Pages

Senin, 17 Desember 2012

Bakso Khalifatullah


Bakso Khalifatullah

Setiap kali menerima uang dari orang yang membeli bakso darinya, Pak Patul
mendistribusikan uang itu ke tiga tempat: sebagian ke laci gerobagnya, sebagian
ke dompetnya, sisanya ke kaleng bekas tempat roti.
“Selalu begitu, Pak?”, saya bertanya, sesudah beramai-ramai menikmati bakso
beliau bersama anak-anak yang bermain di halaman rumahku sejak siang.
“Maksud Bapak?”, ia ganti bertanya.
“Uangnya selalu disimpan di tiga tempat itu?”
Ia tertawa. “Ia Pak. Sudah 17 tahun begini. Biar hanya sedikit duit saya, tapi kan
bukan semua hak saya”
“Maksud Pak Patul?”, ganti saya yang bertanya.
 “Dari pendapatan yang saya peroleh dari kerja saya terdapat uang yang
merupakan milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.
Aduh gawat juga Pak Patul ini. “Maksudnya?”, saya mengejar lagi.
“Uang yang masuk dompet itu hak anak-anak dan istri saya, karena menurut
Tuhan itu kewajiban utama hidup saya. Uang yang di laci itu untuk zakat, infaq,
qurban dan yang sejenisnya. Sedangkan yang di kaleng itu untuk nyicil biaya naik
haji. Insyaallah sekitar dua tahun lagi bisa mencukupi untuk membayar ONH.
Mudah-mudahan ongkos haji naiknya tidak terlalu, sehingga saya masih bisa
menjangkaunya”.
Spontan saya menghampiri beliau. Hampir saya peluk, tapi dalam budaya kami
orang kecil jenis ekspressinya tak sampai tingkat peluk memeluk, seterharu
apapun, kecuali yang ekstrem misalnya famili yang disangka meninggal ternyata
masih hidup, atau anak yang digondhol Gendruwo balik lagi.
Bahunya saja yang saya pegang dan agak saya remas, tapi karena emosi saya
bilang belum cukup maka saya guncang-guncang tubuhnya. Hati saya
meneriakkan “Jazakumullah, masyaallah, wa yushlihu balakum!”, tetapi bibir saya
pemalu untuk mengucapkannya. Tuhan memberi ‘ijazah’ kepadanya dan selalu
memelihara kebaikan urusan-urusannya.
Saya juga menjaga diri untuk tidak mendramatisir hal itu. Tetapi pasti bahwa di
dalam diri saya tidak terdapat sesuatu yang saya kagumi sebagaimana kekaguman
yang saya temukan pada prinsip, managemen dan disiplin hidup Pak Patul.
Untung dia tidak menyadari keunggulannya atas saya: bahwa saya tidak mungkin
siap mental dan memiliki keberanian budaya maupun ekonomi untuk hidup
sebagai penjual bakso, sebagaimana ia menjalankannya dengan tenang dan
ikhlas.
Saya lebih berpendidikan dibanding dia, lebih luas pengalaman, pernah mencapai
sesuatu yang ia tak pernah menyentuhnya, bahkan mungkin bisa disebut kelas
sosial saya lebih tinggi darinya. Tetapi di sisi manapun dari realitas hidup saya,
tidak terdapat sikap dan kenyataan yang membuat saya tidak berbohong jika
mengucapkan kalimat seperti diucapkannya: “Di antara pendapatan saya ini
terdapat milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.
Peradaban saya masih peradaban “milik saya”. Peradaban Pak Patul sudah lebih
maju, lebih rasional, lebih dewasa, lebih bertanggungjawab, lebih mulia dan tidak
pengecut sebagaimana ‘kapitalisme subyektif posesif’ saya.
30 th silam saya pernah menuliskan kekaguman saya kepada Penjual cendhol
yang marah-marah dan menolak cendholnya diborong oleh Pak Kiai Hamam
Jakfar Pabelan karena “kalau semua Bapak beli, bagaimana nanti orang lain yang
memerlukannya?”
Ilmunya penjual jagung asal Madura di Malang tahun 1976 saya pakai sampai tua.
Saya butuh 40 batang jagung bakar untuk teman-teman seusai pentas teater, tapi
uang saya kurang, hanya cukup untuk bayar 25, sehingga harga perbatang saya
tawar. Dia bertahan dengan harganya, tapi tetap memberi saya 40 jagung.
 “Lho, uang saya tidak cukup, Pak”
“Bawa saja jagungnya, asal harganya tetap”
“Berarti saya hutang?”
“Ndaaak. Kekurangannya itu tabungan amal jariyah saya”.
Doooh adoooh…! Tompes ako tak’iye!
Di pasar Khan Khalili semacam Tenabang-nya Cairo saya masuk sebuah took
kemudian satu jam lebih pemiliknya hilang entah ke mana, jadi saya jaga tokonya.
Ketika dating saya protes: “Keeif Inta ya Akh…ke mane aje? Kalau saya ambilin
barang-barang Inta terus saya ngacir pigimane dong….”
Lelaki tua mancung itu senyum-senyum saja sambil nyeletuk: “Kalau mau curi
barang saya ya curi saja, bukan urusan saya, itu urusan Ente sama Tuhan….”
Sungguh manusia adalah ahsanu taqwim, sebaik-baik ciptaan Allah, master-piece.
Orang-orang besar bertebaran di seluruh muka bumi. Makhluk-makhluk agung
menghampar di jalan-jalan, pasar, gang-gang kampung, pelosok-pelosok dusun
dan di mana-manapun. Bakso Khlifatullah, bahasa Jawanya: bakso-nya Pak Patul,
terasa lebih sedap karena kandungan keagungan.

Itu baru tukang bakso, belum anggota DPR. Itu baru penjual cendhol, belum
Menteri dan Dirjen Irjen Sekjen. Itu baru pemilik toko kelontong, belum Gubernur
Bupati Walikota tokoh-tokoh Parpol. Itu baru penjual jagung bakar, belum Kiai
dan Ulama. **
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 12 Februari 2010 jam 9:36
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib

0 komentar:

Posting Komentar