dan perkataannya kepadaku sungguh lain. Aku agak gugup. Dan ini yang penting: ia tak menyetubuhiku! Aku makin gugup….
Demikianlah, kami hanya bersetubuh batin. Begitu singkat, tapi segala yang kupertahankan dibatinku ambrol. Tak tahu apa yang terjadi, tapi malam itu aku nangis….ini mimpi yang lain sama sekali. Tak tahu apa.
Ternyata karierku menajak. Dan inilah yang sebenarnya ingin kukemukakan kepadamu. Dua hari kemudian Oom Jiman pagi-pagi menyodorkan padaku sebuah Koran. Di halaman pertama pojok bawah, terpancang fotoku serta segala cerita tentang diriku: korban lelaki binal, kini meladeni 8 orang tiap hari……
Dan sebelum sempat kuselesaikan membacanya, datang dua lelaki membawa Koran yang sama. Memandangku dengan aneh, satunya tersenyum. Kemudian datang lagi dan lagi, lelaki dengan Koran di tangannya. Tingkah lakunya macam-macam, pendekatannya kepadaku beraneka ragam . Mereka antri di depan pintu. Kawan-kawanku sibuk menggunjingkanku. Ada yang senang, nelangsa, marah. Bagaimanapun aku yang memang cantik ini memang saingan mereka. Si Minah merampas koran dari salah seorang lelaki dan merobek-robeknya, kemudian menangis sekeras-kerasnya. Aku bingung, “Ayo, berapa lelaki merangkak diranjangku dalam sehari? Sepuluh? Dua belas ? lima belas?Atau lima orang sekaligus mau jadi babi mabuk di seputar tubuhku?” semoga aku mati sebelum hancur sama sekali. Semoga ada yang menulari Herpes ke tubuhku supaya kusebarkan ke seluruh lelaki yang datang dan meluas ke seantero kota dan seluruh negeri. Aku toh bisa menikamkan pisau ke perutku sewaktu-waktu…..
















0 komentar:

Posting Komentar