Pages

Sabtu, 15 Desember 2012

Kumpulan Tulisan Emha 7


Pangkal Dan Ujung Segala Peradaban

Mengapa Tuhan menurunkan hampir semua agama itu di sekitar jazirah Arab? Mungkin tuhan punya alasan, bahwa budaya Arab itu menakutkan, sehingga disana itu merupakan letak setan yang paling ganas dan juga malaikat yang paling suci. Maka acuan pertama adalah Subhaanalladzii asyroo bi 'abdihii laillamminal masjidil haraami ilal masjidil aqshalladzii baaraknaa haulahu linuriyahu min aayaatina innahu huwassamii'ul bashiiru, atas dasar ini bisa dikaji secara antropologi kosmologis, bahwa antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha ada satu lingkaran geografis yang oleh Allah dikhususkan untuk menurunkan segala macam puncak-puncak atau sumber-sumber barokah-Nya. Maka segala macam ilmu, eksak dan macam-macam tingkat yang paling arif dari ilmu sosial berasal dari sekitar lingkaran antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha. Bahkan kalau kita mencari sumber-sumber dan cakrawala musik, juga akan ditemukan juga.



Budaya Arab kalau dilihat di dalam Al-Qur'an, memperlihatkan adanya dua kutub yang luar biasa, dari api sampai salju, dari yanag paling panas sampai yang paling sejuk, dari yang paling buruk sampai yang paling baik. Bahkan peristiwa Musa AS, dengan Dzun-Nun yang sekarang terjadi di Indonesia yakni majmual bahraini, dimana ketika Nabi Musa lewat di pertemuan antara dua arus laut itu ikan yang mati tiba-tiba melompat menjadi hidup. Maka kalau ini diletakkan dalam konteks ke-Indonesiaan, bahwa peristiwa World Trade Center dan Pentagon di AS itu adalah saat-saat yang paling kreatif bagi bangsa Indonesia, pada saat inilah kalau bangsa Indonesia murni, yakin, dan tawakal, bersungguh-sungguh, akan mendapat hidayah lebih dari sebelum dan sesudahnya.

Sekarang ini tanah genting atau majmual bahraini, "laut sedang bertemu", di Indonesia dan tidak ada jalan keluar, tapi pada saat itu ikan yang sudah mati akan hidup kembali. Bangsa Indonesia justru mengalami hidupnya sekarang ini, masalahnya banyak orang yang tidak tahu mana yang sebenarnya hidup dan mana yang sebenarnya sudah mati.
Anda menyangka Gus Dur hidup padahal ia sebenarnya sudah mati.
Anda menyangka Amien Rais hidup, padahal ia juga sudah mati, dan orang seluruh dunia menyangka peristiwa di AS itu teroris padahal sesungguhnya itu adalah gerilyawan, bisa jadi sebuah perjuangan untuk melepas dari ketidakberdayaannya menjadi berdaya. Mati yang dimaksud , adalah mati dalam kriteria Allah, bukan mati di dalam kriteria manusia (materialisme), sebab kalau kita orang Islam, tentu tidak akan memakai cara pandang materialisme, sehingga banyaknya korban dalam tragedi di AS, dan pembajaknya itu kita hargai sebagai mujahid, dan setiap mujahid tidak ada yang mati menurut Allah.

Dan majmual bahraini itu juga terjadi, di antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha, maka titik antara keduanya kita lingkari, karena di situlah letak segala sesuatu dan Allah tidak memberi barokah ke tempat lain. Maka tidak ada nabi lahir di Jombang, Jogja, atau Ngawi, dll.
Tidak ada musik dahsyat yang tingkat kecanggihannya melebihi bainal masjidil haram minal masjidil aqsha. Anda boleh lihat musik Queen, Led zeplin, atau Edy Van de Bergh, bahkan Bethoven, sebenarnya ia tinggal masuk Islam, karena dipuncak eksplorasi musiknya ia harus lari ke Timur Tengah untuk menemukan puncak-puncak estetika, hal ini disebabkan oleh "alladzii baarokna haulahu linuriyahu min aayaatina", walaupun di antara dua kutub ini ada iblis yang paling ganas dan malaikat yang paling suci.
Sehingga mengapa nabi-nabi diturunkan di tempat itu? Karena kalau nabi diturunkan di tanah Jawa, uji cobanya terus bagaimana? Padahal uji coba sebuah agama itu harus di antara kedua kutub itu, harus dalam budaya Arab, dalam arti Timur Tengah. Maka Rasululullah, Nabi Adam, Musa, dll,lahir di Arab, dan tidak mungkin lahir di Ja-tim, Ja-Teng, sebab orang Jawa itu sesungguhnya kalau mau memakai hatinya, pikirannya sudah sangat Islam, tidak perlu ada firman sudah cukup. Cuma agar lebih sempurna dibutuhkan sholat, puasa, dll.
Tetapi sesungguhnya hatinya sudah cukup ber-sholat, dan berpuasa.

Dan orang Arab, ini bisa dilihat pada zaman Rasulullah : Ada seorang budak yang dibeli, dibebaskan oleh Rasulullah, dan sangking gembiranya ia naik ke atas bukit dan berteriak : "Allahu yarham Muhammad, Allahu yarhaamni, wala yarham ahad", bayangkan ia sudah dekat sekali dengan Rasulullah dan Allah, masih curang juga sifatnya, sebab ia berkata : " Ya Allah cintailah aku, cintailah Muhammad dan jangan cintai siapapun yang lain," inilah type orang Arab, di dalam doanyapun memproduk klaim soal Allah dan Rasulullah.
Produk seperti ini kemudian muncul di dalam kepedihaan-kepedihan sejarah pasca Rasulullah yang luar biasa kepedihannya. Bagaimana mungkin Rasulullah yang agung , yang badannya tidak tinggi, tidak rendah, yang alisnya melipis, yang kulitnya kemerah-merahan putih, yang hidungnya mancung,, yang selalu tersenyum, yang menambal sepatunya sendiri, yang tidur di atas pelepah daun kurma, ketika Aisyah tidak bangun untuk membukakan pintu pada tengah malam, orang yang begitu sederhana, tetapi ditaati oleh seluruh Jazirah Arab dan ditaati oleh begitu banyak manusia di dunia, sampai hari ini, sampai dinyanyi-nyanyikan dengan terbang, dan tidak seorangpun di dunia yang dicintai oleh umat manusia di dunia yang cara mencintai seperti itu, melebihi Muhammad Saw.
Seperti itu saja, ketika Rasulullah meninggal jenazahnya terbengkelai sampai tiga hari, tidak ada yang mengurusi, kecuali Siti Fatimah, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, dan Fadhil bin Abas, dan ketika itu Sayidina Abu Bakar ,Umar, dan Utsman, tokoh-tokoh Anshor, tokoh-tokoh Muhajirin semua menyibukkan diri berkumpul di Saqifa, mereka bertarung dan berdebat untuk merundingkan dan menentukan, siapa khalifah sesudah Rasulullah. Orang yang begitu hebat, orang yang begitu membangun demokrasi kemanusiaan yang sangat tinggi nilainya, dan sangat dihormati oleh para sahabatnya, tetapi pada hari meninggalnya para sahabatnya melupakan jenazah beliau. Maka akhirnya hanya dikuburkan oleh lima orang, selesai menguburkan di tengah malam, pasukannya Umar datang ke rumah Ali bin Abi Thalib, agar menanda tangani pengangkatan Abu Bakar as Shidiq sebagai khalifah. Inilah budaya Arab, maka inilah alasan sehingga Islam diturunkan di tanah Arab.
Maka budaya Arab itu harus kita pahami betul, orang yang paling gagah berani dan patriotis adalah orang Arab, tetapi orang yang paling brutal juga orang Arab. Tetapi jangan lupa orang yang paling militan juga orang Arab. Sehingga budaya Arab ini, justru adalah suatu kutub yang ekstrim, supaya Islam muncul keindahannya, kalau Islam diturunkan di antropologi suku yang lain, pasti tidak begitu indah.

(13 oktober 2001)(Dari berbagai sumber : Paket Infak Karangkajen, Yk, Ceramah di Fak.
Sastra UGM, Yk)

(Emha AInun Nadjib/PadhangmBualnNetDok)
Sebuah pengajian yang amat khusyuk di sebuah masjid kaum terpelajar, malam itu, mendadak terganggu oleh suara dari seorang tukang bakso yang membunyikan piring dengan sendoknya.

Pak Ustad sedang menerangkan makna khauf, tapi bunyi ting-ting-ting-ting yang berulang-ulang itu sungguh mengganggu konsentrasi anak-anak muda calon ulil albab yang pikirannya sedang bekerja keras.

"Apakah ia berpikir bahwa kita berkumpul di masjid ini untuk berpesta bakso!" gerutu seseorang.

"Bukan sekali dua kali ini dia mengacau!" tambah lainnya, dan disambung - "Ya, ya, betul!"

"Jangan marah, ikhwan," seseorang berusaha meredakan kegelisahan, "ia sekedar mencari makan ..."

"Ia tak punya imajinasi terhadap apa yang kita lakukan!" potong seseorang yang lain lagi.

"Jangan-jangan sengaja ia berbuat begitu! Jangan-jangan ia minan-nashara!" sebuah suara keras.

Tapi sebelum takmir masjid bertindak sesuatu, terdengar suara Pak Ustadz juga mengeras: "Khauf, rasa takut, ada beribu-ribu maknanya. Manusia belum akan mencapai khauf ilallah selama ia masih takut kepada hal-hal kecil dalam hidupnya. Allah itu Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya kepadaNya, yang lain-lain menjadi kecil adanya."

"Tak usah menghitung dulu ketakutan terhadap kekuasaan sebuah rezim atau peluru militerisme politik. Cobalah berhitung dulu dengan tukang bakso.
Beranikah Anda semua, kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat, beranikah Anda menjadi tukang bakso? Anda tidak takut menjadi sarjana, memperoleh pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah dan mobil yang bergengsi: tapi tidak takutkah Anda untuk
menjadi tukang bakso? Yakni kalau pada suatu saat kelak pada Anda tak ada jalan lain dalam hidup ini kecuali menjadi tukang bakso? Cobalah wawancarai hati Anda sekarang ini, takutkah atau tidak?"

"Ingatlah bahwa tak seorang tukang bakso pun pernah takut menjadi tukang bakso. Apakah Anda merasa lebih pemberani dibanding tukang bakso? Karena pasti para tukang bakso memiliki keberanian juga untuk menjadi sarjana dan orang besar seperti Anda semua."

Suasana menjadi senyap. Suara ting-ting-ting-ting dari jalan di sisi halaman masjid menusuk-nusuk hati para peserta pengajian.

"Kita memerlukan baca istighfar lebih dari seribu kali dalam sehari," Pak Ustadz melanjutkan, "karena kita masih tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita anggap derajat rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor, takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur isri dan mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik pangkat ... masya allah, sungguh kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup menomorsatukan Allah!"

(Emha Ainun Nadjib/1987/PadhangmBulanNetDok)
Kalau disederhanakan ada tiga model kebenaran yang berlaku dan dialami manusia. Pertama, benarnya sendiri (benere dhewe).
Kedua, benarnya orang banyak (benere wong akeh). Dan, ketiga kebenaran hakiki (bener kang sejati).

Sejak mendidik bayi sampai menjalankan penyelenggaraan negara, manusia harus sangat peka dan waspada terhadap sangat berbahayanya jenis kebenaran yang pertama. Artinya. orang yang berlaku berdasarkan benarnya sendiri, pasti mengganggu orang lain, menyiksa lingkungannya, merusak tatanan hidup bersama, dan pada akhirnya pasti akan menghancurkan diri si pelakunya sendiri.

Benarnya sendiri ini bisa berlaku dari soal-soal di rumah tangga, pergaulan di kampung, di pasar, kantor, sampai ke manifestasi-manifestasinya dalam skala sosial yang lebih luas berupa otoritarianisme, diktatorisme, anarkisme, bahkan pada banyak hal juga berlaku pada monarkhisme atau teokrasi.
Benarnya sendiri melahirkan Fir'aun-Fir'aun besar dalam skala negara dan dunia, serta memproduk Fir'aun-Fir'aun kecil di rumah tangga, di lingkaran pergaulan, di organisasi, bahkan di warung dan gardu.

Tidak mengagetkan pula jika benarnya sendiri juga terjadi pada kalangan yang yakin bahwa mereka sedang menjalankan demokrasi.
Ada seribu kejadian sejarah yang mencerminkan di mana para pelaku demokrasi menerapkan demokrasi berdasarkan paham benarnya sendiri mengenai demokrasi. Orang yang selama berpuluh-puluh tahun diyakini sebagai seorang demokrat sejati --ditulis di koran-koran, buku-buku, digunjingkan di forum-forum nasional maupun internasional sebagai seorang demokrat teladan-- ternyata pandangan-pandangan kolektif itu khilaf.

Padahal demokrasi adalah tingkat kebenaran yang lebih tinggi, yakni benarnya orang banyak. Demokrasi adalah logo-nya kehidupan modern. Ia bahkan melebihi segala Agama, bahkan
diletakkan 'lebih tinggi' dari Tuhan.

Tapi, apakah orang banyak pasti benar? Meskipun kebenaran mayoritas itulah pencapaian tertinggi yang bisa dibayangkan oleh ilmu pengetahuan politik yang paling rasional? Bukankah sejarah ummat manusia juga mencatat kengerian terhadap diktatorisme mayoritas?
Bagaimana kalau kebanyakan orang dalam suatu bangsa tidak punya kemampuan untuk memilih mana yang benar, mana yang baik, mana tokoh, mana pemimpin, mana panutan, mana politisi, mana
negarawan, bahkan mana Ulama, mana Sufi dan lain sebagainya - sebagaimana tragedi besar besar panjang yang hari-hari ini sedang dialami oleh bangsa Indonesia?

Kita sangat mantap membangun proses demokratisasi, memfokuskan diri pada 'suara rakyat', atau dengan kata lain: benarnya orang banyak. Bukan kebanyakan warga suatu suku menganggap dan
meyakini bahwa membunuh, memenggal kepala, mencincang-cincang tubuh dan memusnahkan suku yang lain adalah kebenaran?
Belum lagi kerepotan kita dengan para pencoleng elite yang ke mana-mana mengatakan bahwa ia menggenggam kebenaran rakyat banyak, sehingga menyebut dirinya dan orang lain dengan tolol
ikut menyebutnya demokrat.

Benarnya orang banyak sangat penuh kelemahan dan sama sekali tidak mengandung jaminan keselamatan di antara para pelakunya, bahkanpun bagi pelaku diktatorisme mayoritas itu sendiri.
Benarnya orang banyak harus disangga oleh sangat banyak faktor lain: kematangan budaya, tegaknya akal dan kejujuran, pendidikan yang memadai, kedewasaan mental kolektif dan lain
sebagainya. Demokrasi tidak bisa berdiri sendiri. Demokrasi adalah ilmu yang belum dewasa dan pengetahuan yang masih timpang terhadap kenyataan manusia.
(EMHA Ainun Nadjib/Republlika/15 April 2001/PadhangmBulanNetDok)
SEORANG pembantu rumahtangga dari Gang Bayi, RT-1/ RW-3 Desa Gogorantai - GPR - Kediri, Jawa Timur bersurat kepada saya "untuk mengurangi beban saya sebagai anak yang tersisih dari pergaulan dengan teman-teman seusia saya, karena rendahnya martabat saya sebagai pembantu rumahtangga", katanya.

Ia menulis bahwa kemanapun ia pergi, di manapun ia duduk, orang-orang di sekelilingnya memandang rendah, menganggap saya tak ada harga di mata mereka. "Orang-orang yang terhormat dan kaya itu hanya punya satu hal untuk saya, yaitu perintah. Mereka menindas dan memeras orang lemah, hanya mulutnya saja yang manis. Padahal kalau dilihat dari segi pengetahuan, tentu juragan lebih punya kasih sayang kepada sesama manusia dibanding yang dimiliki orang bodoh macam saya".

Kita memperoleh dua pelajaran ilmu sosial dan psikologi dari kalimatnya itu.

Pertama, bahwa masyarakat kita yang sudah modern dan maju, sudah melewati PJPT-1, masih menganggap rendah manusia hanya karena ia berstatus sebagai pembantu rumah-tangga.

Kedua, ternyata tingginya tingkat pendidikan dan luasnya ilmu seseorang, tidak membuat kasih sayang sosialnya meningkat.
Pada pandangan saya, yang pertama itu ironis, sedangkan yang kedua sesat.
Selanjutnya pembantu rumahtangga kita itu mengatakan, "Juragan saya jelas orang yang beragama, sehingga tentunya ia berkasih sayang dan suka menolong sesama manusia, terutama yang lemah dan miskin. Tapi kenyataannya juragan tidak demikian.
Orang miskin hanya dijadikan sarana untuk memenuhi kebutuhannya".
Ia menulis, juragannya tidak takut kepada Allah. Hidupnya hanya mengunggulkan harta, kecantikan dan kemewahan saja. Apakah di akherat nanti semua bisa menolongnya?
Kalau mereka tahu itu kenapa mereka melanggarnya?
"Pembantu tidak dapat tanda jasa, tanpa balasan kasih sayang, padahal jelas jam tiga pagipun ia selalu siap diperintah. Pembantu hanya wajib dimarahi, diperintah, diancam, dituduh semaunya, tidak boleh membantah, tidak boleh menjawab satu katapun meskipun dalam posisi yang benar.
Sangat sedih hati saya, kalau posisi benar tapi dituduh salah".
Kita peroleh lagi dua pelajaran. Pertama ilmu agama, terutama masalah akhlaq.
Dan kedua, ilmu politik dan kekuasaan.
Dan empat pelajaran itu lahir tidak dari perpustakaan, referensi atau buku-buku, melainkan bersumber dari pengalaman otentik, dari keringat dan airmata realitas, dari nurani yang jujur dan pikiran yang jernih.
Jadi, itu ilmu sejati. Mutu dan pahalanya sepuluh kali lipat dibanding dosen yang mentransfer kalimat-kalimat dari buku ke diktat para mahasiswanya.
Jadi, apakah ia bodoh? Apakah ia rendah? Apakah ia lebih bodoh, lebih rendah, lebih tidak punya harga dibanding kita serta juragannya?
Ia mengumpamakan pembantu rumahtangga itu seperti binatang yang tidak punya puser. "Kalau sudah begitu saya hanya bisa menangis. Ya Alloh, berilah aku pekerjaan, sehingga aku bisa meringankan beban Bapak dan Ibuku", katanya lagi.
Ia kemudian menuding saya. "Apakah Cak Nun juga akan berlaku demikian? Apakah Cak Nun juga akan memandang rendah saya? Apakah surat saya ini dibaca oleh sekretaris Cak Nun? Kalau begitu apa nanti tidak dibuang ke tong sampah? Cak Nun, kenapa saya tidak diberi kelebihan seperti Pak Habibie atau Susi Susanti sehingga saya harus menerima hal yang seperti ini? Tapi kalau saya melihat anak yang cacat, saya menangis.
Betapa adilnya Tuhan...".*****
Emha Ainun Nadjib/1993/PadhangmBulanNetDok)
Dzu Walayah membawaku mengembara.

Telah berulangkali kukunjungi tempat-tempat itu, namun bersamanya menjadi berubah cara berjalanku serta menjelma baru mata-pandangku.
Kuajukan kepadanya beribu-ribu pertanyaan seperti Ibrahim menggalah beribu-ribu bintang, kureguk jawaban-jawabannya yang mesra bagai anak kambing menyusu putting induknya.

Namun tentang satu hal, Dzu Walayah selalu menghindar, ialah tentang wihdatul wujud, Allah dengan hamba-Nya manunggal.
Tatkala kami duduk-duduk istirah di tepian pantai, ia meminta – “Ambil seciduk dua ciduk air samudera untukmu, sisakan ombaknya berikan kepadaku.”
Ketika di malam hari aku merasa kedinginan oleh hembusan angin yang amat kencang, ia lepaskan kain sarungnya dan berkata – “Pakailah ini untuk selimutmu, tapi helai-helai benangnya biarlah untukku.”

Dan ketika di lapangan pojok dusun itu bersama-sama kami menyaksikan acara tayuban yang riuh rendah oleh musik, teriakan dan birahi, Dzu Walayah menggamit pundakku – “Pergilah ambil penari itu untukmu, tapi terlebih dahulu berikan kepadaku tariannya.”
(Emha Ainun Nadjib/Padhang 

Lia Aminudin akan masuk bui lagi. Saya bersangka baik ia tidak berniat jahat dengan “Jibril, Ruhul Kudus, Kerajaan Sorga, Imam Mahdi”-nya. Mungkin ia orang yang khilaf, tetapi tidak memiliki alat di dalam dirinya untuk memahami kekhilafannya.

Namun, software untuk memahami kekhilafannya itu juga mungkin tidak terdapat di luar dirinya: pada sistem nilai masyarakat dan hukum negaranya. Kita terkurung dalam kelemahan kolektif yang membuat kita bersikap over-defensif, amat mudah merasa terancam, bahkan ”sekadar” oleh Lia Aminudin dengan beberapa puluh pengikutnya.

Kita tidak terbiasa dengan demokrasi ilmu, pencakrawalaan wacana, ketangguhan mental sosial. Tak ada kematangan filosofi hukum, kedewasaan budaya, dan kedalaman nurani keagamaan, untuk sanggup meletakkan Lia beserta pengikutnya sebagai sesama hamba Allah yang perlu saling menemani.

Apa pun nama dan formulanya: partner dialog, dinamika ijtihad (jihad intelektual) maupun mujahadah (jihad spiritual) di tengah hamparan ilmu Allah yang amat sangat luas. Mungkin seseorang bisa bertanya kepadanya, ”Yang Ibu merasa jengkel sehingga ingin menghapuskan itu agama ataukah institusi agama?”

Ilmu dan peradaban diperluas oleh informasi dari agama dan pasal-pasal hukum adalah jalan terakhir dan terendah kualitasnya. Penjara adalah metode yang paling tidak bermutu untuk mencintai dan menemani masalah sesama manusia.

10-8-2 dan kontra-hidayah

Sekitar 15 tahun silam, Lia menemui saya. Ia sedang sibuk berdagang bunga kering. Ia merasa mendapat anugerah dari Allah, diizinkan bisa menyembuhkan banyak orang dari berbagai macam penyakit.

Kurang tepat sebenarnya menemui saya untuk menanyakan hal-hal tentang anugerah itu: apa benar dari Allah, bagaimana menyikapinya, apa yang harus dilakukan dan sebagainya. Saya tidak punya kredibilitas untuk mampu menjawab itu. Tetapi, wajib hormat tamu, saya jawab sekenanya. Allah yang bikin tamu datang, Ia juga yang siapkan fasilitas pelayanan.

Saya jawab, Allah kasih hidayah kepada siapa saja yang Ia maui. Ia titipkan berkah kepada orang yang rendah di pandangan kita, Ia simpan rahasia petunjuk-Nya kepada orang yang kita benci atau kita remehkan. Kita berlaku biasa-biasa saja, tidak tinggi tidak rendah, tidak hebat tidak konyol.

Waspada dan muthmainnah (tenteram) saja secara nurani, intelektual maupun spiritual. ”Mbak, kalau ke dalam jiwamu masuk pendaran 10 gelombang, kita waspadai bahwa yang dari Allah mungkin hanya 2, sedangkan yang 8 adalah godaan, antagonisme informasi atau kontra-hidayah, mungkin dari dajjal, jin, iblis atau energi liar yang bukan amr-nya Allah. Jadi Mbak Lia tolong hati-hati, jangan setiap yang muncul dianggap berasal dari Tuhan….”

Presidium jin Gunung Kawi

Kemudian ia dipinjami Allah kemampuan menolong banyak orang dari penyakitnya, termasuk penyair besar Rendra. Ia ke Padang Bulan, Jombang, seusai acara banyak anggota jemaah antre diobati olehnya. Paginya saya antar menyisir sebuah hutan di daerah timur Jatim. Setiap akan makan atau minum, ia bilang bahwa ia harus bertanya kepada Jibril sebaiknya makan di warung apa. Saya mengakomodasi keadaan itu dengan kesabaran yang saya ulur-ulur. Jibril terkadang milih rawon terkadang nasi padang.

Sepanjang Jombang-Bondowoso-Malang, ia memoderatori tantangan Jibril kepada saya untuk lomba puisi. Jibril bikin puisi, Mbak Lia menuturkannya, kemudian saya pun bikin puisi balasan, lantas Jibril balas lagi dan saya juga tancap lagi. Demikian seterusnya sampai berpuluh-puluh puisi. Kadar kepenyairan Jibril lumayan juga.

Malam, kami tiba di Gunung Kawi. Naik. Di suatu tempat ia berantem ama empat jin, Presidium Kepemimpinan Jin Gunung Kawi. Banting-membanting. Berguling-guling. Saya standby saja. Sepanjang ia tak terkena bahaya fisik serius, saya biarkan saja. Kalau sampai nanti jinnya ngawur dan ia terluka atau pingsan: sudah pasti saya tidak tinggal diam, saya pasti bertindak dengan teriak ”Tolooong! Tolooong!” dan mencari Polsek terdekat.

Bereslah Indonesia

Setelah itu kami belum pernah berjumpa lagi. Berita-berita tentang dia membahana. Masyarakat hanya punya pengetahuan dan bahasa tunggal: Lia meresahkan masyarakat. Pemerintah juga tak kalah liniernya: Lia tersangka dengan tuduhan penodaan agama dan penghasutan. Media massa juga tidak memiliki peta untuk mengerti narasumber yang compatible untuk kasus semacam ini. Kesamaan dari ketiganya adalah tidak ada yang ”menemani”, atau ”menyelamatkan”-nya.

Ia sempat kirim sms kepada saya tentang di dalam dirinya menyatu Imam Mahdi, Maryam, dan Jibril. Saya menjawab dengan penuh rasa syukur: Kalau begitu bereslah Indonesia. Tak perlu lagi pusing kepala memikirkan komplikasi permasalahan bangsa yang semakin majnun.

Kalau Imam Mahdi datang, yang terjadi pasti revolusi solusi, perubahan ultraradikal menuju perbaikan yang ajaib. Dengan Maryam, ibundanya Rasul Cinta, redalah segala kebrutalan politik, ekonomi, dan budaya. Bahkan, bisa seperti pegadaian nasional: mengatasi masalah tanpa masalah. ”Tetapi, kalau perubahan itu tak terjadi, berarti bukan Jibril, Maryam, dan Imam Mahdi lho Mbak…”

Dan, last but not least, kalau Malaikat Jibril yang berkiprah di Indonesia: Polri jangan coba-coba berurusan dengan beliau. Rumah penjara jangan bangga mengurungnya. Karena Jibril itu makhluk nonmateri, bahkan bukan sekadar makhluk-frekuensi: Jibril adalah sebagian output dari Ilmu Cahaya yang dahsyat, yang Einstein keserempet sedikit—meski beliau mandek tak sampai ke Ufuk Penghabisan, Sidratul Muntaha, di mana ”Cahaya Terpuji” (Nur Muhammad) terpaksa meninggalkannya untuk bertatap wajah langsung dengan Tuhan.

Jibril tak bisa dikurung di Cipinang, bahkan tak juga bisa dihadang oleh hukum ruang dan waktu. Tetapi, sekurang-kurangnya, jika ia masuk bui lagi, bersama napi lain bisa bikin Majlis Ta’lim khusus mempelajari sejarah dan epistemologi: dilacak dengan saksama apa sih sebenarnya ”wahyu”, bedanya apa dengan hidayah, ilham, ma’unah, fadhilah, karomah. Apa gerangan ”mukjizat”, ”Ruh al-Quddus”, ”Adn”, ”Din”, ”Agama”, dan sebagainya. Supaya kalau ada rasa manis hinggap di lidah, tidak langsung bilang itu gula.

(Emha Ainun Nadjib/KOMPAS/20 Desember 2008/PadhangmBulanNetDok)
telah kuikhlaskan rasa sakit itu sebelum terjadi
ketika dan sesudahnya

telah kutaburkan di wajahmu wewangian kembang
dan kupanjatkan doa ampunan bagimu

tapi aku tak berhak mewakili hati rakyatmu
sebab tenaga untuk menegakkan kakiku sendiri ini
kupinjam dari mereka

aku tak memiliki harkat kedaulatan mereka
serta tak kugenggam kuara nurani mereka
yang diterima dari Tuhan

oleh karena itu
jika engkau mengharapkan keselamatan di esok hari
temuilah sendiri ruh mereka

kalau matahari digelapkan
kalau tanah titipan dirampas
kalau udara disedot
kalau malam disiangkan dan siang dimalamkan
kalau hak akal sehat dibuntu
hendaklah siapapun ingat bahwa aku tak berhak menawar
apa sikap Tuhanku atas kebodohan itu
oleh karena itu
jika engkau masih mungkin percaya
bahwa engkau butuh keselamatan esok pagi
ketuklah sendiri pintu Tuhan yang sejak lama
mengasingkan diri dirumah nurani rakyatmu
(1994)

(Emha Ainun Nadjib/"DOA MOHON KUTUKAN"/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok )
Saya yakin Anda maunya bukan menjadi Polantas dalam kehidupan di dunia yang hanya satu kali ini. Kalau mungkin, Anda maunya jadi Kapolri, atau syukur bisa jadi Presiden.

Saya yakin Anda sebenernya bukan ingin menjadi kenek bis, menjaga makanan, menjadi tlang portit, menjadi Camat atau menjadi tukang lap sepatu. Kalau mungkin sih Anda inginnya menjadi pejabar tinggi, pengusaha besar, atau syukur jadi Raja Indonesia.

Akan tetapi 'menjadi apa' itu sudah ditentukan tidak hanya oleh takdir Tuhan, sebab untuk banyak urusan dunia, Tuhan sudah memanfaatkan segala pengaturan dan tatanannya kepada para khalifah, manusia, dan kita-kita semua ini.

Meskipun demikian tentu saja jangan lupa bahwa Tuhan bukan 'cuci tangan' sama sekali. Tuhan tetap berperan, tetap menyutradarai dan bahkan menjadi 'aktor' dalam kehidupan kita pada batas-batas yang Ia maui. Oleh karena itu kita sering berjumpa dengan hukum-hukumNya, sunnah-Nya, atau janji-Nya mengenai "min haitsu la yahtasib"--bahwa siapapun jangan bersikap ojo dumeh, jangan gampang meremehkan siapapun dan apapun, jangan gampang trocoh mulutnya kalau tidak memiliki pengetahuan, jangan berbuat adigang adigung adiguna (semena-mena) kepada sesama. Karena akan bisa bertemu entah sekarang entah kapan dengan sesuatu yang tak terduga-duga. Yang "la yahtasib" itu.

Anda 'menjadi apa' itu juga ditentukan oleh tatanan sosial, oleh atmosfer politik, oleh struktur negara dan masyarakat.

Detailnya : oleh nepotisme, oleh posisi Anda dekat dengan yang puinya negara atau tidak, atau oleh apapun lainnya yang 'ditakdirkan' oleh manusia sendiri, minimal oleh penguasa di antara mereka, meskipun tak disetujui oleh mayoritas manusia lainnya.

Saya sendiri, karena sejak kecil tahu bahwa takdir Tuhan banyak diganjal oleh 'takdir kuasa manusia'--maka daripada saya berorientasi pada keenakan tergabung dalam kuasa manusia namun bersifat temporer dan tidak ada jaminan akan kekal--saya memilih bergabung pada kuasa Tuhan saja.

Jadi saya menggantungkan diri pada Tuhan saja. Saya bersedia menjadi tukang ojek atau dagang jual beli motor bekas, asalkan saya rasakan itu memang kehendak Tuhan.

Saya siap melakukan dan menjadi apa saja, tapi tidak boleh atas keinginan saya, melainkan atas ketentuan kekuasaan sejati yang mengatasi saya.

Saya siap melakukan kesenian, siap menjalankan komunikasi dan informasi agama, siap menyanyi, siap menyulis ilmiah, membikin skripsi akademis meskipun bukan untuk saya sendiri, siap jadi presiden Malioboro atau Dongkelan, siap jadi makelar kamper, siap membantu mengobati orang sakit (asalkan TUhan yang menyembuhkan), atau apapun saja--sepanjang itu semua tidak berangkat dari keinginan pribadi saya, melainkan merupakan kehendak yang Kuasa Mutlak atas saya, yyang diwasilahkan melalui amsal-amsal sosial, tadbir-tadbir sejarah, bunyi hati alam dan masyarakat, swaraning asepi (suara kesunyian) dan kasyiful hijab (terbukanya penghalang).

Saya mengharamkan diri saya melakukan sesuatu atau menjadi sesuatu atas dasar ambisi pribadi atau karier. Saya wajib menjadi budak Yang Maha Kuasa.

4 Desember 1997
( Emha Ainun Nadjib/"Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan"/Zaituna/99/PadhangmBulanNetDok)
Bagi publik teater yang mengikuti perkembangan teater tahun 1980-an, tentu tidak asing dengan kelompok teater pimpinan Fajar Suharno (eks Bengkel Teater) ini. Pada periode itu, Dinasti pernah tampil antara lain melalui Geger Wong Ngoyak Macan.

Berdiri pada 1977, Dinasti bisa disebut kelompok teater yang mengambil peran penting dalam dinamika seni, budaya, dan politik di negeri ini, pada saat represi Orde Baru menguat. Saat itu, Dinasti memilih posisi sebagai kelompok teater kritis atau teater yang terlibat dengan berbagai persoalan sosial, politik, dan budaya. Lakon-lakon yang dipilihnya pun acapkali membikin "telinga kekuasaan" merah. Dua repertoar mereka pun berujung pada pelarangan, yakni Patung Kekasih dan Sepatu Nomor Satu.

Setelah Bengkel Teater Rendra off dari panggung karena dicekal penguasa, Dinasti hadir sebagai pilihan publik yang gelisah akibat tekanan politik pembangunan Orde Baru. Peran sebagai budaya tanding ini dijalani Dinasti hingga menjelang 1990-an.

Apa yang akan ditawarkan Dinasti sekarang melalui Tikungan Iblis? Masihkah ia membawa protes sosial?

Kondisi sosial-politik di Indonesia telah berubah, sejak reformasi bergulir tahun 1998. Represi politik --seperti dilakukan Orde Baru-- tidak lagi dominan. Dinasti akan menjadi kelompok yang "bangun kesiangan" jika masih meradang dengan protes sosialnya. Bukankah media massa jauh lebih terbuka dan berani mengungkapkan berbagai realitas itu? Bahkan media massa terkadang jauh lebih dramatik dalam pengungkapan dibanding kesenian.

Kelumpuhan Budaya

Tapi benarkah persoalan bangsa ini lantas menjadi selesai dengan keterbukaan politik dan kebebasan pers?

Selama ini muncul asumsi, seolah berbagai keterbukaan yang dirintis gerakan Reformasi 1998 telah menggembok wilayah kesenian ke dunia yang "tanpa" persoalan. Padahal, Reformasi 1998 bukan penyelesai persoalan bangsa, melainkan justru menjadi pintu masuk berbagai persoalan baru seperti ketimpangan sosial, kebangsaan yang makin kehilangan jatidiri/ martabat, politik kekuasaan yang rakus dan sombong, korupsi kolektif yang makin menguat, dan lainnya. Makin menguatnya kapitalisme pasar, industrialisme dan materialisme yang menjelma menjadi berhala, adalah beberapa faktor penyebab keburaman kehidupan multi dimensional bangsa ini, pasca Reformasi 1998.

Yang terjadi kemudian adalah kelumpuhan budaya di berbagai bidang: masyarakat mengalami krisis presentasi diri, sehingga tidak berdaya secara budaya merespons secara kritis gelombang persoalan yang digerakkan oleh kapitalisme, industrialisme dan materialisme. Masyarakat pun mengalami semacam degradasi nilai. Dunia politik, misalnya, tak lebih dari sekadar jual-beli kekuasaan. Dunia ekonomi tak lebih dari pasar bebas yang direstui negara untuk mengeksploitasi masyarakat. Dunia hukum tak lebih dari mafioso pengadilan di mana rakyat gagal menemukan rasa keadilan. Dunia kesenian (khususnya kesenian massa), tak lebih dari kelangenan yang mendangkalkan selera, cita-rasa, dan pikiran.

Dalam seting buram itu, Dinasti mencoba memberikan respons kritis atas berbagai persoalan sosial, spiritual, politik, dan kebudayaan bangsa ini melalui kontemplasi. Digarap sutradara Jujuk Prabowo dan Fajar Suharno, pementasan ini menggunakan pendekatan multimedia.

Lakon Tikungan Iblis setidaknya menawarkan dua tesis. Pertama, tentang kehidupan beragama dan penghayatan religius yang terkait dengan keberadaan tokoh Iblis. Iblis selama ini telah mapan diberi stigma buruk sebagai "raja kegelapan" yang mendorong manusia melakukan berbagai penyimpangan nilai-nilai ideal, baik pada level agama maupun budaya. Manusia cenderung selalu menjadikan Iblis sebagai kambing hitam atas berbagai penyimpangan yang dilakukan. Padahal, dorongan penyimpangan umat manusia adalah syahwat pemuasan diri seperti kerakusan, hedonisme, naluri korup, kebengisan, dan keinginan untuk selalu menguasai/menindas sesama manusia atau alam. Berabad-abad, cara berpikir itu menjadi upaya manusia untuk melepaskan diri dari tanggung jawab.

Dalam konteks itu, Tikungan Iblis mencoba menawarkan tesis yang berbeda dari pemahaman Iblis yang klasik. Yakni, Iblis bukan saingan Tuhan untuk menguasai manusia. Iblis adalah sosok penting yang menjadi "alat" Tuhan untuk menunjukkan kebesaran-Nya bagi umat manusia. Iblis adalah sosok yang menjadi aktor strategis bagi Tuhan untuk memberikan berbagai tantangan bagi manusia untuk memperjuangkan martabat dan eksistensinya. Ia menawarkan "antitesis" atas "tesis" Tuhan, agar manusia mampu menggenggam sintesa: nilai-nilai Ilahiyah secara utuh, mendasar, dan mengakar karena nilai-nilai itu tidak otomatis hadir sebagai paket, melainkan diraih melalui perjuangan yang keras dan mendidih. Sehingga ketika manusia mengakui eksistensi Tuhan --dengan seluruh nilai-nilai idealnya, maka pengakuan itu tidak artifisial, melainkan substansial. Lakon ini bukan merupakan "pembelaan" atas Iblis melainkan mencoba memperluas cara pandang manusia atas sosok Iblis.

Dari Garuda ke Emprit

Tesis kedua, bangsa Indonesia telah mengalami degradasi nilai-nilai secara eksistensial dan dignity (martabat) dari bangsa yang dicitrakan sebagai burung Garuda menjadi burung emprit. Tesis itu dituangkan dalam narasi yang mengisahkan perjalanan eksistensial manusia dari awal penciptaan manusia Adam hingga umat manusia berkembang biak dan membangun peradaban. Iblis --yang sejak awal manusia diciptakan sudah tidak percaya bahwa manusia mampu menjadi khalifah di bumi-- akhirnya membuktikan ketidakpercayaannya itu: hidup manusia hanya berkisar dari tiga kata kunci, yaitu rakus, merusak bumi, dan saling berbunuhan. Umat manusia ternyata tak lebih menjadi sekadar "tapel" --sebuah terminologi elementer manusia yang artinya sekadar wadag/jasad. Tapel bergerak dan beraktualisasi diri lebih didasari insting daripada hati nurani dan akal sehat.

Kekurangmampuan untuk meningkatkan kualitas diri membuat bangsa kita mengalami kemerosotan martabat. Padahal, bangsa kita memiliki genetika unggul sebagai Burung Garuda sejati yang memiliki kemampuan untuk terbang, menerkam, dan berjuang (ingat sejarah kebesaran Dinasti Syailendra, Majapahit, Sriwijaya, dan lainnya). Namun, karena Garuda itu kemudian dikurung oleh kekuatan yang menindas (baca kolonialisme), maka burung itu tidak lagi memiliki kemampuan dasarnya. Yang menyedihkan adalah anak-anak, cucu, dan cicit Garuda itu. Mereka bukan hanya tidak bisa terbang atau menerkam tapi memang tidak lagi memiliki memori untuk terbang dan menerkam.

Lakon ini menginspirasi kita bahwa masih ada peluang bagi bangsa ini untuk menjadi kelas bangsa Burung Garuda yang memiliki martabat, kewibawaan, kemuliaan, dan kebesaran; bukan hanya menjadi bangsa kelas emprit yang tidak diperhitungkan bangsa-bangsa lain. Saatnya martabat itu harus direbut. (*)

Indra Tranggono, pemerhati kebudayaan, teater, dan penulis cerpen
Tikungan Iblis akan digelar tgl 30 Des, pkl 20.00, di TIM Jakarta
Rakyat saya ini sungguh bandel. Sebagai pemimpin, sungguh saya tak pernah menyangka bahwa manusia bisa sedemikian mbanggel-nya. Susah benar mengatur mereka. Orang diajak bersatu saja kok sukarnya bukan main.

Mending mengurusi kambing atau sapi.

Bersatu itu 'kan enak. Alam dan kehidupan sudah memberi contoh sejak dulu.

Kalau cabe mau bersatu dengan terasi dan brambang, ditambah garam, kan jadi sambal yang nylekit. Apa sih keberatannya? Sekadar bersatu dengan terasi -- kok keberatan. Apa maunya hidup tanpa sambal?
Coba kalau berani: bikin undang-undang yang melarang sambal! Saya jamin akan terjadi revolusi.

Dan revolusi semacam itu belum tentu akan terjadi kalau alasannya adalah bukan sambal. Kalau yang jadi isu sekadar ketidakadilan sosial, konglomerasi yang berlebihan, kediktatoran politik atau masalah-masalah remeh yang semacamnya -- berani taruhan tak akan bisa membuat rakyat
bergerak.

Hanya sambal sajalah yang dijamin bisa menjadi sumber people power.

Ini adalah negeri sambal. Ini adalah masyarakat sambal. Ini adalah kebudayaan dan peradaban sambal.

Dan sekarang terbukti bahwa terutama di bidang politik, para aktivis jelas tidak mampu meniru persatuan sambal.

Jadi, saya ini sebagai pemimpin, benar-benar pusing kepala.

Entah kenapa Tuhan mencampakkan saya ke urusan-urusan di mana saya harus berhadapan dengan anak-anak kemarin sore yang naif-naif.

Saya ajak merawat persatuan dan kesatuan, rewelnya bukan main.
Saya kasih tawaran untuk memiliki kemuliaan jiwa, juga ogah-ogahan.

Misalnya, kaki mereka saya injak, lantas saya katakan: ''Damai ya? Kamu mau memafaatkan saya atau tidak? Memaafkan itu perbuatan luhur.
Tuhan saja banyak sifat pemaaf dan pengampunnya.

Tuhan itu ghofur, tawwab, 'afuwwu, ghofar dan lain-lain. Semua itu sifat pemaaf. Coba kamu pikir, Tuhan yang mahabesar dan tak butuh apa-apa saja bersedia memaafkan, kok kamu sok tidak mau memaafkan. Ayo! Mau memaafkan saya atau tidak! Kalau tidak, berarti kamu menentang saya!

Merongrong kewibawaan saya!'' Jadi, kalau saya menginjak kaki mereka, itu suatu metode pendidikan untuk melatih kebesaran jiwa mereka. Kalau saya menempeleng kepala mereka, itu untuk menguji keluasan hatinya. Kalau saya menendang seseorang sehingga terlempar jatuh dari kursinya dan ia lantas duduk di kursi bayangan, itu demi menatar keteguhan batinnya. Kalau saya rampok hartanya, saya gusur ladangnya atau saya ambrukkan rumahnya, itu semata-mata kaifiyah atau prosedur agar mereka mengembangkan kecerdasan ilmunya tentang keadilan dan kebenaran.Menguji keluasan hati, melatih kebesaran jiwa, mengembangkan ilmu dan meneguhkan akhlak, dan lain sebagainya -- adalah hal-hal yang merupakan inti ajaran Tuhan dan para nabi-Nya. Saya sekadar penerus, ahli waris.

Di sinilah letak kesalahpahaman rakyat saya. Maklumlah mereka memang masih bodoh-bodoh. Merdeka belum lama. Terlalu lama dijajah oleh Kumpeni dan sebelumnya ditindas oleh raja-raja sendiri. Jadi memang saya memerlukan tahap-tahap pembangunan dan pendidikan jangka panjang Puluhan tahun. Dan kalau saya boleh buka rahasia: saya tidak mau dinilai oleh Tuhan sebagai pemimpin yang tinggal gelanggang colong playu. Pemimpin yang lari dari tanggung jawab sebelum tugasnya mampu dibereskan dengan tuntas.

Tidak. Saya bukan tipe manusia yang pengecut dan betina. Sebelum tanggung jawab bisa saya penuhi sepenuhnya, saya tidak akan lari ke manapun. Saya akan tetap panggul tanggung jawab itu, sebagaimana para rasul dulu loro-lopo memanggul risalah mereka, meskipun disakiti, dilukai, difitnah, dirasani, dan disalahpahami.

Itulah beda antara saya dan kebanyakan pemimpin lain di dunia ini. Mereka pada umumnya melompat dari kursi amanat rakyatnya dan melarikan diri keluar dari balairung tanggungjawab nasionalnya, sebelum tugasnya dituntaskan. Beberapa tahun mereka sudah tak tahan dan angkat tangan.

Lantas turun dari jabatannya dengan meninggalkan problem-problem.
Dan problem-problem itu harus diselesaikan oleh para penggantinya. Para pemimpin baru yang menggantinya, yang tidak ikut menciptakan problem, harus susah payah mengatasinya.

Itu benar-benar suatu kecurangan sejarah.

Dan saya tidak. Sekali saya tegaskan: saya tidak! Saya tidak demikian. Saya bukan pengecut licik dan tengik. Saya, dengan saksi Allah, para malaikat dan segala lelembut -- akan dengan teguh memanggul tanggung jawab ini sampai titik darah penghabisan. Rawe-rawe rantas.
Malang-malang putung.

Tapi ya itu -- susah bener menyuruh rakyat untuk bersatu.

Masyaallah. Tetapi, namanya juga rakyat. Rakyat itu kanak-kanak abadi.

Susah diajak dewasa. Kalau anak kecil itu kemriyek, suka ribut dan suka berebut apa saja. Kalau orang dewasa bisa lebih tenang dan stabil jiwanya. Sungguh saya mendambakan kedewasaan rakyat. Maunya saya, mbok yang tenang-lah. Saya kasih makan apapun, usahakanlah tenang. Kalau saya kasih peraturan-peraturan, atau bahkan pun kalau saya sendiri melanggar peraturan yang saya bikin, berupayalah untuk tetap tenang.

Tujuan saya adalah memang menguji daya ketenangan dalam jiwa mereka.

Kalau saya menggusur, saya sekadar ingin tahu seberapa kadar kesabaran mereka. Kalau saya ambil makanan lebih banyak dibanding jumlah makanan mereka semua, itu wajar, karena saya memang pemimpin. Moso' pemimpin disuruh kelaparan! Kalau saya menentukan siapa Kepala Satgas, siapa Ketua Partai, siapa Pimpinan Organisasi, berapa hektar sawah untuk keluarga saya, dan lain sebagainya -- itu semata-mata untuk mendeteksi takaran sangka baik nasional mereka.
Rakyat saya harus dewasa, harus matang kepribadiannya, tidak gampang bersangka buruk, tidak gampang iri, dengki atau cemburu.

Misalnya sekali waktu, atau di banyak waktu, sengaja saya menerapkan perilaku yang penuh kemunafikan. Itu apa tujuan saya? Tak lain tak bukan adalah untuk mengetahui secara persis seberapa tinggi ketahanan mereka atas hal-hal yang buruk. Kalau saya sebarkan ketidakadilan, umpamanya, saya ingin mengerti seberapa kukuh hati mereka ditimpa oleh nasib buruk yang menyiksa. Sebagai pemimpin saya tidak mau punya rakyat yang cengeng, yang rewel dan sentimentil.
Mereka harus tetap tenang, damai dan bersatu, meskipun ditimpa ketidakadilan dan ketidakbenaran.

Mungkin terpaksa saya akan menuliskan semua filosofi ini dalam buku-buku.

Mungkin akan saya cicil sedikit demi sedikit melalui pidato-pidato, agar rakyat saya terdidik. Mungkin juga saya akan menciptakan semacam reportoar drama, entah monolog entah drama kolosal -- mengenai semua ini -- agar saya berlega hati menyaksikan rakyat saya berproses untuk dewasa dan penuh persatuan dan kesatuan. Kalau tidak, saya akan malu kepada dunia.

(Emha Ainun Nadjib/"Keranjang Sampah"/Republika/ PadhangmBulanNetDok)
Adakah di antara Anda yang merasakan, menyadari atau setidaknya mengasumsikan
bahwa banyak hal yang sedang menjadi pengalaman kolektif masyarakat kita dewasa
ini—diam-diam ada kaitannya dengan idiom-idiom `raja', `ratu' dan `buto'?
Marilah sesekali berpikir jernih dan tolong kerahkan akal pikiran serta segala
spektrum keilmuan Anda untuk menjawab pertanyaan: apakah di penghujung abad 20
ini masih ada raja, ratu, atau buto?
Kalau kita berpikir formal, tak ada raja, apalagi ratu. Tapi kalau berpikir
substansial atau essensial: kita-kita ini adalah raja, adalah ratu, juga adalah
buto.
Kita mungkin raja atas bawahan-bawahan kita. Kita raja di rumah, di lingkungan
kantor, atau mungkin di mana saja kita berada. Sekurang-kurangnya kita secara
alamiah (dan diperkembangkan oleh tradisi pengalaman sosial) memiliki
potensialitas untuk cenderung menjadi `raja', yang sadar atau tak sadar, kita
terapkan di setiap kosmos keterlibatan sosial kita.
Kita cenderung merajai rumah tangga kita, merajai lingkungan pergaulan kita,
merajai segala aset di sekitar kita. Apalagi jika kita dibesarkan oleh suatu
lingkungan yang atmosfer perhubungan antar-manusianya bersifat feodalistik di
mana orang hanya memiliki dua kemungkinan: kalau di atas, menginjak; kalau di
bawah, menjilat atau mengemis.
Yang terbaik tentulah jika kita sanggup menjadi raja atas diri kita sendiri.
Kita menjadi raja atas segala urusan hidup kita. Kita menjadi raja yang
demokratis dan pensyukur atas segala kebaikan diri kita, kita menjadi raja yang
diktator atas segala keburukan diri kita.
Tetapi apa beda antara `raja' dengan `ratu' sesungguhnya? Sehingga tulisan ini
berjudul demikian?
Kalau membedakan antara raja dan ratu dengan buto, masih relatif agak gampang.
Buto, atau raksasa, tak pernah ada dalam kehidupan manusia, di bagian manapun
dari sejarah peradabannya. Buto atau raksasa hanyalah personifikasi dari salah
satu watak gelap manusia yang berpotensi anti kemanusiaan, antikebaikan,
anti kehalusan.
Rahwana digambarkan berbadan dan berwajah raksasa, karena ia lambang kejahatan.
Meskipun demikian, menurut masyarakat Srilanka, Rahwana bisa menjadi pahlawan
yang ganteng. Justru Prabu Rama itu imperialis, fasis, kolonialis, yang lebih
tepat untuk digambarkan berwajah buto.
Sebagaimana orang Blambangan dan Banyuwangi tidak mengakui gambaran Menakjinggo
yang oleh `sejarah versi Majapahit' digambarkan sebagai buto yang buruk wajah
maupun kelakuannya. Bagi mereka, justru raja-raja Majapahit yang raksasa, yang
menindas, yang menampakkan kehendak. Adapun Menakjinggo adalah pahlawan,
nasionalis Blambangan sejati, pejuang demokrasi, otonomi dan kemandirian
Blambangan atas imperialisme Majapahit.
Sunan Kalijaga mencoba merombak konsep paralelitas antara gambaran fisik dengan
watak, moral atau perilaku. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong adalah
seburuk-buruk makhluk jika dipandang dari sudut performa. Tapi nurani mereka,
moral mereka, kasih sayang kemanusiaan mereka, pembelaan kerakyatan mereka, tak
ada yang menandingi.
Adapun bagaimanakah filosofi dan konsep budaya manusia modern kayak kita
sekarang ini? Apakah kesopanan seseorang, kenecisan penampilan seseorang, kostum
seseorang, identik dengan realitas per moralnya? Masihkah kita boleh terjebak
oleh surban, oleh performan kepriyayian, oleh peci, oleh gelar kiai, bahkan oleh
status kehajian seseorang?
Tetapi jangan mentang-mentang performa kekiaian atau kepriyayian tidak menjamin
moral dan perilaku sosial, lantas kita memitologisasikan performa yang lain:
bahwa yang baik pasti yang tidak pakai peci, pasti yang tidak bersurban dan tak
bergelar kiai. Mentang-mentang banyak penipu pakai sepatu dan dasi, lantas kita
anggap yang pakai sendal dan kaos oblong pasti baik. Kita tetap harus obyektif
dan sanggup menemu_kan relativitas dari simbol yang manapun. Relativisme kultur
harus diterapkan pada semua gejala lambang.
Kalau warna hijau, umpamanya, dilegalisir secara kultural untuk menyebut
kelompok `beragama', kita tidak lantas memastikan bahwa produk perilaku kelompok
ini tentu berkualitas kiai dan priyayi, tentu bermoral dan selalu berada di
pihak yang benar. Sebab bisa saja dari kaum hijau justru muncul rekayasa dan
perilaku ala buto atau raksasa yang menabrak apa saja dengan kasar, yang
meringkus apa saja dengan brutal, yang melegalisir `kudeta' ini dan itu,
mendongkel dadap dan waru, yang menggoyang dan menjatuhkan fulan dan polan.
Artinya, dalam hidup ini terutama dalam dunia gawat yang bernama politik: sangat
mungkin terjadi priyayi berperilaku buto, kiai bergerak secara raksasa.
Sebaliknya, dengan itu semua kita tidak lantas terjebak pada fenomena antitesis
yang juga kita dramatisir dan kita mitologisasikan. Misalnya bahwa kita langsung
menganggap bahwa yang non-hijau pasti yang benar, yang sopan, yang bermoral,
yang pro-demokrasi.
Kita sungguh-sungguh memerlukan kejernihan akal, hati yang sejuk dan jiwa yang
selapang-lapangnya, untuk mempersepsikan segala sesuatu yang hari-hari ini kita
baca di koran-koran dan kita tonton di teve dan kita dengar di radio maupun di
warung-warung.
Atau jangan lupa bisa juga ada raja yang benar-benar raja atau ratu yang
benar-benar ratu, namun ia dikelilingi oleh buto-buto. Segala akses informasi
yang diterima oleh telinga sang raja berasal dari buto-buto. Kepada raja
dikatakan "Paduka, mereka sudah tak suka sama si Waru, jadi sangat dibutuhkan
pergantian." Dan kepada `mereka' dikatakan, "He anak-anak, Paduka sudah tidak
berkenan lagi sama si Waru, jadi segera bikin kumpul untuk penggantian...."
Termasuk jangan lupa bahwa sesungguhnya para buto tidak senantiasa merupakan
makhluk yang benar-benar buto. Para priyayi, priyagung, kiai, atau apapun, yang
penuh sopan santun, yang tampak bermoral dan khusyu bisa pada momentum
tertentu terpaksa menjadi buto, untuk kepentingan tertentu yang harus
dilaksanakan secepat-cepatnya.
Oleh karena itu jika Anda sudah menjadi Ratu, pada saat yang diperlukan
bersikaplah segera menjadi Raja. Raja itu jelas kehendaknya, dawuhnya,
perintahnya, rancangannya. Kalau Ratu, cenderung diam karena anggun dan penuh
wibawa.
Ratu lebih banyak senyum-senyum saja. Namun kemudian yang berlangsung di seluruh
negeri adalah interpretasi para buto tertentu atas senyum sang Ratu. Kalau
interpretasi murni, masih lumayan. Tapi kalau interpretasi berdasar kepentingan
para buto, susahlah semua rakyat.

(Emha Ainun Nadjib/"Keranjang Sampah"/Zaituna/PmBNetDok)

Engkau panggil jiwa yang tenteram
Untuk kembali kepada-Mu dengan rela
dan direlakan
Engkau berfirman bergabunglah
ke penyembahan kepada-Ku
Engkau berfirman masuklah ke surga-Ku
Yang tidak tenteram tidak Kau panggil
Karena yang tak tenteram tak bisa kembali
Yang tak tenteram hanya bisa menjauh pergi
Yang tak tenteram tak sanggup rela
Dan mustahil Engkau relakan
Yang tak tenteram kuda-kudanya goyah
untuk menyembah
Yang tak tenteram mata jiwanya buta
langkahnya kandas sebelum surga

Jiwa tenteram ya Allah
Jiwa muthmainnah
Tuntunlah hidup hamba berbenah
Karena di alam hidup jahiliyah
Tak diajarkan kepada hamba jiwa muthma’innah
melainkan hanya kepasrahan yang salah
para ulama menyuruh hamba jadi prajurit
kalau salah langkah berbunyilah peluit
Ya Allah Kekasih
Kalau agama hanya berwajah fiqih
kepatuhan hamba terasa perih
Yang hamba peluk adalah cinta pengabdian
hanya dengan itu bisa rela dan direlakan
hamba sembahyang tidak untuk menaati mereka
Tenteram sujud hamba semata karena kepada-Mu
seluruh diri hamba menjelma cinta
(Emha Ainun Najib/PmBNetDok)
Kalau ada orang meninggal, kita ucapkan inna lillahi wa inna ilaihi roji'un.
Sesungguhnya kita semua ini milik Allah dan pasti kembali hanya kepadaNya,
mustahil bisa balik ke yang selain Allah.
Dan karena manusia itu penuh kelemahan, gampang terjebak oleh slogan dan mudah
dikelabuhi oleh rutinitas - maka kita sering lupa bahwa kalimat itu tidak hanya
berlaku untuk kesadaran tentang kematian, melainkan terutama juga merupakan
dasar ilmu dan sikap terhadap kehidupan.
Maka hanya tatkala berjumpa dengan realitas maut, kita baru ngeh bahwa semua ini
milik Allah.

Dalam kehidupan sehari-hari kita begitu yakin dan mantap bahwa kita memiliki
sesuatu, punya modal, memegang hak milik atas tanah, kekuasaan dlsb.
Dan untuk itu kita bikin kompetisi ekonomi dan karir politik, perang dan
kapitalisasi senjata, perlombaan properti dan aksesori budaya, atau mengunyah
mode demi mode kebudayaan sampai air liur kita meleleh-leleh.
Padahal teknologi tercanggih di abad 500 kelakpun tak akan sanggup menciptakan
segenggam tanah, selembar daun, secipratan minyak atau sehelai rambut.
(Emha Ainun Nadjib/PmBNetDok)
Islam itu tidak menyakiti siapa-siapa
Islam itu kalau ada paku ditengah jalan dipinggirkan
Islam itu adalah kalau ada barang mubazir didaya gunakan
Islam adalah tidak mengganggu tetangga
Islam adalah tangan ini tidak boleh nganggur, kaki tidak boleh nganggur,
tidak boleh ada barang mubazir
Malas itu makruh hukumnya, tidak boleh ada malas, pikiran harus cerdas dipakai
terus, tangan kaki bekerja terus berkeringat.
Islam itu tidak gampang curiga, gampang su'udhon dan gampang marah
Kalau petani, Islam adalah memelihara kesuburan tanah, jangan terus menerus ditanami
Kalau tukang ojek, Islam adalah jadikan penumpangmu merasa aman kalau menaiki ojekmu.
Kalau anda jualan di toko atau warung, Islam adalah orang yang beli itu merasa
aman dan percaya pada apa yang anda jual.
(Emha Ainun Nadjib/Maiyah Rusun Penjaringan Jakarta, 09 Juni 2004/PmBNetDok)

Seandainya dalam institusi negara kita pemerintah dan rakyat sudah sama-sama
sanggup melaksanakan ketaatan yang maksimal terhadap hukum, Anda masih boleh
tertawa-tawa geli menyaksikan sejumlah kepahitan di belakangnya.

Pertama, orang yang merasa nyaman dengan maksimalitas pelaksanaan hukum itu
adalah mereka yang merupakan bagian dari "masyarakat" hukum. Masyarakat hukum
adalah penghuni elite dari peradaban ’modern’, tepatnya masyarakat yang
merasa dan amat meyakini bahwa dirinya modern dan hidup di zaman yang
’terbaik’, yakni ’modern’.

Iseng-iseng saya pernah menemani 18 penduduk asli Pulau Waikiki, Hawai,
melakukan demo ke kantor gubernuran di negara bagian (Amerika Serikat) Hawai.
Mereka menuntut pengembalian Pulau Waikiki itu dari kepemilikan negara Serikat
Amerika kepada mereka.

Sejak ribuan tahun silam nenek moyang mereka bertempat tinggal dan
’memiliki’ pulau itu berdasarkan hukum mereka. Sekurang-kurangnya bertempat
tinggal (’jam terbang’) ribuan tahun di suatu hamparan tanah secara
filosofis hukum bisa dijadikan landasan untuk memungkinkan copyright mereka atas
tanah itu.

Tetapi, tuntutan mereka sangat menggelikan bagi akal sehat manusia modern,
sangat bodoh secara kebudayaan modern, dan sangat melawan ’hukum’ yang sudah
diberlakukan atas tanah itu, yakni ’hukum’ negara serikat Amerika.

Jadi mana yang benar?
Yang mana kebenaran sejati?

Apakah benarnya ’hukum’ modern itu benar sejati?
Penduduk asli Hawai itu bisa paralel dengan semua suku di Irian Jaya,
teman-teman Dayak di hutan-hutan Kalimantan, atau kelompok masyarakat mana pun
yang hidup di dunia beralamatkan di RW ’Sejarah’ RT ’Adat’. Sementara
pada suatu pagi mereka bangun tidur thilang-thileng mencari "Di mana tadi
sejarah saya? Adat saya". Kok tiba-tiba di luar pintu itu ada orang-orang
berseragam hendak mengursusnya tentang apa yang disebut "sejarah" baru, "adat"
baru, dan "hukum" baru.

Dalam konteks itu hukum modern adalah Dajjal bermata satu, bertangan satu,
bertelinga satu, berhati sebelah dan berakal terbelah (growak) di tengah-tengah.
Ribuan tahun orang Jawa menciptakan peradaban tempe dan pada suatu siang
tiba-tiba saja tempe adalah milik orang Jepang, berkat hukum modern. Setengah
mati orang Jogja, Solo, dan Pekalongan membanggakan budaya dan karya batik,
sampai mendadak mereka hampir stroke mendengar bahwa batik adalah hak patennya
Malaysia.

Sebuah pabrik kecap puluhan tahun sukses dan digemari konsumen, suatu hari
pimpinannya diseret ke pengadilan dan dipenjarakan, dituntut oleh salah seorang
karyawan yang membelot, membuat pabrik sendiri, mendaftarkannya ke lembaga hak
cipta- sementara pabrik aslinya tidak pernah mendaftarkan.

Insya Allah suatu hari nanti saya akan kehilangan nama karena ada teman yang
mendaftarkan Emha Ainun Nadjib sebagai hak cipta dia. Yang kasihan adalah Nabi
Muhammad, telanjur tidak sempat sowan mendaftarkan namanya, sehingga tunggu
saatnya beliau tak lagi diakui sebagai pemilik nama Muhammad. Yang repot kita
orang Islam, setiap membaca syahadat musti kasih royalti kepada pemegang hak
cipta nama Muhammad. Bayangkan, berapa duit harus kita siapkan untuk salat wajib
lima kali sehari saja. Belum lagi ditambah wirid dan shalawat.

Anda jangan lantas tidak salat demi menghindari kewajiban memberi royalti. Insya
Allah Tuhan juga mafhum atas kekurangan Anda. Sebab, Tuhan sendiri juga
berposisi sama dengan Muhammad dan Anda. Entah kapan Tuhan akan bertamu ke
kantor lembaga hak cipta untuk mendaftarkan paten nama Allah, Yehova, Sang Hyang
Wenang, dsb. Tentu butuh sangat banyak biaya. Andaikan Muhammad tidak telanjur
menjadi nabi terakhir, mungkin diperlukan wahyu baru yang menganjurkan agar umat
Islam ketika menyebut Allah dan Muhammad cukup dalam hati, demi menghindari
pemborosan royalti hak cipta.

Yang paling selamat adalah manusia yang celat atau pelat lidahnya, yang menyebut
Allah dengan Awwoh dan Muhammad dengan Mamad. Itu pun kalau Awwoh dan Mamad
belum didaftarkan ke lembaga hak cipta.


***
Ini sekadar iftitah, pembuka dari pembicaraan yang sangat mungkin bisa panjang
tentang kelucuan hukum. Anda pasti sangat cerdas memahami judul tulisan ini,
sesudah ala kadarnya membaca preambul ini.

Omong nasi musti omong beras, padi, tanah, daun, tanaman, angin, air, matahari,
musim, Tuhan dan terus terus teruuus sampai tak mungkin Anda menghindar dari
satu kata apa pun tatkala membicarakan satu kata yang lain. Hukum, fikih, moral,
akhlaq, takwa, mahabbah…. Teruuus sampai SBY-JK turun belum akan selesai kita
sebut kata demi kata, demi menguraikan sekadar satu kata.

Belum lagi kalau saya pancing dengan kalimat bahwa saya termasuk orang yang
tidak peduli hukum. Ada hukum atau tidak, saya tidak akan menyakiti manusia. Ada
KUHP atau tidak, saya tidak akan maling. Ada jaksa, hakim, atau tidak, saya
tidak akan mencekik anak tetangga. Ada polisi, pengacara atau tidak, saya tidak
akan memerkosa wanita maupun kambing betina dan apa siapa saja….
(Emha Ainun Nadjib/JawaPos/2007/PmBNetDok)
Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar

Bacaan al-fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya

Tegak tubuh alif-mu mengakar ke pusat bumi
Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis

Sujud adalah satu-satunya hakikat hidup
Karena pejalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali

Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan diperas jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya

Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang taka ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapa pun juga

Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh karang
Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan

(Emha Ainun Nadjib/PmBNetDok)

Kiai Sudrun berkata kepada cucunya, seorang sarjana yang tadi siang diwisuda.

"Di zaman dahulu kala terdapatlah makhluk yang bernama Kebudayaan Barat.
Pada masa itu tak ada barang di muka bumi ini yang dikutuk orang melebihi kebudayaan barat sehingga ia dianggap sedikit saja lebih baik dari anjing kurap.
Pada masa itu pula tak ada sesuatu pun dalam kehidupan yang dipuja orang melebihi kebudayaan barat sehingga terkadang ia melebihi Tuhan."

"Ini kisah aneh apa lagi?" bertanya sang cucu.

"Kaum Muslim pada waktu itu sedang mencapai puncak semangatnya untuk memperjuangkan agamanya, menemukan identitas dan bentukan kebudayaannya sendiri," si kakek melanjutkan, "Maka dipandanglah kebudayaan barat itu oleh mereka dengan penuh rasa najis, serta dipakailah barang-barang kebudayaan barat itu dengan penuh rasa sayang dan kebanggan."

"Lagi-lagi soal kemunafikan!"

"Tak penting benar soal kemunafikan itu dalam kisah ini," jawab Kiai Sudrun, "setidak-tidaknya engkah sudah paham persis masalah itu, dan lagi yang hendak aku ceritakan kepadamu adalah soal lain."

Sang cucu diam mendengarkan.

"Kaum Muslim pada waktu itu mempertentangkan Islam dengan kebudayaan barat seperti mempertentangkan cahaya dengan kegelapan atau malaikat dengan setan.
Padahal sampai batas tertentu, para pelaku kebudayaan barat itu sendirilah yang dengan ketekunan amat tinggi melaksanakan ajaran Islam."

"Kakek sembrono, ah."

"Tak ada yang melebihi mereka dalam melaksanakan kewajiban iqra', meskipun kemudian disusul oleh sebagian bangsa-bangsa tetangganya. Tak ada yang melebihi mereka dalam kesungguhan menggali rahasia ilmu dan mengungkap kemampuan-kemampuan alam. Mereka telah membawa seluruh umat manusia memasuki keajaiban demi keajaiban. Mereka mengantarkan manusia untuk mencapai jarak tertentu dalam waktu satu jam sesudah pada abad sebelumnya mereka memerlukan perjalanan berbulan-bulan lamanya. Mereka mempersembahkan kepada telinga dan mata manusia berita dan pemandangan dari balik dunia yang berlangsung saat itu juga. Mereka telah memberi suluh kepada pengetahuan manusia untuk mengetahui yang lebih besar dari galaksi serta yang sejuta kali lebih lembut dari debu."

"Dimuliakan Allahlah mereka," sahut sang cucu.

"Benar," jawab kakeknya, "kalau saja mereka meletakkan hasil iqra' itu di dalam kerangka bismi rabbika-lladzi khalaq. Seandainya saja mereka mempersembahkan ilmu dan teknologi itu untuk menciptakan tata hidup yang menyembah Allah.
Seandainya saja ereka merekayasa kedahsyatan itu tidak untuk penekanan dalam politik, pemerasan dalam ekonomi, sakit jiwa dalam kebudayaan, serta kemudian kebuntuan dan keterpencilan dalam peradaban."

"Apa rupanya yang mereka lakukan?"

"Memelihara peperangan, mendirikan berhala yang tak mereka ketahui sebagai berhala, menumpuk barang-barang yang sesungguhnya tak mereka perlukan, pura-pura menyembah tuhan dan bersenggama dengan binatang."

"Anjing kurap!" teriak sang cucu.

"Memang demikian sebagian dari Kaum Muslim, memaki-maki, tapi kebanyakan dari mereka bergabung menjadi pelaku dari pembangunan yang mengarah kepada kebudayaan yang semacam itu."

"Munafik!" sang cucu berteriak lagi.

"Menjadi seperti kau inilah sebagian dari Kaum Muslim di masa itu. Dari sekian cakrawala ilmu anugerah Allah mereka mengembangkan satu saja, yakni kemampuan untuk mengutuk dan menghardik. Tetapi kemudian karena tak ada sesuatu pun yang berubah oleh kutukan dan hardikan, maka mereka pun pergi memencilkan diri:
melarikan diri ke dalam hutan sunyi, mendirikan kampung-kampung sendiri - di pelosok belantara atau di dalam relung kejiwaan mereka sendiri. Mereka menjadi bala tentara yang lari terbirit-birit meninggalkan medan untuk menciptakan dunianya sendiri. Mereka ini mungkin kau sebut kerdil, tetapi sesungguhnya itu masih lebih baik dibandingkan kebanyakan orang lain yang selalu berteriak sinis 'Kalian sok suci!' atau 'Kami tak mau munafik!' sementara yang mereka lakukan sungguh-sungguh adalah kekufuran perilaku dan pilihan. Namun demikian tetaplah Allah Mahabesar dan Mahaadil, karena tetap pula di antara kedua kaum itu dikehendakiNya hamba-hamba yang mencoba merintis perlawanan di tengah medan perang. Mereka menatap ketertinggalan mereka dengan mata jernih. Mereka ber-iqra', membaca
keadaan, menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan kesanggupan mengolah
sejarah, sambil diletakkannya semua itu dalam bismi rabbi. Ilmu ditimba dengan kesadaran dan ketakjuban Ilahiah. Teknologi ditaruh sebagai batu-bata kebudayaan yang bersujud kepada Allah."

"Maka lahirlah makhluk baru di dalam diri Kaum Muslim," berkata Kiai Sudrun selanjutnya, "Gerakan intelektual. Orang dari luar menyebutnya intelektualisme-transendental atau intelektualisme-religius, meskipun Kaum Muslim sendiri menyebutnya gerakan intelektual - itu saja - sebab intelektualitas dan intelektualisme Islam pastilah religius dan transendental."

"Dongeng kakek menjadi kering ...," sahut sang cucu.

"Itu iqra' namanya. Gerakan iqra', yang ketiga sesudah yang dilakukan oleh Muhammad dan kemudian para ilmuwan Islam yang kau ketahui menjadi sumber pengembangan kebudayaan barat."

Sang cucu tak memrotes lagi.

"Akan tetapi mereka, Kaum Muslim itu, adalah - kata Tuhan - orang-orang yang berselimut. Mudatstsirun. Orang-orang yang hidupnya diselimuti oleh berbagai kekuatan tak bismi rabbi dari luar dan dari dalam diri mereka sendiri.
Selimut itu membuat tubuh mereka terbungkus dan tak leluasa, membuat kaki dan tangan mereka sukar bergerak, serta membuat hidung mereka tak bisa bernafas dengan lega."

Sang cucu tersenyum.

"Kepada manusia dalam keadaan terselimut itulah Allah berfirman qum! Berdirilah.
Tegaklah. Mandirilah. Lepaskan diri dari ketergantungan dan ketertindihan. Untuk tiba ke tahap mandiri, seseorang harus keluar terlebih dahulu dari selimut. Ia tak akan bisa berdiri sendiri bila terus saja membiarkan diri terbungkus kaki tangannya serta terbungkam mulutnya."

Sang cucu tersenyum lebih lebar.

"Firman berikutnya adalah fa-andzir! Berilah peringatan. Lontarkan kritik, teguran, saran, anjuran. Ciptakan kekuatan untuk mengontrol segala sesuatu yang wajib dikontrol." - Sampai di sini Kiai Sudrun tiba-tiba tertawa cekikikan - "Syarat untuk sanggup memberi peringatan ialah kemampuan untuk mandiri. Syarat untuk mandiri ialah terlebih dahulu keluar dari selimut.
Namun pada masa itu, cucuku, betapa banyak nenek moyangmu yang tak memperhatikan syarat ini. Mereka melawan kekuasaan padahal belum bisa berdiri tegak. Mereka mencoba berdiri padahal masih terbungkus dalam selimut ... " - tertawa Kiai Sudrun makin menjadi-jadi.

Disusul kemudian oleh suara tertawa cucunya, "Kakek luar biasa!" katanya,
"Kakek memang cerdas luar biasa!"

"Apa maksudmu?" bertanya Kiai Sudrun di tengah derai tawanya.

"Kakek menirukan hampir persis segala yang kuceritakan kepada kakek tadi malam dari buku-buku kuliahku."

Mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal.

(Emha Ainun Nadjib/1987/PadhangmBulanNetDok)

Memang bukan Saridin namanya kalau tidak gila. Dan bukan gilanya Saridin kalau definisinya sama dengan definisi Anda tentang gila. Wong sama saya saja Saridin sering bertengkar soal mana yang gila dan mana yang tidak kok. Padahal saya juga agak gila. Apalagi sama Anda. Anda kan jelas-jelas waras.
Misalnya di jaman Demak bagian akhir-akhir itu saya menyatakan bersyukur bahwa dakwah para Wali semakin produktif. Sunan Ampel yang berfungsi sebagai semacam Ketua MPR, Sunan Kudus sebagai Menko Kesra, Sunan Bonang sebagai Pangab, atau Sunan Kalijaga sebagai Mendikbud, benar-benar menjalankan suatu managemen sejarah dan strategi sosialisasi nilai dengan metoda-metoda yang canggih dan efektif.
Bukan hanya komunitas-komunitas Islam semakin menyebar dan meluas, tapi juga mutu kedalaman orang beribadah semakin menggembirakan. Tapi Saridin menertawakan saya. Dan bagi saya sangat menyakitkan karena tertawanya dilambari aji-aji kedigdayaan batin: begitu suara tertawanya lolos dari terowongan tenggorokan Saridin, pepohonan bergetar-getar, burung-burung beterbangan menjauh, awan-awan dan mega melarikan diri sehingga matahari gemetar tertinggal sendirian di langit.
"Jangan sok kamu Din!" saya berteriak.
Saridin menghentikan tertawanya. Ia menjawab. "Bersyukur ya bersyukur, tapi kalau saya, juga berprihatin."
"Kenapa?" tanya saya.
"Diantara orang-orang yang beribadah kepada Tuhan itu banyak yang majnun!"
"Gila?"
"Ya, Majnun itu artinya ya gila, Majnun!"
"Majnun gimana?"
"Pengertian kita tentang junun atau kegilaan kayaknya berbeda. Bagi saya gitu itu gila, tapi bagi kamu tidak.""Gitu itu gimana yang kamu maksud?"

"Orang berdiri khusyuk dan bersedekap. Matanya konsentrasi ke kiblat. Mulutnya mengucapkan hanya kepada-Mu aku menyembah, dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan....", tiba-tiba tertawanya meledak lagi, sehingga tanah yang saya pijak terguncang, padahal tidak demikian. Orang itu tidak hanya kepada Tuhan menyembah. Wong jelas tiap hari dia menyembah para priyayi, para priyagung, para Tumenggung atau Adipati. Minta tolongnya juga kebanyakan tidak kepada Tuhan. Ia lebih banyak tergantung pada atasannya dibanding kepada Tuhan. Meskipun dia tidak menyatakan, tapi terbukti jelas dalam perilaku dia bahwa yang nomor satu bagi hidupnya bukan Tuhan, melainkan penguasa-penguasa lokal dalam hidupnya. Entah penguasa politik, atau penguasa ekonomi. Itu namanya majnun. Tuhan kok dibohongi. Dan caranya membohongi Tuhan dengan kekhusyukan lagi! Kalau otaknya sehat, hal begitu tidak terjadi. Hanya otak gila saja yang memungkinkan hal itu terjadi....."
Saya melengos. "Ah, kamu ini terlalu idealis. Normal dong kalau manusia punya kelemahan yang demikian. Mana ada manusia yang sempurna. Orang kan boleh berproses. Orang berhak belajar secara bertahap. Pengabdiannya kepada Tuhan diolah dari belum utuh menjadi utuh pada akhirnya. Konsistensi seseorang atas kata-kata yang diucapkannya kan bertahap, tidak bisa langsung seratus persen!"
Kesal betul saya.
Tiba-tiba tertawanya meletus lagi, sehingga saya terjengkang lima depan kebelakang. "Lho, ini masalah simpel. Kalau bilang jagung ya jagung, kalau kedelai ya kedelai. Kalau ya itu ya ya. Kalau tidak itu ya tidak. Gampang saja kan? Kalau seorang Imam terlanjur mengungkapkan statemen kepada Tuhan 'hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan' - maka ia harus bertanggung jawab atas kata kami disitu. Artinya, pertama, ia terlanjur berjanji kepada Tuhan. Kedua, ia harus bertanggung jawab kolektif atas seluruh persoalan jamaahnya. Tidak hanya imam dan takwanya, tapi juga segala masalah kesehariannya, sampai soal nasi dan problem-problem sosialnya....."Sekarang giliran saya yang tertawa. Saya mendatangi Saridin dan berbisik di telinganya: "Din, jangan terlalu serius dong. Dialognya yang santai saja!"

"Lho!", Saridin terhenyak, "Justru karena ini untuk [buku] humor, maka saya pilihkan tema-tema lawakan. Gimana sih Ente ini. Yang saya omongkan ini kan orang-orang yang melawak kepada Tuhan. Orang-orang yang menyatakan sesuatu tapi tidak sungguh-sungguh. Orang-orang yang ndagel di hadapan Tuhan, karena mungkin dipikirnya Tuhan itu butuh dagelan dan disangkanya para Malaikat bisa tertawa!"
Saya jadi agak takut-takut. "Din, Saridin, kamu jangan begitu ah. Jangan omong yang enggak-enggak. Kalau sama Tuhan yang serius dong!"
"Justru saya sangat serius kepada Tuhan, sehingga saya ceritakan mengenai orang-orang yang melawak dihadapan-Nya!"
"Orang beribadah kok melawak!" saya membantah lagi.
"Lho, gimana sih, " ia menjawab "Orang tiap hari bersembahyang dan mengajukan permintaan kepada Tuhan - 'Ya Allah anugerahilah aku jalan yang lurus!' Dan Tuhan sudah selalu menganugerahkan apa yang orang minta. Orang itu tidak pernah memakainya, tapi tiap hari ia memintanya lagi dan lagi kepada Tuhan. Kalau saya jadi Tuhan, pasti kesel dong...."
"Husysysy!!!" saya membentak.
"Husysy bagaimana!"
"Emangnya kamu Tuhan?"
"Siapa bilang saya Tuhan? Majnun kamu!"
"Emangnya Tuhan bisa kesel?"
"Maha Suci Allah dari kekesalan. Tapi apakah karena Tuhan mustahil kesal maka menjadi alasan hamba-hamba-Nya untuk berbuat semaunya, untuk mendustai Dia, untuk berbuat gila?"
"Wong gitu saja kok gila tho Din!""Lho! Orang sudah disuguhi kopi, tidak diminum, lha kok minta kopi lagi, saya suguhi kopi lagi, lagi, lagi, lagi sampai meja penuh sesak oleh gelas-gelas kopi, tapi

lantas tidak diminum lagi, tapi dia minta lagi dan minta lagi. Gila namanya kan?"
"Ah ya bukan gila. Itu paling-paling munafik namanya."
"Ya gila dong. Majnun. Orang yang punya logika, tapi berlaku tidak logis, itu penyakit junun namanya. Orang yang tak menggunakan pengertian mengenai konteks, proporsi dan lokasi-lokasi persoalan, itu virus junun yang menyebabkannya. Orang bilang keadilan sosial, tapi kerjanya tiap hari menata ketimpangan, itu majnun. Orang bilang semua perjuangan ini untuk rakyat, padahal prakteknya tidak - itu namanya virus junun, lebih parah dari HIV...."
Akhirnya saya kesal. Saya tinggalkan si Majnun ini!

(Emha Ainun Nadjib, Demokrasi Tolol Versi Saridin)

Dalam terminologi yang sederhana, wacana utama kriteria kepemimpinan sekurang-kurangnya harus melingkupi tiga dimensi: kebersihan hati, kecerdasan pikiran, serta keberanian mental.
Jika pemimpin hanya memiliki kebersihan hati saja, misalnya, tanpa didukung kecerdasan intelektual dan keberanian, maka kepemimpinannya bisa gampang stagnan. Begitu pula sebaliknya.
Jika pemimpin hanya memiliki kecerdasan belaka tanpa didukung kebersihan hati dan keberanian, maka jadinya seperti di 'menara gading' alias monumen yang bukan hanya tanpa makna, tapi juga nggangguin kehidupan rakyatnya. Apalagi, jika pemimpin hanya memiliki keberanian saja tanpa kebersihan hati dan kecerdasan, maka akan menjadikan keadaan semakin kacau dan buruk.
Sebenarnya, kriteria kepemimpinan sama persis dengan kriteria manusia biasa atau orang kebanyakan, Kalau omong tentang pemimpin, sebaiknya jangan muluk-muluk. Berpikir sederhana saja.

Misalnya. syarat menjadi suami.
Pertama, harus manusia.
Kedua, harus laki-laki.
Baru yang ketiga, keempat, dan seterusnya.

Syarat suami harus manusia itu banyak tak diperhatikan orang, padahal jelas banyak suami berlaku seperti ia bukan manusia. Bertindak hewaniah kepada istrinya, juga kepada orang lain. Bukankah menjadi manusia itu sendiri saja sudah sedemikian sukarnya? Kenapa kita punya spontanitas untuk mentertawakan dan meremehkan bahwa syarat menjadi suami itu harus manusia?

Jadi, syarat menjadi Presiden atau Lurah itu ya sedehana saja: harus manusia. Sebab ratusan juta rakyat di muka bumi sengsara dalam berbagai era sejarahnya, gara-gara pemimpin negaranya berlaku tidak sebagaimana manusia, padahal semua orang sudah menyepakati bahwa ia manusia. Bukankah perilaku kebinatangan itu sebenarnya peristiwa jamak dan 'rutin' dalam konstelasi perpolitikan dan kekuasaan? Juga persaingan ekonomi?

Dulu saya bangga hanya ada istilah political animal dan economic animal, tidak ada cultural animal. Saya bersombong yang punya kecenderungan kebinatangan hanya pelaku politik dan ekonomi, kebudayaan tidak. Tapi ternyata itu salah. Cultural animal juga bukan main banyaknya. Termasuk di bidang kesenian, hiburan, informatika dll. Mungkin sekali termasuk saya sendiri.
Kemudian syarat menjadi suami yang kedua adalah harus laki-laki. Ternyata banyak suami berlaku tidak laki-laki. Ia jantan ketika di ranjang, tapi tidak dalam mekanisme politik rumah tangga, tidak di dalam pergaulan. Betapa banyaknya lelaki yang ternyata betina, yang berlaku tidak fair, curang, culas, suka mengincar, menyuruh bikin kerusuhan supaya nanti dia yang jadi pahlawan, merancang membakar gedung parlemen supaya bisa bikin dekrit, dan lain sebagainya.
Meskipun, dari sudut ideologi pembelaan kaum perempuan, saya tidak mantap dengan etimologi dan filosofi kebahasaan kita.
Kenapa orang yang jujur kita sebut jantan, yang pengecut kita sebut betina atau perempuan. Bukankah kejantanan yang dimaksud di situ bisa juga dilakukan oleh wanita? Bisa saja ada lelaki betina dan perempuan jantan. Jadi yang dimaksud pemimpin harus laki-laki bukan dalam pengertian fisik, melainkan dalam pengertian kepribadian. Tolonglah ada gugatan kepada Pusat Bahasa.

(EMHA Ainun Nadjib-- Republika Minggu)






Ancaman Kepada Kaum Ilmuwan

Namur hari-hari ini belum 'hari obor menyala'. Para ilmuwan muslim baru sedang sibuk 'menambang minyak'. Sekarang adalah era di mana mereka suntuk mernpelajari dialektika antara ayat-ayat Allah di alam,-manusia Qur'an (tiga informasi cahaya).
Sementara itu mereka masih dikepung dan dirasuki oleh berbagai ancaman:
・ Belum dipenuhinya tiga syarat untuk memperoleh 'minyak' seperti yang telah saya uraikan di awal tulisan ini (Q. 2 : 3). Hal ini bersumber dari ketergantungan terhaiap etos-etos ilmu pengetahuan sekularistik dan atheistik yang mereka suntuki tiap hari.
・ Kemurigkinan ada di antara mereka yang 'terlibat' dalam tuduhan Allah, misalnya :
"Ia mendengar ayat-ayat Allah, namun ia tetap menyombongkan diri" (Q. 45 : 8). Salah satu kesombonganya ialah gejala diskoneksi antara kepercayaan terhadap ilmu Al-Qur'an dengan kepercayaan terhadap atheisme sikap pengetahuan.
"Dan apabila ia mengetahui barang sedikit tentang ayat Allah, maka ia memperolok-olokkannya" (Q. 45 : 9). Secara eksplisit maupun implisit terhadap kecenderungan tertenu dari apa yang kita kenal disiplin keiimuan atau konvensi akademis, mengandung potensi olok-olok semacam itu.
"Adakah mereka itu tak memperhatikan Al-Qur'an a taukah hati mereka terkunci?" (Q. 47 : 24). Bagaimana mungkin AlQur'an tidak merupakan kepustakaan utama seorang, ilmuwan
Alangkah tak nyaman jika ternyata kita tergolong-golong dalam kalangan yang oleh Allah disebut "Sesungguhnya bagi mereka yang ingkar, sama saja bagi mereka kamu beri peringatan atau tidak mereka tetap raja tidak beriman" (Q. 2 : 6). Tetap terjadi keterbelakangan pribadi: Ketika kita sholat kita adalah seseorang tersendiri, ketika kita bersekolah kita adalah orang yang lain, ketika kita berdagang dan berpolitik kita adalah orang yang lain-lain lagi.
"Dalam hati mereka' ada penyakit, dan Allah menarnbahkan lagi penyakit itu" (Q. 2 : 10). Mungkin .karena sesudah meningkat kita, tetap saja kita tak sanggup untuk tidak bergabung dengan orang-orang yang dengan gagah mengatakan "Kami adalah .orang-orang yang mengadakan perbaikan" padahal mereka "mengadakan kerusakan di muka bumi" (Q. 2 : 11) Tidakkah kecenderungan semacam itu amat gamblang kita temukan dalam mekanisme kehidupan bemegara dan bermasyarakat kita sehari-hari ini?
Maka barangkali berbagai stagnasi, involusi, keterbelakangan, ketertinggalan atau kemacetan-kemacetan sejarah yang kita alami bersama dewasa ini adalah karena "Allah memperolok-olokkan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesempatan mereka" (Q. 2 : 15). Siapa bilang 'mereka' yang dimaksud oleh Allah itu 'pasti bukan kita'.
Na'udzubillah kita semua dari kutukan Allah "Tuli, bisu, buta, dan tak kembali ke jalan yang benar" (Q. 2 : 18). Semoga kita bukanlah orang-orang yang "Menyalakan api, namun setelah api itu menerangi sekeliling, Allah menghilangkan cahaya itu dan membiarkan mereka dalam kegelapan dan tak dapat melihat" (Q. 2 : 17).
Kaum ilmuwan adalah pembawa obor bagi setiap perjalanan peradaban. Merekalah yang paling menentukan apakah kita semua hisa terhindar dari kemungkinan kegelapan seperti itu.

Ilustrasi
Mungkinkah kita mampu berangkat melacak dari stratifikasi hakekat kemakhlukan :
- Materi
- Tumbuhan
- Hewan
- Manusia
- Abdullah
- Khalifatullah
- Waliyullah
- Nabiyullah
- Rasulullah

Apakah kita bisa bertolak antara lain dari bagian-bagian akhir dari Surah Al-Hasyr yang menyebut konfigurasi dan penataan sejarah manusia yang dilambangkan oleh susunan asma Allah dari Rahman-Rahim ke Malik-Quddus-Salam-Mu'min-Muhaimin-menuju 'Azis-Jabbar-Mutakabbir hingga ke Khalik - Bari' - Mushawwir.
Juga bisa kita sebut etos Gerakan Intelektual Iqra, Gerakan Kebudayaan dan Gerakan Politik Ya A-yyuhal Mudatsir Qum Faandzir, dst.
Seribu, bahkan berjuta-juta samudera Al-Qur'an, hanya mampu saya ambil setetes, itupun belum cukup jernih saya menatapi dan menghirupnya

****(selesai)***

Yogyakarta, 12 November 1989
(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)
Innovasi Ilmu Cahaya

Sungguh la raiba fiih (tak ada keraguan padanya) bahwa sesudah mentransfer sumber-sumber ilmu pengetahuan Islam dari Timur Tengah, peradaban Eropa mampu membawa sejarah manusia ke suatu tingkat pencapaian ilmu dan teknologi menakjubkan seperti yang sampai hari ini kita alami dan nikmati. Meskipun prestasi peradaban teknologi itu sejauh ini kurang diorientasikan untuk berideologi "Bis-mi robbika lladzi kholaq" (Q. 96 : 1), yakni mempersembahkan, mensubordinasikan atau mengabdikan segala hasil ilmu dan teknologi itu untuk iqarnatihshalat (membangun sembahyang kehidupan), untuk qiyam ' indallah (bersemayam di sisi Allah), untuk utammima makaarimal akhlaq (menyempumakan keutamaan moral perilaku), dst. sehingga malah menghasilkan kehampaan hidup, keterasingan dari diri sendiri, dekadensi moral, kebingungan dan kegilaan (junun) serta berbagai bentuk kebuntuan hidup yang lain yang menjadi ciri penting kehidupan modern namun tetap harus disadari oleh Kaum Muslimin bahwa rekayasa iqra' bangsa-bangsa Eropa sejauh ini melebihi yang diselenggarakan oleh KaumMuslimin.
Dunia Islam telah menganggap dirinya sendiri akan tampil menjawab problem-problem kemanusiaan abad 21, dipastikan akan muncul di panggung peradaban masa datang sebagai 'ideologi ketiga' yang mengatasi relativisme dua ideologi besar sebelumnya yang dewasa ini sedang 'merintis kehancuran'nya; akan hadir dengan membawa obor benderang untuk membuat para pejalan sejarah berdiri kembali dari keterserimpungan kaki-kakinya, dari penyakit yang merabunkan mata dan membatukan hatinya, dari kebuntuan, kecemasan dan kesunyian.
Itu berarti Kaum Ilmuwan Muslim yang oleh Allah diangkat derajatnya melebihi orang-orang biasa akan harus mampu meminyaki obornya agar cahaya mampu berpendar-pendar. Minyak itu ialah :
Upaya penggalian dan rekonstruksi alam kefilsafatan berdasarkan hudallah melalui Qur'an yang mengatasi dan menerobos batas-batas kerdil yang pernah dicapai oleh sekulerisme, humanisme, atau bahkan universalisme. Mata kefilsafatan Islam memandang jauh ke al'arsyul 'adhim' atau al ufug almubin. Tangan filosofi Islam akan mengambil anak-anak kemanusiaan yang terjatuh karena terjebak oleh kebuntuan eksistensialisme, membawa mereka memahami esensialisme ilahiyah.
Melakukan tajdid atau pembaharuan ilmu pengetahuan alam, melahirkan kembali khasanah tersebut dengan merelevansikannya terhadap konteks peran keilahian. Seorang insinyur menjadi tidak hanya pandai menelorkan mode-mode baru pembangunan berhala-berhala dunia, melainkan bekerjasama dengan ilmu dan keterampilannya untuk mengerjakan pembangunan-pembangunan kebudayaan dan peradaban yang mengabdi kepada Allah. Sebab yang dibutuhkan oleh manusia bukan sekedar baldatun thoyyibah tapi juga robbun ghofur, bukan hanya negeri adil makrnur, namun juga dengan perilaku budaya yang diampuni oleh Allah. Kaum ilmuwan alam adalah orang-orang terpilih yang pangling memiliki kemungkinan dan kesanggupan untuk mentakjubi Allah, karena merekalah golongan manusia yang diberi rezeki pengetahuan sehingga tak habis-habisnya kagum dan bersujud karenanya.
Mengusahakan lahimya iimu-ilmu tentang manusia dan masyarakat atau segala pilah ilmu-ilmu sosial yang berpedoman kepada pola berpikir Allah yang tercermin dalam Al-Qur'an. Konsep bahwa Al-Qur'an adalah hudan lilmuttagin adalah titik berangkat ilmuwan muslim menuju kerangka-kerangka teori dan acuan ilmu-ilmu sosial versi Allah sejauh yang sanggup diterjemahkan dari petunjuk Qur'an yang wilayah penjelajahannya,
visinya, hakekat perannya, disiplin dan konvensi-konvensinya berbeda dengan yang selama ini dikenal oleh ilmu-ilmu sosial modern (: Barat) yang dianut di sekolah-sekolah seluruh dunia. Hanya dengan mempedomani Qur'an kaum ilmuwan muslim memiliki kemungkinan untuk menjadi bertaqwa, atau hudaliah itu hanya bisa diterima apabila seorang ilmuwan memiliki dasar-dasar taqwa: itulah sebabnya idiom AlBagarah itu berbunyi 'hudan (petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa) dan bukan hudan lilkadzibin (petunjuk bagi orang-orang yang berdusta) atau hudan lilmutakallifin (petunjuk bagi orang yang mengada-ada).
Ada berita bahwa kelak akan terjadi pergeseran serius dalam peradaban manusia di muka bumi menuju suatu pencerahan keilahian yang berlangsung 'revolusioner', yakni ketika para ilmuwan menernukan pengetahuan baru tentang cahaya. Peristiwa tersebut akan merupakan terobosan sejarah yang dahsyat di mana kecemasan ummat malusia terhadap bumerang sekularisme, teknologi dan kebudayaan berhala bahkan juga pertentangan-pertentangan ideologi atau agama serta kepentingan-kepentingan lain akan diatasi dan 'disembunyikan' secara tak terduga.
Inovasi ilmu cahaya itu akan merupakan hidayah Allah yang amat mentakjubkan, penuh 'blessing in disguise', serta nembuktikan kemenangan Allah dengan cara yang aneh dan ironis terutama bagi 'musuh-musuh Allah'.
Cahaya yang dimaksud bukan sekedar cahaya dalam arti simbolik atau metaforik, tetapi yang sungguh-sungguh cahaya yang selama ini menjadi obyek penelitian keilmuan alam. Orang akan menemukan jenis-jenis cahaya dalam skala hakekat.yang jauh lebih luas. Orang akan berjumpa dengan sambung sinambung cahaya dari yang paling wadag hingga rohaniah. Dan pengetahuan baru itu akan merupakan ilham baru, visi dan acuan baru yang membuat ummat manusia memiliki wawasan dan kejernihan baru dalam memahami
alam, manusia dan kebudayaan, nilai-nilai yang 'berseliweran' di dalamnya, serta huburigan-hubungan yang berlangsung di antara semua itu.
Pada saat peristiwa itu jelaslah bagi kita semua betapa kaum ilmuwan muslim sungguh-sungguh menggenggam obor peradaban yang nyalanya berpendar-pendar dan cahayanya menaburi seluruh permukaan bumi. Mereka membawa perubahan besar filsafat dan ilmu pengetahuan, pola-pola budaya serta peran-peran teknologi; termasuk juga fungsi-fungsi lain dalam kehidupan manusia seperti politik, sikap ekonomi, hubungan sosial atau karya-karya seni.

(bersambung)=====>>>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Iftitah : Nyala Obor Kaum Ilmuwan

0rang-orang berilmu selalu berada di garis depan sejarah. Kaurn Ilmuwan adalah obor setiap perjalanan peradaban manusia. Obor kaum ilmuwan rnenentukan lancar atau macetnya langkah seluruh musafir kemanusiaan. Obor yang menyala terang memancarkan gerakan-gerakan cahaya apinya ke depan menuding cakrawala agar mata kemanusiaannya tak buta, membuat wajilat qulubuhum, tergetar hati mereka oleh segala pemandangan dan ilmu karya Allah yang mentakjubkan, membuat mereka bergairah dan bertawadlu memuji-muji kebesaranNya. Adapun obor yang suram atau padam akan menciptakan kegelapan yang menjadikan setiap pejalan sejarah bertabrakan satu sama lain, terserimpung oleh kaki-kaki mereka sendiri, terjatuh dan saling tindih menindih di lumpur.
Obor kaum ilmuwan yang tergenggam di tangan mereka diciptakan oleh Allah melalui sumpah Alif Lam Mim (Q.2:1). Nyala api obor itu bergelar Qur'an yang "tiada keraguan sedikitpun padanya sebagai petunjuk bagi mereka yang sebab pada hakekatnya 'ijaz (kemukjizatan) Qur'an adalah "keseluruhannya mampu merangkum dan menjelaskan bagian-bagiannya, bagian-bagiannya mampu merangkum dan menjelaskan keseluruhannya".

(bersambung)======>>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Menemukan Kehadiran Agama

Agama bahkan dipersempit menjadi mata kuda politik atau primordialisme formalistik. Keluaran maksimalnya adalah menjadi blunder atau ranjau dalam proses perdamaian dan keadilan. Keluaran minimalnya adalah bahwa is dieksploitasikan untuk melegitimasi kepentingan yang sempit dan sepihak dari polarisasi kelompok-kelompok dalam sejarah manusia.
Karena keterjajahan politik, ekonomi dan kebudayaan pada sernentara bangsa-bangsa Asia, beberapa abad mutakhir ini agama terkikis dan dijadikan sekad.ar sebagai alat pelarian psikologis, dijadikan simbol dekadensi kultur, sementara perwujudannya di bidang politik terbelah dua : pertama, dijadikan pisau fasisme, kedua, dijadikan legitimasi dari tradisi hipokrisi.
Islam misalnya, dimiskinkan di dalam pemahaman para pemeluknya, tidak di dalam diri Islam itu sendiri menjadi makhluk yang hampir bertentangan dengan bagaimana Sang Pencipta Islam itu sendiri memahami ciptaannya. Pemiskinan itu tidak berlangsung hanya pada level interpretasi, pemaknaan dan penerjemahan sosio kultural, bahkan berlangsung hanya pada tahap yang paling harafiah. Ada beribu contoh, bahkan art" literer kata "Islam" itu sendiri sudah membias amat jauh.
Di dalam kenyataan sejarah, ketika alam pikiran dan alam perilaku manusia telah sedemikian jauh mengalami pemiskinan dari apa yang secara potensial sebenarnya bisa digali dari agama, pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan biasanya adalah mengandaikan bahwa agama adalah sebuah "kotak" yang disepadankan esensi, eksistensi dan fungsinya dengan umpamanya, "kotak-kotak" lain yang bernama kekuatan ekonomi - politik, akumulasi kapital, investasi dan eksploitasi sumber daya alam. Kita lantas mengasumsikan bahwa taktor ekonomi clan politik adalah kekuatan yang kita anggap paling progresif dalam mendorong perubahanperubahan zaman. Kemudian kita melakukan komparasi dan berkesimpulan bahwa agama hanya kekuatan marjinal.
Kita memahami ekonomi, politik dan agama sebagaimana kita memilahkan kacang, kedelai dan jagung. Ilmu sosial melihat bahwa ada sebuah "rumah" kehidupan dengan bilik politik, bilik agama, bilik kultur, bilik hukum, bilik ekologi dan seterusnya. Agama tidak dipandang sebagai tawaran nilai-nilai, semacam muatan untuk batin (rohani dan intelek) untuk ditolak atau dipakai oleh penghuni "rumah" tersebut, serta memberinya gagasan bagaimana memperlakukan atau mengatur bilik-bilik tersebut.
Saya kira akan tiba zaman di mana orang tidak lagi mengatakan bahwa "bercocok tanarn itu pertanian, shalat itu agama" : pemahaman semacam itu telah memasuki ambang dekadensinya.
Jika seseorang menanam pohon, menyiraminya dan memelihara kesuburan tanahnya perbuatannya itu didorong oleh salah satu muatan yang dikandung agama, atau bersifat religius terlepas dari apakah orang tersebut menyadarinya atau tidak, mengakuinya atau tidak, menyebutnya demikian atau tidak.
Agama bukan ritus-ritus dan simbol-simbol. Ritus dan simbol adalah ungkapan budaya atas rohani muatan agama. Sebagaimana kata-kata bukanlah puisi, kata-kata hanyalah alat untuk mengantarkan puisi. Alat atau bahasa mengungkap puisi sama sekali tidak bisa diidentikkan dengan puisi itu sendiri.
Agama ditemukan orang kehadirannya tatkala mencangkul tanah dengan ketakjuban kepada keagungan Allah. Ketika menatapi hutan belantara, keremangan senja dan hamparan bintang-bintang, dengan kekaguman kepada daya keindahan-Nya, ketika berdagang dengan kesadaan akan Titik Pusat Hidup yang bernama Allah. Ketika nenjalankan politik, ekonomi, hukum, organisasi, gerakan, eknokrasi, negara, club, laboratorium, proyek-proyek, nemancing, berolah raga, bersenggama, dan apa saja, dengan keberangkatan dan orientasi Titik Pusat Kehidupan tersebut.
Dengan demikian, saya tidak bisa memakai suatu kerangka keilmuan -yang menyebut, misalnya, faktor ekonomi atau politik adalah non agama. Yang hidup dalam pengertiannya : apakah berpolitik, berekonomi, bersuami istri dan lain ebagainya adalah beragama atau tidak. Sangat sederhana.

****(selesai)****

Semarang , 30 November 1992
(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)
Manusia Sebagai Subyek

Jadi, permasalahan ini sangat jauh lebih dari sekadar "soal bahasa" atau "soal istilah". Dengan demikian agama pun bukan hanya tidak bisa berperan apa-apa terhadap proses kemajuan kehidupan manusia: ia memang sama sekali tidak dilahirkan untuk itu. Manusialah subyek yang harus bergerak, bekerja dan bertanggungjawab. Manusia pula yang maju atau mundur, yang untung atau rugi. Agama sendiri tidak memiliki hakikat untuk maju atau mundur, untuk untung atau rugi. Kalau seluruh urnmat manusia berduyun-duyun rneninggalkannya, Agama "tenang-tenang saja", tidak rugi sesuatu apa.
Oleh karena itu kalau harus berbicara tentang Agama, saya selalu merasa harus mengambil jarak yang setepat-tepatnya dan sejemih-jernihnya dari pemahaman tentang agama yang dikenal dalam ilmu-ilmu sosial. Ibu kelahiran ilmu sosial adalah realitas sosial yang disebut agama, yang dimaksud sesungguhnya adalah upaya terbatas manusia dalam mewujudkan nilai-nilai yang diambilnya dari agama.
Sedangkan agama itu sendiri, sekali lagi, sama sekali bukan hasil karya manusia, bukan produk kebudayaan, sehingga segala sesuatu yang berasal dari basil upaya atau rekayasa manusia, sejauh-jauhnya hanya bisa disebut manifestasi agama.
Agama berbeda dari manifestasi agama, seperti halnya matahari berbeda dari cahaya matahari, atau seniman berbeda dari karya seni atau dan rahasia alarn rohani yang menjadi sumber lahirnya karya seni.
Dalam hal ini saya sangat terikat oleh common sense : bahwa manusia tidak memiliki otoritas untuk menciptakan agama, memberi nama kepadanya, serta menentukan muatan nilai-nilainya; lepas bahwa kita bisa kekal memperbantahkan metode apa yang paling absah untuk menentukan apakah sesuatu - firman, umpamanya itu berasal dari Allah langsung atau tidak.
Katakanlah ini barangkali sekadar sikap pribadi : jika ada agama berasal dari manusia, saya tidak akan pemah bersedia menganutnya. Saya tidak percaya kepada manusia jenis apapun untuk bisa membimbing saya dalam hal-hal yang menyangkut kebahagiaan, kesejatian, keabadian dan lain sebagainya.
Akan tetapi kalau saya tidak menggunakan "pengertian agama secara sosiologis", tidak berarti saya lantas memakai "pengertian agama menurut agama saya sendiri". Yang bisa saya pakai hanyalah pemahaman atau tafsir, interpretasi saya atas agama menurut Yang Membuat Agama itu sendiri.
Analoginya barangkali seperti bunyi kokok ayam : apa bunyi kokok ayam? Setiap orang menirukan bunyinya, merefleksikannya berdasarkan citarasa dan pola ungkap musikalnya. Adapun bunyi kokok ayam itu ya bunyi kokok ayam : kalau ayam ditanyai apa bunyi kokoknya, ia cukup berkokok saja, dan sampai kiamat kita memperdebatkan hasil pendengarannya kita atas bunyi kokok ayam itu.
Pada level teoritis, agama memuat segala sesuatu yang terbaik yang diperlukan manusia untuk mengolah tuluan-tujuan hidupnya . Agama menyediakan demokrasi, etos kerja, kearifan, moralitas serta apa saja yang dibutuhkan oleh manusia dalam mempergaulkan dirinya dengan tanah, tetumbuhan, seluruh unsur alam, sesama manusia, cita-cita kebahagiaan dan kesejahteraan, juga menejemen keadilan, cinta dan kebenaran.
Namun dalam level kasunyatan (realitas), agama telah dihinakan oleh kebodohan manusia, diredusir oleh kepentingan subyektif manusia, bahkan diubah wajahnya menjadi faktor sejarah yang merepotkan dan menjadi sumber peperangan.
Agama dirancukan dengan organisasi sosial atau gerakan kebudayaan. Tidak sedikit orang berkata, meyakini dan memperbuat agama, padahal yang dimaksud sesungguhnya hanyalah sangkaan terhadap sesuatu yang mereka anggap sama.

(bersambung)========>>>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)
Agama sedang digadang-gadang untuk berperan memperbaiki peradaban masa depan ummat manusia. la ibarat pelita kecil di sayup-sayup abad 21 yang dituntut untuk menjanjikan sesuatu sejak sekarang.
Kecemasan para pakar pemerhati sejarah terhadap hampir seluruh evil product bidang-bidang politik, ekonomi, budaya serta semua muatan perilaku sejarah umat manusia, akhimya diacukan kepada kemungkinan peran agarna.
Tulisan ini sekedar permintaan interupsi sesaat, yang penawaran tesisnya amat bersahaja. Sebaiknya kita tidak usah terlalu tergesa-gesa memperpanjang pembicaraan tentang apa yang didorongkan oleh agama terhadap proses perubahan sosial, sebelum kita benahi dahulu dasar filosofi, epistemologi, atau bahkan "sekedar" struktur logika kita dalam memahami Agama.
Pada akhimya ini mungkin "sekadar persoalan tetapi saya tidak bisa berhenti pada anggapan demikian. Saya tidak pemah sanggup mengucapkan kata "Agama berperan dalam ..,". Saya hanya bisa menjumpai agama sebagaimana kayu, atom, biji besi, dedaunan atau anasir alam lainnya: ia tidak bisa menjadi subyek.
Agama harus tidak berasal dari nabi, murid-murid nabi, ulama, rohaniawan, pujangga atau jenis cerdik cendekia macam apapun. Agama hanya mungkin disebut agama apabila ia sepenuh-penuhnya merupakan hasil karya Tuhan lepas dari kenyataan bahwa kita boleh mernpertengkarkan secara metodologis mengenai bagaimana sesuatu itu absah dianggap sebagai hasil karya Tuhan.
Agama yang mungkin sah disebut agama apabila berasal dari Tuhan, dan bukan kebetulan bahwa Tuhan tidak pernah memerintahkan kepada agama untuk berperan apapun dalam kehidupan manusia. Yang menerima perintah adalah manusia, dan Tuhan telah memberinya fasilitas-fasilitas untuk menjalankan perintah itu. Sedangkan agama tidak memiliki akal sebagaimana manusia. Agama tidak akan dimasukkan ke sorga ataupun neraka. Agama adalah makhluk Tuhan yang sama sekali berbeda dari manusia. Agama itu
pasif, manusia itu aktif. Agama tidak memiliki kewajiban, tidak punya hak dan tidak dibebani tanggung jawab apapun.
Dengan logika pemahaman seperti ini seorang ahli tidak mungkin bisa mengatakan umpamanya "Agama tidak cukup untuk menangkal kenakalan remaja ...". Yang tidak cukup, dan senantiasa relatif dan polemis, adalah tafsir manusia terhadap agama.

(bersambung)=====>>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)
Pemikiran tentang pemisahan antara Negara dengan Agama selalu dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana menentukan batas-batas otoritas antara keduanya, serta bagaimana memproporsikan kontekstualitasnya balk pada level kehidupan pribadi dan budaya masyarakat, maupun pada level institusi dan birokrasi di mana muatan nilai-nilai itu dilegalisasikan.
Pada kenyataan kesejarahannya, setidaknya di Indonesia, kabumya konsepsi tentang batas-batas tersebut, cepat atau lambat potensial untuk menjadi kontroversi, bias, atau bahkan konflik yang sama sekali tidak bisa dianggap tidak serius. Sejauh ini, dalam realitas kenegaraan dan kemasyarakatan, kekaburan itu telah "menginventariskan" ketumpang-tindihan batas otoritas, bahkan keberlebihan klaim otoritas Negara di satu pihak dan semacam keagamaan pihak Agama di lain pihak.
Ketika KH Abdurahman Wahid melontarkan hasil persepsinya bahwa "di dalam Islam tidak ada konsep negara", pertanyaan keilmuannya adalah: Bagaimana memahami pernyataan itu dalam kerangka konsep Islam mengenai politik yang memuat fenomena seperti khilafah, daulah, juga formula-formula seperti qaryah, thayyibah atau baldah thayyibah.
Adapun pertanyaan politiknya adalah: Mengapa dari input "dalam Islam tidak ada konsep tentang negara", output yang diambil oleh Gus Dur adalah "maka kita tidak akan nendirikan negara Islam", dan bukan misalnya "maka kenapa kita menerima dan hidup dalam Negara", atau "maka pada saatnya nanti kita akan menolak Negara".
Apakah penyelenggaraan Negara Islam seperti di Iran atau yang sekarang sedang "ditawar-menawarkan" secara berdarah oleh Aijazair ("Teokrasi Islam, Republic of Allah, Kingdom of God") berada pada level (merupakan) ajaran langsung) Islam itu sendiri ataukah terletak pada tataran pemahaman, tafsir/interpretasi atas ajaran Islam. Apakah formula Negara Islam merupakan keniscayaan nilai Islam itu sendiri, ataukah merupakan salah satu kemungkinan hasil ijtihad, di sisi lain kemungkinan-kemungkinan yang telah termanifestasikan dalam sejarah maupun yang masih sebagai gagasan..
Dengan kata lain, segala realitas penyelenggaraan Negara Islam, apakah pertanggungjawabannya terletak pada Islam itu sendiri, ataukah pada penafsir, mujtahid atau interpretatornya.

(bersambung)======>>>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 /PadhangmBulanNetDok)
Konsep Kedaulatan dalam Islam:
Pewarisannya dan Penyelenggaraannya
Berikut ini saya paparkan pemahaman saya atas konsepi Islam tentang pewaris (dari/oleh Allah) dan penyelenggaraan kedaulatan dalam masyarakat manusia.
Tentu saja ada banyak kerangka acuan formal tentang itu, meskipun dalam tulisan ini saya hanya memilih makna perlambang dari struktur sejumlah al Asmaul ul Husna

Skema Pokok Konsep Khilafah
Allah ---> Khilafah ---> Ijtihad ---> Tajribah/Amaliah

Allah: Muasal dan muara segala eksistensi, balk yang dipahami melalui kreativitas intuitif/instinktif maupun kreativitas intelektual, yang mengeksplorasikan tiga wilayah informasi dari Allah: yakni realitas alam, manusia dan firman.
Khilafah: Pemandatan, pelimpahan, perwakilan terba:as kedaulatan cinta Allah, Kasih Allah dan kepengasuhan Allah kepada manusia (bukan kepada benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, juga bukan kepada makhluk lain seperti jin atau iblis).
Ijtihad: Proses pemahaman, penghayatan, dan penafsiran manusia terhadap pelimpahan khilafah Allah kepadanya.
Tajribah/Amaliah: Eksperimentasi, pengujian penerapan, yang sekaligus merupakan manifestasi, aktualisasi, perwujudan atau pengejawantahan,

Terminologi Bantu
Managemen Iman - Islam - Ihsan
Kualifikasi Fiqh - Akhlaq - Taqwa
Teori Sab'a atau Tujuh Langit
Asas Islam tentang La ikraha fid-din, tiadanya paksaan ialam penyelenggaraan sistem-sistem 'kedaulatan, kepengasuhan dan kasih sayang. Tingkat-tingkat benere dewe - benere wong akeh - bener kang sejati
Innama amruhu idza aroda syai-an-yaqula la-hu kun fayakun: tahap kesadaran dan pengelolaan dari landasan "amr" ke 'iradah" dengan mempedomani "qoul" , agar "kun fayakun"
Serta mungkm yang lain-lain, yang diuraiakan jika merupakan keperluan forum.

Skema Terurai
Allah sebagai Khaliq (pencipta sejati), Ilah (pemilik kelaulatan), Rabb (pengasuh, pendidik, pengelola).
Akar Fungsi atau kedudukan Allah sebagai Khaliq, Ilah maupun Rabb adalah watak-watak: 'Alimul Ghaib (mengetahui segala yang tidak diketahui), Rahman (pengasih, cinta "personal") (mengacu ke sifat Ahad), Rahim (penyayang, cinta "universal") (mengacu ke sifat Wahid).
Muatan Qudus (yang kedaulatannya legal sejati sehingga benar sejati), Salam (yang sungguh-sungguhnya nenyelamatkan, mendamaikan, mengamankan), Mu'min yang jaminanNya mutiak bisa dipercaya), Muhaimin yang janjiNya menenteramkan).
Muatan Malik (satu-satunya raja sejati), 'Aziz (segala ciptaan adalah pantulan kegagahanNya), Jabbar (keperkasaanNya), Mutakabbir (kesanggupan absolutNya untuk menguasai segala sesuatu).
Muatan Rabb: Bari' (Maha menata sistem-sistem ciptanNya), Mushawwir (Maha menggambar, melukis kendahan dan keseimbangan segala sesuatu).
Serta jalin menjalin indah antara skema pokok, skema terurai beserta muatan-muatannya.
(bersambung).......=>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 /PadhangmBulanNetDok)

Ijtihad Khilafah ke Tajribah/Amaliah
Padi rnenjadi beras menjadi nasi.
Dari Tafsir ke ilmu menuju ke ideologi membentuk sisemisasi dan strukturisasi
Fenomena-fenomena dinamis (dinamika ijtihad/ pencarian/kreativitas ilmu dan peradaban manusia): Daulah - Qaryah - Baldah - Negara atau formula republik, kerajaan serta model penerapan kedaulatan yang lain.

Sejumlah Proyeksi
Skema konsep khilafah di atas adalah "sumur" yang sesungguhnya bisa ditimba untuk berbagai keperluan, kepentingan sehingga penguraian maknanya bisa merupakan rakitan yang berbeda-beda sesuai dengan konteks yang diperlukan.
Untuk kebutuhan tema yang kita bicarakan dalam forum ini, barangkali beberapa proyeksi di bawah ini perlu untuk kita ketahui bersama:

Moralitas Khilafah
Allah atau apapun Ia disebut, merupakan asal muasal segala eksistensi, segala wujud, segala kedaulatan, segala kasih sayang, segala kesantunan dan kepengasuhan. Kehidupan segala makhluk secara kosmologis (dan karena itu akhirnya secara filosofis dan teologis) tidak punya kemungkinan lain kecuali mengacu kembali kepadaNya (ilaihi roji'un).
Manusia tidak sanggup dan tidak pemah menciptakan atau mengadakan dirinya sendiri. Manusia tidak pernah menyelenggarakan eksistensinya atau "perpindahannya dare tiada menuju ada". Manusia hanya effek, atau produk, atau hasil karya dari inisiatif agung Penciptanya.
Oleh karena itu adalah suatu kebenaran ilmiah bahwa manusia tidak pernah memiliki sesuatu, melainkan hanya dipinjami sesuatu, diwarisi sesuatu, dalam batas dan penjatahan yang ditentukan oiehNya.
Jika kita berbicara tentang konsep pemilikan kedaulatan atau pemilikan alarm misainya: itulah ilmu dan realitas hakikinya. Hanya Allah "Tuan Tanah Sejati", dan hakNya absolut untuk itu semua. Juga hanya Ia "Raja Sejati", dan raja-raja yang lain hanya berkedaulatan relatif dan pinjaman.
Hak dan kewajiban manusia dalam mengelola perwarisan itu disebut khilafah, yang diterapkan dalam etos ijtihad, tajribah dan atau amaliah.
Keda-ulatan atau kekuasaan atau hak kepemimpinan tidak dimandatkan oleh Allah kepada manusia secara berdiri sendiri (ilah, malik), melainkan besertaan dengan pemandatan kasih sayang, kepengasuhan dan kesantunan (rabb, rahrnan, rahim).
Adapun kekuatan, kegagahan dan keperkasaanNya ('aziz, jabbar, mutakabbir) pun dimandatkan kepada manusia dengan perimbangan sifat-sifat terpercaya, menenteramkan, mengamankan, menjamin pemenuhan janji (qudus, salam, mu'min, muhaimin).
Bahkan kepenciptaan atau kreativitas Allah dipinjamkan secara terbatas beriringan dengan kesediaan menata, memproporsikan, mengorganisasikan, mensistemisasikan, serta menyempumakannya dengan keindahan (khaliq, bari', mushawwir) (bahasa Jawanya: mamayu hayuning bhawana).
Keseluruhan proses penyelenggaraan khilafiah itu berakar pada watak 'alim-ul ghaib. Ini merupakan informasi tentang keterbatasan manusia. Merupakan dorongan untuk keajegan menc2ri ilmu. Merupakan anjuran agar berenda_h hati. Merupakan kritik atau pengingat agar para mandataris kedaulatanNya tidak terjebak oleh "tuhan dunia" yang wadag.
Akar yang lain adalah watak rahman ("cinta pribadi", kasih Allah sebagai diriNya sendiri yang "berjarak" dengan manusia: konsep ahad) dalam posisi berimbang dengan watak rahim ("cinta universal", kasih Allah dalam konteks penyatuan, kemenyatuan dan kebersatuanNya dengan manusia) (: konsepsi wahid, yakni yang ditempuh manusia melalui proses tauhid yakni mengarahkan dirinya, kenendaknya, perllaku pnbadmya, pilihan sistem nilai sosialnya, hukum kemasyarakatan dan kenegaraannya, agar menyatu, sama dan searah dengan kehendak Allah).
(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)
Bagaimana mungkin orang Madura berani tidak hidup serius dan anti serius, lha wong Tuhan sendiri saja seriusnya setengah mati ketika menggagas, menskenario dan memanggungkan "la'ibun wa lahwun"--permainan dan senda gurau, begitu kata firman-Nya--di muka bumi dan tempat-tempat lain di kosmos ini.
Kalau Ia berkata: "Aku ini Maha Pengasih dan Maha Penyayang", itu serius. "Aku ini Maha Penjaga dan Maha Pemelihara," itu tidak main-main. Ia mendelegasikan sejumlah Malaikat untuk memelihara pertumbuhan rambut Anda sampai sepanjang-panjangnya dan terus menerus tumbuh sehingga salon dan barber shop memiliki kemungkinan permanen untuk hidup. Para Malaikat lain Ia perintahkan untuk merontokkan rambut orang-orang tertentu, supaya Malaikat itu bisa membedakan mana orang yang ikhlas menerima kebotakannya dan siapa lainnya yang memakai wig atau sekurang-kurangnya menutupinya dengan topi di mana-mana. Sementara beberapa Malaikat lain Ia instruksikan untuk menahan laju pertumbuhan bulu alis dan idep di pinggiran mata Anda sampai hanya di bawah satu senti meter saja, sebab kalau tidak: mekanisme sosial masyarakat manusia akan menjadi lain dan estetika wajah manusia akan berubah konsepnya.
Begitu seriusnya mengkonsepsikan pen-ciptaan-Nya hingga ke detail-detail yang tak terhitung oleh ultrakomputer. Setiap matahari terbit dan manusia bangun dari tidur lelapnya, senantiasa terdengar oleh telinga batinnya--dan seringkali tak terdengar oleh gendang dan daun telinga dagingnya--suara gaib bahwa Ia itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Seorang tua renta yang sepanjang hidupnya menyembah berhala, tiba-tiba terdengar suara itu di tengah sakit parahnya yang tak sembuh-sembuh. Kepada berhalanya ia putus asa dan merasa dendam. Ia berteriak pagi itu: "Baiklah, kalau kamu memang tidak bersedia menyembuhkan aku, terpaksa aku akan meminta kepada Tuhan yang namanya Allah atau siapa itu untuk mencoba menyembuhkanku. He, Allah! Kalau memang Kamu ada, kalau memang Kamu Maha Kuasa, kalau memang seperti kata orang-orang Kamu adalah Maha Pengasih dan Penyayang...sembuhkan penyakitku!"
Si tua renta itu membentak-bentak Tuhan sehingga para Malaikat yang mendengarnya langsung tersinggung berat, naik pitam, dan hampir saja digamparnya itu orang, kalau saja mereka tidak ingat bahwa mereka hanya diperkenankan melakukan apa-apa yang diperintahkan oleh Tuhan. "Ya'malu ma yu'marun", hanya mengerjakan yang Allah perintahkan. Maka berbondong-bondong mereka dengan penuh emosi mendatangi Tuhan dan mengadukan perilaku si tua renta yang kurang ajar dan menyinggung perasaan itu.
"Ya Allah, ada seorang hamba-Mu yang tak tahu diri. Ia sembah berhala selama 79 tahun, kemudian di ujung usianya sakit parah dan berhala yang disembahnya itu tak menyembuhkannya. Lantas ia dendam dan menentang Engkau. Kalau memang Engkau ada, kalau memang Engkau Pengasih dan Penyayang, ia minta bukti berupa kesembuhan..."
Allah menjawab dengan santai namun muatannya sangat serius: "Ya sudah, sembuhkan saja sekarang dia!"
Para malaikat langsung protes: "Lho, bagaimana, sih? Lebih dari seratus juga umat-Mu di Indonesia berdoa bertahun-tahun agar SDSB dibubarkan, baru belakangan ini saja Engkau mengabulkan. Dan doa-doa mereka yang menyangkut kekalahan politik mereka, kekalahan ekonomi dan kebudayaan mereka, sampai hari ini Engkau biarkan terbengkalai. Padahal umat-Mu di negeri indah itu sudah mati-matian salat, hajinya meningkat tiap tahun, sudah bikin masjid di mana-mana, ulamanya sudah kompak selalu dengan umara...tapi Engkau biarkan mereka terkantung-katung dalam ujian-Mu dan hukum-Mu. Lha, ini ada seorang kafir penyembah berhala mau ngetes Engkau, kok langsung saja Engkau kabulkan permintaanya?"
Tuhan tetap santai juga menjawab: "Lha, kalau doanya tidak Saya kabulkan, lantas apa bedanya antara aku dengan berhala itu!"
Jadi, ammaba'du, demikian seriusnya Allah atas dirinya sendiri, demikian konsistennya Ia atas ucapan dan janji-janjiNya sendiri. Bagaimana mungkin orang Madura berani 'dak serius kepada Tuhan dan dirinya sendiri?
Tapi memang juga ada sih, anak-anak muda Madura yang terkadang berani bersenda gurau yang keterlaluan kepada Tuhan, seperti mahasiswa asal Batang-Batang ujung timur Madura yang di kampusnya diangkat jadi Menwa ini.
Pada suatu hari di antara berbagai jenis kemiliteran, ia diwajibkan ikut berlatih terjun payung. terjun payung! Gila. Naik ke angkasa, lantas anjlok ke tanah! Iya, kalau payungnya bisa di buka. Kalau tidak ? Kalau tiba-tiba lupa caranya mengembangkan payung? Kalau mendadak gegar otak sementara?
Jadi betapa mengerikan. Si pemuda batang-batang ini terus terang saja ketakutan setengah mati. Mending carok melawan rambo dari pada terjun payung.
Tapi, demi harga dan kehormatan Madura, akhirnya ia layani juga kewajiban itu.Ia berlatih sebisa-bisa sambil memompa keberanian di hatinya. Tetapi ketika saatnya untuk harus terjun beneran tiba, ternyata ketakutannya belum reda. Badannya dingin panas, dadanya gemetar. Dan dalam keadaan seperti itu, siapa lagi kalau bukan Tuhan sahabatnya.
Maka ketika berbaris menuju pesat, diam-diam ia berdo'a: "Ya Allah, kalau Engkau selamatkan aku dalam tugas ini untuk kembali ke bumi tanpa kurang suatu apa, aku berjanji akan menyembeli ayam ...
Semakin dekat ke pesawat, doanya semakin seru, konsesi yang ia tawarkan kepada Tuhan pun meningkat. "Tidak hanya seekor ayam, Tuhan, tapi lima, lima ekor yang akan saya sembelih!"
Ketika kemudian ia naik pesawat, duduk berbaris, melirik jendela dan melihat betapa jauhnya bumi di bawah, konsesi membengkak pesat: "Sapi, Tuhan, Sapi! Saya akan sembelih sapi!
Dan ketika satu persatu anggota Menwa itu didorong terjun dari pintu pesawat, lantas ia sendiri merasakan tangan sang komandan menyorong punggungnya, lantas terlontar dari mulutnya: "Sapi! Sapi! ..'
Tapi kemudian, tatkala ia sukses menjalani tugasnya, menjejakkan kakinya kembali di tanah, Si Batang-Batang ini menengadahkan wajahnya ke atas sambil bertolak pinggang: "Meskipun saya 'dak sembelih sapi, mau apa! Aku tahu Engkau tak butuh sapi!"
(Emha Ainun Nadjib/"Folklore Madura" ("Demokrasi Tolol Saridin")/Progress/PadhangmBulanNetDok)
Sesudah melakukan dosa terkutuk itu, Daud, sang Nabi, menangis 40 hari 40 malam.
Ia bersujud. Tak sejenakpun mengangkat kepalanya.
Keningnya bagai menyatu dengan tanah. Air matanya meresap membasahi tanah tandus itu sehingga tumbuhlan reumputan. Rerumputan itu kemudian meninggi merimbun dan menutupi kepalanya.
Allah menyapanya.
Bertambah nangis ia, meraung dan terguncang-guncang. Pepohonan di sekitarnya bergayut berdesakan satu sama lain mendengar raungan itu, kemudian daun-daunnya rontok, kayu-kayunya mengering, oleh duka derita dan penyesalan Daud yang diresapimya.
Dan Allah masih juga 'menggoda'nya:
"Daud, Engkau lupa akan dosamu. Engkau hanya ingat tangismu."
Dan sang Nabi terus berjuang dengan air matanya.
Air mata kehidupan Daud bagai samudera.
Kesunngguhan Daud terhadap nilai-nilai ketuhanan -- ya nilai kehidupan ini sendiri -- bagai samudera.
Adapun saya, yang hidup ribuan tahun sesudah Daud, hanya pernah menitikkan air mata beberapa cangkir. Juga apa yang saya bisa sebut air mata ruhani saya.
Di dalam zaman yang telah jauh maju ke depan ini, barangkali saya bersemayam di kehidupan yang ringan dan riang melakukan dosa-dosa.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1995/PadhangmBulanNetDok)

Dalam wacana para Nabi dan Rasul Allah, pada masing-masing zaman, terdapat 'perjalanan peradaban' yang berkaitan dengan penyembahan kepada Sang Kuasa. Tentang bagaimana Allah SWT memposisikan diri-Nya.

Pada zaman Nabi Ibrahim AS, misalnya, Allah SWT 'berposisi' sebagai 'pihak ketiga' (Dia). Atau pada jaringan masyarakat tarikat tertentu dikenal dengan dzikir Huwa. Sedangkan, di zaman Nabi Musa As, Allah SWT 'berposisi' sebagai 'pihak kedua' (Engkau), atau Anta. Dan, pada perkembangan peradaban di zaman Nabi Isa AS, Allah SWT 'berposisi' sebagai 'pihak pertama' (Aku), atau Ana.

Rasulullah yang terakhir, yakni Nabi Muhammad SAW merupakan manajer dari keberbagaian kemungkinan dalam kehidupan ummat manusia: kapan efektif memposisikan Allah sebagai Dia, kapan sebaiknya lebih tegas dengan meng-Engkau-kan Allah, serta kapan diperlukan kesadaran internal di mana empati keilahian
sangat dianjurkan. Bukan mengatakan bahwa 'Aku adalah Allah', melainkan kesadaran logis bahwa sesungguhnya kita dan semua ciptaan ini aslinya tiada, sekedar diselenggarakan oleh-Nya dan 'pertunjukan' bisa diakhiri oleh Allah kapan saja Dia mau.

Maknanya sederhana: kita tak usah pethakilan. Tak usah sok dan mbagusi. Tak usah suka sesumbar dan nantang-nantang. Tak usah meremehkan siapa-siapa. Tak usah habis-habisan merekayasa pertahanan kekuasaan. Sebab kapan saja bisa stroke dan di-cengkiwing oleh petugas Allah untuk dibawa ke tempat yang kita belum tentu siap melayani prinsip-prinsip hukumnya.

Peradaban di zaman Nabi Ibrahim AS, di mana Allah diposisikan sebagai pihak ketiga (Dia), dilambangkan oleh proses masa pencarian Nabi Ibrahim pada Tuhan Yang Menciptakan Langit dan Bumi. Kondisi masyarakat di zaman 'Bapak Tauhid' itu kebanyakan masih menyembah berhala. Berhala dalam arti yang
wadag. Termasuk bapak Nabi Ibrahim sendiri. Berbeda dengan berhala-berhala kita sekarang yang bertebaran di plaza-plaza, mal, gedung-gedung tinggi dll. Saat itu, pelopor penyembahan kepada berhala atau patung-patung itu adalah Raja Namrud, sementara direktur eksekutif pabrik berhala adalah Bapaknya Nabi Ibrahim AS sendiri.

Ibrahim AS menolak menjadi direktur pemasaran berhala. Ia sedang sibuk mencari Produsen yang Sejati. Dan dalam proses pencariannya itu, Nabi Ibrahim menyangka bahwa tuhannya adalah bintang, lantas bulan, lantas matahari, yang ternyata keliru.
Karena ketekunannya dan keyakinannya, akhirnya Nabi Ibrahim benar-benar 'menemukan' Tuhan Maha Pencipta Semesta Alam ini.
Itulah makna bahwa Allah berposisi sebagai 'pihak ketiga.

Pada zaman Nabi Musa, Allah di-Engkau-kan. Nabi Musa sempat berdialog dengan Allah di Bukit Thursina. Itu menandakan bahwa Nabi Musa dengan Allah sebenarnya berhadap-hadapan, karena sedang berdialog. Tidak terlalu jauh dari peradaban Nabi Musa, Nabi Yunus As melakukan pertobatan dengan kalimat yang
memposisikan Allah sebagai 'pijak kedua', dengan mewiridkan La ilaha ila Anta subhanaka inni kuntu minadz-dzolimin, tidak ada Tuhan selain Engkau ya Allah, sungguh Maha Suci Engkau, dan kami ini termasuk orang-orang yang dzalim.

Sementara di zaman Nabi Isa AS, Allah 'diposisikan' sebagai pihak pertama (Aku). Ketika itu, Nabi Isa benar-benar 'membawa' dan 'menebarkan' cinta-kasih, kelembutan, dan kasih sayang kepada kaumnya. Dalam perspektif yang lebih mendalam, Nabi Isa benar-benar meneladani sifat Rahman-Rahim Allah, sedemikian rupa sehingga muncul gagasan bahwa ia adalah Tuhan itu sendiri. Apalagi ia juga mendapat mu'jizat dari Allah berupa keistimewaan-keistimewaan, seperti bisa menyembuhkan orang yang sakit, buta, bisa menghidupkan orang yang sudah mati atas izin Allah, dan sebagainya. Orang jadi 'tidak tega' kalau tidak menganggap dan mengakuinya sebagai Tuhan.

Yang kita butuhkan sekarang hanyalah imajinasi tentang imajinasi. Bayangkan apa yang terjadi, bagaimana kemungkinan adegan-adegannya, kedalaman dan kedangkalan hubungan yang berlangsung, tingkat kemesraan, kejujuran dan kebohongannya --jika kekasih kita itu terletak di sana (sehingga kita sebut
'Dia'), dengan jika kekasih kita itu ada di hadapan kita (sehingga kita panggil 'Engkau'), serta dengan jika kekasih kita itu tak berbatas dan menyatu dengan diri kita sendiri (sehingga seakan-akan Ia adalah Aku ini sendiri, dan Aku adalah Ia sendiri).
(Emha Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNetDok)

Para pembeli di warung kopi makin lama makin suka baca koran. Mempero!eh inforrnasi sudah sarna kedudukannya seperti rnandi, makan nasi atau kerokan.
Orang makin maju, karena tak mungkin berjalan ke belakang. Dulu orang cukup nguping, rerasan sana sini.
Budaya rerasan itu lantas dilembagakan, dicanggihkan, dalam maksud yang positif. Koran jual berita seperti warung jual mendoan. Maka semoga yang dijual oleh koran selalu 'rnakanan' objektif, sehat, bergizi, gurih, tidak dilatarbelakangi oleh subjektivitas kelompok ini-itu yang bisa bikin mencret. Meskipun demikian, kalau toh mencret, orang sudah terbiasa jajan di warung yang makanannya tak dilindungi dari debu dan lalat.
Pelanggan warung kopi kita amal: suka berita kriminal, humor, iklan, atau guratan-guratan apa saja yang kira-kira bisa diindikasikan (oleh sebagian pelanggan) sebagai petunjuk nomer lotre.
Yang paling kuaang disukai biasanya ialah kutipan pidato. Pejabat ini bilang begini, sarjana itu bilang begitu.
Bahasanya canggih, istilah-istilahnya ningrat. Seperti roti dari planet, sukar dikunyah dan tak jelas rasanya di Iidah.
Apa tho kapitalisme itu? -- seseorang nyeletuk dengan susunan bunyi yang terbata-bata.
Oo, itu bongso sosialisme atau apa itu .. . - kata yang lain.
Tentu saja omong-omong cepat mandeg. Maklum ketika itu pelanggan yang datang umumnya berasal dari kalangan sosial ekonomi lapis bawah atau setidaknya menengah bawah. Jadi tingkat pengetahuannya mengenai bahasa-bahasa modern (dus bukan atau belum tentu tingkat intelektualnya) serba bawah juga.
Saya jadi punya kesernpatan jadi Dosen. Maklumlah saya kan mustahil jadi dosen. Saya bilang, kapitalisme ialah orang mengatakan: "Punyaku ya punyaku, punyamu ya punyaku..."
Ada prinsip ekonomi: dengan modal serendah-rendahnya, kita peroleh hasil setinggi-tingginya. Itu sebuah sikap mental, yang 'mimpi' idealnya ialah: tanpa modal, kita peroleh semua. Maka adanya monopoli, tatanan sentral-periferi, jurang kaya-miskin, akan berlangsung 'dengan sendirinya' meskipun diselenggarakan aturan main untuk mengontrolnya.
Sosialisme itu sebaliknya: "Punyaku ini punyamu, punyamu itu punyaku": Meskipun demikian, di banyak negeri sosialis, rakyat bilang, "Punyaku punyamu, punyamu punya-mu". Sementara penguasa berbisik di dalam hatinya, "Punyamu punyaku, punyaku punyaku".
Lha, lantas ada suara lain bilang: Tak ada punyamu, tak ada punyaku. Yang punya hanya Tuhan. Milik itu hanya wewenang Tuhan. Ku itu tak ada kecuali Tuhan. Ku lainnya itu pinjaman.
Tapi siapa percaya kata-kata ini?
Ada. Hati kecil semua rnanusia. Hati kecil kita. Tetapi hidup kita tak mengandung keberanian untuk meyakini dan rnelaksanakannya. Maklumlah, lha wong kita.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)

Untuk mencapai dusun itu kita musti naik oplet dari Balerejo ke Kaliangkrik.
Dan oplet itu, alangkah indahnya! Buntung, buruk, coreng-moreng, tanpa nomer, menggeram sepanjang jalan-jalan rnendaki yang curam dan memanjang. Orang bertumpuk berjejal bahkan berkeleweren di ekornya. Ibu-ibu bakul, Bapak-bapak, anak-anak, orang-orang perkasa yang bekerja amat keras dan punya nyali besar untuk menghadapi kesengsaraan hidup.
Alangkah besar jasa oplet buntung ini. Itu rahmat yang bukan main besar dan megah dibanding teknologi transportasi di zaman Majapahit atau Mataram. Dan itu amat membantu kemudahan hidup mereka.
Kemudian baru kita naik ojek, untuk menaki jalanan berbatu-batu yang Iebih curam lagi dan berkelok-kelok.
Pembangunan amat sukar untuk mampir di daerah-daarah seperti itu, kecuali bila di dusun-dusun itu terdapat sumber tambang emas. Yang amat gampang dijumpai adalah pembangunan: Dua anak cukup, B3B, bebas tiga buta, tertulis di pintu-pintu rumah.
Tetapi ada satu dua hal yang insya Allah membuat Anda bersyukur. Manusia-manusia di sini masih amat manusia dibanding manusia manusia kota modern yang terkadang menjadi mesin, terkadang menjadi binatang dan terkadang menjadi setan. Air muka mereka, hubungan sosial mereka, cara mereka menyapa dan memperlakukan kita: semuanya menunjukkan bahwa mereka amat dekat dengan kita sebagai marusia dan sungguh-sungguh merupakan manusia yang memperlakukan kita sebagai manusia,
Dengan siapa saja Anda ketemu, orang-orang tua, para pemuda maupun anak-anak kecil, selalu menyapa kita dengan dakwah yang mulia: "Pinarak! Pinarak! Saestu pinarak!" -- dan begitu Anda rnemasuki rumah, apa pun saja yang mampu mereka suguhkan pasti mereka suguhkan.
Di desa seperti itu tidak mungkin ada gelandangan. Kalau Anda inendapat kesulitan, semua orang yang mengetahui akan terlibat mengusahakan pertolongan untuk Anda.
Tapi kita sudah telanjur berpendapat bahwa mereka itu golongan manusia yang terbelakang. Under developed. Karena mereka tidak produktif seperti mesin, tidak haus dan kejam seperti binatang, dan tidak licik seperti setan.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)

Di Jakarta, pusat kemajuan Indonesia, terdapatlah seorang wanita bintang seks yang cukup terkenal. la seorang foto model dan bintang film yang dianugerahi Tuhan wajah cantik dan tubuh indah. Rupanya ia tidak 'egois': anugerah itu tak dipakainya sendiri atau tak dipersembahkan hanya buat suaminya tercinta. la 'mendermakannya' kepada sebanyak mungkin orang, dengan cara membuka dan memaparkan keindahannya itu di depan kamera.
Berkat 'kedermawatian'-nya itu, ia pun memperoleh uang dan kekayaan yang jauh melebihi kebanyakan penduduk negerinya.
Itu, tentu saja, bukan berita aneh. Bahkan 'bukan berita'. Sebab kita sudah terbiasa memadukan baik dengan buruk secara harmonis. Kita mampu mengiklankan "budaya timur" sambil melanggarnya. Kita sanggup mempidatokan Ketuhanan Yang Maha Esa justru untuk melanggar-Nya. Kita ahli bicara soal film yang kultural edukatif sambil memproduksi barang jualan yang kurang beradab dan tak mendidik. Dunia jahiliah sudah mendarah daging, sehingga
 makin tdak terasa.
Yang menjadi berita adaiah bagaimana bintang seks kita itu mendidik putrinya. Dengan sadar ia menggiring anak kinasihnya untuk mengikuii jejaknya. Ia bahkan bangga.
Tahun ini sang putri berumur 16. Berbagai fotonya dengan pakaian yang justru menonjolkan bentuk tubuhnya yang amat merangsang telah mulai terpampang di beberapa media massa cetak. Sang putri ini sangat cerdas bagaimana mewarisi semangat ibunya, dan sudah canggih bikin pernyataan kepada wartawan: "Saya sudah siap melakukan adegan-adegan panas. Memang saya mengambil pengalaman dari yang Ibu lakukan,
tapi saya ingin menjadi diri sendiri."
Maksudnya, ternyata, "Saya ingin tampil lebih hangat. Tapi juga ditunjang oleh kemampuan akting. Kalau soal buka-buka pakaian di depan 'camera sih soal gampang, tapi bagaimana menentukan pose dan akting yang pas, itu yang harus saya pelajari."
Kenapa hal ini rnenjadi berita?
Karena, biasanya, pelacur yang paling pelacur pun tak menginginkan anaknya jadi pelacur. "Biarlah saya rusak, tapi anak saya harus jadi orang balk-balk" biasanya demikian pelacur bersikap. Bahkan ada pelacur yang dengan sadar melacurkan diri demi membiayai proses kemajuan anaknya menuju masa depan yang balk. Pelacur biasanya punya cita-cita luhur bagi anak-anaknya. Ia menjadi pelacur tidak
 karena keyakinan atau hobinya, tetapi karena keterpepetan untuk menjadi semacam martir.
Jadi apa yang kita jumpai pada bintang seks kita di atas, adalah gejala yang berbeda.
Saya menduga itu bukan hanya fenomena psikologis melainkan lebih dari itu: ia adalah munculan dari gejala peradaban yang lebih luas dan makin merata.
Merata. Masuk kampung kita. RK dan RT kita. Lantas rumah kita.
Sementara itu kita sibuk mempertengkarkan apakah huruf alif sebaiknya ditulis lurus atau sedikit bengkok.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)
Terkadang saya ingin mengajak teman-teman untuk sedikit gila, dengan tujuan supaya agak sedikit waras.
Misalnya, kalau lagi jalan-jalan mendadak hujan. Mbok tak usah berteduh. Ya terus saja berjalan. Biasa,berjalan biasa.
Hujan itu baik. Apalagi hujan musim sekarang ini: sekian lama kita menanti-nantinya seperti menunggu kedatangan seorang kekasih yang berbulan-bulan jadi TKW di Arab Saudi.
Hujan kita dambakan, bahkan pakai sembahyang istisqa' segala. Sekarang, kalau hujan datang, kita berhamburan lari ke trotoar toko.
Padahal kita ini makhluk waterproof. Tahan hujan, seperti plastik. Kehujanan bukan hanya tak apa-apa, malahan segar. Sejak kecil hobi kita berhujan-hujan. Sebenarnya yang kita lindungi dari hujan itu pakaian kita, atau make-up di wajah kita. Entah kenapa pakaian kik tidak bela-bela. Kita sampai membeli mantel segala.
Kalau hujan tiba-tiba menghambur, kitapun lari berhamburan seolah pasukan Israel datang.
Sedangkan tubuh kita ini senang kepada hujan. Di samping tak membuat kita mati, sakit lepra atau bisul, hujan itu rakhmat Tuhan, meskipun terkadang menyimpan bebeberapa rahasia. Tak bisa kita bayangkan kehidupan tanpa hujan.
Seperti juga tak bisa bayangkan kehidupan tanpa matahari. Kalau terjadi banjir, mungkin karena manusia tolol mengelola tatanan alam, mungkin karena konstruksi kota kita kacau, atau mungkin karena maksud-maksud tertentu dari Tuhan untuk menyindir manusia yang pintar berkhianat.
Jadi ayolah jalan-jalan dalam hujan.
O, takut buku-buku Anda jadi basah? KTP?
Surat-surat ini-itu? Itu bisa dibungkus plaastik rapat-rapat, seperti pakaian nanti bisa dicuci.
Atau takut masuk angin? Kok bisa kehujanan saja lantas masuk angin? Salahnya badan tak dilatih. Badan dimanja seperti bayi. Beli pakaian terus menerus hanya untuk mengurangi daya tahan tubuh dari angin dan hujan. Padahal angin dan hujan itu sahabat darah daging kita. Sama-sama anggota alam.
Ayolah, jalan-jalan dalam hujan. Kalau pergi buka baju, kecuali wanita. Wanita musti menempuh 'metode' lain untuk memelihara kekuatan tubuhnya.
Tapi, astaga, saya lupa. Ada yang namanya kebudayaan!
Kebudayaan ialah memakai sandal, celana dan baju. Kebudayaan tinggi ialah memakai sepatu, jas dan dasi. Astaga, anehnya. Kalau keluar rumah tanpa alas kaki, itu tak berbudaya. Kalau diatas celana tak ada kaos, masuk supermarket, itu primitif. Kalau hanya pakai celana pendek saja, pergi ke perjamuan, itu saraf. Aneh sekali nilai-nilai kita ini!
Tapi percayalah, kalau di tengah hujan, kita berjalan terus saja dan biasa saja, masih dianggap belum terlalu gila.
Hujan al mukarram kekasihku! Kau kurindukan dan diperlukan untuuk beberapa kepentingan. Tapi. kami, manusia, sesungguhnya sudah tak lagi akrab denganmu secara pribadi.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996)
Apakah satu dua malam akhir-akhir ini listrik di tempat Anda suka ngaso*) juga seperti di kampung saya?
Derita dan keterpepetan membuat orang sewot, marah, jengkel, atau justru kreatif. Paling tidak, kita jadinya bisa menyelenggarakan diskusi gratis, tanpa budget macam-macam termasuk "uang tak terduga" yang sudah kita duga secara persis.
Begitu sang listrik 'tidur', teman-teman di rumah kontrakan saya mengomel. "Terasa sekali betapa kita ini tergantung kepada alat-alat yang kita ciptakan sendiri," kata seseorang.
"O, ya! yang lain nyeletuk, "Di zaman Maapahit sudah ada minyak tanah atau belum ya?"
Kemudian diskusi menjadi riuh, dan saya bersyukur tidak sedang ada tamu seorang sejarawan. Sebab dia bisa dijawabnya secara persis.
Kita tahu Gajah Mada bersumpah, Ranggalawe cemburu sosial, Raden Wijaya menjebak pasukan Cina, Suhita didongengkan sebagai Kencanawungu, Perang Bubat membawa dampak psikologis berabad-abad.

Tapi kita tak tahu, dan tak berminat tahu, bagaimana persisnya kostum harian orang Majapahlt, apakah mereka pakai jarum untuk dondom,**) atau bagaimana orang dusun misuh"*) waktu itu, atau apa saja kek.

Kita hanya tahu hal-hal mengenai kekuasaan. Kita membikin buku pelajaran dan mengisi jiwa siswa-siswa sekolah dengan hal-hal mengenai kekuasaan. Kekuasaan.
Kita mengerti Gajah Mada, karena diejek, cancut tali wanda, rnenggenggami kerajaan-kerajaan di sekitarnya, nglurug****) sampai Muangthai segala. Termasuk Ekspedisi Pamalayu yang berkepanjangan.
Lepas dari kita setuju atau tidak, tapi jarang awak berpikir bahwa Gadjah Mada melakukan itu tanpa walky talky, tanpa teknologi militer yang kini bisa memusnahkan bumi dengan sejentikan jari, tanpa kapal berapi, tanpa pesawat tempur, tanpa satelit yang bisa mendeteksi dari angkasa - apakah di Kecamatan Wonokromo ada pabrik senjata atau tidak.
Lha sekarang ini listrik mati seperti kehilangan Tuhan rasanya. Kalau motor macet, kita sudah hampir tak punya mentalitas untuk pakai sepeda. Kalau baju robek, malu pakai - seolah sama dengan dosa tak sembahyang Jumat. Kita juga tak berani jalan-jalan di Malioboro tanpa sepatu atau sandal.

*) Ngaso: istirahat.
**) Dondom: menjahit tidak dengan mesin.
***) Misuh: mengomel.
****) Nglurug: bertandang.

Tiap hari Anda naik biskota ya? Memang terkadang susah bukan main. Panas, berjejal-jejal. Apalagi kaiau pada jam orang pergi atau pulang kerja, sekolah, kuliah. Kita bergelantungan. Padahal babi, sapi atau kuda, diangkut di atas truk dengan diatur balk-balk. Memang kita tidak ditali seperti binatang-binatang itu, tapi yakin haqqulyaqin, jelas ada tali yang terasa keras menjerat leher nasib kehidupan kita. Dan itu amat terasa
tatkala tubuh kita terhimpit-himpit.
Bahkan wanita-wanita merelakan bagian-bagian tubuhnya bertempelan dengan laki-laki. Ada semacam moralitas khusus dalam budaya naik bis. Moralitas itu tak berlaku begitu kita turun bis. Kalau kita terus menempel di tubuh wanita sekeluarnya dari bis, akan terjadi dua kemungkinan. Kita didamprat dan dikeroyok oleh banyak lelaki lain yang dijamin pasti membela sang wanita. Atau kemungkinan kedua kita justru dapat jodoh.
Pokoknya naik biskota itu perlambang dari marginalitas. Keterpinggiran, keterpojokan.
Pusat sosial ekonorni adalah kalau Anda naik kendaraan pribadi. Nukleolusnya adalah kalau kendaraan pribadi Anda berganti sesuai dengan tawaran mimpi baru dari produser kendaraan.
Kita bertegur sapa, dalam bas itu, dengan beberapa orang yang berdiri mernbungkuk karena tipe biskota ini sebenarnya dirancang khusus buat orang Suku Kerdil.
"Capek membungkuk, Mas?"
"Yaa, kalau tidak salah memang capek...
"Prihatin dulu, Mas"
Lelaki itu tersenyun masam.
Tapi kita mungkin didera oleh pertanyaan kita sendiri: Prihatin dulu, apa maksudnya? Sekarang menderita dulu, kelak tidak, begitu? Kelak kita bisa punya kendaraan pribadi? Bagaimana kalau sarnpai tua tak juga bisa bell? Apakah ada di aritara kita yang ngobyek entah bagaimana--terrnasuk korupsi di kantor--agar terbebas dari keprihatinan?
Sebenarnya keprihatinan itu apa? Keprihatinan ialah naik biskota? Naik biskota itu mewah. Bahkan naik sepeda atau jalan kaki itu juga bukan penderitaan. Keprihatinan ialah makan-minum dan berpakaian bertempat tinggal pas-pasan? Pas: itu yang ideal menurut semua agarna. Artinya, keadaan pas-lah yang paling menjamin kebahagiaan.
Tetapi memang, keprihatinan atau penderitaan ialah kalau sebagian manusia punya lima mobil serumah sementara lainnya harus ngonthel sepeda atau berdesakan di kendaraan umum. Penderitaan ialah apabila ketidakadilan diciptakan dan disistemi sendiri oleh sebagian manusia atas banyak manusia lain.
Maka, tuan-tuan, belilah mobil dengan harga kerja objektif Anda. Kasih itu mobil untuk keperluan siapa saja sekitar Anda yang memerlukan, sementara Anda silakan tetap naik biskota tanpa merasakan bahwa itu adalah keprihatinan.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkor Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)
Orang Madura, juga serius dan lugu dengan kata-katanya. Kalau ia menyatakan sesuatu, biasanya karena memang demikian isi hati atau pikirannya.
Kalau ia megungkapkan suatu bentuk sikap tertentu, biasanya karena memang begitulah muatan yang ada dalam bathinnya. Dan itulah perbedaan utama dengan misalnya, orang Jawa dan politisi.
Kalau orang Jawa dalam situasi hubungan yang seringkali feodalistik --mengatakan "Ya", jangan langsung beranggapan bahwa ia memang menyetujui apa yang ia dengarkan atau apa yang anda mintakan persetujuannya. Ada kemungkinan ia masih menyimpan "tidak" di ruang dalam bathin mereka atau minimal dalam gumpalan mondolan blangkon kepala mereka ; tidak usah terkejut, apabila ia tetap menyimpan 'tidak' itu sampai bertahun-tahun lamanya. Ketidakmenentuan "ya" dan "tidak" mereka bisa disebabkan oleh kekuatan hirarkis, atau justru politik kekuasaan atas Anda.
Politisi bisanya kan juga begitu. "Ya" dan "tidak"-nya politisi bergantung kepada titik proyeksi yang diarahkannya, atau kepada tingkat konsesi yang diam-diam ditergetkan. Politisi yang saya maksud bukanlah pejuang nilai atau pejuang demokrasi atau pejuang harkat kerakyatan di jalur politik, melainkan ia yang memperjuangkan keperluan pribadinya di dalam struktur kekuasaan politik, di mana demokrasi dan kedaulatan rakyat adalah alat produksi atau komoditas dari CV Politik Pribadi yang didirikannya.
Sedangkan orang Madura, meskipun pasti tidak semua, relatif berbeda.
Kalau ia mengucapkan sesuatu, biasanya karena memang demikianlah isi hati pikirannya. Kalau ia mengungkapkan sikap tertentu kepada Anda, biasanya karena memang begitulah muatan batinnya. Memang mungkin juga sih, kita bisa menemukan orang Madura yang bisa kita kasih uang sekedar sepuluh ribu rupiah untuk ikut unjuk rasa yang kita rekayasa buat mempertahankan bupati dari jabatannya, meskipun kesalahan Pak Bupati sudah sangat ironis, memalukan dan menyangkut nyawa sejumlah rakyatnya sendiri.
Namun juga tidak sukar Anda menemukan seorang Kyai lokal Madura umpamanya, berkata di depan bupati :
"Anno, Pak Bagus, tolong Pak Bupati jelaskan semua rencana pembangunan maupun proyek yang sedang berlangsung, rancangan dan konsepnya bagaimana, biayanya berapa, pengeluarannya untuk apa saja, ada kecelakaan atau tidak, dan lain sebagainya. Soalnya uang itu, kalau 'dak salah 'kan uang rakyat.
Jadi Pak Bupati harus mempertanggungjawabkannya kepada rakyat. Kalau tidak, kasihan arakyat, Pak.
Moso' sudah PJPT kedua begini, rakyat dibiarkan buta huruf terhadap pembangunan. Jangankan terhadap makna pembangunan, lha wong terhadap angka-angka dan manajemennya saja, buata huruf..."
Pak Kyai itu, saya saksikan dengan kepala sendiri, mengucapkan itu dengan wajah polos dan hampir tanpa ekspresi. Ia begitu bersungguh-sungguh dengan ucapannya, dan saya sampai detik ini belum sanggup membayangkan bahwa hal seperti itu, mungkin terjadi di Jombang, Klaten atau atmosfir budaya kekuasaan Jawa lainnya. Jawa juga "menguasai" Madura, tetapi di Madura, kebanyakan bupati atau tokoh-tokoh berwenang lainnya sangat sukar untuk berlaku sebagai "rakyat kecil" sebagaimana Pak Camat bisa dengan gampang berbuat demikian di Jawa.
Pada kesempatan lain, saya pernah diundang untuk menghadiri dan sedikit urun bicara dalam acara khaul seorang kyai besar masa silam yang diperingati hari kewafatannya dengan pengajian dan tahlilan besar.
Terus-terang, biasanya saya sambat dan jengkel oleh bertele-telenya ritus acara-acara yang diselenggarakan oleh komunitas Muslim Indonesia.
Bahkan pun jika yang menyelenggarakan adalah "kaum modernis" seperti PMII, HMI dan lain sebagainya. Biasanya, pembawa acara ngomongnya menggunakan bahasa Indonesia sinetron, urutan acara dijejali oleh sangat banyak sambutan yang isinya 90% pura-pura, dan keseluruhannya ditaburi oleh formalisme dan ritualisme yang membosankan.
Lha, di Madura ini, tiba-tiba saja ada santri naik podium, kasih salam, kemudian langsung membacakan ayat-ayat suci Qur'an. Sesudahnya, pembawa acara, yang tidak naik podium, berkata: "Sekarang langsung saja kita persilahkan kepada Cak Nun..."
Sambil naik mimbar, saya mikir-mikir. Alangkah efektif dan efisiennya kawan-kawan Madura ini.
Tapi memang semua yang hadir sejak sebelum berangkat sudah tahu ini acara apa, dalam rangka apa, maknanya kira-kira apa, dan lain sebagainya, sehingga sama sekali tak diperlukan orang-orang harus manggung untuk menjelaskan itu semua.
Maka sayapun langsung "nyanyi" dua jam penuh.
Namun, di tengah-tengahnya, tampakmoleh saya sejumlah pejabat, berpakaian Safari dan lainnya baju batik panjang. Mereka turut mendengarkan dengan serius, tetapi juga saya mereasakan bahwa ada yang tidak sreg dalam batin mereka. Dan itu saya ketahui sesudah acara, yakni ketika kami ramai-ramai makan siang.
Tampaknya ada semacam protes dari wilayah birokrasi, kenapa sambutan yang sudah dipersiapkan capek-capek, tidak diberi kesempatan. Maka saya dengarlah suara keras dan lugu salah seorang kyai: Lho Pak. Kalau kami diundang ke kantor Kabupaten, kami disuguhi teh botol, dan snack, lantas kami disuruh mendengarkan pengarahan. Lha sekarang Bapak-bapak ke sini kami sembelihkan kambing-kambing dan ayam. Jadi silahkan menikmati keikhlasan kami dan silahkan mendengarkan!"
Hendaknya Anda ketahui juga, bahwa hanya di Madura saya menjumpai adegan di mana ketika saya sedang berapi-api bagaikan Nabi Sulaiman yang sedang berpidato di depan massa jin, mendadak seseorang berdiri dan mengacungkan tangan sambil berteriak: "Cak! Ucapan ayat Sampeyan itu, keliru!"
(Emha Ainun Nadjib/"Demokrasi Tolol Saridin" (Folklore Madura)/Zaituna (Progress)/1998/PadhangmBulanNetDok)

Alkisah, bersepakatlah pengusaha yang muda tiga sekawan untuk ber-weekand ke singapura. Yang satu, Tigor, berasal dari Batak, lainnya, Sutrimo, asli Jawa, lainnya lagi, Abdul, dari Madura.
Sabtu sore ngumpul di Cengkareng, langsung bareng ke Singapura, dan paginya, atau setidaknya siang harinya, balik lagi ke Jakarta. Soal apa alasan kepergian mereka kepada istri masing-masing, Ente pasti cukup profesional untuk mengarang sendiri. Terserah saja apa, tergantung bagaimana Ente sendiri biasanya mengelabuhi istri Ente.
Memang ruginya orang punya istri adalah bahwa ia punya kemungkinan untuk menyeleweng. Kalau bujangan, pasti bersih dari penyelewengan. Kalau Ente seorang suami, begitu lirikan Ente ke seorang cewek mengandung sedikit saja virus napsu, berarti Ente menyeleweng dari istri dan salah-salah bisa dituduh berzina mata oleh sebuah sekte agama.
Tapi kalau Ente bujangan, biar melirik sampai melorok, biar melilit sampai melotot: kan tidak menyeleweng namanya. Jadi, lelaki yang kawin, ia bukan saja sendang menggantikan kemerdekaan dengan penjara, tapi juga memperangkap diri dalam kans penyelewengan. Kok mau-maunya!
Tetapi apakah tiga pengusaha muda kita ini sendang merancang penyelewengan di Singapura? Wallahu' alam. Tanyakan saja langusng kepada Tuhan yang tahu persis apa isi hati mereka, sebab kalau tiga suami muda itu yang Ente tanyai, pasti tidak ngaku.
Alhasil sampailah mereka di Singapura. Singkat kata, mereka langsung cari hotel bintang tujuh. Tapi rupanya semua orang se-Asean ini sedang mengincar Singapura untuk bermalam Minggu. Sehingga di mana-mana hotel penuh. Tiga pengusaha muda kita ini hanya mendapatkan satu kamar, itu pun tingkat 63. Sudah mepet sama lapisan ozon. Dan gampang diserempet oleh lalu-lalang makhluk angkasa luar.
"Tapi kenapa susah? Untung masih dapat kamar. Toh kita tidak ke sini untuk tidur. Toh semalaman nanti kita akan cari hiburan di luar!" kata Sutrimo, mengeluarkan kebiasaan etnisnya untuk selalu merasa untung dalam situasi macam apapun.
"Ah, kau ini!" sahut Tigor. "Tingkat 63! Jauhnya itu! Lebih jauh dibanding Jakarta-Singapura, bah!"
"Lho, masih untung kita dapat kamar!"
"Masih untung! Masih untung! Kalau ban mobil kau meledak, kau bilang 'Masih untung bukan as-nya yang patah!' Kalau as mobil kau patah, Kau bilang 'Masih untung bukan tulang punggung kita yang patah!"
"Lha maunya kamu dapat kamar di tingkat berapa?" Tiba-tiba Abdul nyeletuk.
"Ya 3 kek, 4 kek, atau 5 okelah!" jawab Tigor.
"Kalau begitu kita pindahkan saja kamar kita ke tingkat yang kamu senangi."
"Sialan kau!"
"Atau tingkat 63 ini kita sepakati saja sebagai tingkat 3."
Tapi memang tak ada pilihan lain. Dan karena itu kita singkat saja cerita ini: mereka OK di tingkat 63, menaruh koper kecil mereka masing-masing, pesan makanan kecil, dan telepon sana-sini untuk berorientasi menentukan ke klab malam mana yang paling manis untuk bermalam Minggu.
Kesepakatan dicapai. Usai makan mereka langsung turun ke lobi, ambil taksi, berangkat cari restoran yang harganya jangan sampai murah, sambil nunggu waktu sebelum ke klab malam.
Kemudian segala sesuatunya ditumpahkan. Keringat diperas. Gejolak-gejolak kelelakian dihempaskan. Minum-minum. Ajojing. Ganti Hostess beberapa kali. Pokoknya segala kemungkinan kehidupan malam di tempat itu mereka habiskan dan tuntaskan.
Sehingga ketika dinihari tiba, loyo beratlah mereka. Mereka balik ke hotel dengan badan Hollyfield di ronde 10 dan 11 pertarungannya dengan Bowe. Dan tatkala tiba di hotel, badan mereka menjadi lebih parah bagaikan tubuh Razor Ruddock dihancurkan oleh Lennox Lewwis.
"Lift-nya kebetulan macet," kata Sutrimo kalem.
"Mbahmu!" sahut Tigor menjawa-jawakan diri.
"Ya, jalan kaki. 'Kit-sedikit nanti 'lak sampai!" sambung Abdul.
Mereka terdudu di dekat lift. Runding. Mereka berpendapat bahwa harus diciptakan situasi bersama agar perjalanan menuju tingkat 63 tidak terlalu melelahkan. Akhirnya sepakat: setiap orang harus bercerita, mendongeng atau apa saja, sepanjang 21 tingkat. Jadi ti orang pas 63 tingkat.
Naiklah mereka. Lemes bukan main. Kaki bagai tanpa tulang dan tidak berotot. Langkah amat berat. Tangan mereka terus berpegangan di tanganan tangga atau tembok.
Pertama giliran Sutrimo berkisah tentang pertandingan sepakbola antara kesebelasan Keraton Solo melawan Yogya. Setiap kali striker Solo berhasil membawa bola ke depan kiper Yogya, sang priyayi Ngayoja ini justru minggir, membungkuk-kan badan, sebelah tangannya memegang burung sementara tangan lainnya mempersilahkan: "Monggo Mas, dimasukkan saja bolanya, ndak usah pakewuh!"
Si striker Solo berhenti dan menjawab: "Ah, nanti saja, gampang. Kami tidak tergesa-gesa, kok."
Kejadian yang sama berlangsung ketika striker Yogya berhadapan dengan kiper Solo. Monggo-monggoan dan nanti saja nanti saja. Akhirnya pertandingan berakhir draw, sehingga diselenggarakan sarasehan di tengah lapangan, dihairi oleh ofisial kedua kesebelasan, seluruh pengurus PSSI yang hadir, plus pak RW, Danramil, Penatar P4, dan Ketua Klompencapir. Keputusannya: Juara bersama! Sesuai dengan asaa yang ada.
Sejumlah kisah yang lain dituturkan oleh Sutrimo. Kemudian memasuki tingkat 22, giliran Tigor bercerita. Misalnya tentang pidato tokoh masyarakat Batak dalam suatu upacra sangat resmi memperingati wafatnya Sisingamangaraja sang pahlawan nasional.
"Hari ini," katanya dengan penuh kekhusukan, "Kita memperingati hari wafatnya pahlawan kita Sisingamangaraja yang dibunuh oleh Belanda sialan itu...!"
"Wah, payah dia itu!" komentar Sutrimo, "Wong pidato resmi kok pakai ngumpat segala!"
Demikianlah perjalanan pendakian mereka ke tingkat 63 menjadi tak terlalu melelahkan. Letih sih, letih, tapi dengan melempar-lemparkan konsentrasi ke macam-macam hal yang lucu-lucu, kesadaran bahwa mereka sedang letih menjadi terkurangi.
Apalagi ketika di atas tingkat 43, Abdul mengisahkan tentang pengendara motor di Sampang yang marah-marah kepada polisi yang menilangnya di jalan karena melanggar dan ternyata tidak punya SIM.
Memang dia menyodorkan SIM."Tapi ini bukan SIM saudara! Nama dan fotonya lain!" kata polisi.
Naik pitamlah pengendara motor itu: "Lho Bapak ini kok neh-aneh! Lha wong yang saya pinjami SIM saja 'dak marah kok malah Bapak yang marah!"
Asyiklah mereka mendengarkan kisah-kisah Abdul. Tapi Abdul ini sendiri malah keasyikan. Mereka sudah sampai di tingkat 63, sudah berdiri di depan pintu kamar, Abdul tidak juga berhenti bercerita. Terus saja nerocos.
"Sudah, bah! Bukalah pintu! Mau tidur aku!" protes Tigor tak sabar.
"Nanti dulu," jawab Abdul, "ceritaku belum selesai..."
"Ya, cepat selesaikan saja sekarang," kata Sutrimo.
"Begini..." kata Abdul pelan, "akhir cerita saya ini sungguh-sungguh Happy Ending..."
"Bagaimana itu!" desak Tigor.
Kunci kamar kita tertinggal di mobil..."
(Emha Ainun Nadjib/Folklore Madura (Demokrasi Tolol Saridin)/Progress/PadhangmBulanNetDok)
SEMUA orang mempunyai pengetahuan tentang hidup. Tapi yang paling tahu hanya tiga, yakni Tuhan, malaikat dan wartawan.

Tuhan dan malaikat, mau apa saja biarkan. Tapi para wartawan, sesekali bolehlah kita perbincangkan. Supaya imbang. Jangan mereka saja yang tiap hari mempergunjingkan dan menggosipkan orang.

Tetapi perbincangan kita tentang wartawan akan saya bikin sedemikian rupa sehingga timbul kesan bahwa wartawan itu baik, jujur dan pekerja keras. Soalnya saya sendiri seorang wartawan. Kalau ditengah perbincangan nanti ada perkembangan yang bisa merugikan wartawan, tentu akan saya coba belokkan, atau bahkan saya stop sama sekali. Hanya orang tolol yang memamerkan boroknya sendiri. Hanya manusia dungu yang membuka-buka auratnya di depan orang lain.

Tuhan mengetahui apa saja,
malaikat mencatat segala peristiwa, dan wartawan bukan hanya sekedar tahu ada peristiwa pengguntingan pita. Wartawan bukan hanya sekedar mengerti teknik wawancara yang terencana. Lebih dari itu, wartawan tahu persis jumlah korupsi seorang pejabat. Wartawan tahu tanah yang dikosongkan penduduk itu akan dikapling untuk proyek apa. Wartawan tahu berapa korban yang sebenarnya dalam sebuah letusan peristiwa. Wartawan
tahu skenario-skenario apa saja yang disembunyikan dari mata masyarakat. Wartawan tahu berapa lama lagi akan terjadi devaluasi atau kapan persisnya seorang raja akan turun takhta. Dan yang terpenting dari semua itu, wartawan tahu secara mendetail setiap pori tubuh bintang-bintang film tertentu, saya ulangi --bintang-bintang film
tertentu-- dalam keadaan sangat jujur dan penuh keterbukaan. Foto-foto tubuh yang innocent, tanpa tedeng aling-aling. Baik yang diambil di lokasi alam, di ranjang kamar, di atas wastafel, atau sedang bercengkerama dengan kuda.

Saya
buka rahasia yang sebenarnya bukan rahasia ini dengan maksud agar para bintang film lain yang serius berpikir untuk membersihkan citra korps bintang film dari ideologi buka aurat yang makin merajalela.

Kalau
kelak tak ada lagi wanita yang bersedia difoto dengan pose penuh kejujuran tubuh, terus terang mata pencarian saya akan jauh berkurang. Tidak apa-apa. Demi masyarakat kita yang beradab, saya rela berkorban. Jer basuki mawa bea.Toh saya sudah punya banyak koleksi foto-foto jujur.

Dan
lagi aslinya saya bukanlah wartawan porno. Saya ini wartawan politik. Dulunya, waktu belajar, saya ini wartawan kesenian. Itu paling gampang. Kemudian saya beralih menjadi wartawan bidang kriminal dan hukum. Ada tahun-tahun saya mengkhususkan diri sebagai wartawan KB dan kelompencapir, namun kemudian saya memilih jadi wartawan politik saja.

Kenapa?
Karena dunia politik selalau amat penuh kesopanan dan tata krama.
Sangat menyenangkan. Sopan, artinya politik selalu berpakaian rapih, pakai parfum, dan segala macam kosmetik. Kalau mulut bau karena jarang sikatan bisa pakai alat tertentu sehingga mulut jadi harum. Kalau tubuh berpanu atau berkadas, bisa dilulur sedemikian rupa sehingga kulit menjadi semulus kulit Meryl Streep atau Ida Iasha. Pokoknya segala cacat bisa ditutupi. Bau mulut politik, bibir politik, telah
ditampilkan dengan berbagai macam parfum dan kosmetika politik sehingga lebih indah dari warna aslinya.

Kalau pada suatu hari ada bisul yang meletus, wartawan akan diberi tugas lewat telepon untuk menutupi bisul itu dengan blok tinta hitam. Kalau tidak, saya akan kehilangan eksistensi sebagai wartawan, dan sekian ribu karyawan perusahaan kami
juga kehilangan kekaryawanannya. Dan anehnya, kalau kita kehilangan pekerjaan, asap dapur kita jadi terancam. Mbok ya kalau tidak kerja itu tetap punya duit gitu lho…!

Ternyata saya ini pada haikatnya memang kurang sanggup menghargai kesopanan. Oleh semua itu saya tidak krasan. Saya ingin menjelalajahi dunia yang penuh dengan kejujuran, keterbukaan tanpa tabir, tanpa tedeng aling-aling. Dan itu saya jumpai
dalam dunia glamor sebagaian artis-artis. Sebagian lho, sebagaian. Dunia dimana kain menjadi sangat mahal, sehingga ada bintang yang hanya mampu membeli celana dalam dan bra atau bahkan ada yang tidak bisa membeli apa-apa sama sekali.

Memang di negeri yang ber-Ke Tuhanan Yang Maha Esa ini kita tak mungkin menerbitkan majalah macam Penthouse atau Playboy. Tapi dalang tak pernah kekurangan lakon. Kita
tahu bagaimana mem -playboy- kan media massa dengan cara yang lebih canggih. Cover tak usah telanjang betul, asal merangsang, langsung kita bikin judul yang mlayboy , bukan panjang pendeknya tapi teknik mainnya.

Ternyata,
masyarakat umum juga amat mendambakan keterbukaan. Masyarakat benci kemunafikan. Maka media massa yang penuh rahasia-rahasia, laku keras. Ditambah dengan makin bodohnya masyarakat modern, buku dan majalahpun harus mengajari mereka bagaimana cara bersenggama yang baik, bagaimana caranya supaya tidak kecelakaan, bagaimana melakukan penyelewengan secara canggih dan terjaga efek-efeknya, atau memberi keyakinan kepada pemuda-pemudi bahwa keperawanan bukanlah sesuatu yang mutlak. Dalam hal ini saya telah mewawancarai sejumlah dokter, psikiater, pedagogi, pastor dan kiai. Orang bahkan penasaran terhadap suatu teori yang menyarankan agar lelaki jangan tergantung pada orgasme. Seorang pakar memberi contoh ada seorang nabi yang sanggup melakukan dua belas kali persenggamaan secara runtut tanpa mengalami orgasme. Teori ini mengatakan bahwa lelaki harus menang melawan kebutuhan orgasme, lelaki bisa lebih besar dibandingkan dengan orgasme.

Akan tetapi di
hari-hari terakhir ini saya di bikin pusing oleh sesuatu hal.
Liputan-liputan gaya playboy melayu sudah hampir mencapai titik jenuh pasar. Maka pemimpin redaksi saya memberi instruksi agar saya melakukan wawancara langsung dengan makhluk yang bernama seks. Ya, seks itu sendiri. Bukan seorang lelaki bukan seorang wanita.

Kalau mewawancarai presiden atau gubernur, jelas birokrasinya. Tapi mewawancarai seks? Dimana gerangan seks berada?

Sudah
tiga bulan terus menerus saya melacaknya. Saya sudah capek, sehingga tinggal sisa tenaga sedikit saja untuk melaporkan kepada Anda.

Seks
itu makhluk ciptaan Tuhan. Sudah pasti, tapi apakah untuk mengetahui seks, saya mesti mempelajari filsafat seks atau seks filosofi? Saya tidak mau dibikin puyeng oleh agama seks atau seks yang religius. Tapi kata para wali dulu, seks itu memang religius, karena merupakan sendi utama regenerasi sejarah, merupakan manifestasi dari kerinduan Tuhan itu sendiri. Tuhan menciptakan manusia agar dipandang, didekati dan dicintai oleh manusia ciptaan-Nya. Seks yang tidak religius hanya terjadi pada manusia yang melakukan seks hanya demi dan untuk kepuasan hewaninya belaka.

Itu betul semua.Tapi mana ada koran bisa laku kalau isinya filsafat dan agama? tidak. Saya tak bakalan mewawancarai seorang filsuf atau pakar agama. Saya, dalam rangka melacak seks, langsung saja berangkat ke lokasi pelacuran. Bursa seks.

Namun,
ketika saya tanya tentang seks, pelacur itu menjawab, “Wah, saya tidak tahu Mas. Disini saya mencari makan." Dan para lelaki hidung belang itupun menjawab secara kurang memuaskan. "Saya memang mencarinya terus dengan jalan bersenggama disini hampir tiap hari. Tapi yang saya jumpai hanya orgasme. Hanya ekstase. Kalau saya ketemu sama seks, untuk apa saya terus-terusan ke pelacur begini..!!”

Kemudian di
losmen-losmen penyelewengan alias wisma skandal, dimana mahasiswa-mahasiswi atau pegawai pria dan wanita berseragam suka menyewa kamar satu dua jam, saya juga memperoleh jawaban yang mengecewakan,"Gini lho, Mas. Kalau saya sedang sendiri, saya begitu tergoda oleh seks. Tapi kalau sudah berdua di kamar, paling jauh yang saya jumpai adalah diri kami sendiri yang berubah menjelma menjadi kuda atau kera yang bergumul telanjang. Selebihnya, rasa dosa yang kami simpan diam-diam.“

Akhirnya saya pulang dengan putus asa. Saya katakan kepada pemred saya, "Pak, jawaban mereka sangat lucu. Mereka bersenggama, tapi mengaku tak tahu seks. Lha apa beda antara bersenggama dengan seks?"

"Lho sangat berbeda," kata pemred saya.
"Persenggamaan itu sekedar alat, atau cara, atau tarekat, untuk mencari dan menemukan
seks. Seks itu suci. Seks itu tinggi derajatnya. Dan derajat kesucian seks tidak mungkin kamu jumpai di kopel-kopel pelacuran, di losmen penyelewengan atau wisma skandal, juga tidak di kamar-kamar kost kumpul kebo."

"Ruwet, Pak!” kata saya
"Karena kamu sukanya bersenggama, tapi salah paham terhadaps seks. Kamu menyamakan
persenggamaan dengan seks seperti menyamakan sembahyang dengan Tuhan, atau perkawinan dengan kebahagian, atau nasi dengan rasa kenyang. Kalau kamu sudah tiba di kebahagiaan, perkawinan tak dibutuhkan. Kalau kamu sudah tinggal di Tuhan, kendaraan sembahyang tak diperlukan. Kalau kamu sudah bersemayam di dalam seks, persenggamaan tak dibutuhkan.”
"Kalau begitu," kata saya jengkel,"biarlah saya tak pernah tiba pada seks...! []
(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)

Berpengalaman Dijajah

Saya berasal dari sebuah negeri yang penuh kehangatan hidup. Bakat utama negeri saya adalah bergembira dan tertawa. Kaya atau miskin, menang atau kalah, mendapatkan atau kehilangan, kenyang atau lapar, sehat atau sakit - semuanya potensial untuk membuat kami bergembira dan tertawa.

Bangsa saya sangat murah hati. Mengekspor ke berbagai negara bukan hanya barang dan makanan, tetapi manusia. Penduduk negeri saya bertebaran di berbagai negara. Ada yang menjadi kaya, ada yang mati tak ketahuan kuburnya. Ada yang sukses, ada yang diperkosa. Ada yang pulang membawa modal lumayan, ada yang dipukul, diseterika, dibenturkan kepalanya ke tembok..
Dua kali saya membawa pulang wanita muda gegar otak dan badannya luka-luka, dari Cairo dan Riyadh ke Jakarta.

Aliansi anti deportasi di Jakartta melaporkan hanpir 3 juta kasus penindasan atas tenaga kerja Indonesia diluar negeri, dan tak satupun yang diselesaikan, para pekerja yang sukses tidak ada yang bersikap egoistik: pulang ketanah air, di Terminal 3 Cengkareng airpport. Mereka menyediakan diri untuk ditodong oleh banyak yang memang menunggu di sana untuk mencari nafkah. Itu membuat mereka menangis sejenak tapi kemudian tertawa-tawa lagi. Karena penderitaan adalah memang sahabat yang paling akrab dengan mereka sejak kanak kanak.

Bangsa saya sangat berpengalaman dijajah. Sebagian mereka menunggu penjajah datang ke kampungnya, sebagian yang lain menyebrang keluar negeri untuk mencari penjajah.

Tuhan Menyesuaikan Diri Pada Aturan Manusia

Bangsa Indonesia tidak memerlukan pemerintahan yang baik untuk tetap bisa bergembira dan tertawa. Kami memerlukan perekoonmian yang stabil, politik yang bersih, kebudayaan yang berkualitas - untuk mampu bergembira dan tertawa. Kami bisa menjadi gelandangan, mendirikan rumah liar sangat sederhana di tepian sungai, dan kami hiasi dengan pot pot bunga serta burung perkutut.

Bangsa kami sangat berpengalaman dijajah, juga saling menjajah diantara kami. Dijajah atau menjajah, kami bergembira dan tertawa. Sayang sekali belum ada ilmuwan yang tertarik meneliti frekwensi tertawa bangsa kami - di rumah, di warung, di lapangan sepakabola, di ruang pertunjukan, di layar televisi, di tengah kerusuhan, di gedung parlemen, di rumah ibadah dan di manapun saja. Ada orang yang terjatuh dari motor, kami menudung nudingnya sambil tertawa. Orang bodoh ditertawakan. Apalagi orang pintar.

Kehidupan kami sangat longar, sangat permisif dan penuh kompromi. Segala sesuatu bisa dan gampang diatur. Hukum sangat fleksibel, asal menguntungkan. Kebenaran harus tunduk kepada kemauan kita. Bangsa saya bukan masyarakat kuno yang sombong dengan jargon: " MEMBELA YANG BENAR" Kami sudah menemukan suatu formula pragmatis untuk kenikmatan hidup, yakni " membela yang bayar".

Tuhan harus menyesuaikan aturan aturan-Nya dengan perkembangan dan kemajuan hidup kita. Orang orang yang memeluk agama sudah sangat lelah berabad abad
diancam oleh Tuhan yang maha menghukum, menyiksa, mencampkana ke api neraka. Tuhan yang boleh masuk kerumah kita sekarang adalah Tuhan yang penuh kasih
sayang yang suka memaafkan dan memaklumi kesalahan kesalahan kita.
Sebagaimana kata kata kata mutiara - " Manusia itu tempat salah dan maaf".
(Emha Ainun Nadjib/"Negeri Orang Tertawa"/2005/PadhangmBulanNetDok)
Guru saya di dunia ini banyak. Tak terbatas. Bahkan tak terhingga. Jumlahnya bertambah terus. Soalnya tidak ada “mantan-Guru”. Yang ada adalah “yang sedang menjadi Guru” dan “yang akan menjadi Guru”. Tak ada seseorang atau sesuatupun yang pernah mengajari saya lantas tidak lagi menjadi Guru saya.
Tetapi di antara Guru-Guru itu, yang tergolong istimewa dan paling rajin mengajar saya adalah masyarakat dan atau ummat. Setiap saat saya berguru kepada mereka dengan penuh semangat, terutama karena mereka sangat telaten untuk marah kepada saya. Bukankah murid memang sebaiknya sering-sering diperingatkan atau dimarahi oleh Gurunya supaya tidak terlalu mblunat?
Mungkin bisa saya sebut contoh-contohnya sedikit, sebab tidak mungkin saya ceritakan semua. Betapa ragamnya saya dimarahi, diberi peringatan keras, dikecam, dikritik, dihardik, dimaki-maki, dituduh-tuduh, disalah-pahami, bahkan seringkali juga difitnah. Tapi karena saya selalu berusaha menjadi murid yang baik, semua itu senantiasa saya terima dengan rasa syukur.
Ketika saya msuk pesantren, saya diperingatkan supaya jangan masuk pesantren hanya karena ikut-ikut. Sehingga saya kemudian bercita-cita menamatkan pesantren, masuk ke Universitas Al-Azhar, lantas berusaha menjadi menantu seorang Kyai dan membantu pesantren beliau.
Tapi akhirnya saya diusir karena suatu perkara, sehingga saya pindah sekolah. Tentulah saya dimarah-marahi habis. Dan lebih marah lagi karena lantas saya coba-coba menjadi penulis cerita pendek dan puisi. “Kamu mau jadi penyair? Apa tidak baca surat As-Syu’ara yang berkisah tentang penyair-penyair pengingkar Allah?”
Saya lebih dihardik lagi karena dalam proses kepenyairan itu hidup saya tidak berirama seperti orang normal. Makan tidur tidak teratur sampai sekarang. Saya dianggap sinting dan tidak sinkron dengan peraturan mertua.
Beberapa tahun berikutnya saya dimarahi lagi: “Kenapa kamu hanya sibuk dengan sastra dan tidak memperhatikan syiar Agama? Tidak bisakah kamu mengabdikan sastra kamu kepada dakwah?”. Tetapi ketika kemudian saya mengawinkan sastra saya dengan dimensi-dimensi Islam, saya dimarahi lagi: “Jangan main-main dengan Islam! Jangan campur adukkan nilai sakral Agama dengan khayalan-khayalan sastra!”.
Tema kemarahan itu berkembang lebih lanjut: “Sastra Islami saja tidak cukup. Kamu harus memperjelas sikap akidahmu. Hidup ini luas. Kamu tidak bisa membutakan mata terhadap masalah-masalah penindasan politik, kemelaratan ummat dan lain sebagainya!”.
Maka sayapun memperluas kegiatan saya. Terkadang jadi tukang pijat. Jadi semacam bank. Memandu keperluan tolong menolong antara satu dengan lain orang. Menjadi tabib darurat. Bikin semacam LSM. Menemani anak-anak muda protes. Pokoknya memasuki segala macam konteks di mana idealisme nilai kemanusiaan dalam sastra dan idealisme nilai akidah dalam Islam bisa saya terapkan.
Saya mendapat teguran lagi: “Jangan sok jadi pahlawan! Semua sudah ada yang ngurus sendiri-sendiri. Kalau sastrawan ya sastrawan saja, jangan macam-macam!”.
Ketika saya membisu di sekitar Pemilu, saya dimarahi: “Golput ya? Itu tidak bertanggungjawab!”. Dan ketika besoknya saya tampil membantu salah satu OPP, saya diperingatkan: “Kamu kehilangan independensi!”.
Tatkala saya acuh terhadap lahirnya ICMI, saya dibentak: “Perjuangan itu memerlukan organisasi! Tidak bisa individual!”. Tatkala saya didaftar di pengurus pusat ICMI, saya ditatar: “Itu bukan maqam kamu! Tidak setiap anggota pasukan berada dalam barisan!”. Dan akhirnya tatkala karena suatu bentrokan saya mengundurkan diri dari ICMI, saya dipersalahkan: “Rupanya kamu memang bukan anggota pasukan!”.
Ketika saya mengungkapkan pemikiran dalam bahasa universal, saya diingatkan: “Kenapa kamu tidak mengacu pada Quran dan Hadits? Apakah kamu budak ilmuwan barat?”. Dan sesudah saya mengungkapkan segala tema – dari sastra, politik, sepakbola, tinju, psikologi, atau apapun saja – dengan acuan Quran dan Hadits, saya dikecam habis-habisan: “Kamu ini mufassir liar! Jangan seenaknya mengait-ngaitkan masalah dengan Quran dan Hadits! Berbahaya!”.
Ketika saya menulis tentag sesuatu yang makro dan suprastruktural, saya dijewer: “Kenapa kamu tidak memperhatikan orang kecil?”. Dan ketika saya mengusahakan segala sesuatu yang menyangkut nasib rakyat kecil saya ditabok: “Islam tidak mengajarkan mbalelo, Islam menganjurkan silaturrahmi dan musyawarah!”.
Ketika saya tidak memusingkan soal honor, saya disindir: “Kamu tidak rasional!”. Dan ketika saya bicara soal honor saya ditonjok: “Kamu komersial!”.
Ketika saya cuek kepada uang dan nafkah, saya dilempar: “Kulu wasyrabuu! Makan dan minumlah”. Ketika saya sesekali berpikir mencari rejeki, saya ditonyo: “Kamu menuhankan uang dan harta benda!”.
Ada beribu-ribu lagi. Tapi amarah yang terakhir, tanggal 25 Juni yang lalu saya sungguh-sungguh tidak paham: “Sungguh hebat perjuanganmu…. Sampai-sampai Al-Quran pun yang tanpa rupiah untuk mendapatkannya….kau tak punya!”.
Kapan kapokmu, Nun! Ciker bungker Mbahmu ae gak tahu kemendel ngomong ngunu!”. *****
(Emha Ainun Nadjib/Harian SURYA/2004/PadhangmBulanNetDok)
Pada suatu pagi, sekitar 15 tahun yang lalu, sepeda pancal alias sepeda onthel saya hilang dari rumah kontrakan saya. Tentu diambil oleh salah seorang dari anak-anak muda sekitar sini. Banyak dari mereka pengangguran, dan lagi rumah ini memang dekat dengan pasar.
Sebagai manusia normal, saya marah. Tapi terus terang ini tidak konsisten dan tidak rasional. Rumah ini memang tak pernah dikunci. Setiap orang gampang sekali membuka pintu yang sebelah manapun dan mengambil apapun. Jadi, kalau sepeda hilang, itu logis dan realistis.
Tapi saya tak peduli. Saya ke depan rumah, berdiri bertolak pinggang menghadap ke arah pasar, dan berteriak: "Kalau sepeda saya tidak kembali sampai nanti sore, saya tidak bertanggung jawab kalau ada orang pengkor satu kakinya, cekot sebelah tangannya, atau pethot mulutnyal"
Orang-orang di sekitar kaget dan terkesiap sejenak. Tapi saya segera masuk rumah dan tidur lagi.
Tak disangka tak dinyana, ketika siang belum sempurna, pintu depan diketuk berulangkali. Saya nongol, seorang anak muda berpakaian butut berdiri dengan wajah ketakutan dengan sepeda berdiri ter jagang di sebelahnya.
Ketika saya menatapnya, ia menunduk. "Kenapa kamu?" Saya bertanya.
"Maaf, Cak...," ia menjawab tersendat, "saya yang mencuri sepeda Sampeyan. Saya minta maaf. Sekarang saya kembalikan...."
"Lho, kenapa kamu kembalikan?" Saya bertanya lagi. "Saya dengar dari orang-orang bahwa Sampeyan marah...." `"I'api kan kamu butuh sepeda?" Saya kejar terus.
"Iya, siih.:.."
"Untuk apa sepeda?"
"Tempat kerja saya jauh sekali. Kalau saya jalan kaki, kejauhan. Kalau saya pakai angkutan, gaji saya jadi terlalu sedikit...."
"Jadi kamu butuh sepeda?" "Ya, Cak"
"Kenapa kamu kembalikan sepeda ini?"
"Katanya Sampeyan marah sekali..."
"Tapi kamu kan butuh sepeda?„
"Ya, Cak"
"Ya sudah, kamu bawa saja sepeda ini," kata saya, "sekarang sepeda ini sudali halal kalau kamu bawa. Saya sudah ikhlas, kamu sudah tidak berdosa. Dan, insya Allah, kalau yang kamu pakai adalah barang halal, rejekimu akan berkah. Kalau tadi, karena kamu mencuri, maka kamu berdosa, dan saya kamu tindas. Kamu dikutuk Tuhan, saya tidak mendapat apa-apa kecuali kemarahan. Sekarang semua sudah halal dan baik. Silakan pakai, semoga Allah menambah rezekimu dan meringankan hidupmu."
Dia bengong. Saya masuk rumah dan kembali tidur.
Dengan dua macam lalu-lintas pindahnya suatu barang dari dan ke subyek yang sama, nilainya menjadi berbeda. Kalau saya memakai kalkulasi ekonomi dunia, maka saya rugi kehilangan sepeda. Maka saya pakai teologi manajemen dunia akhirat, sehingga beralihnya sepeda saya ke tangan anak itu tidak membuat saya kehilangan. Malah saya laba banyak, bukan hanya pahala di akhirat, tapi Allah juga menjanjikan rezeki berlipat ganda, entah berupa apapun, terserah Dia saja. pokoknya ia-in syakartum la-azidannakum.
Saya ini hampir selalu dikeluarkan dari setiap sekolah yang pernah saya masuki. Jadi saya ini bukan kaum terpelajar, baik di sektor Salafiyah dan Kitab Kuning, maupun di sektor persekolahan modern. Jadi saya tidak tahu banyak mengenai banyak hal. Tetapi dengan segala keawaman itu saya haqqul yaqin dan 'ainul yaqin bahwa apa yang saya pahami, sikapi, dan lakukan dalam hal sepeda itu adalah konsep teologi Islam.
Apapun saja yang saya lakukan di muka bumi ini, sejak pagi hingga pagi berikutnya, ketika berada di timur atau barat, tatkala berjaga. atau mengantuk, sebisa-bisa saya tumbuhkan di atas kesadaran dan konsep teologi yang segamblang-gamblangnya.
Kalau saya menjumpai sebatang kayu melintang, saya sisihkan ke pinggir supaya tidak menyandungi orang lewat. Kalau mungkin, saya akan pakai ia untuk menyangga sesuatu atau untuk apapun yang bermanfaat. Konsep teologi saya ada lah bahwa segala yang di depan saya itu merupakan amanat Allah untuk saya Islamkan. Di-Islamkan artinya diubah dari kemubaziran atau kemudharatan menjadi kegunaan dan kemashlahatan.
Ingatan, kesadaran, dan formula konsep teologi itu harus terus-menerus saya cari, saya pahami, dan saya terapkan. Dan itu berlaku untuk pekerjaan yang kecil maupun yang besar. Untuk soal rumput di halaman rumah sampai soal pekerjaan sejarah besar yang menyangkut kebudayaan masyarakat.
Saya menyuapi mulut saya dengan nasi tidak karena saya ingin makan, melainkan karena saya wajib memelihara kesehatan badan yang dimandatkan oleh Pencipta saya. Saya mencangkuli tanah dan menanam sesuatu bukan sekadar karena saya menyukai keindahan, melainkan juga karena saya bersyukur dan takjub: kok ya ada di dalam hidup ini yang namanya tanah, kesuburan, serta biji yang kalau ditaruh di situ lantas tumbuh dengan penuh keajaiban.
Saya berangkat tidur pada jam tertentu bukan karena saya ingin menikmatinya, tapi karena saya wajib bergabung ke dalam irama sunnatullah yang menyangkut badan dan jiwa saya. Saya bersedia pulang ke rumah hanya beberapa hari dalam sebulan dan selebihnya diatur orang banyak untuk berada di berbagai tempat dan melaksanakan kemauan mereka, bukan karena itu karir saya atau profesi saya, karena saya tidak punya karir dan tidak peduli profesi.
Saya lakukan itu semua karena, pertama, saya ini aslinya tidak ada, kemudian Allah mengadakan saya, ia satu-satunya yang berhak atas saya, dan karena itu segala yang saya lakukan bergantung pada kemauan-Nya. Saya diberi wewenang oleh-Nya untuk berkemauan, tapi saya tidak pernah percaya bahwa kemauan saya atas diri saya dan dunia ini akan pernah lebih baik dibanding kemauan Tuhan atas diri saya dan dunia ini. Oleh karena itu saya tidak berani melepaskan apapun sampai yang sekecil-kecilnya dan seremeh-remehnya, dari pencarian pengetahuan tentang apa yang kira-kira dimaui oleh Sang Konsultan Agung Allah SWT itu.
Kalau saya punya iradah, harus saya sesuaikan dengan amr-Nya. Terkadang cocok, terkadang tidak. Terkadang benar, terkadang salah. Tapi, apapun yang terjadi, iradah itu harus saya lakukan dengan menggunakan qoul-Nya supaya produknya adalah kun fayakun. Saya tidak banyak mengerti ilmu di alam semesta ini. Jadi hanya itulah yang saya pahami sebagai konsep teologi.
Maka, sebab kedua, orang-orang yang memintaku untuk melakukan segala macam pekerjaan itu -ya kesenian, ya keagamaan, ya politik, ya ekonomi, ya pengobatan, ya konsultasi kejiwaan, ya segala macam jenis partisipasi dan sumbangan sosial- tidak bisa saya yakini bahwa kemauan mereka itu benar-benar terlepas dari kemauan Tuhan. Saya harus berspekulasi dan bersangka baik bahwa mereka adalah penyalur amanat Tuhan kepada saya.
Jadi, apa saja, dari makan rujak sampai bikin ABRI, tidak berhak dilakukan oleh manusia yang memiliki hubungan vertikal total dengan Allah- tanpa memberangkatkannya dari ingatan, kesadaran, dan konsep teologi yang jelas.
Dengan kata lain, tak perlu menunggu mau bikin partai Islam dulu baru berpikir tentang konsep teologi. Bikin mesjid, bikin perusahaan, bikin Golkar, bikin negara, bagi orang yang ber-Tuhan, ada keberangkatan dan titik tuju teologisnya.
Ketika berpakaian sekular, ketika berbusana Muslim, ketika berformalisme Islam, ketika berkultur-kultur Islam, ketika Islam fotmal dipakai atau disembunyikan, ketika Islam diletakkan di kultur thok, atau juga di politik resm, semua terikat pada penyikapan teologis. Apalagi yang namanya Partai Islam, harus terutama dilihat secara substansial: bisa saja namanya Partai Daun atau Partai Kambing, tapi yang kita lihat adalah apakah substansi kerjanya Islam atau tiidak. Hanya orang-orang yang tradisinya berpikir simbolik yang menyangka bahwa partai Islam hanyalah partai yang memakai nama dan kata Islam.
Kalau ada parpol yang pilar perjuangannya adalah amar makruf nahi munkar dan akhlaqul karimah, maka secara substansial ia telah bersyahadat Islam. Bahkan kalau ada parpol lain yang memperjuangkan demokrasi, kemerataan kesejahteraan, keadilan sosial, dan penghormatan atas haq asasi manusia, secara substansial ia bisa kita sebut partai Islam. Masalahnya, tinggal ditunggu proses aktualisasinya saja: konsisten atau tidak, istiqamah atau tidak.
Kalau misalnya saya sibuk dan mencemaskan berdirinya partai Islam, karena toh substansi partai-partai yang ada juga relatif sudah substantially Islam, maka berarti saya berpikir simbolik. Juga berarti saya tidak paham bahwa kalau ada anjuran tentang partai Islam formal, itu sekadar upaya pembebasan dari tradisi simbolisme: agar tidak resmi Islam ya boleh, resmi Islam ya boleh. Yang penting, substansinya Islam atau tidak.
Tidak hanya ketika saya pakai peci saya maka saya terikat oleh teologi Islam. Tatkala saya pakai kaos oblong dan menjadi gelandangan di tepi jalan pun saya terikat oleh Allah.
(Emha Ainun Nadjib/Ummat/2005/PadhangmBulanNetDok)
Kalau Anda sering bergaul dengan orang Luar Negeri, terutama auslander yang tergolong 'modern'dan 'rasional' -- mungkin saja sering Anda sampai pada kesimpulan begini : "Panas dulu kita bangsa Jawa ini gampang dijajah. Lha wong kita ini terlalu baik".
Terlalu 'baikan' sama orang. Sangat menyambut. Akomodatif. Suka menyuguh dan memberikan apa saja yang kita bisa kepada para tamu. Itu namanya "jowo". Kalau pelit, itu "ora jowo". Tentulah. Karena kita semua memang pengagum Tuhan, dan berusaha meniru sifat-sifatNya. Bukankah Tuhan Maha Jowo?
Bayangkanlah kalau Allah mengurangi jowoNya, misalnya pagi ini kurangi anugerah Nya kepada Anda dengan mengambil mata atau telinga yang nempel di tubuh kita dan disimpan kembali di gudang Nya.
Lha, ya begitulah, beberapa lama ini saya menemani tamu monco saya. Tak habis-habisnya saya nraktir, membelikan lurik, batik, berbagai sovenir, T-shirt, dan lain-lain. Sampai pada suatu hari, saya berdebat dengannya menemukannya sebagai seorang materialis sejati.
Materialis itu bukan dalam arti gila materi, tapi ia melihat seluruh kehidupan ini hanya sebagai materi. Ia menertawakan filsafat, tak percaya kepada jiwa dan mengenali nilai-nilai hanya sejauh menyangkut struktur keberadaan materi. Maka manusia dilihatnya hanya sebagai perut, dan segala uurusan politik hanyalah berkisar pada distribusi nasi. Maka ia fanatik kepada orang miskin dan 'sentimen' kepada orang kaya.
Saya mencoba berontak dengan menunjukkan kepadanya bahwa saya ini lebih melarat dibanding dia yang punya gaji tetap dan besar dan bisa sering tamasya ke luar negeri dan bisa pelit.
Maka kalau saya mentraktirnya ini itu, semata-mata karena filsafat hidup saya, kerena rasa sosial (bukan solidaritas rasional) dan karena nilai cinta kemanusiaan.
Nilai-nilai itu ternyata tak ada maknanya bagi materialisme yang menjadi tulangg punggung kehidupannya. Saya jadi anyel.
Saya katakan kepadanya bahwa rakyat Indonesia bisa bertahan hidup karena filsafat, karena ketahanan moral dan nilai-nilai kejiwaan. Kalau tak punya itu, dengan takaran materi yang amat rendah, mereka sudah hancur hidupnya. Dengan nilai-nilai itu mereka tetap sanggup memanusiakkan dirinya di tengah derita kemelaratan.
Karena si monco ono memang tak tahu banyak tentang manusia Indonesia, maka dia tak mampu membantah argumentasi saya. Saya lantas merasa iba, kasihan, dan segera saya traktir lagi.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi jon Pakir"/Mizan/1995/PadhangmBulanNetDok)

Benarkah ada sanak saudaramu yang harus berkorban sedemikian bear, sampai pun nyawanya, demi keserakahan sejumlah orang yang bahkan tak dikenalnya terhadap sekati upah?
Benarkah anggota keluarga Anda harus membayar sebegitu mahal kepada pentas primordialisme yang sempit? Demi fanatisme dan taqlid yang sebuta-butanya. Atau bahkan demi pertarungan yang hanya berisi kebodohan, nafsu dan emosi yang tidak jernih arahnya, serta ketidakpahaman dan ketergesaan.
Maka kecemasan yang saya alami tidak hanya terhadap kemungkinan chaos yang heboh, tapi juga terhadap kebebalan yang 'tenang'.
Diam-diam, sesungguhnya, jauh di lubuk jiwa saya terdapat juga rasa asyik menyaksikan atau mengalami benturan dan peperangan. Tapi untuk apa dulu? Bersediakah anda mengalami itu semua untuk suatu kesibukan nasional satu bulan yang pada hakekat dan kenyataannya tidak ada keterkaitan yang realistis dengan perjuangan nasib Anda sendiri sebagai rakyat kecl?
Bertamulah ke rumah orang-orang pandai. Para dosen, pastur atau kiai. Bertanyalah kepadanya apakah gegap gempita yang sedang kita selenggarakan hari-hari ini memiliki prospek yang nyata terhadap impian perubahan yang sesungguhnya, yang nasib struktural rakyat bergantung padanya?
Maka bergembiralah dengan semua pesta itu, namun dengan sanggup melakukan pengaturan takaran. Pacing. Bukan menyediakan pasak yang jauh lebih besar dibanding tiang rapuh yang tersedia sekarang ini.
Ada anak-anak muda 'minta izin' ----anehnya –kepada saya. “Cak, biar deh saya dipenjara, asalkan puas hati ini. Ayolah kapan kita serbu dan baka..!”
Tentu saja saya masih bisa tidak gila untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap desakan emosi kerakyatan –yang sesungguhnya saya mafhum benar latar belakangnya. Semangatnya pernuh enerji 'jihad', tapi belum ada titik koordinat yang menyilangkan petemuan antara konteks atau tema dengan momentum yang tepat.
Kalau boleh, naluri seperti itu hendaklah 'dipenjarakan' bis-shabri was-shalâh—sampai ada konteks dan sâ'ah sejarah dimana gumpalan tenaga semacam itu kita perlukan.
Jiwa kekanak-kanakan saya juga punya semacam rasa senang terhadap letusan² kecil atau besar, dengan tema apapun. Tapi yang disebut 'agama' adalah kesanggupan mental dan akal budi untuk tidak menggerakkan kaki kehidupan ini berdasarkan apa yang kita sukai, melainkan berdasarkan apa yang wajib dan benar menutur Alloh.
Saya mohon maaf untuk mengatakan hal seperti ini. Bahkan terhadap fitnah² besar dalam hidup saya, insyaAlloh saya bukan hanya tak bersedia meladeni atau mengeluarkan enerji sedikitpun –melainkan, kalau perlu, saya bersedia membeli fitnah² itu. Saya bersedia membayar orang² yang memfitnah saya, demi ma'unah, fadhilah dan karomah.
Maka kalau saya merasa cemas, insyaAlloh kecemasan yang saya maksudkan bukanlah situasi mental, melainkan manifestasi dari kesadaran akan pengetahuan dan kewajiban hidup.
Pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri sebenarnya seberapa besar kadar keprihatinan dan kecemasan Anda terhadap tingkat kemunkaran politik, hukum dan ekonomi di sekitar kita. Seberapa besar pulakah kecemasan Anda terhadap kenyataan betapa orang² justru tidak cemas terhadap itu semua? Seberapa cemaskah Anda terhadap ketidakpedulian kita semua atas seberapa jauh bangsa ini mengalami 'defisit nilai' demokras, moral, keberbudayaan dan keberadaban. Dalam bentuknya yang kasar dan transparan, maupun yang halus, canggih dan kita sangka kebaikan dan ketentraman?

1 komentar: