Pages

Sabtu, 15 Desember 2012

KENDURI CINTA


Kenduricinta ala emha.

SEKILAS TENTANG KOMUNITAS KENDURI CINTA
Komunitas Kenduri Cinta merupakan wadah silaturahmi yang tidak
hanya berisikan kesenian namun juga mengedepankan pencerahan
pada segi pendidikan politik, kebudayaan dan kemanusiaan yang
multikultur. Gerakan Cinta dalam forum Maiyah Kenduri Cinta
menjembatani kebaikan antar manusia, kemesraan dan cinta kasih
agar nila-nilai cinta yang hakiki tidak diabaikan apalagi
ditinggalkan.
Kenduri Cinta memberikan suasana iklim yang sehat. Panggung
dalam forum KenduriCinta bukan suatu pementasan tetapi suatu
gerak bersama sehingga pada akhirnya tdak ada penonton dan
yang ditonton, bukan wadah 'show of force' perorangan atau
golongan, melainkan sebuah forum yang mengedepankan interaksi
dan komunikasi yang jernih, pikiran obyektif dan hati nurani yang
diliputi kasih.
Komunitas KenduriCinta terbentuk sejak pertengahan tahun 2000.
Komunitas KenduriCinta adalah bagian dari komunitas Maiyah
Nusantara yang telah lama dirintis oleh komunitas maiyah secara
rutin bersama pada kota-kota besar di Indonesia, antara lain:
Jombang (Padhang Mbulan), Surabaya (BangBang Wetan),
Semarang (Gambang Syafaat), Jogjakarta (Mocopat Syafaat),
Malang (Obor Ilahi) dan Makassar (Paparandang Ate).
Gambaran:
"lnna ma'ya Robbi", tutur Musa, Nabi alaihissalaam, untuk
meyakinkan ummatnya bahwa Allah ada bersamanya. Muhammad
Rasulullah saw, juga menggunakan kata sama -di gua Tsur- tatkala
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Page 4
dikejar-kejar oleh pasukan musuh untuk menghibur dan
memelihara iman Abu Bakar, sahabat beliau, Sayyid kita
Rodhlialloohu'anhu: "La takhof wa la tahzan, innalloha ma'anaa".
Jangan takut jangan sedih, Allah ada menyertai kita.
Bahasa kenegaraan Maiyah itu: Nasionalisme. Bahasa mondialnya:
Universalisme. Bahasa peradabannya: Pluralisme. Bahasa
kebudayaannya: Heterogenisme, atau kemajemukan yang
direlakan, dipahami dan dikelola. Metode atau manejemen
pengelolaan itu namanya: Demokrasi.
Di dalam teori Maiyah Nasionalisme, selalu ditemukan adanya
banyak pihak, ada banyak wajah, ada banyak warna, ada banyak
kecenderungan dan pilihan. Masing-masing pilihan itu menggunakan
wamanya sendiri-sendiri, wajahnya sendiri-sendiri dan
kecenderungan sendiri-sendiri.
Setiap mereka menghidupi dan menampilkan dirinya masingmasing.
Sehingga pada semuanya tampak sebagai bhinneka.
Berbagai perbedaan itu tidak membuat mereka berperang satu
sama lain, karena diikat dan prinsip ke-ika-an, yakni komitmen
kolektif untuk saling menyelamatkan dan mensejahterakan.
Demikianlah berita gembira berdirinya Republik lndonesia dulu.
Sikap Maiyah di antara berbagai pilihan itu adalah kesepakatan
untuk saling menyetorkan kebaikan dan kemashlahatan untuk
semua.
Yang Budha, berpakaianlah Buddha. Yang Katholik, Katholiklah.
Yang lslam, lslamlah. Omswastiatu tak usah diganti Padamu Negeri.
Haleluya tak usah diganti Tanah Tumpah Darahku. Shalaatullaah
salaamullaah tak usah diganti lbu Kita Kartini. Heterogenitas itu
cukup dijaga oleh satu prinsip: saling memperuntukkan dirinya bagi
kebersamaan. ltulah Maiyah.
Website: http://www.kenduricinta.com
Facebook: http://www.facebook.com/#!/pages/Komunitas-
Kenduri-Cinta/34798057138?v=info
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

Panggillah “Mbah Nun...!”
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 22 Februari 2010 jam 9:54
Catatan: Münzir Màdjid
TIBA-TIBA, plak-plak, pukulan mendarat ke mulut seorang anak muda. “Tidak
sopan, jangan panggil Cak Nun, panggillah dengan hormat, Mbah Nun...!”
SATU:
Pernah dengar nama KH Muslim Rifa’i Imam Puro? Nama lengkap ini tidaklah
begitu populer. Namun jika disebut “Mbah Lim” banyak kalangan yang
mengenalnya, paling tidak sering mendengar.
Apalagi bagi kalangan nahdliyyin, mereka sangat mengenal sosok Mbah Lim.
Bahkan kiai-kiai NU sangat takzim terhadap beliau, termasuk Gus Dur (Allah
yarham). Karena Mbah Lim sangat rajin menghadiri helatan-helatan yang yang
diselenggarakan NU, terutama Muktamar. Kecenderungan pilihan Mbah Lim
terhadap sosok yang kelak memimpin NU biasanya itulah suara Nahdliyyin.
Jika pertama kali berjumpa pasti tak akan mempercayai bahwa orang ini sangat
disegani dari berbagai kalangan. Sangat nyentrik. Berpakaian dengan padu padan
sangat tidak pas. Bertutup kepala topi (bukan peci) dipadu dengan sorban. Yang
tak pernah ketinggalan, mencangklong tas kain lusuh. Nama pesantrennya aneh,
tidak biasa: Pondok Pesantren Al Muttaqin Pancasila Sakti, Desa Karang Anom,
Klaten. Dengan penampilan yang “mboys” ini, tidak aneh, jika banyak yang
beranggapan bahwa Mbah Lim adalah seorang wali.
Cara berbicaranya tidak jelas, cedal (cadel). Sukar dipamahami. Maka sering
didampingi oleh santri atau keluarganya sebagai juru bicara.
Suatu hari, pesantrennya mengadakan acara dengan mengundang Emha Ainun
Nadjib untuk memberikan ceramah. Tibalah saatnya, Emha harus naik ke atas
podium. Seorang santri yang bertindak sebagai MC memanggil Emha.
"Kami persilakan Cak Nun dari..."
Belum juga MC selesai berbicara, Mbah Lim berlari-lari sambil teriak-teriak ke
arah MC. Tiba-tiba, plak-plak, tangan Mbah Lim mendarat di mulut MC, sambil
tetap berteriak-teriak, "Bukan Cak Nun, Mbah Nun. Ingat itu Mbah Nun!"
“Iya Mbah.”
Jawab santri agak gemetar. Bukan sakitnya ditampar kiainya. Tapi kaget dan sama
sekali tak terduga. Tamparannya tidak keras, karena sesungguhnya Mbah Lim
sangat menyayangi semua santrinya.
Jamaah geger. Tapi tidak lama. Berganti dengan gelak tawa karena Emha sangat
pandai merubah suasana.
Mbah Lim sendiri tetap mendampingi MC sampai usai acara, berjaga-jaga agar
kesalahan ucap tak terulang lagi.

DUA:
Pernah menyaksikan bapak dan anak saling ejek, sindir menyindir? Itulah jika
Emha Ainun Nadjib satu panggung dengan Sabrang Mowo Damar Panuluh,
anaknya.
“Pergaulan yang aneh,” begitu komentar Dik Doank suatu saat
Jangan anggap mereka ada konflik. Emha sangat mencintai Sabrang, sebaliknya
Sabrang juga sangat menghormatinya. Mereka saling share tentang berbagai hal.
Banyak pengetahuan-pengetahuan baru, atau penemuan-penemuan ilmiah (baru)
yang disampaikan Sabrang kepada Emha. Sebaliknya Emha-pun sering memberi
arahan-arahan --jelas bapaknya lebih berpengalaman, ditularkan kepada Sabrang.
Jaman SMA, setahu saya, Sabrang tidak mengenal rokok. Emha sendiri, siapapun
tahu, adalah penikmat rokok.
“Jika sakit jangan merokok!” kata Emha.
“Rokok hanya untuk orang sehat,” lanjutnya. Lho?
Logika ini mungkin saja ditentang oleh aktivis anti rokok. Jika ingin sehat jauhilah
rokok, slogannya.
Tamat SMA, saya juga tidak melihat Sabrang menyentuh rokok. Kalau pegang
rokok sangat wagu, hanya diamin-mainkan, diisap tanpa api. Baguslah itu,
batinku.
Usai kuliah dari Kanada, berkumpul lagi dengan kawan-kawan SMA-nya,
belakangan membentuk Grup Band Letto. Saat itulah, mungkin saja, sering
belajaran merokok.
“Liiiil....!”
“Iya Mas,” jawab Kholil.
Kholil, pemuda tanggung yang bertahun-tahun ikut di rumah Emha-Novia. Racikan
kopinya enak. Kental tak terlalu manis.
Bersijingkat Kholil masuk ke dalam rumah mengambil sesuatu dan diserahkan
kepada Sabrang. Entah “persengkokolan” apa antara Sabrang dan Kholil. Jika
dipanggil oleh Sabrang mafhumlah apa tugas Kholil.
Sampai suatu hari, entah bagaimana ceritanya, Emha mengetahui sesuatu yang
tidak beres.
“Lil,” panggil Emha.
“Nggih Pak...”
“Apa itu?”
“Rokok, Mas Sabrang....”
Bungkusan rokok berwarna kuning ada di gegamannya.
“Oh, mulai kapan?”
“Lami Pak, wonten setahunan.”
(Sudah lama Pak, sekitar setahun).
Emha, biasanya punya simpanan rokok agak banyak. Beli sendiri atau pemberian
dari beberapa kalangan yang berbaik hati. Sesungguhnya, telah lama, tanpa
sepengetahuannya Sabrang meminta tolong Kholil mengambilkan rokok milik
bapaknya secara diam-diam. Kali ini ‘tertangkap basah.’
Maka dalam suatu acara di Kenduri Cinta, beberapa tahun lalu, Emha menagih
Sabrang.
“Coba kalikan hutangmu itu, satu bungkus dikalikan setahun!”
Jamaah-pun tertawa.
“Dicicil saja, tiap pentas Letto, potong 10%....”
Sabrang yang sudah dikenal sebagai vokalis Letto, hanya menanggapi dengan
senyum-senyum.

TIGA:
Surabaya. Emha dan Kiai Kanjeng siap-siap acara. Hari yang sama, Sabrang dan
Letto juga pentas di kota yang sama, Kota Bonek.
Meskipun bapak dan anak masih satu rumah, jarang sekali ketemu. Emha dan Kiai
Kanjeng keliling memenuhi banyak undangan, Sabrang dan Letto-pun padat acara.
Bapak dan anak saling kangen dan janjian bertemu di warung sate, makanan
favorit mereka. Emha yang sudah dulu tiba langsung memesan beberapa porsi
sate. Tak lama kemudian Sabrang datang.
“Ayo Brang, dimakan...!”
“Ntar Pa,” jawab Sabrang sembari buka-buka HP.
Berceritalah mereka dengan asyiknya. Lalu Emha tersadar, hidangannya belum
juga dijamah.
“Lho, kok tidak dimakan, tadi sudah makan ya.”
Sabrang menjawab dengan enteng, “Belum Pa, aku puasa.”
“Asu kowe Brang, lha ngapain saya janjian di sini kalau puasa!”







EMPAT:
Saya ingin mengatakan bahwa Sabrang sudah terlatih rialat. Sebuah ‘lelaku’ yang
pada umumnya anak semuda dia belum merasa perlu menjalani. Pasti banyak
yang mengira bahwa bapaknyalah yang mengajari. Atau minimal memberi contoh
dalam keseharian. Saya berani bilang, bahwa secara langsung kayaknya tidak.
Emha tidak pernah mengajarkan sebagaimana orang tua lain mendidik anaknya.
“Le, kowe puasa ya, rajin shalat!”
Tampaknya tidak pernah seperti itu.
Sampai kemudian saya mendengar bahwa Sabrang punya “guru spiritual.” Keren
ya istilahnya. Maksud saya, guru ngaji. Seorang ustadz atau kiai. Sosoknya jarang
yang kenal, seorang kiai sederhana dan kini bertempat tinggal di Lampung.
Dulu, saat Sabrang masih SMP, memang saya pernah diutus bapaknya mengantar
seorang guru ngaji dari Jogja ke Lampung. Seorang guru ngaji privat selama tiga
bulan untuk mengajari “alif ba ta” dan pelajaran dasar-dasar agama.
Tapi bukan guru ngaji itu.
Namanya KH Mustofa, saya pernah sekali bertemu di kantor, Jakarta. Sabrang
memanggilnya Pakde Mus. Kepada Pakde Mus inilah Sabrang banyak meminta
nasehat.
Saya sendiri kurang tahu sejak kapan Sabrang mengenal dan menjadikan Pakde
Mus sebagai tempat bertanya.
Belakangan juga saya mengetahui bahwa Pakde Mus adalah santrinya Mbah Lim.
Bisa jadi Pakde Mus, kala pertama, tidak menyadari bahwa Sabrang adalah
anaknya Emha, yang oleh Mbah Lim sendiri ditahbiskan sebagai “Mbah Nun.”
Ini agak muter-muter. Pakde Mus sangat takzim terhadap Emha, sebagaimana
santrinya Mbah Lim lain, memanggilnya juga: Mbah Nun.
Hujanpun semakin kerap. Tamu-tamu berlarian. Semua orang menduga bahwa
acara akan berantakan. Emha yang punya gawe berlari naik ke atas panggung.
“Allahu Akbar, Alaahu Akbar.”
“Allahu Akbar, Allahu Akbar,” azan digemakan sampai usai.
Resepsi pernikahan Sabrang dengan Uchi (26 Maret 2009) tetap berjalan dengan
lancar di Monjali, Jogja. Hujan mulai reda. Langitpun kembali dipenuhi bintang
gemintang. Di pojokan, entah di mana, Pakde Mus ngumpet sampai acara usai.
Berdoa dengan khusuk untuk “anak” kesayangannya, Sabrang.

LIMA:
Selamat kepada Sabrang dan Uchi untuk kelahiran putri pertamanya, 8 Februari
2010: Rih Anawai Lu'lu' Bodronoyo. []
Jkt-Pwt, Des 2009, Jan, Feb 2010
Tulisan ini untuk bapakku. Semoga cepat sembuh. Anakmu, sungguh
menyayangimu.



ABDURAHMAN WAHID-WAHID
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 18 Juni 2010 jam 11:01
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Lambat atau cepat hegemoni kekuatan persepakbolaan dunia akan bergeser ke
Afrika, meskipun kemudian akan bergilir ke wilayah lainnya. Sejak piala dunia
beberapa kali yang lalu Aljazair, Camerun, Nigeria, Marokko, sudah ngampingamping
- tetapi memang masih ada semacam nuansa rasisme dalam mekanisme
politik persepakbolaan, yang tercermin pada psikologi wasit atau pengurus
organisasi persepakbolaan.
Sayang Mesir tak masuk, gara-gara Gus Dur di-impeach oleh MPR. Orang Mesir
cinta Indonesia, Sukarno dan merasa memiliki Gus Dur karena sejarah kakek
beliau serta karena pernah kuliah di Cairo. Gus Dur jatuh mengecewakan orang
Mesir, sehingga sampai hari ini belum tentu Megawati diterima di sana. Sampaisampai
kesebelasan Mesir kacau hatinya dan tidak bisa menang lawan Aljazair.
Skor 1-1, padahal kalau 1-0, Mesir masuk Piala Dunia. Kalau Gus Dur waktu itu
tetap jadi presiden, skor pasti 1-0. 1 itu Wahid. Kalau 1-0 berarti Wahidnya satu.
Kalau skor 1-1 maka nama Gus Dur menjadi Abdurahman Wahid Wahid...Maka
Mesir gagal ke Piala Dunia.
Tapi toh sekarang Senegal memberi lampu kuning, meskipun tidak akan semulus
yang kita impikan. Bagi kita yang berpikiran standar, tentu kaget kok Perancis bisa
kalah oleh Senegal. Meskipun tak ada Zidane tapi ya jan gan lantas begitu loyo,
tidak kreatif, tidak punya daya menaklukkan, permainan individu kalah, tidak
punya aransemen dengan akselerasi gerak dan irama bermain.
Tapi bagi yang sudah punya instink dan tahu bahwa Senegal akan unggul, hasil
pertandingan awal Piala Dunia tadi malam tidak mengejutkan. Namun demikian
saya sarankan sebaiknya kita memilih kaget saja menyaksikan setiap kejadian
selama Piala Dunia, sebab tujuan kita memang untuk terkaget-kaget, sehingga
asyik dan selalu ada dinamika, ada tegangan.
Kalau pada pertandingan perdana Perancis kalah tapi nantinya malah jadi juara,
sebaiknya kita kaget. Kalau ternyata Perancis tak bisa sampai ke final, marilah
tetap kaget. Kalau Senegal menang terus setelah yang awal ini, juga marilah
kaget. Kalau kalah dan tidak bisa masuk ke babak berikutnya, marilah terus kaget.
Kalau tidak kaget, apa gunanya nonton sepakbola.
Hari ini saya bertugas di tiga acara, dan pertandingan perdana Perancis-Senegal
berlangsung pada acara terakhir saya tadi malam. Saya nonton tidak intensif dan
tidak seluruhnya. Sambil kedinginan dalam acara - karena tempatnya dekat Kutub
Selatan - saya bertanya-tanya siapa yang menang, dan tiba-tiba ada SMS masuk
berbunyi :"Itali juara Cak!". Gendeng. Tapi memang nonton sepakbola adalah
peluang sangat indah untuk berkhayal, menciptakan lakon-lakon apa saja di
dalam benak kita, membayang-bayangkan, melampiaskan obsesi, bahkan bisa
nonton sepakbola untuk menerapkan ideology, sentimen-sentimen sejarah atau
selera pribadi. Teman saya yang memandang sepakbola secara professionalestetik,
tidak senang Perancis kalah, karena tidak cocok dengan teori baku
tentang mutu kesebelasan. Tapi bagi teman lain yang pikirannya dipenuhi oleh
romantisme perjuangan kaum tertindas, bersorak-sorak karena Senegal menang,
karena mengidentifikasi Perancis sebagai salah satu negara penjajah pada abadabad
yang lalu.
Semula dia mencita-citakan finalnya nanti Perancis vs. Kamerun dan akan
dimenangkan kesebelasan negara kaum hitam yang nenek moyangnya dulu
dijajah. Cuma ideologi teman saya ini menjadi agak tidak mantap kalau dia ingat
bahwa Zidan beragama Islam...
Ah, apa Anda pernah mendengar musik Senegal? Tidak ada musik yang asyiknya
melebihi asyiknya musik Senegal serta negara-negara Afrika agak Utara lainnya.
Kreativitas musik di wilayah ini menggabungkan 3 dimansi keindahan: dinamika
Afrika, romantisme Timur Tengah dan kecanggihan Eropa. Beruntung saya pernah
pentas bareng mereka di lapangan pinggir pantai Rotterdam......***

Akal dan Otak
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 23 April 2010 jam 11:01
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Akal tidak sama dengan Otak. Ayam dan kambing juga punya otak, tapi jangan
bilang kambing berakal. Otak itu hanya hardware-machine dari suatu fungsi
berfikir. Adapun akal itu suatu potensialitas rohaniah, kita harus menggalinya
sepanjang zaman, karena yang kita dapatkan darinya hanya gejala-gejalanya saja,
Anda kenal inspirasi, kretivitas, ilham, ide, gagasan. Serpihan-serpihan meloncat
dalam kandungan rahasia akal ke memori dan kesadaran kita. Akal itu bagaikan
ujung jari Tuhan yang menyentuh cintanya kepada kita untuk mentransfer cinta,
silaturahmi, janji kasih, dan berbagai anugrah. Kalau dikatakan ada orang
kehilangan akal, artinya ia mengalami keterputusan kontak dengan hidayah
Tuhan. Pikirannya buntu dan otaknya terbengkalai. Jadi, otak bisa tidak sehat,
cara berpikir bisa khilaf dan terpeleset, tapi akal selalu sehat dan benar. Yang tak
sehat biasanya adalah metode dan mekanisme berpikir.

“Apa tho Nak, Emansipasi itu?”
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 21 April 2010 jam 9:06
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Ibu menjaga hasrat baik agar terus
memenuhi desa, berperang melawan
kelapukan akibat tumpahan hujan dari
kekuatan-kekuatan yang mengatasi
desa kita.
Mungkin sekedar ‘kelas’ rukuh, tapi
soalnya ialah kerajinan Ibu untuk
menerobos dan menelusup, di samping
rukuh memang menyediakan rasa tidak
aman bagi kemunafikan. Ibu juga maju
ke Pak Polisi, angkat tangan memotong
pidato Pak Pejabat di mimbar, melayani
segala kesulitan pekerjaan birokratis
yang bisanya ditangani oleh kaum
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I

lelaki, menampung pertengkaran
suami istri-suami istri, membendungi
gejala saling benci di antara siapapun,
mempertanyakan sesuatu kepada Pak-
Pak Pamong, tanpa rasa sungkan atau
pakewuh seperti yang lazim diketahui
sebagai lenderteal pembungkus sikap
sosial orang Jawa. Meskipun toh
frekuensi ketidakberesan yang pada
umumnya tumpah dari atas selalu akan
bisa mengubur usaha-usaha hasrat baik
Ibu.
Pasti ada ribuan orang di negeri ini
yang melakukan seperti yang Ibu
lakukan. Ratusan kawan-kawan
anakmu juga mampu mengerjakan
berbagai hal yang penuh arti. Tapi
lihatlah, apa yang lebih bermutu dari
sepak terjang anakmu ini selain
merengek-rengek?
Banyak hal pada kegiatan kaum wanita di desa kita yang membuat segala
pembicaraan tentang masyarakat
patrimonial menjadi terasa aneh. Tetapi
toh Ibu juga tak bosan-bosan bertanya
kepada anak-anakmu atau kepada
kawan-kawan anak-anakmu yang
datang ke desa:“apa tho Nak
emansipasi wanita itu?”
(Sumber: “IBU, TAMPARLAH MULUT ANAKMU” Sekelumit Catatan Harian.
23.8.1985. foto oleh: Budhi Ipoeng)


Bakso Khalifatullah
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 12 Februari 2010 jam 9:36
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Setiap kali menerima uang dari orang yang membeli bakso darinya, Pak Patul
mendistribusikan uang itu ke tiga tempat: sebagian ke laci gerobagnya, sebagian
ke dompetnya, sisanya ke kaleng bekas tempat roti.
“Selalu begitu, Pak?”, saya bertanya, sesudah beramai-ramai menikmati bakso
beliau bersama anak-anak yang bermain di halaman rumahku sejak siang.
“Maksud Bapak?”, ia ganti bertanya.
“Uangnya selalu disimpan di tiga tempat itu?”
Ia tertawa. “Ia Pak. Sudah 17 tahun begini. Biar hanya sedikit duit saya, tapi kan
bukan semua hak saya”
“Maksud Pak Patul?”, ganti saya yang bertanya.
 “Dari pendapatan yang saya peroleh dari kerja saya terdapat uang yang
merupakan milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.
Aduh gawat juga Pak Patul ini. “Maksudnya?”, saya mengejar lagi.
“Uang yang masuk dompet itu hak anak-anak dan istri saya, karena menurut
Tuhan itu kewajiban utama hidup saya. Uang yang di laci itu untuk zakat, infaq,
qurban dan yang sejenisnya. Sedangkan yang di kaleng itu untuk nyicil biaya naik
haji. Insyaallah sekitar dua tahun lagi bisa mencukupi untuk membayar ONH.
Mudah-mudahan ongkos haji naiknya tidak terlalu, sehingga saya masih bisa
menjangkaunya”.
Spontan saya menghampiri beliau. Hampir saya peluk, tapi dalam budaya kami
orang kecil jenis ekspressinya tak sampai tingkat peluk memeluk, seterharu
apapun, kecuali yang ekstrem misalnya famili yang disangka meninggal ternyata
masih hidup, atau anak yang digondhol Gendruwo balik lagi.
Bahunya saja yang saya pegang dan agak saya remas, tapi karena emosi saya
bilang belum cukup maka saya guncang-guncang tubuhnya. Hati saya
meneriakkan “Jazakumullah, masyaallah, wa yushlihu balakum!”, tetapi bibir saya
pemalu untuk mengucapkannya. Tuhan memberi ‘ijazah’ kepadanya dan selalu
memelihara kebaikan urusan-urusannya.
Saya juga menjaga diri untuk tidak mendramatisir hal itu. Tetapi pasti bahwa di
dalam diri saya tidak terdapat sesuatu yang saya kagumi sebagaimana kekaguman
yang saya temukan pada prinsip, managemen dan disiplin hidup Pak Patul.
Untung dia tidak menyadari keunggulannya atas saya: bahwa saya tidak mungkin
siap mental dan memiliki keberanian budaya maupun ekonomi untuk hidup
sebagai penjual bakso, sebagaimana ia menjalankannya dengan tenang dan
ikhlas.
Saya lebih berpendidikan dibanding dia, lebih luas pengalaman, pernah mencapai
sesuatu yang ia tak pernah menyentuhnya, bahkan mungkin bisa disebut kelas
sosial saya lebih tinggi darinya. Tetapi di sisi manapun dari realitas hidup saya,
tidak terdapat sikap dan kenyataan yang membuat saya tidak berbohong jika
mengucapkan kalimat seperti diucapkannya: “Di antara pendapatan saya ini
terdapat milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.
Peradaban saya masih peradaban “milik saya”. Peradaban Pak Patul sudah lebih
maju, lebih rasional, lebih dewasa, lebih bertanggungjawab, lebih mulia dan tidak
pengecut sebagaimana ‘kapitalisme subyektif posesif’ saya.
30 th silam saya pernah menuliskan kekaguman saya kepada Penjual cendhol
yang marah-marah dan menolak cendholnya diborong oleh Pak Kiai Hamam
Jakfar Pabelan karena “kalau semua Bapak beli, bagaimana nanti orang lain yang
memerlukannya?”
Ilmunya penjual jagung asal Madura di Malang tahun 1976 saya pakai sampai tua.
Saya butuh 40 batang jagung bakar untuk teman-teman seusai pentas teater, tapi
uang saya kurang, hanya cukup untuk bayar 25, sehingga harga perbatang saya
tawar. Dia bertahan dengan harganya, tapi tetap memberi saya 40 jagung.
 “Lho, uang saya tidak cukup, Pak”
“Bawa saja jagungnya, asal harganya tetap”
“Berarti saya hutang?”
“Ndaaak. Kekurangannya itu tabungan amal jariyah saya”.
Doooh adoooh…! Tompes ako tak’iye!
Di pasar Khan Khalili semacam Tenabang-nya Cairo saya masuk sebuah took
kemudian satu jam lebih pemiliknya hilang entah ke mana, jadi saya jaga tokonya.
Ketika dating saya protes: “Keeif Inta ya Akh…ke mane aje? Kalau saya ambilin
barang-barang Inta terus saya ngacir pigimane dong….”
Lelaki tua mancung itu senyum-senyum saja sambil nyeletuk: “Kalau mau curi
barang saya ya curi saja, bukan urusan saya, itu urusan Ente sama Tuhan….”
Sungguh manusia adalah ahsanu taqwim, sebaik-baik ciptaan Allah, master-piece.
Orang-orang besar bertebaran di seluruh muka bumi. Makhluk-makhluk agung
menghampar di jalan-jalan, pasar, gang-gang kampung, pelosok-pelosok dusun
dan di mana-manapun. Bakso Khlifatullah, bahasa Jawanya: bakso-nya Pak Patul,
terasa lebih sedap karena kandungan keagungan.
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 25
Itu baru tukang bakso, belum anggota DPR. Itu baru penjual cendhol, belum
Menteri dan Dirjen Irjen Sekjen. Itu baru pemilik toko kelontong, belum Gubernur
Bupati Walikota tokoh-tokoh Parpol. Itu baru penjual jagung bakar, belum Kiai
dan Ulama. **



Bid'ah
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 07 April 2010 jam 9:54
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Bid’ah itu adalah sesuatu yang tidak dilakukan/dipakai oleh Rasulullah, terus kita
pakai. Bid’ah itu berlaku diwilayah mahdhah. Islam itu dibagi 2 berdasarkan
firman Allah, yang satu namanya ibadah mahdhah jumlah firmannya 3,5 %, yang
kedua namanya ibadah muamalah ayat-ayatnya menyeluruh sekitar 96,5%.
Ibadah mahdhah itu apa?, ibadah muamalah itu apa?. Pedomannnya ibadah
mahdhah adalah jangan lakukan apapun kecuali yang Aku perintahkan. Kalau
ibadah muamalah, lakukan apa saja semaumu asalkan tidak melanggar syariat Ku.
Contoh ibadah mahdhah itu: syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji, itu saja yang
tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi.


BU CAMMANA KEKASIH
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 31 Maret 2010 jam 13:03
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Maiyahan terakhir Kiai Kanjeng dengan saya adalah di garis kaki dan 'pantat'
belakang Pulau Selawesi. Dari Makassar menuju utara lewat trans Sulawesi - di sisi
barat sesudah sisi lain ditakuti karena kasus Poso. 5 jam pertama menuju
Tinambung, salah satu titik sisa kerajaan di antara 7 kerajaan pantai dan 7
kerajaan pegunungan.
Serombongan 22 orang, berangkat awalnya enak karena naik pesawat, tapi dari
Makassar kami menyusuri jalanan ratusan kilometer untuk pekerjaan yang kami
beri judul "latihan tawakkal". Medan sangat berat, suhu sangat panas, tidak mesti
bisa mandi, keringatan terus menerus tanpa sempat mencuci atau menjemur
pakaian. Acara formalnya hanya enam kali, tapi yang non-formal - dan di sini letak
konteks maiyah kemasyarakatan kami - bertubi-tubi.
Ibunda Cammana, saat menerima penghargaan Satyalancana dari Presiden RI,
pada Minggu malam lalu, 28 Maret 2010
Maiyahan dengan ribuan masyarakat yang turun dari gunung-gunung dan sudah
tiba di tempat itu satu dua hari sebelumnya karena tidak mudahnya transportasi.
Maiyahan mengidentifikasi masalah-masalah mereka, merundingkannya,
membukakan wacana dan mencari solusi bersama-sama - dibungkus perjanjian
vertical dengan Allah melalui dzikir dan shalawat bersama yang diperindah oleh
musik Kiai Kanjeng.
Maiyahan dengan ribuan masyarakat di pertigaan tengah kota kecil Tinambung -
pusat asal usul Pasukan Balanipa - yang dua puluh tahun yang lalu hampir
menyerbu Majene dan kami hentikan di tengah jalan, kami cegat dan kami giring
pulang untuk berkumpul di Masjid. "Musuh Anda bukan orang lain golongan atau
lain suku" - demikian saya sempat omong waktu itu - "Musuh Anda akan masuk
lewat jembatan yang dua tahun lagi akan di bangun di Sungai Mandar ini. Truktruk
dan fasilitas kekuasaan orang kota akan masuk kesini. Pertanyaan yang harus
Anda jawab adalah apakah jembatan itu akan memasukkan kesejahteraan ke
kampung-kampung Anda ataukah justru akan dipakai untuk menguras kekayaan
Anda ke Jakarta..."
Maiyahan di lapangan Majene, di depan pasar Polewali-Mamassa, di alun-alun
Mamuju. Jika lampu mati - karena PLN belum berpengalaman dengan
penggunaan sound-system yang butuh teknologi los stroom - rembulan
menaburkan cahaya dan keremangan di bawah langit sangat mengkhusyukkan
kehadiran Allah dan Rasulullah.
Di sekitar lapangan maiyah selalu tampak pebukitan yang subur, laut dan
cakrawala remang. Ketika siang hari kami melintasi daerah-daerah itu, tak bisa
menahan hati untuk mengatakan kepada ribuan jamaah maiyah bahwa "Anda
semua di wilayah yang subur ini sesungguhnya tidak butuh Indonesia. Negara ini
jelas lebih banyak mengganggu Anda dar ipada menyayangi dan membantu
kehidupan Anda...." Kemudian diskusi tentu saja menjadi berkepanjangan.
Entah butuh berapa ratus halaman untuk mengisahkan indahnya pengalaman
maiyahan dengan saudara-saudara kita di pelosok itu. Tidak mungkin terucap oleh
rangkaian kata sepuitis apapun maiyahan kami di dusunnya Bu Cemmana - Ibu tua
yang vocalnya seperti terompet, powernya tidak bisa dilawan oleh Ian Gillan,
warna suaranya seperti perawan 14 tahun. Ibu asset bangsa yang bangsanya
sendiri tidak punya ilmu sama sekali untuk menghargainya....
Bangsa ini membiayai putauw dengan uang tak terbatas, membiayai kemaksiatan
tanpa hitungan, membiayai kekonyolan dengan malah membangga-banggakan,
membiayai fitnah dan berita-berita pembodohan dengan trliyunan rupiah. Bu
Cemmana.****


Bulan Purnama Rendra
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 23 Agustus 2009 jam 16:52
Sumber: GATRA
Tuhan memilihkan saat terbaik untuk memanggil kekasih-Nya, Rendra. Malam
Jumat, di bawah cahaya bulan purnama. Orang besar itu telah pergi dengan gagah
sebagaimana ajarannya: ''gagah dalam kemiskinan''. Istrinya, Ken Zuraida,
menyatakan ''ia sangat bahagia'', meskipun pasti bagi setiap yang terlibat
kematian selalu ada semacam ''derita manusiawi'' yang membungkusnya.
Ini adalah puncak tangis mengguguk-guguk seorang pecinta yang air matanya
tumpah di ufuk kesadaran tentang nyawiji. Selama sakit di pembaringan, Rendra
selalu spontan menyebut, ''Ya Lathif, wahai Yang Mahalembut." Di saat-saat
paling menderita oleh sakitnya, ia meneguhkan hatinya dengan ''Qul huwal-Lahu
Ahad, Allahus-Shamad....'' Setengah sadar, sambil saya genggam tangan kirinya,
saya minta ia menambahi, ''Mas, ucapkan juga Qul Huwal-Lahu Wahid....''
Ia berbisik, ''Apa bedanya Ahad dengan Wahid, Nun'', saya jawab, ''Mas, Ahad itu
Allah yang tunggal, yang satu, yang gagah perkasa dengan maha-eksistensi-Nya.
Wahid itu Allah yang manunggal, yang menyatu, yang integral, yang merendahkan
diri-Nya, mendekat ke hamba-Nya, nyawiji....'' Meledak tangis Rendra dalam rasa
dan kesadaran bahwa ia tak berjarak dengan-Nya dan Ia tak berjarak dengan
dirinya. Tatkala mereda gejolak hatinya, Rendra menorehkan puisi yang diakhiri
dengan kalimat, ''Tuhan, aku cinta pada-Mu."
Maka, Rendra tak pergi. Tak pernah pergi. Ia tidak perlu pergi menuju sesuatu
yang ia sudah menyatu dengannya. Mungkin Rendra memang telah pergi
meninggalkan kita, jauh sebelum detik kematiannya, karena kita meletakkan diri
semakin jauh dari titik nyawiji yang Rendra sudah lama menikmatinya.
***
Tapi sudah pasti kemudian terdengar suara dari seluruh penjuru: ''Kita sangat
kehilangan'', ''Bangsa kita ditinggalkan lagi oleh salah seorang putra terbaiknya'',
atau ''Tidak. Rendra tak pernah pergi. Orang besar tak pernah mati''.
Bisa jadi, pekikan-pekikan hati itu sebenarnya tidak terutama tentang Rendra,
melainkan lebih terkait dengan kandungan batin kita sendiri. Semua pernyataan
itu sangat memancarkan kedalaman cinta, semangat mempertahankan
optimisme ke depan. Mungkin juga diam-diam terdapat kandungan kecemasan
dan kebingungan dari dalam ego kita sendiri.
Terutama bagi orang yang semakin berangkat tua seperti saya: mengibarkan
kehidupan Rendra pada momentum kematiannya sesungguhnya diam-diam
sangat tajam mencerminkan kengerian terhadap kehidupan dan kematian saya
sendiri. Kita berduyun-duyun menghadiri pemakamannya, mungkin untuk
menyatakan kepada Tuhan betapa cintanya kita kepada kehidupan kita dan
betapa khawatirnya kita akan datangnya maut sewaktu-waktu atas kita.
Mungkin terdapat semacam raungan di kandungan jiwa setiap pen-takziyah
pemakaman Rendra. Raungan panjang seperti puisi "Rick dari Corona'' atau
''Khotbah''. Tetapi mungkin berakhir sublim dan mengkristal menjadi Drama Mini
Kata Rendra: ''Bip Bop'', ''Rambate Rate Rata''....
Sementara bagi para pen-takziyah yang muda-muda, yang menyangka bahwa
maut ada kaitannya dengan muda dan tua, di kompleks Bengkel Teater
meneriakkan puisi-puisi perjuangan, mengibarkan kepercayaan di dalam diri
mereka bahwa kepergian Rendra bukanlah sirnanya perjuangan sosial,
progresivisme ideologi nasional dan martabat kemanusiaan. Mereka seolah
menghadirkan kembali panggung ''Mastodon dan Burung Kondor'', ''Sekda'',
bahkan ''Kasidah Barzanji'', hingga puisi ''Orang Miskin di Jalan'', ''Bersatulah
Pelacur-pelacur Ibukota'', ''Seonggok Jagung di Kamar''.
***
Wahai maut, siapakah engkau? ''Bukan kematian benar menusuk kalbu,'' kata
Chairil Anwar, penyair terbesar Indonesia di samping Rendra dan Sutardji Calzoum
Bachri. ''Keridaanmu menerima segala tiba. Tak kutahu setinggi itu atas debu. Dan
duka Maha Tuan bertahta...."
Tuhan tak sudi dipergoki. Takdir-Nya tak bisa dicegat. Kehendak-Nya tak mungkin
dibatasi. Hak-Nya atas misteri garis terang dan gelap kehidupan, serta atas
ketentuan detik maut dihadirkan, tak membuka diri sedikit pun untuk dirumuskan
oleh segala ilmu dan pengalaman. Kehidupan sangat mengaitkan sakit dengan
kematian, tetapi maut tidak bersedia dikaitkan dengan sakit.
Orang bisa sakit berkepanjangan tanpa kunjung maut menjemputnya. Orang
sehat walafiat bisa mendadak dihadang oleh kematian. Rendra dipanggil Allah
tidak berdasar akselerasi logis dari sakit demi sakit yang dideritanya: pikiran yang
memberat, jantung bekerja terlalu keras, ginjal menanggung akibatnya, kemudian
tiba-tiba demam berdarah menelusup ke darahnya dan menganiaya jiwanya.
Keadaannya justru membaik, sehingga diperkenankan keluar dari rumah sakit,
kemudian menempuh jalan yang ia menyebutnya: ''Aku pengin membersihkan
tubuhku dari racun kimia. Aku ingin kembali kepada jalan alam. Aku ingin
meningkatkan pengabdian kepada Allah. Tuhan, aku cinta pada-Mu'' (31 Juli
2009).
Rasulullah Muhammad SAW menderita panas badan yang sangat luar biasa
melebihi kebanyakan orang. Beliau menjawab pertanyaan salah seorang
sahabatnya tentang panas yang ekstra itu: bahwa beliau dibebani Allah tanggung
jawab sangat besar melampaui semua yang lain, sehingga Tuhan
menganugerahkan juga kemuliaan yang sangat tinggi melebihi siapa pun, tetapi
harus juga beliau tanggung panas yang amat tinggi dan dahsyat yang orang lain
tak menanggungnya.
Demikianlah juga kadar derita sakit yang dialami Rendra, takaran jenis
kesengsaraan yang menimpanya, yang khalayak ramai tidak perlu mengetahui
atau turut menghayatinya. Rendra bahagia di dalam anugerah kemuliaan yang
diterimanya dalam rahasia. Bahkan lautan kebahagiaan dan kemuliaan Rendra
tidak perlu ''digarami'' oleh pernyataan pers Presiden Republik Indonesia
sebagaimana Mbah Surip dianggap memerlukannya.
Pada hari wafatnya Rendra, di samping menikmati pemandangan indahnya
kemuliaan rahasia Rendra itu, saya mendapat cipratan anugerah yang lain:
menyaksikan seseorang menginfakkan Rp 6,1 trilyun --dengan Allah merebut
seluruh kemuliaan hamba-Nya itu-- dengan cara membiarkan sesama manusia
justru memperhinakannya. Alangkah anehnya metode cinta Tuhan.
Di hadapan akal sehat, presiden berpidato untuk wafatnya Mbah Surip tapi tidak
untuk wafatnya Rendra adalah kehancuran logika dan kebangkrutan parameter
nilai budaya. Tapi, di hadapan karamah Allah, itu justru keindahan yang spesifik.
SBY bikin stempel tegas atas dirinya sendiri.
Ini sama sekali bukan polarisasi antara Rendra dan Mbah Surip. Tiga tahun lebih
saya ikut mengawal dan menjunjung Mbah Surip dan ''Tiga Gorilla''-nya --bersama
Bertha dan almarhum Ndang: melalui forum rakyat rutin bulanan di Jakarta,
Jombang, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta.
Sehingga Tak Gendong dan Tidur Lagi sudah sangat dihafal oleh komunitas lima
kota itu dan terus-menerus diulang karena sangat dicintai sebagai ''lagu
kebangsaan'' komunitas kami. Kami ''I love you full'' kepada Mbah Surip,
meskipun dua bulan terakhir menjelang beliau wafat, kami kehilangan diri kami di
penggalan akhir sejarah Mbah Surip, tanpa Mbah Surip pernah hilang dari hati
kami.
***
Rendra dipanggil Allah justru di puncak optimisme keluarganya atas
kesembuhannya. Candle light phenomenon, kata orang. Fenomena lilin yang
apinya membesar dan memancarkan cahaya sangat benderang, sebelum akhirnya
padam. Tapi Tuhan berhak juga bikin lilin membenderang apinya, kemudian tidak
padam. Atau lilin tidak pernah membenderang dan lantas padam.
Tuhan berhak memaparkan suatu gejala yang pada repetisi kesekian
dihipotesiskan oleh manusia sebagai jenis "perilaku" Tuhan atas nasib manusia.
Tapi Tuhan juga berhak kapan saja melanggar rumusan apa pun yang pernah Ia
berikan. Bahkan Tuhan seratus persen tidak berkewajiban untuk berbuat adil
kepada siapa pun, karena Ia tidak terikat atau bergantung pada pola hubungan
apa pun dengan siapa pun, yang secara logis membuat-Nya wajib bertindak adil.
Namun Ia selalu sangat adil kepada siapa pun, dan tindakan adil-Nya itu bukan
karena Ia wajib adil, melainkan karena Ia sangat sayang kepada makhluk-Nya.
Termasuk bagaimana cara maut ditimpakan kepada seseorang, Tuhan menolak
untuk kita rumuskan. Ada bandit mati ketika bersujud. Ada orang sangat alim
saleh pergi ke masjid di tengah malam diserempet motor, kemudian ia dipukuli
pengendara motor itu sampai meninggal. Ada pendosa besar mati ketika
bertawaf, ada true believer pengkhusyuk ibadah mati kecelakaan secara sangat
mengenaskan.
Semua fenomena itu tidak menggambarkan apa-apa kecuali kemutlakan kuasa
Tuhan. Posisi manusia hanya pada dinamika doa: selalu cemas dan memohon
kepada-Nya agar diperkenankan untuk tidak tampak hina di hadapan sesama
manusia.
Pun tak usah merumuskan sebab-akibat antara baik-buruknya manusia dan
jumlah pelayat, volume pemberitaan media, tayangan langsung atau tunda,
tatkala meninggal. Ada ratu lalim diantarkan ke pemakaman oleh puluhan ribu
orang, ada nabi dikuburkan hanya oleh enam orang. Jadi, Rendra tidak bisa kita
ukur kualitas mautnya, tak juga bisa kita takar mutu hidupnya. Tidak ada jenis dan
wilayah ilmu manusia apa pun yang bisa dipakai untuk merumuskan hidup dan
matinya Rendra. Sirrul-asror. Itu misteri seserpih rahasia di antara jagat raya tak
terhingga rahasia iradah-Nya.
Yang mungkin, dan harus, kita lakukan adalah meneliti dan menghitung ulang
karya-karya Rendra, menghormatinya dengan ilmu, merayakannya terus-menerus
dengan cinta, menjunjungnya dengan semangat tanpa henti untuk memelihara
keindahan hidup, serta menghidupkan kembali kandungan karya-karyanya itu di
dalam berbagai modus kreatif kebudayaan kita.
Rendra telah diterima Allah untuk bergabung dalam keabadian. Kelabakanlah kita,
sebab yang kita punyai pada saat ini adalah budaya instan, pola berpikir
sepenggal, perhatian terlalu rendah terhadap sejarah, serta kefakiran yang luar
biasa terhadap kualitas hidup. ''Kami cuma tulang-tulang berserakan,'' kata
Chairil, ''Tapi adalah kepunyaanmu." Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang
berserakan. Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan, dan
harapan....''
Emha Ainun Nadjib
Budayawan
[Obituari, Gatra Edisi Khusus Beredar Kamis, 13 Agustus 2009]


Bulan Tidak Suci
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 25 Agustus 2009 jam 13:27
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Kita menghormati ramadhan dengan selalu menyebutnya sebagai bulan suci
ramadhan. Mungkin karena ramadhan ini memang khas. Ramadhan mengandung
malam seribu bulan. Bulan penuh kekhususan. Padanya al-quran diturunkan, dan
Allah sendiri begitu posesif terhadap ibadah puasa dengan mengemukakan bahwa
ibadah yang satu ini khusus untukNya. Apakah bulan yang selain ramadhan boleh
kita sebut bulan tidak suci? Apakah syawal bukan bulan suci, padahal padanya
justru para pelaku puasa yg sukses mencapai kesucian atau kefitriannya kembali?
Apakah ada bulan yang tidak suci? Apakah ada tahun, hari, jam, menit, detik,
second atau waktu ciptaan Allah yang tidak suci? Apa sesungguhnya konsep dan
pengertian tentang kesucian?. (Dikutip dari hikmah puasa)

Dia mati; Alhamdulillah…………
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 25 Januari 2010 jam 9:01
Petani Pugra berkata, “besok saya akan ke Solo dan mungkin akan tinggal lama
sekali, karena saya akan belajar untuk bisa bertemu dengan aku saya yang sejati”
– dan besoknya ia mati. Ia ketemu aku-nya yang sejati. Ini terjadi tahun 1974, jadi
di kurun kita dimana orang haus akan dunia ini jua. Jadi, Wisanggeni yang lenyap
ke telingan Sang Hyang Tunggal mungkin khayalan, tapi esensinya riil. Para Sufi, di
Arab atau Jawa, yang bercinta terus menerus untuk bertemu dengan Tuhan
kekasihnya, bukan impian atau omong besar belaka. Terkadang oleh keterbatasan
manusiawinya, mereka ingin cepat sampai ke kaki Tuhan (baca dengan ‘bahasa
kita’: ingin cepat mati). Namun inti sikapnya jelas: dunia ini fana belaka, dan tidak
terlalu penting dan sangat naif untuk membikin manusia berduyun jadi binatang
serakah. Ini bukan igauan. Maka sufi itu menguburkan badan rekanya sambil
berkata, “Dia mati; Alhamdulillah………….” [Emha Ainun Nadjib, Indonesia bagian
dari desa saya, hal 208].

Dimaafkan, Memaafkan, dan Tidak Memaafkan
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 09 September 2010 jam 10:47
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Dimaafkan adalah kelegaan memperoleh rizqi, tapi Memaafkan adalah
perjuangan yang sering tidak ringan dan membuat kita penasaran kepada diri
sendiri. Tidak Memaafkan adalah suatu situasi psikologis dimana hati kita
menggumpal, alias menjadi gumpalan, atau terdapat gumpalan di wilayah ruhani-
Nya. Gumpalan itu benda padat, sedangkan gumpalan daging yang kita sebut
dengan hati diantara dada dan perut itu bukanlah hati, melainkan indikator fisik
dari suatu pengertian ruhani tentang gaib. Jika hati hanyalan gumpalan daging; ia
tak bisa dimuati oleh iman atau cinta. Maka gumpalan daging itu sekedar tanda
syari’at hati, sedangkan hakikatnya adalah watak ruhani.
Didalam kehidupan manusia, yang biasanya berupa gumpalan dalam hati,
misalnya, adalah watak dendam. Dendam bersumber dari mitos tentang harga
diri dan kelemahan jiwa. Manusia terlalu ‘GR’ atas dirinya sendiri, dan tidak begitu
percaya bahwa ia ‘faqir indallah’: ’musnah dan menguap’ dihadapan Allah.
Kemudian cemburu. Ini watak yang juga mejadi ‘suku cadang’ dari hakikat cinta
dan keindahan. Namun syari’atnya ia harus diletakkan pada konteks yang tepat.
Hanya karena punya sepeda, saya tidak lantas jengkel dan cemburu kepada setiap
orang yang memiliki mobil. Sambil makan di warung pinggir jalan tak usah kita
hardik mereka yang duduk di kursi mengkilap sebuah restoran.?

Gelar Karya Para Rajawali
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 09 Agustus 2010 jam 9:02
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Sebagai penggembira Gelar Karya Para Maestro Yogya, saya ingin turut
merayakan kegembiraan dan optimisme peristiwa ini dengan sebuah wacana
klasik tentang Burung Rajawali.
Pada awalnya saya ingin bersegera mensyukuri dua hal. Pertama, telah lahirny
satu Genre Baru Masyarakat budaya yang otentik dan orisinal, satu dua tahun
terahir ini di Yogyakarta, melalui berbagai peristiwa kreativitas di sejumlah
laboratorium kebudayaan, termasuk Taman Budaya Yogyakarta.
Akan tetapi saya menekan diri saya sendiri untuk bersabar dengan terlebih dahulu
bercerita tentang Rajawali, sebab ada kemungkinan Sang Rajawali itu terdapat
pada Genre baru itu.
Alkisah, burung Rajawali itu oleh Tuhan dikasih rangsum usia relative sama
dengan umumnya makhluk manusia, yakni 60-80an tahun, naik turun. Kalau
manusia Yogyakarta menggunakan wacana “katuranggan” dan menemukan
dirinya adalah Rajawali, bukan mprit atau Cipret, atau sekurang-kurangnya ia
menemukan potensi Rajawali di dalam dirinya : maka ia tinggal bercermin pada
burung itu, karena hidup pada irama dan skala waktu yang relative sama.

Manusia Yogya memiliki potensial untuk “hamengku” alias sikap memangku
berbagai formulasi peradaban. Semua hasil “ijtihad” kosmologi diakomodasikan
olehnya. Berbagai satuan tahun – dari Yunani, Mesir Kuno, Sanskrit, Jawi, Java—
satuan bulan, siklus hari, bahkan weton dan neptu, dielus-elus oleh manusia
Yogya dari pangkuanya.
Sudah pasti itu disebabkan oleh keistimewaan manusia Yogya, sehingga daerah ini
tidak perlu dilegarisir oleh otoritas apapun untuk menjadi istimewa, karena
keistimewaan Yogya sudah lama ‘niscaya’ oleh dirinya sendiri, ada atau tidak ada
NKRI, dengan atau tanpa Indonesia.
Keistimewaan itu akan memuat dan menerbitkan kepantasan kepemimpinan
nasional secara politik dan internasional secara kebudayaan. Hal itu akan
mewujud atau tidak, Yogya tidak pusing, sebab de facto ia tetap istimewa dan
pemimpin. Kalau sejarah tidak menerimanya, maka kehancuran sejarah tidak
akan mengurangi keistimewaan dan kepemimpinan kultural Yogya.
Pada usia 40 tahun, burung Rajawali terbang ke gunung jauh, mencari batu
karang, memilih yang paling baja dari bebatuan itu, mematuknya, menggigitnya,

sekeras-kerasnya, sekuat-kuatnya, dan takkan dilepaskanya sampai
paruhnyatanggal dari mulut dan kepalanya.
Demikian juga cakar-cakar kedua kakinya. Ia cengkeramkan ke batu paling karang,
dengan daya cengkeram sekali seumur hidup, dan takkan dibatalkanya sampai
lepas tanggal kuku-kukunya dari jari-jemari kedua kakinya.
Kemudian dia akan kesakitan, tergeletak, terbang dengan lemah, hinggap di
seberang tempat tanpa kekuatan untuk berpegang. Rajawali mengambil
keputusan untuk menderita, untuk mereguk sakit dan kesengsaraan, sampai
akhirnya hari demi hari paruh dan kuku-kukunya tumbuh kembali.
Nanti setelah sempurna pertumbuhan paruh dan kuku-kuku barunya, maka
barulah itu yang sejati bernama bernama paruh dan kuku-kuku Rajawali, yang
membuatnya pantas disebut Garuda.
Tariklah garis pengandaian: Rajawali itu adalah Anda. Sesungguhnya yang anda
lakukan adalah, pertama : keberanian mental, ketahanan jasad, ketangguhan hati
dan keikhlasan rohani untuk menyelenggarakan perubahan yang bukan hanya
mendasar dan mengakar, melainkan ekstra-eksistensial, kegagahan untuk
merelakan segala perolehan sejarah untuk di-nol-kan kembali, dan itu
probabilitasnya benar-benar terletak diantara hidup dan mati.
Kedua, pengambilan keputusan Anda sang Rajawali itu tidak mempersyaratkan
sekedar keputusan hati, tapi juga keputusan akal dan nalar dengan pengetahuan
yang sempurna tentang alur waktu ke depan. Keputusan itu bukan sekedar
tindakan mental, tapi juga intelektual dan rohaniah. Rajawali diakui dan digelari
Sang Garuda karena mengerti dan berani betapa beratnya menyangga kalimat
sehari-hari yang sederhana dari Bapak Mbok dan para tetangganya di desa : yakni
“mati sakjroning urip”.
Garuda Rajawali atau Rajawali Garuda itu pastilah Anda semua yang kini ada
dihadapan saya. Sebab nyuwun sewu saya tidak menjumpai potensi dan
kecenderungan itu di wilayah pemerintahan, di hamparan keummatan dan
gerombolan-gerombolan kemasyarakatan. Termasuk di kalangan yang disebut
Kaum Intelektual atau Kelas Menengah. Apalagi kaum Selebritis, meskipun gebyar
beiau-beliau sangat penuh dengan kata ‘dahsyat’, ‘super’, ‘luar biasa’ dan banyak
lagi ungapan-ungkapan yang penuh ketidakpercayaan diri.
Kita sedang mengalami hukuman dari suatu Negri yang terlanjur mengalami
kesalahan-kesalahan sangat substansial pada filosofi kebangsaan dan kostitusi
kenegaraanya. Kita sedang berada di dalam berbagai cengkeraman global dan
reaksi kita adalah berjuang untuk siapa tahu bisa menjadi bagian dari
pencengkeram, atau minimal sanggup membangun kenikmatan di dalam
cengkeraman.
Hukuman sejarah itu berupa kehancuran logika, kemusnahan nalar sosial,
ketidakmengertian tentang apa yang layak dikagumi dan apa yang
menghancurkan martabat kemanusiaan, kebutaan untuk menentukan tokoh,
pemimpin, idola, dan panutan. Kita dihukum dengan mengalami Negara yang
hampir selalu gagal sebagai Negara, dengan Pemerintah yang benar-benar tidak
mengerti pada tingkat elementer pun di mana sebenarnya letak Pemerintah,
peranya, fungsinya, hak, dan kewajiban.
Kita dihukum dengan memiliki kekayaan alam yang melimpah dan harus membeli
sangat mahal hasil kekayaan kita sendiri itu, setelah kita sewa para tetangga
mancanegara untuk mengolah kekayaan itu dengan bayaran yang harus kita
tanggung dengan menelan kenyataan bahwa kekayaan itu ternyata akhirnya
menjadi milik mereka.
Bangsa ini sungguh-sungguh memerlukan “pengambilan keputusan paruh dan
kuku Rajawali”. Namun lihatlah, potensi untuk itu betapa rendahnya, kecuali pada
Anda semua yang kini berada di depan saya.
Maka di Yogya kita menggelar karya para Rajawali : Umar Kayam yang
memelihara dan menjaga karakter bangsanya, Kuntowijoyo yang sungguhsungguh
berilmu Rajawali, Nasyah Djamin yang allround sanggup terbang sanggup
pula melata, Muhammad Diponegoro yang mampu memasak nasi sastra di atas
kompor budaya Agama lingkunganya yang hampir tanpa sumbu dan api, Linus
Suryadi AG yang menyelam di latan kemesraan dan estika ‘Jawi’ gen-nya,
Suryanto Sastro atmojo penjaga simpul tali sejarah dari Astinapura, Lemoria
Atlantis, Anglingdharma Batik madrim hingga Kemusu, Romo YB Mangun Wijaya
yang mewasiti manusia dan masyarakat kemanusiaan, Rendra yang tidak sedia
membiarkan anak-anak bangsanya merunduk rendah diri, yang senantiasa gagah
karena menjaga pertanda manusia adalah kreativitasnya, serta Pak Besut yang
dengan suaranyamembangun kegembiraan hidup menjadi kebesaran sehingga
mengatasi segala yang bukan kegembiraan.
Siapakah yang belajar kepada Rajawali, selain Rajawali? Siapakah Rajawali itu,
selain anda yang berkumpul di sini belajar kepada Gelar Karya Para Rajawali?
Itulah yang diawal tulisan ini saya sebut Genre Baru Masyarakat Kebudayaan di
Yogya.
Terhisap oleh hidungku bau darah dari kandungan jiwa Rajawali-Rajawali,
berhembus dari kaum muda yang dating berduyun-duyun, yang hadir dan belajar
dengan otentisitas dan orisinalitasnya, yang melangkahkan kaki mereka dan
mengerubungi medan pembelajaran Rajawali dengan sukses mentransendensikan
dirinya dari arus pusaran sejarah yang terlalu penuh sampah sepuluh tahun
terahir ini.Kadipiro 6 Agustus 2010
*) (Dibacakan untuk membuka acara ‘Repertoar Maestro Sastra Yogya 2010’ di
Gedung Kesenian Sositet Taman Budaya Yogyakarta, jum’at 6 Agustus 2010).

Gunung Jangan Pula Meletus?
by Komunitas Kenduri Cinta
Ditulis oleh: Emha Ainun Nadjib,
Sumber: Kiai Bejo Kiai Untung Kiai Hoki, Gramedia Pustaka Utama, 2007
Khusus untuk bencana Aceh, saya terpaksa menemui Kiai Sudrun. Apakah kata
mampu mengucapkan kedahsyatannya? Apakah sastra mampu menuturkan
kedalaman dukanya? Apakah ilmu sanggup menemukan dan menghitung nilainilai
kandungannya?
Wajah Sudrun yang buruk dengan air liur yang selalu mengalir pelan dari salah
satu sudut bibirnya hampir membuatku marah. Karena tak bisa kubedakan
apakah ia sedang berduka atau tidak. Sebab, barang siapa tidak berduka oleh
ngerinya bencana itu dan oleh kesengsaraan para korban yang jiwanya luluh
lantak terkeping- keping, akan kubunuh.
“Jakarta jauh lebih pantas mendapat bencana itu dibanding Aceh!” aku
menyerbu.
“Kamu juga tak kalah pantas memperoleh kehancuran,” Sudrun menyambut
dengan kata-kata, yang seperti biasa, menyakitkan hati.
“Jadi, kenapa Aceh, bukan aku dan Jakarta?”

“Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia, sedang rakyat Aceh dinikahkan
dengan surga.”
“Orang Aceh-lah yang selama bertahun-tahun terakhir amat dan paling menderita
dibanding kita senegara, kenapa masih ditenggelamkan ke kubangan
kesengsaraan sedalam itu?”
“Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya sehingga
derajat orang Aceh ditinggikan, sementara kalian ditinggalkan untuk terus
menjalani kerendahan.”
“Termasuk Kiai….”
Cuh! Ludahnya melompat menciprati mukaku. Sudah biasa begini. Sejak dahulu
kala. Kuusap dengan kesabaran.
“Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu peringatan, kenapa tidak kepada
gerombolan maling dan koruptor di Jakarta? Kalau itu ujian, apa Tuhan masih
kurang kenyang melihat kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh selama ini, di
tengah perang politik dan militer tak berkesudahan?”
Sudrun tertawa terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa yang lucu dari kata-kataku.
Badannya terguncang-guncang.
“Kamu mempersoalkan Tuhan? Mempertanyakan tindakan Tuhan?
Mempersalahkan ketidakadilan Tuhan?” katanya.
Aku menjawab tegas, “Ya”
“Kalau Tuhan diam saja bagaimana?”
“Akan terus kupertanyakan. Dan aku tahu seluruh bangsa Indonesia akan terus
mempertanyakan.”
“Sampai kapan?”
“Sampai kapan pun!”
“Sampai mati?”
“Ya!”
“Kapan kamu mati?”
“Gila!”
 “Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih baik kamu mempertanyakan kenapa
ilmumu sampai tidak mengetahui akan ada gempa di Aceh. Kamu bahkan tidak
tahu apa yang akan kamu katakan sendiri lima menit mendatang. Kamu juga tidak
tahu berapa jumlah bulu ketiakmu. Kamu pengecut. Untuk apa mempertanyakan
tindakan Tuhan. Kenapa kamu tidak melawanNya. Kenapa kamu memberontak
secara tegas kepada Tuhan. Kami menyingkir dari bumiNya, pindah dari alam
semestaNya, kemudian kamu tabuh genderang perang menantangNya!”
“Aku ini, Kiai!” teriakku, “datang kemari, untuk merundingkan hal- hal yang bisa
menghindarkanku dari tindakan menuduh Tuhan adalah diktator dan otoriter….”
Sudrun malah melompat- lompat. Yang tertawa sekarang seluruh tubuhnya.
Bibirnya melebar-lebar ke kiri-kanan mengejekku.
“Kamu jahat,” katanya, “karena ingin menghindar dari kewajiban.”
“Kewajiban apa?”
 “Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter.
Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar menerimanya,
dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya. Tuhan-lah satusatunya
yang ada, yang berhak bersikap diktator dan otoriter, sebagaimana
pelukis berhak menyayang lukisannya atau merobek-robek dan
mencampakkannya ke tempat sampah.
Tuhan tidak berkewajiban apa- apa karena ia tidak berutang kepada siapa-siapa,
dan keberadaanNya tidak atas saham dan andil siapa pun. Tuhan tidak terikat
oleh baik buruk karena justru Dialah yang menciptakan baik buruk. Tuhan tidak
harus patuh kepada benar atau salah, karena benar dan salah yang harus taat
kepadaNya."
"Ainun, Ainun, apa yang kamu lakukan ini? Sini, sini…” -ia meraih lengan saya dan
menyeret ke tembok- “Kupinjamkan dinding ini kepadamu….”
“Apa maksud Kiai?” aku tidak paham.
“Pakailah sesukamu”
 “Emang untuk apa?”
“Misalnya untuk membenturkan kepalamu….”
“Sinting!”
“Membenturkan kepala ke tembok adalah tahap awal pembelajaran yang terbaik
untuk cara berpikir yang kau tempuh.”
Ia membawaku duduk kembali.
“Atau kamu saja yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib terbaik untuk manusia
menurut pertimbanganmu?” ia pegang bagian atas bajuku.
“Kamu tahu Muhammad?” ia meneruskan, “Tahu? Muhammad Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, tahu? Ia manusia mutiara yang memilih hidup
sebagai orang jelata. Tidak pernah makan kenyang lebih dari tiga hari, karena
sesudah hari kedua ia tak punya makanan lagi. Ia menjahit bajunya sendiri dan
menambal sandalnya sendiri. Panjang rumahnya 4,80 m, lebar 4,62 m. Ia manusia
yang paling dicintai Tuhan dan paling mencintai Tuhan, tetapi oleh Tuhan orang
kampung Thaif diizinkan melemparinya dengan batu yang membuat jidatnya
berdarah. Ia bahkan dibiarkan oleh Tuhan sakit sangat panas badan oleh racun
Zaenab wanita Yahudi. Cucunya yang pertama diizinkan Tuhan mati diracun
istrinya sendiri. Dan cucunya yang kedua dibiarkan oleh Tuhan dipenggal
kepalanya kemudian kepala itu diseret dengan kuda sejauh ratusan kilometer
sehingga ada dua kuburannya. Muhammad dijamin surganya, tetapi ia selalu
takut kepada Tuhan sehingga menangis di setiap sujudnya. Sedangkan kalian yang
pekerjaannya mencuri, kelakuannya penuh kerendahan budaya, yang politik
kalian busuk, perhatian kalian kepada Tuhan setengah-setengah, menginginkan
nasib lebih enak dibanding Muhammad? Dan kalau kalian ditimpa bencana, Tuhan
yang kalian salahkan?”
Tangan Sudrun mendorong badan saya keras-keras sehingga saya jatuh ke
belakang.
“Kiai .. ” kata saya agak pelan, “Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa icon
utama eksistensi Tuhan adalah sifat Rahman dan Rahim….”
“Sangat benar demikian,” jawabnya, “Apa yang membuatmu tidak yakin?”
“Ya Aceh itu, Kiai, Aceh…. Untuk Aceh-lah aku bersedia Kiai ludahi.”
 “Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku meludahimu. Yang terjadi adalah
bahwa kamu pantas diludahi.”
“Terserah Kiai, asal Rahman Rahim itu….”
“Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman cinta sosial, Rahim cinta
lubuk hati. Kenapa?”
“Aceh, Kiai, Aceh.”
“Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim mengisap Aceh dari bawah bumi.
Manusia yang mulia dan paling beruntung adalah yang segera dipisahkan oleh
Tuhan dari dunia. Ribuan malaikat mengangkut mereka langsung ke surga dengan
rumah-rumah cahaya yang telah tersedia. Kepada saudara- saudara mereka yang
ditinggalkan, porak poranda kampung dan kota mereka adalah medan
pendadaran total bagi kebesaran kepribadian manusia Aceh, karena sesudah ini
Tuhan menolong mereka untuk bangkit dan menemukan kembali kependekaran
mereka. Kejadian tersebut dibikin sedahsyat itu sehingga mengatasi segala tema
Aceh Indonesia yang menyengsarakan mereka selama ini. Rakyat Aceh dan
Indonesia kini terbebas dari blok-blok psikologis yang memenjarakan mereka
selama ini, karena air mata dan duka mereka menyatu, sehingga akan lahir
keputusan dan perubahan sejarah yang melapangkan kedua pihak”
 “Tetapi terlalu mengerikan, Kiai, dan kesengsaraan para korban sukar
dibayangkan akan mampu tertanggungkan.”
“Dunia bukan tempat utama pementasan manusia. Kalau bagimu orang yang
tidak mati adalah selamat sehingga yang mati kamu sebut tidak selamat, buang
dulu Tuhan dan akhirat dari konsep nilai hidupmu. Kalau bagimu rumah tidak
ambruk, harta tidak sirna, dan nyawa tidak melayang, itulah kebaikan; sementara
yang sebaliknya adalah keburukan? berhentilah memprotes Tuhan, karena toh
Tuhan tak berlaku di dalam skala berpikirmu, karena bagimu kehidupan berhenti
ketika kamu mati.”
“Tetapi kenapa Tuhan mengambil hamba-hambaNya yang tak berdosa,
sementara membiarkan para penjahat negara dan pencoleng masyarakat hidup
nikmat sejahtera?”
“Mungkin Tuhan tidak puas kalau keberadaan para pencoleng itu di neraka kelak
tidak terlalu lama. Jadi dibiarkan dulu mereka memperbanyak dosa dan
kebodohannya. Bukankah cukup banyak tokoh negerimu yang baik yang justru
Tuhan bersegera mengambilnya, sementara yang kamu doakan agar cepat mati
karena luar biasa jahatnya kepada rakyatnya malah panjang umurnya?”
 “Gusti Gung Binathoro!” saya mengeluh, “Kami semua dan saya sendiri, Kiai,
tidaklah memiliki kecanggihan dan ketajaman berpikir setakaran dengan yang
disuguhkan oleh perilaku Tuhan.”
“Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah tahu bagaimana pola perilaku Tuhan.
Kalau hati manusia berpenyakit, dan ia membiarkan terus penyakit itu sehingga
politiknya memuakkan, ekonominya nggraras dan kebudayaannya penuh
penghinaan atas martabat diri manusia sendiri- maka Tuhan justru menambahi
penyakit itu, sambil menunggu mereka dengan bencana yang sejati yang jauh
lebih dahsyat. Yang di Aceh bukan bencana pada pandangan Tuhan. Itu adalah
pemuliaan bagi mereka yang nyawanya diambil malaikat, serta pencerahan dan
pembangkitan bagi yang masih dibiarkan hidup.”
“Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai ketidakadilan….”
“Alangkah dungunya kamu!” Sudrun membentak, “Sedangkan ayam menjadi
riang hatinya dan bersyukur jika ia disembelih untuk kenikmatan manusia meski
ayam tidak memiliki kesadaran untuk mengetahui, ia sedang riang dan bersyukur”
“Jadi, para koruptor dan penindas rakyat tetap aman sejahtera hidupnya?”
 “Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan masih sayang kepada mereka sehingga
selama satu dua bulan terakhir ini diberi peringatan berturut-turut, baik berupa
bencana alam, teknologi dan manusia, dengan frekuensi jauh lebih tinggi
dibanding bulan-bulan sebelumnya. Tetapi, karena itu semua tidak menjadi
pelajaran, mungkin itu menjadikan Tuhan mengambil keputusan untuk memberi
peringatan dalam bentuk lebih dahsyat. Kalau kedahsyatan Aceh belum
mengguncangkan jiwa Jakarta untuk mulai belajar menundukkan muka, ada
kemungkinan….”
“Jangan pula gunung akan meletus, Kiai!” aku memotong, karena ngeri
membayangkan lanjutan kalimat Sudrun.
“Bilang sendiri sana sama gunung!” ujar Sudrun sambil berdiri dan ngeloyor
meninggalkan saya.
“Kiai!” aku meloncat mendekatinya, “Tolong katakan kepada Tuhan agar
beristirahat sebentar dari menakdirkan bencana-bencana alam….”
“Kenapa kau sebut bencana alam? Kalau yang kau salahkan adalah Tuhan, kenapa
tak kau pakai istilah bencana Tuhan?”
Sudrun benar-benar tak bisa kutahan. Lari menghilang.

Gusti, Kok Pas Sih....!
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 28 Januari 2010 jam 8:51
Catatan: Munzir Madjid
NAMANYA “Muhammad Ainun Nadjib,” diutak-atik sendiri menjadi “Emha Ainun
Nadjib.” Sejak tahun 1970-an namanya mulai dikenal sebagai penyair dari Jogja.
Wilayah jelajah berikutnya sebenarnya tidak melulu di dunia kepenyairan.
Bahkan pertengahan 1960-an, kala masih tercatat sebagai pelajar SMA, sudah
dipercaya mengasuh rubrik “Sastra-Budaya” di sebuah harian lokal Jogjakarta.
Tahun 1980-an mulai melanglang dunia; ke Amerika Serikat, Filipina, Jerman,
Belanda dan lorong-lorong Negara Eropa yang lain. Di tahun 80-an pula, tulisantulisannya
mulai memenuhi berbagai majalah dan harian nasional. Undangan-pun
berdatangan dari berbagai kalangan untuk dijadikan nara sumber lintas disiplin
keilmuan.
Orang-orang terbiasa memanggilnya “Cak Nun.” Panggilan khas jawatimuran
karena Emha berasal dari Jombang, Jawa Timur. Yang memanggil “Emha” juga
tidak sedikit, terutama dari pergaulan dengan kalangan di luar Jogja dan Jawa
Timur. Emha sendiri tidak terlalu peduli dengan berbagai panggilan itu, bahkan
ada yang menjuluki “Kiai Mbeling.” Barangkali karena dalam berbagai
kesempatan, baik dalam tulisan atau ucapan-ucapannya, Emha sangat fasih
menyitir ayat-ayat Al Qur’an. Mungkin pula orang mau memanggil “Kiai” tanpa
embel-embel “Mbeling” masih agak diragukan, kurang rela dan tidak pantas.
Beda lagi orang Makassar. Emha selalu dipanggil dengan “Cak Nung.” Saya tidak
tahu kenapa lidah orang Makassar susah mengucapkan “Nun,” sebab bila nama
Anda “Agung” akan dipanggil “Mas Agun.” Yang ini kebalik ‘kan, susah melafalkan
“Mas Agung.”
Maka jangan heran jika di suatu tempat Emha dipanggil “Bapak Cak Nun,”
sebagaimana orang keliru memanggil Bung Karno dengan “Bapak Bung Karno”
atau Gus Dur dipanggil “Bapak Gus Dur.” Atau malah dikelira-kelirukan dengan
“Cak Nur” (Nurcholish Madjid, Allah yarham).
<“Cak Nur kan?” seseorang menodong di Bandara Soekarno Hatta.
Emha kebingungan menjawabnya, jika dijawab tidak, kasihan juga.
“Cak Nur kan?”
Emha hanya tersenyum.
“Iya, Nurcholish Ainun Nadjib kan?”
Saya sebenarnya bingung mau menulis apa tentang Emha, memulai dari mana
dan menuju kemana. Banyak sekali memori saya tentang Emha, selama bertahuntahun
bergaul sampai sekarang. Beberapa kawan menyarankan saya menulis lagi
sebagaimana tulisan-tulisan berseri yang pernah saya tuturkan. Saya bukan orang
yang cerdas menyerap ilmu lalu saya deskripsikan dalam sebuah tulisan dengan
berbagai analisa. Jadi mohon maaf, kalau tulisan ini hanya “wadag,” dan bukan
“ruh.” Terlebih memohon maaf kepada Emha, jika ternyata tuturan saya tidak pas
atau malah berlebihan.
Dalam suatu acara, seorang MC memanggil, “Kami persilakan Bapak KH Emha
Ainun Nadjib, yang kita kenal sebagai Cak Nun...”
Sejak kapan Emha menjadi haji, saya membatin. Memang pada saat itu Emha
belum berangkat haji, bahkan ke Makkah-pun belum pernah. Dan ‘haji’ dalam
pemahaman kita juga bukan titel sebagaimana rukun Islam lain.
Beberapa kali sahabat-sahabatnya ‘memaksa’ Emha untuk berangkat haji, dengan
fasilitas ONH Plus-nya. Dengan cara halus Emha selalu menolaknya. Seorang
pejabat penting mengirim ajudannya dengan membawa amplop berisi ribuan US
Dollar untuk ongkos naik haji. Setelah amplop diterima dan dibuka isinya lalu
Emha menyerahkan kembali kepada sang ajudan. Entahlah, apakah amplop
diserahkan kembali kepada sang pejabat, atau diam-diam tidak diserahkan
dengan alasan jika dikembalikan mendapat resiko dimarahi. Nilai nominalnya
banyak lho, taruhlah misalnya USD 10.000 dikalikan kurs sekarang. Wallahu a’lam.
Barangkali pejabat tadi, yang sangat akrab dengan Emha, melihat Emha belum
juga mau berangkat haji, meminta lagi kepada Emha untuk kesekian kalinya. Kali
ini Emha mau menerima ongkos naik haji, tapi bukan untuk dirinya melainkan
untuk beberapa orang miskin di kampungnya. Kalau Anda bertanya kapan
kejadiannya, saat musim haji berbarengan dengan musibah terowongan Mina.
Lagi, di Bandara Soekarno Hatta. Seseorang wanita paruh baya mendatangi Emha.
Emha sendiri merasa tidak mengenalnya. Emha berencana menuju Surabaya lalu
ke Jombang. Saat sedang beracara di Jakarta dikabari bahwa salah satu kakaknya
mendapat musibah kecelakaan mobil dan di rawat di RSUD Jombang.
“Mas Emha kan?” wanita berwajah oriental itu menyapa.
 “Iya bu,” Emha dengan santun menjawabnya.
“Saya ada titipan, mohon diterima,” wanita itu memohon.
“Terima kasih bu,” Emha menerima amplop dengan ucapan terima kasih.
Aneh. Mereka tidak saling kenal dan tidak saling memperkenalkan diri.
Kejadiannya sangat cepat. Emha tersadar, kok tidak bertanya namanya siapa, dan
ini amplop apa.
Sampailah Emha di RSUD Jombang dan menjenguk sang kakak. Lalu seseorang
menyerahkan kwitansi pembiayaan pengobatan. Buru-buru Emha menuju toilet
dan membuka isi amplop. Amplop berisi uang itu dihitung dan disesuaikan dengan
tagihan biaya rumah sakit. Emha terkejut, nominalnya sangat pas.
“Gusti, syukur Alhamdulillah, tapi mbok yao dilebihin barang limapuluh ribulah...!”
Emha mengucap dalam batin. []
Jkt, 26.01.2010. 11:41




Hijrah dan Kultus Individu
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 26 Februari 2010 jam 9:44
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Tidak ada satu peristiwa apa pun dalam kehidupan yang dihuni oleh manusia ini
yang tidak bersifat hijrah. Seandainya pun ada benda yang beku, diam dan seolah
sunyi abadi: ia tetap berhijrah dari jengkal waktu ke jengkal waktu berikutnya.
Orang jualan bakso menghijrahkan bakso ke pembelinya, dan si pembeli
menghijrahkan uang ke penjual bakso. Orang buang ingus, buang air besar,
melakukan transaksi, banking, ekspor impor, suksesi politik, revolusi, apapun saja,
adalah hijrah.
Tidak ada satu peristiwa apa pun dalam kehidupan yang dihuni oleh manusia ini
yang tidak bersifat hijrah. Seandainya pun ada benda yang beku, diam dan seolah
sunyi abadi: ia tetap berhijrah dari jengkal waktu ke jengkal waktu berikutnya.
Orang jualan bakso menghijrahkan bakso ke pembelinya, dan si pembeli
menghijrahkan uang ke penjual bakso. Orang buang ingus, buang air besar,
melakukan transaksi, banking, ekspor impor, suksesi politik, revolusi, apapun saja,
adalah hijrah.
Inti ajaran Islam adalah hijrah. Icon Islam bukan Muhammad, melainkan hijrah.
Muhammad hanya utusan, dan Allah dulu bisa memutuskan utusan itu Darsono
atau Winnetou, tanpa ummat manusia men-demo Tuhan kenapa bukan
Muhammad. Oleh karena itu hari lahirnya Muhammad saw. Tidak wajib
diperingati. Juga tidak diletakkan sebagai peristiwa nilai Islam. Hari lahir
Muhammad kita ingat dan selenggarakan peringatannya semata-mata sebagai
peristiwa cinta dan ucapan terima kasih atas jasa-jasanya melaksanakan perintah
Tuhan.
12 Rabiul Awal bukan hari besar Islam sebagaimana Natal bagi ummat Kristiani.
Sekali lagi, itu karena Islam sangat menghindarkan ummatnya dari kultus individu.
Wajah Muhammad tak boleh digambar. Muhammad bukan founding father of
islam. Muhammad bukan pencipta ajaran, melainkan pembawa titipan. Tahun
Masehi berdasarkan kelahiran Yesus Kristus, sementara Tahun Hijriyah
berdasarkan peristiwa hijrah Nabi, yang merupakan momentum terpenting dari
peta perjuangan nilainya. Kesadaran hijriyah menghindarkan ummat dari
penyembahan individu, membawanya menyelam ke dalam substansi ajaran --
siapa pun dulu yang diutus oleh Tuhan untuk membawanya.
Hijrah adalah pusat jaring nilai dan ilmu. Dari gerak dalam fisika dan kosmologi
hingga perubahan dan transformasi dalam kehidupan sosial manusia. Manusia
Muslim tinggal bersyukur bahwa wacana dasar hijrah sedemikian bersahaja, bisa
langsung dipakai untuk mempermatang cara memasak makanan, cara menangani
pendidikan anak-anak, cara mengurus organisasi dan negara.
Hijrah Muhammad saw. dan kaum Anshor ke Madinah, di samping merupakan
pelajaran tentang pluralisme politik dan budaya, juga bermakna lebih esoterik
dari itu.
Peristiwa Isra' Mi'raj misalnya, bisa dirumuskan sebagai peristiwa hijrah,
perpindahan, atau lebih tepatnya transformasi, semacam proses perubahan atau
'penjelmaan' dari materi ke (menjadi) energi dan ke (menjadi) cahaya.
Sebenarnya sederhana saja. Kalau dalam ekonomi: uang itu materi, kalau diputar
atau digerakkan atau 'dilemparkan' maka menjadi enerji. Itu kejadian isro'
namanya. Tinggal kemudian enerji ekonomi itu akan digunakan (dimi'rajkan)
untuk keputusan budaya apa. Kalau sudah didagangkan dan labanya untuk beli
motor: motornya dipakai untuk membantu anak sekolah atau sesekali dipakai ke
tempat pelacuran.
Di dalam teknologi, tanah itu materi. Ia bisa ditransformasikan menjadi genting
atau batu-bata. Logam menjadi handphone, besi menjadi tiang listrik, atau
apapun. Tinggal untuk apa atau ke mana mi'rajnya.
Peristiwa isro' bergaris horisontal. Negara-negara berteknologi tinggi adalah
pelopor isro' dalam pengertian ini. Pertanyaannya terletak pada garis vertikal
tahap mi'raj sesudahnya. Kalau vertikal ke atas, berarti transform ke atau menjadi
cahaya. Artinya produk-produk teknologi didayagunakan untuk budaya kehidupan
manusia dan masyarakat yang menyehatkan jiwa raga mereka dunia akhirat.
Kalau garis vertikalnya ke bawah, berati transform ke atau menjadi kegelapan.
Mesiu Cina diimport ke Eropa menjadi peluru, meriam dan bom. Kita bisa dengan
gampang menghitung beribu macam produk teknologi isro' pemusnah manusia,
perusak mental dan moral masyarakat.
Dalam pengertian umum dan baku selama ini, Isra' Mi'raj selain merupakan
peristiwa besar dalam sejarah, namun pada umumnya berhenti sebagai wacana
dongeng, dan belum digali simbol-simbol berharganya atas idealitas etos
tranformatif.
Dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan rumus di atas, segala sesuatu yang
menyangkut kehidupan manusia-baik di bidang ekonomi, politik, sosial budaya
dan sebagainya-terjadi secara berputar membentuk bulatan. Yang sehari-hari
sajapun: badan kita (materi), tentu, jika tidak diolah-ragakan (dienergikan),
mengakibatkan tidak sehat. Tidak sehat adalah kegelapan.
Setelah badan kita sehat dan menyehatkan, lantas dipergunakan untuk kegiatan
yang baik, yang memproduk cahaya bagi batin kehidupan kita, serta bermanfaat
seoptimal mungkin bagi sesama manusia dan alam-lingkungan.

Humor
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 26 Juli 2010 jam 11:43
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Humor orisinal dari kehidupan sehari-hari adalah bahasa atau ungkapan budaya
yang paling canggih dalam penggambaran inti realitas zaman. Kalau tulisan atau
buku-buku ilmiah, harus berputar-putar dulu kalau hendak membawa kita ke
realitas. Mesti melalui jalan metodologi dan terminologi yang ruwet, yang hanya
bisa dijangkau oleh hanya sebagian orang yang punya uang untuk sekolah.
Sementara sepotong humor langsung saja membenturkan kita ke inti kenyataan.
Humor adalah sinar laser yang amat tajam, yang mengirimkan kita secara sangat
pragmatis untuk mengerti terhadap sesuatu hal.

Indonesia Maafkan Aku
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 17 Agustus 2010 jam 11:08
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Indonesia
maafkan aku
tak ada yang bisa kuperbuat untukmu
karena engkau terlalu besar untukku
dan aku terlalu kecil untukmu
Indonesia
maafkan aku tak bisa menolongmu
karena engkau terlalu kuat bagiku
dan aku terlalu lemah bagimu
Indonesia
maafkan tak ada peran yang bisa kupersembahkan kepadamu
karena engkau terlalu agung untuk kupahami
dan aku terlalu kerdil dan tak berarti
bahkan memalukan untuk menjadi bagian darimu
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 70
Indonesia
maafkan kakiku tak sanggup melangkah untukmu
tanganku tak mampu bergerak buatmu
engkau semesta gaib yang tak mampu kujangkau
dan aku daun kering layu, mengotori tanah sucimu
Indonesia
maafkan aku tak sanggup mengikuti jalanmu
karena langkahmu langkah cakrawala
sedangkan aku cacing melata
Indonesia
maafkan aku berpaling
karena wajahmu terlalu berkilause
hingga tak sanggup aku menatapmu
Indonesia
karena tak ada satupun dari perilakumu
yang sanggup kumengerti
maafkan aku abstain...
aku abstain...
*) diambil dari pementasan Jangan Cintai Ibu Pertiwi GKJ 2-3 April 2009


Industri dan Sportivitas Sepakbola
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 29 Juni 2010 jam 10:53
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Lucunya, kalau sportivitas nomer satu, industri sepakbola tidak jalan. Sportivitas
hanya aktual di wilayah-wilayah romantik. Masing-masing kita menjagokan
kesebelasan sendiri-sendiri. Pertimbangan kita bukan sportivitas, melainkan
selera pribadi.
Sedangkan orang yang mengerti ilmu sejati, berkata: “Engkau menjadi lemah dan
kelak bisa menjadi celaka kalau menjalankan hidup bersadarkan senang dan tidak
senang, mengandalkan selera pribadi dan kemauan sendiri. Manusia yang kuat
dan akan menemukan hakekat hidup adalah yang melangkahkan kaki berdasarkan
pilihan yang benar, baik dan indah, serta meninggalkan yang salah, buruk, dan
konyol".

”Islamic Valentine Day”
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 14 Februari 2010 jam 8:08
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
JUDUL ini harus dikasih tanda petik di awal dan akhir, karena sesungguhnya itu
istilah ngawur dari sudut apapun kecuali dari sisi iktikad baik tentang cinta
kemanusiaan.
Islam bukan kostum drama, sinetron atau tayangan-tayangan teve Ramadan.
Islam itu substansi nilai, juga metodologi.Ia bisa memiliki kesamaan atau
perjumpaan dengan berbagai macam substansi nilai dan metodologi lain, baik
yang berasal dari ”agama” lain, dari ilmu-ilmu sosial modern atau khasanah
tradisi. Namun sebagai sebuah keseluruhan entiti, Islam hanya sama dengan
Islam.
Bahkan Islam tidak sama dengan tafsir Islam.Tidak sama dengan pandangan
pemeluknya yang berbagai-bagai tentang Islam. Islam tidak sama dengan Sunni,
Syi’i, Muhammadiyah, NU, Hizbut Tahrir dan apapun saja aplikasi atas tafsir
terhadap Islam. Islam yang sebenar-benarnya Islam adalah dan hanyalah Islam
yang sejatinya dimaksudkan oleh Allah.
Semua pemeluk Islam berjuang dengan pandangan-pandangannya masingmasing
mendekati sejatinya Islam. Sehingga tidak ada satu kelompok pun yang legal dan
logis untuk mengklaim bahwa Islam yang benar adalah Islamnya kelompok ini
atau itu. Kalau ada teman melakukan perjuangan ”islamisasi”, ”dakwah Islam”,
”syiar Islam”, bahkan perintisan pembentukan ”Negara Islam Indonesia” – yang
sesungguhnya mereka perjuangkan adalah Islamnya mereka masingmasing.
Dan Islamnya si A si B si C tidak bisa diklaim sebagai sama dengan Islamnya Allah
sejatinya Islam. Demikianlah memang hakekat penciptaan Allah atas kehidupan.
Sehingga Islam bertamu ke rumahmu tidak untuk memaksamu menerimanya. La
ikroha fid-din.Tak ada paksaan dalam Agama, juga tak ada paksaan dalam
menafsirkannya. Tafsir populer atas Islam bahkan bisa menggejala sampai ke
tingkat pelecehan atas Islam itu sendiri.
Islam bisa hanya disobek-sobek, diambil salah satu sobekannya yang menarik bagi
seseorang karena enak dan sesuai dengan seleranya. Islam bisa diperlakukan
hanya dengan diambil salah satu unsurnya, demi mengamankan psikologi
subyektif seseorang sesudah hidupnya ia penuhi dengan pelanggaranpelanggaran
terhadap Islam.
Islam bisa hanya diambil sebagai ikon untuk mengkamuflase kekufuran,
kemunafikan, kemalasan pengabdian,korupsi atau keculasan. Islam bisa dipakai
untuk menipu diri, diambil satu faktor pragmatisnya saja: yang penting saya sudah
tampak tidak kafir, sudah merasa diri bergabung dengan training shalat, sudah
kelihatan di mata orang lain bahwa saya bagian dari orang yang mencari sorga,
berdzikir ingat keserakahan diri dan keserakahan itu bisa dihapus dengan
beberapa titik air mata di tengah ribuan jamaah yang berpakaian putih-putih
bagaikan pasukan Malaikat Jibril.
Sedemikian rupa sehingga kita selenggarakan dan lakukan berbagai formula dunia
modern, industri liberal, mode show, pembuatan film, diskusi pengajian, yang
penting dikasih kostum Islam.Tentu saja tidak usah kita teruskan sampai tingkat
menyelenggarakan tayangan ”Gosip Islami”, ”Lokalisasi Pelacuran Islami”,
”Peragaan Busana Renang Wanita Muslimah” atau pertandingan volley ball
wanita muslimah berkostum mukena putih-putih. Sampai kemudian dengan tolol
dan ahistoris kita resmikan salah satu hari ganjil di tengah sepuluh hari terakhir
Ramadan sebagai Hari Valentine Islami.
Tapi sesungguhnya saya serius dengan makna Hari Kasih Sayang Islam versi
Rasulullah Muhammad SAW. Fathu Makkah, yang diabadikan dalam Al Qur’an
sebagai Fathan Mubiiina, kemenangan yang nyata, terjadi pada Bulan Ramadan,
tepatnya pada tanggal 10 Ramadan tahun ke-8 Hijriyah. Pasukan Islam dari
Madinah merebut kembali kota Makkah. Diizinkan Allah memperoleh
kemenangan besar. Ribuan tawanan musuh diberi amnesti massal.
Rasulullah berpidato kepada ribuan tawanan perang: ”...hadza laisa yaumil
malhamah, walakinna hadza yaumul marhamah,wa antumut thulaqa....”.Wahai
manusia, hari ini bukan hari pembantaian, melainkan hari ini adalah hari kasih
sayang, dan kalian semua merdeka kembali ke keluarga kalian masing-masing.
Pasukan Islam mendengar pidato itu merasa shock juga. Berjuang hidup
mati,diperhinakan dilecehkan sekian lama, ketika kemenangan sudah di
genggaman: malah musuh dibebaskan. Itu pun belum cukup. Rasulullah
memerintahkan papasan perang, berbagai harta benda dan ribuan onta,
dibagikan kepada para tawanan.
Sementara pasukan Islam tidak memperoleh apa-apa. Sehingga mengeluh dan
memproteslah sebagian pasukan Islam kepada Rasulullah. Mereka dikumpulkan
dan Muhammad SAW bertanya: ”Sudah berapa lama kalian bersahabat
denganku?” Mereka menjawab: sekian tahun, sekian tahun... ”Selama kalian
bersahabat denganku, apakah menurut hati kalian aku ini mencintai kalian atau
tidak mencintai kalian?”
Tentu saja sangat mencintai. Rasulullah mengakhiri pertanyaannya: ”Kalian
memilih mendapatkan onta ataukah memilih cintaku kepada kalian?”
Menangislah mereka karena cinta Rasulullah kepada mereka tidak bisa
dibandingkan bahkan dengan bumi dan langit. Tentu saja, andai kita berada di situ
sebagai bagian dari pasukan Islam, kelihatannya kita menjawab agak berbeda:
”Sudah pasti kami memilih cinta Rasulullah... tapi kelau boleh mbok ya juga diberi
onta dan emas barang segram dua gram...” (Sindo, 21/09/2007)

Kangen
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 20 Januari 2010 jam 13:09
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Kangen itu baik. Kangen itu mahluk ciptaan Allah yang tergolong paling indah. Ia
mutiara batin, atau api yang menghidupkan jiwa. Karena kangen yang menggebu,
dulu Ibrahim mengembarai bumi dan langit bertahun-tahun, untuk akhirnya
menemukan apa yang paling dibutuhkan oleh hidupnya: Allah.
Oleh kangen yang tak tertahan pula, Musa bermaksud membelah kodrat,
menerobos maqom dan ingin memergoki Allah yang amat dicintainya. Tentu saja
gagal, sebab ketika itu ia masih manusia, masih darah daging.
Kangen membuat seorang istri paham arti kehidupan. Kangen membikin
suaminya, yang pergi nun jauh, membatalkan penyelewengannya sebagai lelaki.
Kangen mendorong seorang gadis menancapkan cintanya lebih dalam. Kangen
membuat pemuda kekasihnya mengerjakan kesibukan-kesibukan baik untuk
memelihara kebersihan rindu yang dinikmatinya. [...]


Kawah Api: “Universitas Patangpuluhan” - I
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 19 Mei 2010 jam 11:23
Catatan: Kang Munzir
Yasinan
Seorang berteriak lantang, mengagetkan semua orang. “Api, api....!” Matanya
melotot ke atas seolah melihat hal yang menakjubkan. Kedua tangannya
digerakkan mengikuti irama teriakan bak seorang pembaca puisi. “Lihatlah, aku
melihat api...!”
Orang-orang berdatangan usai magrib. Tikar dan karpet telah tertata rapi di ruang
tamu dan ruang tengah. Sebagian mahasiswa, seniman dan pengangguran.
Beberapa wajahnya tidak terlalu asing karena rutin datang ke Patangpuluhan,
rumah kontrakan Emha Ainun Nadjib.
Entah sejak kapan, tiap Kamis (malam Jumat) diselenggarakan Yasinan, membaca
QS Yasin. “Santri-santri” mahasiswa mengaji, yang lain, mungkin kurang tartil atau
berbeda agama, duduk santun di teras mendengarkan. Salah satu mahasiswa
memimpin dan berdoa. Emha tentu saja ikut di lingkaran, mengaji dan menyimak.
Usai ngaji, orang-orang tidak beranjak. Biasanya ngobrol ngalor ngidul membahas
berita yang menjadi issu nasional. Diskusi. Dari pintu belakang terlihat teh manis
dan nasi kuning mulai dikeluarkan. Sejak sore, seksi dapur yang ditangani Mbak
Roh, Dik In dan Mbak Wik (almarhumah) sudah sibuk belanja dan memasak.
Di tengah pembicaraan yang kadang panas, tiba-tiba Agus Supriyatna, seorang
mahasiswa dari Karawang berteriak seperti orang trance. Mata hampa seolah
melihat sesuatu, entah apa. “Api, api, lihatlah....!” Mulut terus berbunyi. Bagai
melafal bait-bait puisi. Jika hal semacam terjadi, biasanya Emha mendekat,
mengelus punggungnya dan seolah membacakan sesuatu di telinga dan ubunubun.
Lalu berangsur tenang.
Tema-tema obrolan muncul begitu saja. Pelontar umumnya berawal dari
pertanyaan-pertanyaan mahasiswa yang diajukan kepada Emha. Karena
pesertanya berbeda latar belakang, maka diantara mereka sering saling ngotot
mempertahankan argumen masing-masing. Kalangan mahasiswa dengan bahasabahasa
“planet” yang bagi kalangan awam susah dipahami, nukilan-nukilan text
book dengan istilah-itilah asing. Sementara yang seniman berpuitis dan berbahasa
“nyufi.”
Jika malam makin larut, secara perlahan satu persatu berpamit. Pasti mereka
tidak terbiasa “melek malam.” Yang lain tetap bertahan, bisa jadi dilanjut dengan
permainan gaple. Main gaple seolah menebak nasib, meramal takdir. Kita tidak
sanggup menghitung “balak” apa yang akan muncul. Meski jumlah kartu bisa
dihitung, probabilitasnya agak susah untuk memastikan. Bahkan Emha sering agak
ekstrim mengemukakan bahwa pasti “Tangan Tuhan” ikut berperan. Kartu
dikocok sekian kali, kartu dibagi, masing-masing pemain tidak bisa memilih kartu
terbaik. Seorang pemain ahli-pun bisa kalah jika tandem sisi kiri atau kanan
ngawur cara membuang kartu. Permainan gaple (atau kartu) hampir mirip sopir
taxi atau tukang ojek. Tuhan-lah yang mengatur detik demi detik jalannya rejeki.
Kita tidak bisa memperkirakan seberapa cepat melajukan kendaraan tatkala tiba
di pojok jalan seseorang muncul dan menyetop kendaraan kita. Laju cepat sedikit
orang itu belum keluar dari rumah, diperlambat, kendaraan lainlah yang distop.
Pertemuan di titik antara sopir taxi dan calon penumpang adalah pertemuan
agung yang diatur Tuhan.
Seorang kawan aktifis kebudayaan dari Banten yang berdiam lama di Solo, adalah
lawan ulet Emha. Mereka saling mengalahkan. Saling ejek. Untuk membuktikan
bahwa Tuhan juga ikut “bermain gaple,” Emha berani taruhan dengan receh lima
puluh rupiah (Rp 50,- --mungkin kurs sekarang setara dengan Rp 500,-). Kali ini
Emha menang bagai bandar. Ih, berjudi ya? Jangan khawatir, siapa yang menang
uang receh dikumpulkan untuk makan bersama. Jelas saja kurang, pasti harus ada
yang nombokin kekurangannya. Makan di waktu malam di Jogja sangat
mengasyikkan. Banyak tempat bisa dikunjungi, semuanya serba murah. Mau pilih
menu apa? Oseng-oseng mercon, gudeg Permata, warung “gua hira,” nasi kucing
Mbah Wongso atau sayur brongkos Pojok Beteng?
Kapan sejarah ini berlangsung? Untuk mengingat bulan dan tahun, apalagi
tanggal, saya agak sulit. Tampaknya akhir tahun 1980-an, 1988-1989 atau awal
1990-an. Beberapa orang yang sering muncul adalah Agung Waskito, Seteng Agus
Yuniawan, Jebeng Slamet Jamaluddin, Wahyudi Nasution, Godor, Muhammad
Hadiwiyono, Imam Syuhada, Hamim Ahmad, Irfan Mukhlis, Goetheng Iku Ahkin,
Moh Zainuri, Joko Kamto, Novi Budiyanto, Jemek, Toro, Toto Rahardjo, beberapa
aktifis mahasiswa dan LSM.
Saya tidak berani mengklaim atau men-justifikasi bahwa kelak pengajian Padhang
Bulan ber-embrio dari sini, Yasinan di Patangpuluhan. Lalu gerakan shalawat
menyebar dari Jakarta, yang berawal dari idenya Cak Dil (Adil Amrullah) membuat
wadah HAMAS (Himpunan Masyarakat Shalawat), setelah Emha merasa
“gamang” dengan gagalnya reformasi 1).
Itulah proses. Yasinan di Patangpuluhan, Pengajian Padhang Bulan, HAMAS
Jakarta, Mocopat Syafaat 17 Agustus 1999 di Jogjakarta, Kenduri Cinta dan
seterusnya, yang kemudian menjadi Jamaah Maiyah.
Catatan judul. Kawah Api “Universitas Patangpuluhan” istilah ini yang pertama
kali melontarkan Emha sendiri. Universitas Patangpuluhan, harus dengan tanda
petik. Patangpuluhan, bukan Patang Puluhan.
Jkt.09.05.2010, 13:06
Bersambung.
1). Emha sangat aktif ikut membidani jalannya reformasi melalui pertemuan demi
pertemuan dengan berbagai pihak dan mengawal prosesi 21 Mei 1998, sampai
kemudian Pak Harto secara suka rela meletakkan jabatan. Namun reformasi yang
diharapkan benar-benar sebagai momentum perubahan, justru tidak sesuai
harapan. Habibie, wakil presiden, naik menggantikan Pak Harto sebagai presiden
dengan menteri-menteri yang tidak jauh berbeda dengan Orde Baru. Lebih
lengkap tercatat dalam buku kecil “Ikrar Khusnul Khatimah.” Atau “Satu Setengah
Jam Bersama Pak Harto.”
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 81
Kawah Api: “Universitas Patangpuluhan” - II
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 26 Mei 2010 jam 9:31
Catatan: Kang Munzir
Guk Nuki
Di Jawa Timur panggilan yang paling populer adalah “Cak,” mengalahkan
panggilan “Mas” untuk Jawa (Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jogjakarta). Orang
Sunda terbiasa dengan “Aa.” Panggilan “Cak” lebih egaliter, tidak memandang
strata sosial. Cak Ruslan, Cak Markeso (bukan Markesot), Cak Kandar, Cak Kartolo
atau Cak Nur.
Ternyata ada panggilan yang lebih “ndeso” lagi, kurang populer, mungkin orang
Jawa Timur-pun banyak yang sudah lupa, yaitu “Guk.” Panggilan “Guk” lebih
banyak digunakan di desa-desa untuk petani, pangon, tukang ngarit dst. Saya
sendiri bukan dari Jawa Timur, jika ternyata kurang pas mohon diberi
pembenaran.
Markesot Sang Legenda
Tersebutlah nama Guk Nuki sebagai kawan main Emha sejak kecil. Bukan teman
sekolah, karena Guk Nuki sendiri tidak tamat sekolah tingkat dasar. Bisa jadi
semacam teman “nakal.” Teman mencuri mangga milik tetangga, memindahkan
sandal ke tempat tersembunyi sesama kawan di langgar. Atau, mengikat sebutir
garam dengan benang lalu dimasukkan ke mulut kawannya yang sedang tidur, jika
garam dikecap secara perlahan benang diangkat. Kenakalan yang sungguh
mengasyikkan. Sampai kini Guk Nuki dan Guk Nun masih berkawan akrab.
Nama aslinya, saya kurang begitu paham, Nuchin siapa gitu. Di usia remaja
merantau ke pedalaman Kalimantan. Ia bergaul dengan alam yang ganas dan
lingkungan dari berbagai suku. Ia bisa masuk ke suku melayu, dayak dan madura.
Keahliannya merakit ulang mesin yang rusak, dari berbagai jenis. Dari kipas angin,
diesel, motor, mobil dan kapal yang teronggok. Dengan kreatifitasnya ia bisa
menghidupkan kembali mesin tanpa dengan spare part baru. Bisa dengan cara
kanibal atau rekayasa ketrampilan tangannya.
Konon, kala tidur di bawah pohon tua di hutan pedalaman Kalimantan pernah
mengalahkan para jin yang tiba-tiba mengeroyoknya. Ia “preman” juga rupanya.
Dialek bicaranya sangat kental jawatimuran dan kasar. Raut mukanya dihiasi
kumis dan jenggot tak teratur.
Guk Nuki ini menginspirasi Emha untuk mengangkat menjadi tulisan berseri di
Surabaya Post, akhir 1980-an sampai awal 1990-an: “Markesot Bertutur.” Guk
Nuki ini ya Markesot itu.
Dari cara berpikirnya yang sederhana, menjadi buah-buah pikiran yang sangat
filosofis. Emha seolah menemukan “sumur ilham” untuk menjadikan “Markesot
Bertutur” tulisan yang hidup, jujur, polos dan sangat bernas. Berkat tulisan berseri
ini, fasilitas sekolah dan lembaga pendidikan “Al Muhammady” di Menturo,
Jombang; diperbaiki. Karena Emha menghibahkan hasil honor seluruhnya untuk
kelangsungan pembangunan lembaga pendidikan milik keluarga tsb.
Jkt,12.05.2010, 07:35
Bersambung.
Kawah Api: “Universitas Patangpuluhan” - III
oleh Kenduri Cinta pada 02 Juni 2010 jam 10:55
Catatan: Kang Munzir
Bengkel Markesot
Yasinan di Patangpuluhan makin hari semakin banyak yang ikut bergabung.
Terutama dari mahasiswa UGM, IAIN (kini UIN) dan beberapa perguruan tinggi
lain; UII dan IKIP Muhammadiyah (UAD, Universitas Ahmad Dachlan). Mahasiswamahasiswa
ini terutama dari Jamaah Shalahuddin UGM karena Sanggar
Shalahuddin, yang bergiat di teater, aktivitasnya bersentuhan dengan
Patangpuluhan. (Jamaah Shalahuddin lintas perguruan tinggi, tidak hanya UGM).
Di tengah perbincangan serius, tiba-tiba Markesot menyela dan membantah.
Bantahannya kadang sangat tidak konteks dengan apa yang menjadi perdebatan.
Hal ini berulang terjadi. Siapa saja yang berbicara selalu berhadapan dengan
Markesot. Beberapa mahasiswa dibuat jengkel. Bagi mahasiswa, kalimat-kalimat
Markesot tidak tersusun secara sistematis.
Markesot dan Cak Nun
Emha, yang ada di lingkaran, hanya terlihat tersenyum menyimak. Sesekali Emha
meninggalkan forum masuk ke bilik pribadinya. Siapapun tahu, Emha meneruskan
mengetik tulisan yang mendekati deadline beberapa surat kabar dan majalah.
Surabaya Post, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Yogya Post, Suara Merdeka,
Wawasan, Tempo. Beberapa redaktur berkirim surat minta tulisan, untuk secara
temporal dimuat; Kompas, Suara Pembaruan dst.
“Mahasiswa ini bagaimana, katanya orang pintar kok tidak paham omongan
saya,” Markesot protes.
“Orang pintar itu harus memahami bahasanya orang bodoh,” Markesot masih
protes.
Semua hadirin terkesiap. Markesot tidak tamat sekolah dasar tapi omongannya
sangat dalam.
“Kalau saya tidak paham omongan sampeyan, ya wajar, lha saya kan tidak
sekolah!” Markesot terus mencerca para mahasiswa. Matanya memerah.
Tangannya diacung-acungkan. Beberapa mahasiswa di kiri kanan Markesot
berusaha meredam dengan mengelus punggungnya. Markesot secara kasar
membuang tangan yang mengelusnya, “Saya tidak marah...!”
Dari balik pintu Emha ikut melongok, lalu bergabung. Bantah berbantah masih
berlangsung.
“Pertanyaannya adalah orang awam harus memahami orang pintar atau
sebaliknya?” Emha memulai ikut berbicara.
 “Seharusnya mahasiswa, orang-orang pintar, dituntut bisa memahami bahasanya
orang bodoh, bahasanya orang awam. Jangan sebaliknya. Kalian ini orang-orang
beruntung, bisa sekolah tinggi. Tampunglah semua orang, tampunglah Markesot.”
Markesot merasa dibela. Hampir sebagian forum merasa kesal dengan Markesot.
Karena tiap diskusi yang dibangun selalu berantakan jika ada Markesot. Ia
menjadi momok. Sangat menjengkelkan. Markesot dianggap bodoh.
Itulah Guk Nuki, kawan lama “Guk Nun.” Orang yang sangat disayang Emha. Kini
Markesot di Jogja.
Setelah melanglang di hutan Kalimantan, Markesot pulang ke Jombang. Kerja
serabutan di kampungnya atau di Surabaya. Sesekali dipanggil untuk bantu-bantu
service mobilnya Emha.
Keahlian Markesot mbenerin mobil sangat spesial. Tanpa mengganti spare part
baru dengan kecerdasannya sebuah mobil ngadat bisa jalan lagi dan irit bensin.
Repotnya, sewaktu-waktu mobil bermasalah sementara Markesot berhalangan
tidak bisa ke Jogja, maka “terpaksa” mobil harus ditangani montir bengkel
konvensional. Disitulah akan terjadi “pertarungan kultural.” Versi Markesot akan
diganti semuanya oleh montir bengkel. Karena dianggap merepotkan dan tidak
baku teorinya. Jalan pintasnya, ganti spare part baru. Ini kan hukum dagang, rusak
sedikit harus beli yang baru. Mudah kan?
Lalu, Emha meminta tolong Toto Rahardjo untuk mencari tanah kosong untuk
dijadikan tempat mangkalnya Bengkel Markesot... []
Jkt,26.05.2010, 09:32
Bersambung.
Kawah Api: “Universitas Patangpuluhan” - IV
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 14 Juni 2010 jam 10:50
Catatan: Kang Munzir
Pacar Markesot
SIAPA sih Toto Rahardjo ? Pacar Markesot? Bukan.
Saya menggelar “tikar” dahulu agar cerita ini bisa dinikmati tanpa ada selaan atau
banyak “interupsi.”
Entah sejak kapan Toto “menyatu” dengan Emha. Awalnya saya juga tidak begitu
tahu “makhluk” dari mana, hanya medok banyumasan saja yang mudah dikenali.
Saya dengan dia beda “aliran.” Saya bersama kawan-kawan dari kampus,
sementara Toto adalah tokohnya LSM. Sesekali muncul, 2-3 hari ngendon di
Patangpuluhan, tiba-tiba menghilang entah kemana.
Toto “anak” kesayangan Romo Mangun Widjaya, seorang pastur yang sangat
“islami,” hidup menyatu di perkampungan kumuh Kali Code. Istrinya Toto
semacam sekretaris pribadinya Romo Mangun.
Jangan kaget, di awal kemunculan KiaiKanjeng (1994) -–Toto salah satu pendiri—-
ikut memainkan alat musik Gong. Untuk memainkan alat musik tersebut cukup
sulit, kapan dipukul dan kapan berhentinya. Entah dari mana belajarnya, nyanyi
saja tidak pernah.
Emha memberi mandat kepada Toto untuk mencari lokasi bakal tempat bengkel
Markesot. Sebidang tanah kosong di jalan Bugisan dibangun gubugan, kios tidak
permanen. Yang kerja kita-kita juga di bawah arahan “mandor” Markesot. Lalu bla
bla bla berdirilah Bengkel Markesot, terpampang spanduk: Menerima Service
Mobil/Motor. Dan, “slametan” pun diadakan dengan mengundang tetangga kiri
kanan dan “pekok-pekok” Patangpuluhan.
Satu dua hari masih sepi. Seminggu dua minggu mulai satu dua mobil atau motor
diservice. Itu juga masih orang-orang dekatnya Emha. Emha tidak segan ikut
mempromosikan.
Dalam kehidupan keseharian Markesot memang sering menjengkelkan.
Perbedaan kultur dan budaya “preman” ikut mewarnai. Saya seringkali berantem
omong. Masalahnya juga hal remeh temeh, sama sekali bukan prinsip. Saking
ngeyelnya saya, entah masalah apa, tiba-tiba Markesot mengeluarkan
“simpanan”-nya. Semua terkesiap. Sebilah celurit diambil dari almari. Lha kok ada
celurit di almari? Padahal almari itu pakainya rame-rame, pakaian saya disimpan
disitu juga.

Takut? Jelas mengkeretlah. Markesot memang temperamental. Oleh kawan saya,
Imam Syuhada, Markesot diajak ngobrol hal lain. Diambil hatinya agar emosinya
menurun. Agak lega saya. Terima kasih tak terhingga untuk: Imam Syuhada
Konflik kecil-kecilan ini tanpa sepengetahuan Emha. Pasti dia akan marah.
Seharusnya kitalah yang memahami dan menampung Markesot. Untuk beberapa
saat saya dan Markesot saling diam. Kalau disapa melengos dan diam. Asem. Jelek
banget.
Jangan khawatir, tidak lama kok. Kita hidup satu atap (tanpa perkawinan), di
rumah kontrakan milik Emha, rumah Patangpuluhan. Apa yang disuguhkan di
meja kita makan bersama dalam kesederhanaan. Sesekali jalan mencari soto atau
makanan khas kaki lima.
“Orang Jogja malas!” kata Markesot di warung.
“Kenapa memang?” tanya saya kaget.
“Nyuguhin teh ndak mau ngaduk!”
“Hahaha, oh itu.”
Teh manis di Jogja memang nyamleng. Wangi dan enak. Karena sering dijog ulang,
gulanya hampir setengah gelas. Penjual tidak pernah mengaduk. Penikmatlah
yang mengaduk sesuai selera kadar manisnya. Budaya ini yang belum dipahami
Markesot.
Markesot, kala itu usianya 40-an tahun. Jejaka kasep. Badan tegap, tangan kaki
kekar. Rambut sedikit gondrong dengan kumis dan jambang tak beraturan. Salah
seorang adik laki-lakinya sedang kuliah di Surabaya, bergiat juga di teater.
Sering saya pergoki, Markesot menerima tamu seorang wanita, usianya relatif
sama. Berkelakar dan saling cubit. Ah, sudah tuwek pacaran juga, bikin iri saja.
Siapa wanita “sial” yang, kok, mau-maunya pacaran dengan Markesot? Ia seorang
lulusan sarjana, dan menempati posisi penting di perusahaan Kereta Api yang
berpusat di Bandung. Tiap akhir pekan, Sabtu atau Minggu datang dari Bandung
ke Patangpuluhan, Jogjakarta, menjenguk sang pujaan hati, Markesot. Tidak jelas
kisah asmaranya. Dari beberapa sumber, wanita ini sudah lama sekali menjalin
kasih dengan Markesot, namun Markesot malah merantau belasan tahun. Cinta
lama bersemi kembali. Kelak, wanita ini dipersunting oleh Markesot. Pernikahan
beda status sosial. Why not?
Kembali ke bengkel. Sebulan sudah berjalan, bulan-bulan berikutnya menyusul;
kok bengkelnya masih sepi juga. Maksud saya, konsumen ada satu dua dalam
sehari, tiga empat sampai lima, namun kok pendapatan sekedar untuk makan
minum saja sering nombok.
Wah, jangan-jangan Markesot korupsi. Apa yang didapat tidak berterus terang,
tidak dilaporkan, atau ada sesuatu yang disembunyikan.
Secara tidak sengaja ada yang memberi info, bahwa Markesot “terlalu baik.” Jika
ada orang kena apes, ban motornya gembos kena paku, misalnya, dengan senang
hati Markesot akan menambalnya, meski resminya Bengkel Mobil/Motor; bukan
tambal ban. Anehnya, jika dilihat orang yang kena apes itu potongannya orang
susah, maka Markesot tidak mau dibayar. Oh, ini tho biang keladinya.
Bisa diduga, semua konsumen diperlakukan sama; bayar murah. Apalagi jika
sudah saling mengenal. Gratis.
“Lho kok gak mau dibayar Cak?”
“Mesakno, kena apes masa harus bayar.”
“Lha ini bengkel, siapapun harus bayar.”
“Menolong kan baik!”
Sangat naif. Bengkelnya akhirnya ditutup. Bangkrut. Besar pasak dari pada tiang.
Untuk membayar uang kontrakan tahun berikutnya tidak mencukupi.
“Markesot bukan pedagang,” kata Emha.
Jkt,08.06.2010, 01:00
Bersambung.


Kekuatan Yang Mendasari Kekuatan
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 24 Februari 2010 jam 11:22
Ditulis Oleh: Sabrang Mowo Damar Panuluh
Sembilan tahun yang lalu, ketika masih merantau di negeri orang, ada momentum
di mana saya menggelandang beberapa bulan, tak punya tempat tinggal dan tak
begitu punya uang, sehingga sempat menjadikan sebuah masjid terbesar di kota
itu sebagai tempat tinggal. Tempat di mana saya mendapatkan sebuah jawaban
menarik dari sebuah pertanyaan sederhana. Pertanyaan itu adalah, “kenapa saya
merasa bahwa umat Islam terasa lebih solid di negara non-Islam daripada negara
yang mayoritas beragama Islam?” Jawaban dari Syeikh di mesjid tersebut, ”di
mana pun, minoritas punya kecenderungan untuk berkumpul bersama demi
membangun sebuah kekuatan. Dengan syarat di antara mereka harus mampu
melupakan/menghargai perbedaan-perbedaan kecil di antara mereka.”
Ini bukan tentang Islam. Ini kecenderungan psikologi manusia di mana yang
merasa minoritas biasanya akan bereaksi dengan berkumpul bersama,
berorganisasi, bikin gank atau apalah, demi mendapatkan sebuah kekuatan dari
jumlah yang besar.
Kalau mau jujur, sepertinya jamaah Maiyah juga bisa dikatakan semacam
‘kumpulan’ orang-orang. Saya pribadi belum berani mengambil kesimpulan
apakah anggotanya adalah kumpulan orang-orang minoritas atau bukan. Yang
pasti kita bisa mencari sebenarnya jenis ‘kekuatan‘ yang mana yang dicari oleh
Jamaah Maiyah ini. Politik, ekonomi, sosial-budaya?

Kekuatan politik. Untuk menjadi sebuah kekuatan politik, sekumpulan orang
seharusnya (harus ala Indonesia) membentuk sebuah partai politik. Ada
anggotanya, ada organisasinya, ada pengurusnya dan tak lupa ada lambangnya
untuk dicoblos. Oh, maksud saya dicontreng. Tapi sepengamatan saya Jamaah
Maiyah belum pernah bergerak ke arah itu. Berarti mungkin bukan kekuatan
politik yang dicari.
Kekuatan ekonomi. Untuk menjadi kekuatan ekonomi, sekumpulan orang
biasanya membuat sebuah perusahaan, atau minimal perjanjian di antara
mereka. Yang efeknya adalah, mereka yang ada dalam perjanjian tersebut
merupakan satu entitas di mata dunia ekonomi. Contohnya begini, saham
perusahaan bisa berfluktuasi sesuai keadaan pasar global. Akan tetapi gaji pekerja
dalam perusahaan tidak fluktuatif seperti sahamnya. Jadi perkumpulan yang
bertujuan sebagai kekuatan ekonomi, paling tidak memiliki komitmen di antara
satu anggota dengan anggota yang lain untuk bersama-sama sebagai satu
kesatuan yang utuh dalam menghadapi pasar luas. Lagi-lagi saya pribadi tidak
melihat ini di Jamaah Maiyah.
Kekuatan sosial budaya. Kemampuan untuk mempengaruhi atau menahan
sebentuk kondisi. Mungkin di Jamaah Maiyah kita bisa mengatakan ‘ada’ tentang
pembentukan kekuatan ini, walaupun untuk mendapatkan ukuran secara pasti
dan kuantitatif akan sangat tidak mudah.
Ketika terlibat di lingkungan ini, dari tindak-tanduk, kebiasaan, dan mekanisme,
saya melihat sebuah potensi yang berbeda. Jamaah Maiyah tidak membentuk
sebuah padatan yang diterjemahkan menjadi kekuatan. Jamaah Maiyahsepertinya
berusaha mencari dan menemukan bahan mentah (cair) yang bisa membentuk
padatan-padatan tersebut.
Semoga tidak terlalu muluk-muluk jika saya mempunyai harapan yang besar
bahwa Jamaah Maiyah mampu membentuk sebuah jenis kekuatan yang baru.
Yaitu kekuatan NILAI. Sebuah kekuatan yang mendasari kekuatan-kekuatan yang
lain. Kekuatan nilai yang matang akan bisa diterjemahkan menjadi kekuatankekuatan
yang lain. Dan kekuatan-kekuatan yang terbentuk dari kekuatan nilai
akan menjadi sesuatu yang lebih komprehensif untuk (dalam) kebersamaan.
Kekuatan ekonomi yang mampu memaslahatkan banyak orang, kekuatan politik
yang bertanggung jawab, dan kekuatan sosial politik yang cerdas dan tidak
dangkal-romantis.
Tentu itu sekadar harapan dan pandangan. Yang bisa mendefinisikan Jamaah
Maiyah adalah Jamaah sendiri. Ketika ini adalah kekuatan nilai, berarti semua
sudah dewasa menghadapi ekonomi, politik, sosial dan budaya. Sampai titik yang
manakah kita sekarang? []


Konser8
by Komunitas Kenduri Cinta
1. Tahun 1996, brsm #caknun, @kiaikanjeng meluncurkan album "Kado
Muhammad". Hit album itu adlh TOMBO ATI yg dilantunkan dg bait2 puisi.
2. Sambutan masyarakat sangat luar biasa. Mulailah shalawat & syair khasanah
masyarakat Islam mendapatkan perhatian secara nasional.
3. Sampai saat ini, @kiaikanjeng tlah mengunjungi lbh dr 21 propinsi, 384
kabupaten, 1030 kecamatan & ribuan desa di seluruh Indonesia.
4. Gamelan @kiaikanjeng bukan nama grup musik, melainkan nama sebuah
konsep nada pd alat musik gamelan yg diciptakan oleh Novi Budianto.
5. Walau berbagai alat musik dimainkan pd kelompok musik ini, namun GAMELAN
bisa disebut sebagai ciri khas piranti musikal @kiaikanjeng.
6. Meski wujud lahiriah sama persis dengan gamelan Jawa pd umumnya, gamelan
@kiaikanjeng sesungguhnya bukan lagi sekadar gamelan Jawa.
7. Dlm khasanah musik Jawa, (lazimnya gamelan) sistem tangga nadanya adlh
laras pentatonis. Terbagi pd dua jenis nada: pelog dan slendro.
8. Maka gamelan yg digubah oleh Novi Budianto ini (gamelan @kiaikanjeng) tidak
berada pd jalur salah satunya, alias bkn pelog bkn slendro.
9. Meski bila ditinjau dr segi bahan & bentuk, gamelan @kiaikanjeng ttp sama dg
gamelan Jawa pd umumnya. Perbedaan terletak pd jmlh bilahan.
10. Serta, kenyataan bahwa gamelan @kiakanjeng juga merambah ke wilayah
diatonis, meski tidak sepenuhnya. Ini keunikan gamelan @kiaikanjeng.
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 95
11. Keunikan td, memungkinkan eksplorasi musikal @kiaikanjeng merambah ke
mana saja aliran musik. Membuat musik mereka bersifat adaptif.
12. @kiaikanjeng adlh kelompok musik 'plus' mencoba menjalankan kemerdekaan
alias tak terkungkung pada satu-dua jenis aliran musik.
13. Pelarasan nada ini oleh Novi Budianto pd mulanya dipilih atas pengalamannya
menata musik-puisi #caknun sejak berproses brsm di Dinasti.



Kira-kira Tuhan Pilih Yang Mana?
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 09 Desember 2009 jam 10:04
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini?.
Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid,
tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan
hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat
permusuhan.
Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak
korupsi, dan penuh kasih sayang?”
Kalau saya,memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya
membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu
namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang
rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang
suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang
sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.


Komposisi Debu dan Aransemen Ruh
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 20 Oktober 2010 jam 11:07
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Setiap ayat Allah sesungguhnya mengandung dimensi-dimensi yang sangat
kompleks dan sangat penuh ketidakterdugaan. Misalnya, ada ayat yang
kelihatannya cuma perintah perilaku sederhana yang menyangkut akhlak, tapi
ternyata di baliknya tersimpan ilmu fisika, biologi, kimia, dan seterusnya.
Saya dikasih tahu oleh anak saya tentang semacam pemahaman, atau sebut saja
spekulasi, bahwa ruh itu tidak berbeda dengan badan, tidak berbeda dengan
jisim. Jisim itu kulit arinya ruh. Ruh itu pada penampilannya yang paling dangkal,
yang simptoma-simptoma yang sederhana dia itu bernama jisim, tapi seluruhnya
ini sebenarnya adalah dunia ruh. Jadi bukan ini ruh, ini badan, bukan begitu.
Sama dengan jangan ditanyakan apa badan Rasulullah ikut Isra` Mi`raj atau tidak.
Bukan begitu. Karena, ketika beliau naik Buraq dengan percepatan tertentu,
badan beliau berubah atau transformed menjadi energi. Ketika dia memakai
percepatan Mi`raj yaitu kecepatan yang dulu bisa memindahkan istana Bulkis
sekejapan mata sebelum Sulaiman selesai berkedip Istana sudah sampai ke situ.
Dan itulah kecepatan Mi`raj. Pada saat itu tubuh Rasulullah sudah menjadi
barqun, yang menaiki buraqun.
Dia sudah menjadi halilintar, sudah menjadi cahaya maha cahaya.

Jadi ruh dan badan itu tidak berbeda. Bahan dasarnya adalah partikel yang sama.
Yang berbeda adalah komposisi dan aransemennya. Badan itu adalah ketika ruh
mengaransir dan mengkomposisikan diri ke dalam suatu formula yang paling
sederhana, maka dia bernama jisim atau badan.
Siapakah komposer dan arranger? Sehingga kita menyaksikan batu, angin, virus,
buah mangga, dan pada diri kita ini sendiri ada tulang, daging, sungsum, darah,
nanah, ingus, bahkan juga segumpal hati yang berisi ruang tak terhingga, serta
sekepal otak yang sistem hardware sedemikian canggih dan sistem software-nya
sedemikian tak kita kenali - siapakah gerangan Sang Komposer dan Arranger?"
Kata anak saya, kalau manusia bisa menguakkan rahasia amr, rahasia perintah,
yang di genggaman tangan-Nya terdapat 'partitur' segala sesuatu dalam
kehidupan ini -- maka kita bisa meracik pasir dengan campuran tertentu menjadi
emas, bisa mengubah kain celana menjadi nasi goreng.?



Kostum Agama
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 07 September 2009 jam 12:21
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Budaya keagamaan islam mencapai puncak kemeriahannya terutama pada bulan
Ramadhan. Televisi berlomba menggelar mubaligh dan presenter. Berbagai
busana muslim-muslimah kita tonjolkan. Hiasan dan konsum warna-warni mewah
meriah kita pajang. Saya sendiri berusaha menyesuaikan diri, sehinggak untuk
keperluan shooting saya pinjam sarung untuk kemul-kemul. Untuk siapakah
semua itu dipertunjukkan? Untuk Allah, untuk bulan ramadhan, atau untuk
pemirsa? Kita ber-husnudhan bahwa kita ini semua sangat mencintai dan
menghormati Allah. Hanya saja, seakan-akan hanya pada bulan ramadhan saja
Allah hadir. Seolah-olah hanya pada bulan ramadhan saja kita semua berhadapan
dengan Allah. Dan kalau sesudah selesai acara lantas kita berganti pakaian yang
asli seakan-akan hanya didepan kamera saja kita menghormati Allah. Saya sangat
takut jangan-jangan Allah merasa kita bohongi.(Dikutip dari hikmah puasa)



Lupa dan Salah
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 30 Juli 2010 jam 11:51
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Ada 4 jenis Kelupaan atau Kesalahan dalam diri manusia.
Pertama, namanya 'Nisyan', itu artinya lupa, tapi lupa dan melupakan itu berbeda.
Kalau lupa itu gak ada kesalahan, tidak ada pasal hukumnya, pasal akhlak maupun
akidahnya, tapi kalau melupakan itu suatu tindakan moral, suatu tindakan yang
bisa menyentuh batas hukum, baik hukum negara maupun akhlak.
Yang kedua, namanya 'Qoto', itu salah. Kesalahan juga ada 2 macam, kesalahan
teknis manajemen, ada kesalahan dalam arti bermakna moral, misalnya saya ujian
berhitung matematik, saya melakukan kesalahan, saya tidak dosa karena saya ada
kekeliruan ngitung, kalau keliru ngitung-nya ini dalam administrasi negara, dalam
klausul-klausul, policy-policy aturan, ini bukan kesalahan intelektual, ini sebagai
kesalahan moral.
Nomer ketiga, namanya 'Dhulm', itu artinya aniaya, penindasan, penganiayaan.
Jadi ini ketika lupa dan kesalahan sudah pada tingkat dimana kekuatan
berbenturan pada manusia. Yang kuat ke yang lemah dan terjadi pada berbagai
macam lini, bidang atau level pada kehidupan manusia. Ada penganiayaan dalam
arti praksis politik kekuasaan, dalam arti violence, kekerasan. ada kekerasan fisik
pakai peluru, pakai sepatu lars. Ada kekerasan kata-kata, ada kekerasan tayangan,
ada kekerasan religius.
Yang keempat 'junun', namanya Junun itu dari kata jin, jadi 'something outside of
the logics' itu namanya majnun. Jin itu aplikasi kemahlukannya, majnun itu orang
biasa, orang manusia yang ditimpa oleh junun. Kata junun bisa dijelaskan secara
psikiatrik maupun psikologis. Cinta kalau disakiti terus menerus akan menjadi
kebencian, tapi kalau engkau menyelam kedalam apa yang disebut kebencian
sesungguhnya dia adalah cinta yang tulus.[]


Makalah Diskusi Forum Martabat: Pertanyaan
dalam "Bertanya"
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 03 Agustus 2010 jam 12:45
Ditulis Oleh: Sabrang Mowo Damar Panuluh
“Segelas kopi panas, diminum dikala sore hari sambil ngobrol-ngobrol sembari
menikmati rokok yang baru kemarin lusa difatwa haram, benar-benar membuat
sore ini terasa sangat nikmat.”
Jawab dengan jujur, dengan sekali baca cerita diatas, bagaimana reaksi anda ?
membayangkan suasana sore hari yang nikmat, membayangkan gelak canda tawa
sekelompok orang, membayangkan dua orang ngobrol ngga jelas sambil
melamun, atau justru mengkernyitkan dahi?
Prekonsepsi pengalaman sore hari yang biasa pembaca alami sangat
mempengaruhi ‘hantaman imajinasi’ pertama sebagai respon terhadap cerita
diatas. Jika anda diberi kesempatan melontarkan satu pertanyaan untuk menggali
informasi lebih dalam, kira-kira apa yang akan anda tanyakan ?
Dari teori bertanya yang selama ini kita kenal, yaitu 5W 1 H (What, why, where,
who, when dan how), kira-kira yang mana yang akan anda lontarkan ? Atau teori
itu justru tidak menjadi pedoman ketika anda bertanya?
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 103
Ada teori lain tentang ‘pertanyaan’ yang saat ini tidak begitu populer, (mungkin
karena baru dikarang) yang disebut PRWT (Pitakonan Ra Waton Takon), jangan
dikritik dulu, ini juga baru dikarang. Teori ini mengatakan bahwa setiap
pertanyaan harus mempunyai syarat, prasyarat dan kerangka yang jelas pada
peta yang lebih luas. Samasekali bukan untuk menggantikan 5W1H, teori ini justru
mencoba menambahkan apa yang masih belum terdefinisikan dalam 5W1H.
Sebelum menentukan jenis pertanyaan yang akan dilontarkan, adalah wajib
memastikan bahwa si penanya dan yang ditanya mempunyai ‘bahasa’ yang sama
(duh ). Ngga lucu juga si penanya pakai bahasa Jawa sementara yang ditanya
berbahasa Swahili. Bisa saja terjadi, tapi maksud saya adalah ‘bahasa’ pada level
pemahaman. Setiap bangsa, setiap budaya, setiap suku, bahkan setiap orang
mempunyai ‘bahasa’nya sendiri. Kata yang terucap tidak selalu mempunyai
makna yang sama untuk pengucapnya, walaupun tidak sama sekali berbeda. Mari
ambil contoh populer. Cinta, tanyakan definisinya pada 100 orang dan anda akan
mempunyai 100 jenis jawaban.
Jika anda mengatakan bahwa tidak mungkin kita mengkonfirmasi bahwa semua
kata bisa tersampaikan sempurna, saya setuju. Tapi adalah kewajiban penanya
untuk meminimalisir dicrepancy pemahaman kata. Disini kata kuncinya adalah
menghindari ambigu atau bahkan salah faham.
Pernahkah anda berargument dengan diri anda sendiri ? sepertinya tidak harus
menjadi orang gila untuk punya penglaman tersebut. Jika anda belum pernah,
mungkin ada baiknya sekali-sekali dicoba. Paling tidak, berguna ketika tidak ada
lawan ngobrol dikala sepi. usul saya cobalah tanyakan pertanyaan ini pada
pertanyaan yang akan anda tanyakan.

Pertama, tujuan/fungsi pertanyaan ini apa ya ? Untuk menggali informasi,
memancing informasi, memancing emosi, mengerucutkan tema bahasan,
melebarkan tema bahasan, mengganti tema, menghabiskan waktu, mengajak
berkonklusi dst dst … sangat banyak kemungkinan. Dengan modal itu, konsep
pertanyaan akan menjadi lebih terarah karena anda akan siap dengan reaksi
lanjutannya.
Kedua, apakah pertanyaan saya mengandung asumsi pribadi yang belum
terkonfirmasi oleh object yang ditanya ? Kalau ini belum ‘clear’, potensi ambigu
dan salah faham akan meningkat. Contoh : “Ketika bapak sedang tidak kerja, apa
yang bapak lakukan”. Sepertinya pertanyaan yang sangat innocent. Apakah anda
sudah meluruskan bahwa arti kata “kerja” antara anda dan penanya adalah sama
? misalnya dijawab begini : “Loh dik, kapan saya ngga kerja, orang bernafas saja
sudah saya anggap kerja, ibadah kepada Tuhan”. Tambah ruwet pastinya. Jangan
asumsikan si bapak tidak tahu maksud anda, dia hanya berperilaku jujur terhadap
pemahaman dia kepada kata “kerja”. Kewajiban penanya lah mencari kata yang
lebih tajam atau memberi ‘lambaran’ kepada si bapak agar tidak bisa
‘menghindari’ pertanyaan.
Ketiga, apakah pertanyaan saya ‘sesuai’ ? Sesuai memang kata-kata yang sangat
cair, tidak mudah mendefinisikanya. Karena selalu dibutuhkan kesensitifitasan
terhadap konteks, ruang dan waktu. Faktornya bisa kesopanan, kepantasan,
pilihan istilah, ranah bahasan dll. Keempat, dengan apa saya akan menggali
informasi. Jangan lupa alat bertanya tidak hanya kata-kata yang keluar dari mulut.
Hanya dengan mengernyitkan dahi anda bisa membuat orang berbicara lebih
banyak, hanya dengan senyuman anda akan bisa mendapat respon yang lebih
friendly. Hanya dengan tertawa anda akan bisa membuat object yang ditanya
merasa lebih nyaman mengungkapkan informasi. Dari cerita ‘minum kopi sore
sore’ diatas, siapa diantara pembaca yang bertanya : “nikmat karena rokoknya
haram kah ? (sambil tersenyum)” ?. Anda baru saja membuat pencerita
tersenyum atau bahkan tertawa, yang berarti membuka pintu-pintu pertanyaan
lain yang akan dijawab dengan senyuman. Selamat.
Diskusi Martabat kali ke 7 ini mencoba mencari formula yang berhubungan
dengan ‘pertanyaan’ agar setiap kita bertanya, kritis itu menjadi otomatis, tidak
perlu nyinyir atau amis, tapi praktis, pragmatis dan etis. Pisss !!
*) Pengantar Diskusi Martabat 28 Juli 2010


Makna Spiritual Dan Sosial Ibadah Puasa
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 02 September 2009 jam 10:50
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Tulisan ini bisa dimulai dari perspektif Rukun Islam. Dari syahadah hingga
menunaikan haji di rumah suci Allah. Kita mencoba menjelaskan satu per satu
maqam Rukun Islam tersebut. Dan, pada akhirnya, kita akan melihat maqam
ibadah puasa, yang menjadi topik bahasan tulisan ini. Apakah maqam-maqam itu
saling terkait, atau tidak?
‘Alamat’ dan ‘Jurusan’
Syahadah. Salah satu Rukun Islam berarti ketetapan dan penetapan titik pijak dan
sekaligus arah tujuan gerak kehidupan manusia Muslim. Semacam ‘alamat’ dan
‘jurusan’. Pertama barangkali pada spektrum kosmologis kemudian teologis, baru
kemudian kedua kultural.
Pandangan tentang ’sangkan paran’, semacam alamat historis-kosmologis,
menurut manusia untuk (melalui akal pikiran maupun melalui informasi wahyu,
mawaddah wa rahmah, juga huda, bayyinat, wa furqan) menentukan alamat
teologis (atau a-teologis)nya. Berdasarkan itu maka ia berangkat merumuskan
alamat sosialnya, alamat kulturalnya, juga mungkin alamat politiknya, bahkan
bukan tidak mungkin juga alamat geografisnya. Dengan itu, beda pandang
manusia mengenai dunia, akhirat, dan tentang dunia akhirat menjadi terumuskan.

Menduniakan Akhirat, Mengakhiratkan Dunia, dan Mendunia-akhiratkan
Kehidupan
Pada budaya dan perilaku manusia beserta sistem nilai yang disusun dalam
kolektivitas mereka, ada yang memandang dunia ini sebagai tujuan. Seluruh
aktivitas pribadi, gerakan sosial, pengorganisasian kekuasaan dan kesejahteraan
di antara mereka, dilaksanakan dengan mengandaikan bahwa dunia ini adalah
wadah satu-satunya dari segala awal dan segala akhir.
Wadahnya hanya dunia. Substansinya hanya dunia. Metodenya hanya dunia. Dan,
targetnya juga hanya dunia. Orang lahir, orang bersekolah, orang bekerja, orang
berkuasa, orang berkarier, dalam ‘durasi’ dunia.
Segala sesuatunya akan berbeda dengan pandangan lain yang meletakkan dunia
sebagai titik tolak dan titik pijak untuk melangkah ke akhirat. Sejarah di dunia
dikerjakan sebagai jalan (syari’, thariq, shirath), dan produknya adalah akhirat.
Setiap kegiatan dan fungsi manusia dalam sejarah, selama dunia berlangsung,
berlaku sebagai metoda. Berkedudukan tinggi, berjaya, unggul, atau menang di
antara manusia, tidak dipahami sebagai neraka. Sebab surga dan neraka adalah
produk dari penyikapan (teologis, moral, kultural) manusia atas semua keadaan
tersebut.
Dalam hal ini belum akan kita perdebatan tentang apakah dunia dan akhirat itu
diwadahi oleh dua satuan waktu yang berbeda, atau terletak pada rentang waktu
yang sama, yang dibatasi oleh momentum yawm al-qiyamah, ataukah dunia dan
akhirat itu sesungguhnya berlangsung sekaligus.


Ikrar teologis (yang beraktualisasi kultural) yang dilaksanakan melalui
syahadatain, ibadah lain serta ’syariat’ hidup secara menyeluruh adalah suatu
pengambilan sikap, suatu pilihan terhadap pandangna atas dunia dan akhirat.
Dengan pijakan sikap ini manusia menggerakkan aktivitas sosialnya,
melaksanakan upaya-upaya hidupnya, serta menja-dikannya sebagai pedoman di
dalam memandang, menghayati dan memperlakukan apapun saja dalam
hidupnya.
Tidak termasuk dalam katagori ini pola sikap manusia yang dalam bersyahadat
seakan-akan mengambil keputusan teologis yang memetodekan dunia untuk
target akhirat, namun dalam praktiknya ia lebih cenderung meletakkan dunia
sebagai target dan tujuan.
Kerancuan sikap semacam ini bisa dilatarbelakangi oleh semacam kebutaan
(spiritual), oleh inkonsistensi (mental), oleh kemunafikan (moral), atau oleh tiada
atau tidak tegaknya pengetahuan (intelektual). Yang terjadi padanya adalah
kecenderungan menduniakan akhirat. Sementara pada manusia yang dalam
konteks tersebut tercerahkan spiritualitasnya, yang konsisten sikap mentalnya,
yang teguh moralnya, dan yang tegak pengetahuannya- kecenderungannya
adalah mengakhiratkan dunia, atau dari sisi lain ia bermakna menduniaakhiratkan
kehidupan.
Evolusi Salat dan Idul Fitri-Idul Fitri Kecil
Salat. Ibadah Salat merupakan suatu metode ‘rutin’ kultural untuk proses
pengakhiratan. Momentum-momentum salat lima waktu memungkinkan manusia
pelakunya untuk secara berkala melakukan pengambilan ‘jarak dari dunia’.
Itu bisa berarti suatu disiplin intelektual untuk menjernihkan kembali persepsipersepsinya,
untuk memproporsionalkan dan mensejatikan kembali pandanganpandangannya
terhadap dunia dan isinya, sekaligus itu bermakna ia menemukan
kembali kefitrian-diri-kemanusiaan. Salat dengan demikian adalah idul fitri-idul
fitri kecil yang bersifat rutin. Sekurang-kurangnya salat mengandung potensi
untuk membatalkan atau mengurangi keterjeratan oleh dunia. Ini sama sekali
bukan pandangan antidunia. Yang saya maksud, sebagai substansi, target, titik
berat atau tujuan kehidupan.
Ibadah salat dengan demikian adalah suatu transisi sistem yang terus-menerus
mengingatkan dan mengkodisikan pelakunya yang memelihara sikap
mengakhiratkan dunia atau menduniaakhiratkan kehidupan. Ibadah salat
menawarkan irama, yaitu proporsi kedunia-akhiratan yang dialektis berlangsung
dalam kesadaran, naluri dan perilaku manusia.
Kalau kita idiomatikkan bahwa salat itu bermakna pencahayaan (’air hujan’, salah
satu jenis air yang disebut oleh al-Qur’an), maka jenis ibadah berkala ini berfungsi
mencahayai dan mencahayakan kehidupan pelakunya. Mencahayai dalam arti
menaburkan alat penjernihan diri dan persepsi hidup. Mencahayakan dalam arti
memberi kemungkinan kepada pelakunya untuk bergerak dari konsentrasi
kuantitas (benda, materi) menuju dinamika kreativitas (energi) sampai akhirnya
menuju atau menjadi kualitas cahaya (Allahu nur al-samawat wa al-ardl).
Ibadah salat bersifat kumulatif dan evolusioner, sebagimana zakat yang
berlambangkan susu (jenis air lain yang disebut oleh al-Qur’an). Kambing tidak
meminum susunya sendiri, melainkan mendistribusi-kannya kepada anak-anak
dan makhluk lain. Etos zakat adalah membersihkan harta perolehan manusia.
Membersihkan artinya memproporsikan letak hak dan wajib harta. Manusia tidak
memberikan zakat, melainkan membayarkan atau menyampaikan hak orang atau
makhluk lain atasnya.
Revolusi Puasa, Melampiaskan dan Mengendalikan
Puasa. Berbeda dengan salat dan zakat, ibadah puasa bersifat lebih ‘revolusioner’
radikal dan frontal. Waktunya pun dilakukan pada masa yang ditentukan, seperti
disebutkan al-Qur’an. Dan, waktu puasa wajib sangat terbatas. Hanya pada bulan
Ramadhan.
Orang yang berpuasa diperintahkan untuk berhadapan langsung atau mengengkau-
kan wakil-wakil paling wadag dari dunia dan diinstruksikan untuk menolak
dan meninggalkannya pada jangka waktu tertentu.
Pada orang salat, dunia dibelakanginya. Pada orang berzakat, dunia di sisinya,
namun sebagian ia pilah untuk dibuang. Sementara pada orang berpuasa, dunia
ada di hadapannya namun tak boleh dikenyamnya.
Orang berpuasa disuruh langsung berpakaian ketiadaan: tidak makan, tidak
minum, dan lain sebagainya. Orang berpuasa diharuskan bersikap ‘tidak’ kepada
isi pokok dunia yang berposisi ‘ya’ dalam substansi manusia hidup. Orang
berpuasa tidak menggerakkan tangan dan mulut untuk mengambil dan memakan
sesuatu yang disenangi; dan itu adalah perang frontal terhadap sesuatu yang
sehari-hari meru-pakan tujuan dan kebutuhan.
Puasa adalah pekerjaan menahan di tengah kebiasaan menum-pahkan, atau
mengendalikan di tengah tradisi melampiaskan. Pada skala yang besar nanti kita
bertemu dengan tesis ini; ekonomi-industri-konsumsi itu mengajak manusia untuk
melampiaskan, sementara agama mengajak manusia untuk menahan dan
mengendalikan. Keduanya merupakan musuh besar, dan akan berperang frontal
jika masing-maisng menjadi lembaga sejarah yang sama kuat.
Sementara ibadah haji adalah puncak ‘pesta pora’ dan demonstrasi dari suatu
sikap, pada saat dunia disepelekan dan ditinggalkan. Dunia disadari sebagai
sekadar seolah-olah megah.
Ibadah thawaf adalah penemuan perjalanan sejati sesudah seribu jenis perjalanan
personal dan personal yang tidak menjanjikan kesejatian dan keabadian. Nanti
kita ketahui gerak melingkar thawaf adalah aktualisasi dasar teori inna lillahi wa
inna ilayhi raji’un. Suatu perjalanan nonlinier, perjalanan melingkar perjalanan
siklikal, perjalanan yang ‘menuju’ dan ‘kembali’nya searah.
Ihram adalah ‘pelecehan’ habis-habisan atas segala pakaian dan hiasan keduniaan
yang palsu status sosial, gengsi budaya, pangkat, kepemilikan, kedudukan,
kekayaan, atau apapun saja yang sehari-hari diburu oleh manusia. Sehabis
berihram mestinya sang pelaku mengerti bahwa nanti kalau ia pulang dan hadir
kembali ke kemegahan-kemegahan dunia–tak lagi untuk disembahnya atau
dinomorsatukannya. Karena ihramlah puncak mutu dan kekayaan.
Tauhid Vertikal dan Tauhid Horisontal
Adapun apa, ke mana, dan bagaimanakah sesungguhnya yang dijalani oleh para
pelaku Rukun Islam, terutama yang ber’revolusi’ dengan puasa?
Pilar utamanya adalah tauhid vertikal (tawhid ilahiyyah) dan tauhid horisontal
(tawhid basyariyyah). Tauhid itu proses penyatuan. Penyatuan (ilahiyyah) ke atau
dengan Allah, serta penyatuan ke atau dengan sesama manusia atau makhluk,
memiliki rumus dan formulanya sendiri-sendiri.
Perlawanan terhadap dunia, penaklukan atas diri dan kehidupan untuk
diduniaakhiratkan yang ditawarkan oleh ibadah puasa–sekaligus berarti proses
deindividualisasi, bahkan deeksistensialisasi. Tauhid adalah perjalanan
deeksistensialisasi, pembebasan dari tidak pentingnya identitas dan rumbairumbai
sosial keduniaan di hadapan Allah. Segala kedudukan, fungsi dan peran di
dunia dipersembahkan atau dilebur ke dalam eksistensi sejati Allah dan kasih
sayang-Nya. Tauhid sebagai perjalanan deindividualisasi berarti menyadari dan
mengupayakan proses untuk larut menjadi satu atau lenyap ke dalam wujudqidam-
baqa’ Allah. Manusia hanya diadakan, diselenggarakan seolah-olah ada,
ada-nya palsu–oleh Yang Sejati Ada.
Yang juga ditawarkan oleh puasa adalah proses dematerialisasi, atau peruhanian
atau dalam konteks tertentu pelembutan dan peragian. Dematerialisasi bisa
dipahami melalui, umpamanya, konteks peristiwa Isra’ Mi’raj. Rasulullah
mengalami proses transformasi dari materi menjadi energi menjadi cahaya. Maka,
dematerialisasi vertikal bisa berarti mempersepsikan, menyikapi dan mengolah
materi (badan, pemilikan, dunia, perilaku, peristiwa) untuk dienergikan menuju
pencapaian cahaya. Fungsi sosial dikerjakan, managemen dijalankan, musik
diciptakan, karier ditempuh, ilmu digali dan buku dicetak, uang dicari dan harta
dihamparkan–tidak dengan orientasi ke kebuntuan dunia sebagai materi yang
fana, melainkan digerakkan ke makna ruhani, pengabdian dan taqarrub kepada
Allah, sampai akhirnya masuk dan bergabung ke dalam ‘kosmos’ dan sifat-Nya.
Proses dematerialisasi, proses ruhanisasi atau proses transformasi menuju
(bergabung, menjadi) Allah, meminta hal-hal tertentu ditanggalkan dan
ditinggalkan. Dalam bahasa sehari-hari orang bilang: jangan mati-matian mencari
hal-hal yang tidak bisa dibawa mati.
Menanggalkan dan meninggalkan itu mungkin seperti perjalanan transformasi
padi menjadi beras, dan menjadi nasi. Padi menjadi beras dengan menanggalkan
kulit. Beras juga padi, tapi beras bukan lagi padi, sebagaimana padi belum beras.
Nasi itu substansinya padi atau beras, tapi sudah melalui proses suatu pencapaian
transformatif. Para pemakan nasi tidak antipadi, tapi juga tidak makan padi dan
menanggalkan kulit padi. Pemakan nasi sangat membutuhkan beras, tapi tidak
makan beras dan tidak membiarkan beras tetap jadi gumpalan keras. Pemakan
nasi memproses bahan dan substansi yang sama menjadi atau menuju sesuatu
yang baru.
Jadi, jika pemburu atau pengabdi Allah tidak antidunia, tidak antimateri, tidak
antibenda, tapi juga tidak menyembah benda, melainkan mentransformasikan
(mengamalsalehkannya), meruhanikannya (menyaringnya menjadi bermakna
akhirat). Bahkan manusia akan menanggalkannya dan meninggalkan dirinya
sendiri (gumpalan individu, wajah, badan, performance, eksistensi dunia), karena
‘dirinya’ di akhirat, dirinya yang bergabung ke Allah adalah sosok amal salehnya.
Pada ‘citra’ waktu, dematerialisasi, peruhanian, deindividualisasi, dan
deeksistensialisasi berarti pengabdian. Pembebasan dari kesementaraan. Yang
ditanggalkan dan ditinggalkan adalah kesementaraan. Segumpal tanah bersifat
sementara, tapi ia difungsikan dalam sistem manfaat dan rahmat, maka fungsinya
itu mengabdi. Sebagaimana gumpalan badan kita serta segala materi eksistensi
kita bersifat sementara, yang menjadi abadi adalah produk ruhani pemfungsian
atas semua gumpalan itu.
Melampiaskan dan Mengendalikan
Juga dalam proses tauhid horisontal, penyatuan berarti sosialisasi pribadi. Kalau
masih pribadi yang individualistik (ananiyyah), ia gumpalan. Begitu integral-sosial
(tawhid basyariyyah), ia mencair, melembut. Yang ananiyyah itu temporer dan
berakhir, yang tauhid basyariyah itu baqa’ dan tak berakhir.
Identitas sosial, harta benda, individu, segala jenis pemilikan dunia, dienergikan,
diputar, disirkulasikan, didistribusikan, dibersamakan atau diabadikan ke dalam
keberbagian sosial. Itulah peruhanian horisontal.
Karena itu, proses-proses menuju keadilan sosial, kemerataan ekonomi, distribusi
kesejahteraan, kebersamaan kewenangan dan lain sebagainya–sesungguhnya
merupakan aktualisasi tauhid secara horisontal.
Kita tinggal memperhatikan setiap sisi, segmen dan lapisan dari proses sosial
umat manusia (pergaulan, kebudayaan, negara, sistem, organisasi) melalui termaterma
materialisasi versus peruhanian, satu versus kemenyatuan,
pensementaraan versus pengabdian, penggumpalan versus pelembutan, sampai
akhirnya nanti pelampiasan versus pengendalian. Budaya ekonomi-industrikonsumsi
kita mengajak manusia untuk melampiaskan. Sementara agama
menganjurkan manusia untuk mengendalikan. Kalau kedua arus itu sama-sama
menemukan lembaga dan kekuatan sejarahnya yang berimbang, konflik
peradaban akan serius.
Ibadah puasa merupakan jalan ‘tol’ bagi perjuangan manusia untuk mencapai
kemenangan di tengah tegangan-tegangan konflik tersebut. Juga dalam
pergulatan antara iradah al-nas dalam arti individualisme individu-kecil dengan
iradah Allah Individu Besar Total.
Kita bisa menolak ke terma sab’a samawat, tujuh langit– Roh-Benda-Tumbuhan-
Hewan-Manusia- Ruhanisasi-Ruh– bisa kita temukan siklus-siklus kecil dan besar
proses peruhanian yang diselenggarakan oleh manusia.
Atau terma Empat ‘Agama’–’agama’intuitif-instinktif, ‘agama’ intelektual, ‘agama’
wahyu, serta ‘agama atas agama’--kita bisa menemukan bahwa ketika penerapan
wahyu –Agama terjebak menjadi berfungsi gumpalan-gumpalan, maka ‘agama
atas agama’ merupakan fenomena peruhanian, kristalisasi substansi. Semua
manusia bekerjasama menempuh nilai-nilai inti peruhanian yang mengatasi
gumpalan-gumpalan aliran, sekte, kelompok, mazhab atau organisasi agama.
Terma lain yang mungkin bisa kita sentuh adalah cakrawala puasa la’allakum
tattaqun. Produk maksimal puasa bagi pelakunya adalah derajat dan kualitas
takwa. Dalam terapan empiriknya, kita mencatat stratifikasi fiqh/hukum-akhlaktakwa.
Kondisi peradaban umat manusia masih tidak gampang untuk sekadar
mencapai tataan manusia fiqh/hukum atau budaya fiqh/hukum. Apalagi naik lebih
lagi ke level akhlak dan takwa. []
__________
arsip/1996


Manajemen adalah.......
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 22 Juli 2010 jam 10:58
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Manajemen bukanlah kita punya sayur-sayuran lantas kita memasaknya.
Manajemen adalah tidak punya apa-apa tapi sanggup menyuguhkan sayur kepada
orang yang memerlukan.
Manajemen adalah ditiadakan namun mampu menjadi lebih ada dibanding pihak
yang meniadakan.
Manajemen adalah kaki diborgol kemudian memenangkan lomba lari melawan
orang yang memborgol.
Manajemen adalah sayapmu dipangkas namun mampu terbang lebih cepat,
tinggi, dan jauh dibanding mereka yang memangkas sayapmu.
Manajemen adalah hampir tak ada air tapi bisa mandi dan menjadi lebih bersih
dibanding pencuri airmu.
Manajemen adalah engkau tak boleh bicara, tak ditampilkan, tak ditayangkan, tak
dianggap ada, namun mampu hadir lebih mendalam dan evergreen didalam kalbu
orang banyak dibanding mereka yang membunuh eksistensimu atau mereka yang
diunggul-unggulkan dimuan-muat ditayang-tayangkan dibesar-besarkan siang
malam oleh penindasmu.[]


MATINYA SANG PENTAFSIR
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 19 Februari 2010 jam 9:37
Ditulis Oleh: Ratri Dian Ariani
Pernah Cak Nur (Dr. Nurcholish Madjid) mengatakan bahwa 3,4% dari Alquran
memuat perkara ibadah mahdhoh, sedangkan sisanya yang 96,6%-nya
membicarakan ibadah muamalah. Kitab suci Alquran keberlakuannya universal,
melintasi batas-batas teritori dan rentang waktu. namun nyatanya pada wilayah
tafsir, sangat mungkin menjadi sangat berbeda antara satu kepala dengan yang
lain. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah siapa saja yang ber-'hak'
melakukan penafsiran itu? Di wilayah mana kita memenuhi syarat melalkukan
tafsir?
Pada majlis kali ini kita akan memetakan apa itu sinkretisme, hibridasi, dan
multikulturalisme. Kemudian kita akan menyimpulkan apakah plural itu esensi
dalam aufklarung?
Nursamad Kamba
Filsafat bicara soal apakah kebenaran itu bernilai mutlak atau relatif. Melalui kisah
Nabi Yusuf alaihissalam, Allah mengakui adanya kebenaran yang diliputi

kebathilan. Saudara-saudara Yusuf membajui kebathilan yang mereka rencanakan
melalui logika yang merreka sampaikan pada sang ayah, Ya'qub alaihissalam.
Bisa jadi, Allah membiarkan hamba-nya melakukan perbuatan bathil, dan pada
waktunya Dia akan memberikan balasan yang seberat-beratnya.
Piagam Madinah memberikan pelajaran pada kita bahwa masyarakat tidak usah
repot-repot mencari pemerintahan. Poinnya, tidak ada seorang pun yang boleh
menganggur, dengan maiyah sebagai spiritnya. maka pada waktu itu
perekonomian Madinah demikian maju.
Diajarkan pada kita bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah seorang
tukang fatwa, bicara ini halal itu haram.
Dalam sejarah, ada ilmu Islam yang kemudian dilembagakan sehingga menjadi
doktrin. Pada abad 4 Hijriah, lahir ilmu kalam yang saat ini berkembang menjadi
doktrin. Maka ada beberapa orang yang meng-'kafir'-kan siapa saja yang tidak
mengakui Sifat Duapuluh. Padahal, ilmu kalam adalah sebuah pendekatan untuk
memahami aspek-aspek filsafat.
Al-Muhasiby (tahun 300 H), guru dari Imam Al-Ghazali, mengatakan bahwa
penafsiran Alquran tidak ada rumus baku. Penafsiran merupakan interaksi yang
hidup antara hamba dengan Allah, sehingga bukan sesuatu yang aneh jika tafsir
Alquran bervariasi. Pendapat ya pendapat saja. Keberagaman pikiran tidak akan
menimbulkan dampak apapun kecuali memperkaya.
Yang paling berbahaya dari agama adalah ketika agama dilembagakan dalam
forum-forum tertentu, seperti kependetaan contohnya. Ada di sekitar kita
kelompok-kelompok tertentu yang mengklaim kebenaran. Padahal, ilmu ada di
mana-mana. jangan pernah mempersempit ruang kemungkinan ilmu!
Allah memberikan dua pahala pada mujtahid atas ijtihadnya yang benar.
kemudian ketika ternyata ijtihadnya tidak benar, ia tetap mendapatkan satu
pahala. Dari sini kita dapat menyimpulkan adanya ruang kemungkinan yang
ditawarkan Allah. Yang tidak boleh adalah memaksa orang lain untuk mengikuti
ijtihadnya.
Betapa arifnya Rasululah yang mengatakan, "Hikmah ada di mana-mana, siapa
yang mendapatkan di memetiknya." Kita menjadi sengsara karena mengandalkan
ilmu kita sendiri, padahal ilmu Allah dapat diperoleh dengan cara bermaiyah
dengan Allah, Rasululah, dan makhluk-makhluk-Nya.
Kondisi bangsa kita dapat dianalogikan sebagai perahu. Problem ada bukan pada
penumpang atau nakhodanya saja, melainkan pada perahunya (sistemik).
Sedangkan jika kita bicara kosmologi, problem mungkin ada pada samuderanya.
Baginda Siregar (Masyarakat Hukum Indonesia)
Memberikan antitesis pada apa yang telah disampaikan sebelumnya, Baginda
berpijak pada kenyataan bahwa alquran terdiri dari ayat-ayat muhkamat dan

mutasyabihat. Hukum merupakan seperangkat norma dan sanksi. Berjalannya
hukum mensyaratkan adanya pemerintahan atau kekuasaan.
Hukum Islam bukanlah potong tangan, rajam, jilid, dan sebagainya, melainkan
'dilarang mencuri', dilarang 'berzina'. Poin hukum adalah pada norma yang
berupa perintah dan larangan. Norma-norma itu tetap keberlakuannya.
Indonesia telah bersepakat mengakui KUHP sebagai sistem hukum. yang menjadi
permasalahan adalah kita tidak konsisten dalam menerapkan hukum. Hukum
digunakan untuk akal-akalan, dan yang pertama kali menjual hukum adalah
masyarakat, aparatur hukum hanya berposisi sebagai pembelinya. Maka
kesadaran hukum harus dimulai dari masyarakat.
Setelah itu ada Mas Arya sebagai pembicara, yang menilik persoalan-persoalan
negara ini dari perspektif ekonomi.
Masyarakat kita adalah masyarakat yang mampu survive pada kondisi apapun,
yang didorong oleh faktor imunitas dan kreativitas. Jangan sampai negara
mengambil langkah-langkah yang dapat berakibat pada terbunuhnya dua potensi
itu.
Dalam bargaining position, ada unsur bargaining power dan bargaining value.
Kalau ditarik bisa sampai pada 'mati sajroning urip'.
Ada tiga konsep Tuhan dalam sejarah tiga nabi. Musa meletakkan Tuhan sebagai
'Dia', Isa sebagai 'Aku', dan Muhammad sebagai 'Engkau'. Hal serupa terjadi juga
dalam agama ardhi. Agama Hindu mengenal tuhan yang banyak, Buddha
mengenal-Nya sebagai seseorang yang telah menjadi brahman sedangkan agama
Jawa mengenal-Nya sebagai Sang Hyang Tunggal.
Pada puncaknya, Kiai Budi menghamparkan 'sajak-sajak'-nya yang --as usual--
mendobrak kedalaman hati. Saya tak mampu menuliskannya di sini. (Kenduri
Cinta tanggal 12 Februari 2010)









Membaca Sajak-Sajak Emha: membaca perjalanan
sujud
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 14 Desember 2009 jam 9:29
Ditulis Oleh: Sedopati Sukandar
Karena hidupku tidak bersih maka selalu kuincar
Engkau untuk jadi muatan utama perjalananku
Sebab kalau toh kelak Engkau tak menerimaku
Aku masih akan berani menangis-nangis
Ke hadiratMu dengan bergumam-gumam
Untuk hatiku sendiri bahwa sekotor-kotor
Hidupku dulu tetap kukejar Engkau (Karena Aku kotor, 5, Emha Ainun Nadjib)
Sepertinya Emha adalah orang yang dengan terus terang dan lantang berkabar
tentang tak ada yang kita miliki selain Allah azza wa jalla, tak ada yang bisa kita
andalkan dalam setiap jangkah kehidupan selain Dia. Puisi-puisi, ceramahceramah
dan segudang ruang yang menampungnya senantiasa bermuatan dan
menempatkan Tuhan sebagai payung utama dalam perjalanan.
Demikian Cak Nun (panggilan khas unutk Emha Ainun Nadjib) menapaki segenap
lorong kehidupannya. Dalam dunia sastra, puisi-puisinya seperti tak berhenti
menyerukan Asma-asma Allah dan persujudan dia. Sebagaimana yang ia tulis :
 ‘hamba bukan sekedar pelayan, hamba buruh Paduka/ Hamba bukan sekedar
pembantu, hamba pekatik paduka’ demikikan 2 baris kalimat yang mengawali
sajak ‘Hamba Budak’ dalam kumpulan puisi Tarian rembulan. Emha senantiasa
konsisten mengusung keyakinan yang direngkuhnya. Dalam setiap acara, tidak
pernah dia tidak menyatakan bahwa yang bisa kita lakukan sekarang adalah
menduwur, transenden, merajuk pada pertolonganNya. Terlebih pada kondisi
bangsa kekinian yang sudah hilang arah.
Membaca sajak-sajak Emha seperti mengantar kita pada ruang dengan suasana
yang sarat akan makna ketuhanan atau lebih pas nilai keIlahian. Sering dalam
sajak-sajaknya kita dihentak pada makna dasar manusia yang menurutnya, kita ini
adalah hamba atau budakNya saja. Meski demikian dalam sajak-sajaknya, Emha
juga tak jarang mengajak pembacanya untuk merangkak perlahan ke rumah
persujudan. Emha, dengan kecerdasan bahasa dan dalam membangun suasana,
mampu menyorong seseorang pada wilayah ketuhanan dengan terkadang tanpa
disadari oleh si pembaca. Semisal dalam sajak Nyanyian Gelandangan, Emha
dengan lantang menyurakan potret dan wajah gelandangan dan pada puncakpuncak
sajak ia mengajak pada sebuah ruang yang tak lain adalah ruang
persujudan yang agak aneh.
Dalam sajak yang panjang itu kita diajak ziarah pada rumah gelandangan sekaligus
pada rumah besar tempat mereka tinggal yang pengap dan berjejal soal. Dengan
selingan dan dialog-dialog yang menggoda, dalam sajak itu kita seakan menjadi
timbul tenggelam di air dan sampai akhirnya kita megap-megap dan percaya
bahwa kita berada pada keadaan yang menyedihkan dan butuh pertolongan.
Memang sebagian besar sajak-sajak Emha akan sangat hidup ketika dibacakan
olehnya dan inilah yang juga menjadi salah satu kelebihan Emha dalam
memindahkan nilai yang ia bawa ke para pembaca ataupun pendengarnya. Emha
juga mempunyai kemampuan yang sangat cukup dalam membawa sajak-sajaknya
pada orang-orang di sekitarnya, lewat pembacaan yang tak jarang dibarengi
alunan dan irama musik.
Menggelinding begitu saja, namun terkadang menderas dan sesekali mendayu.
Kemampuan meramu kata dan menyampaikan menjadikan Emha tidak saja bisa
menulis puisi namun juga membacakannya. Terlepas dari kemampuan yang
sangat cukup itu, yang terasa sangat jelas tentu adalah isi dari sajak-sajaknya yang
sebagian besar adalah refleksi perjalanannya. Baik sisi spiritual. intelektual
ataupun perjalanan sosialnya. Ia mengemasnya dalam rangkaian sajak yang
beraneka ragam namun kemudian seperi menyatu dalam satu warna, satu muara
pada akhirnya : persujudan. Inilah yang kemudian menjadikan pembaca sajaknya
bisa hampir jelas melihat langkah perjalanan yang sedang ditempuh Emha. Para
pembaca hampir bisa melihat apa yang menjadi kegundahan dan cita-cita Emha.
Seperti yang banyak juga ia sampaikan dalam beragam perjumpaan dengan
beragam strata masyarakat, bahwa yang harus dipegang teguh adalah keberanian
kita untuk menjadi khalifah yang mampu membawa setiap yang dijumpa pada
sebuah persujudan padaNya. Dalam sajak-sajaknya Emha konsisten dengan hal
itu. Perjalanan Emha memang tidak hanya pada karya puisi saja, cukup banyak
ruang telah ditempuhnya dan ini tentu juga mencipta ruang tersendiri bagi para
pembaca karya—karyanya untuk setidaknya memandang dia. Namun terlihat saat
membaca sajak-sajaknya, kita mau tidak mau dibawanya pada satu kenyataan
yang mengarahkan bahwa sajak-sajaknya menajdi teropong yang bisa digunakan
untuk melihat gerak dan bahkan kelebat hidupnya.
Membaca sajak-sajak Emha seperti terus membawa kita pada ruang diri dan
permenungan namun juga tindakan. Seperti yang pernah ia tulis dan tanyakan di
baris-baris kalimat pada sebagian puisinya.
Aku bertanya padamu
masih tersediakah ruang
di dalam dada dan akal kepala kita
untuk sesekali berkata kepada diri sendiri
bahwa yang bersalah bukan hanya mereka
bahwa yang melakukan dosa-dosa bukan hanya ia tetapi juga kita
………….
(masih tersediakah ruang, Emha Ainun Nadjib)
Membaca sajak-sajak Emha, seperti mangantar kita pada ruang persujudan yang
tanpa henti, setidaknya bagi saya.


Merendahkan Diri
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 11 Maret 2010 jam 8:24
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Pekerjaan malaikat itu cuma satu, yakni ya’malu ma yu’marun, mengerjakan apa
yang diperintahkan oleh Allah kepadanya. Karena itu, malaikat suci bukan buatan.
Bahkan mereka hanya memiliki kesucian. Tapi kenapa mahluk manusia ditentukan
oleh Allah lebih tinggi daripada malaikat? Kenapa para mahluk suci itu harus sujud
kepada Adam?. Tentulah karena manusia diberi tangan kemungkinan, diberi
peluang untuk memperjuangkan diri menuju puncak kapasitasnya – dihadapan
Allah – yang lebih sophisticated dibanding malaikat. Apalagi dibanding iblis.
Tetapi salah satu nilai kemanusiaan yang sering kita anggap luhur adalah
merendahkan diri. Betul-betul merendahkan diri. Kalau kita melakukan keburukan
kita bilang, “Lho, saya kan bukan malaikat”. Padahal kita bisa lebih tinggi
derajatnya dari malaikat.. padahal merendahkan diri tidaklah sama dengan
tawadhu. (Buku Secangkir Kopi Jon Parkiri)


Merenungkan Mutu Kebudayaan
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 19 Juli 2009 jam 13:44
Ditulis Oleh: WS. Rendra
Membangun kebudayaan pada hakikatnya meningkatkan budi dan daya manusia
di dalam mengembangkan mutu dan kesejahteraan hidupnya. Kesejahteraan
hidup manusia harus mengandung mutu untuk kepuasan batin dan pikiran.
Sebaliknya idealisme mutu harus ada kaitannya dengan kenyataan kesejahteraan.
Kesejahteraan yang diperoleh dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan
mana bisa menimbulkan ketentraman? Mana mungkin kesejahteraan dibangun
dengan merusak kehidupan kaum lemah dan memorak-porandakan lingkungan
alam? Sebaliknya pula, nilai-nilai mutu yang dipertahankan haruslah mengandung
dinamika yang mampu menjawab tantangan zaman. Apakah gunanya nilai-nilai
yang mengekang perkembangan kehidupan sosial kaum perempuan, misalnya?
Dan apakah gunanya pula nilai-nilai yang menyebabkan masyarakat menjadi
kolot? Meningkatkan budi dan daya manusia pada intinya adalah meningkatkan
kesadaran dan kekuatan daya hidup. Totalitas kesadaran manusia tidak terdiri
dari kesadaran pikiran semata, tetapi juga kesadaran batin dan panca indranya.
Oleh sebab itu, olah kepekaan panca indra yang dikembangkan oleh dunia
persilatan dan seni bela diri, juga dunia kanuragan dan dunia kepanduan pantas
untuk dilestarikan. Sebab pancaindra adalah pintu pertama ke arah penyadaran
terhadap kenyataan-kenyataan kebendaan di luar diri kita.
Pengamatan yang total dan teliti atas kenyataan kebendaan dari zat dan jasad di
dalam alam semesta ini telah mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Bagi para seniman hal tersebut bisa melahirkan kemampuan untuk
melukiskan kekayaan detail.
Adapun kepekaan batin adalah unsur kesadaran yang paling dalam pada diri
manusia. Iman, cinta, kedamaian, kepuasan dan sejenisnya tidak bisa ditangkap
oleh pancaindra. Bahkan, kadang luput dari pengertian pikiran. Tetapi bisa
seketika dihayati oleh batin.
Ikatan jodoh antara lelaki dan perempuan, antara seorang dengan bangsa dan
tanah airnya, dengan keluarganya, atau sahabatnya adalah ikatan batin. Semua
pengalaman kita yang hanya menjadi pengalaman panca indra dan pikiran akan
sedikit artinya bagi perkembangan kehidupan apabila tidak mendalam menjadi
pengalaman batin. Tanpa penghayatan batin, tidak ada kenikmatan hidup yang
memuaskan manusia. Membangun kebudayaan yang mengabaikan segi
kehidupan batin justru akan menimbulkan keresahan dan ketegangan.
Glamor kebudayaan Sodom dan Gomorah, atau keperkasaan proyek menara
Babil, bukanlah jawaban untuk kepuasan hidup manusia. Karena, tidak
mengandung masukan terhadap batin. Ternyata tujuan tidak bisa menghalalkan
cara. Karena, kita tidak pernah bisa hindar untuk bertanggung jawab kepada batin
kita mengenai cara-cara kita dalam mencapai tujuan. Macbeth dan Duryudana
harus menanggung derita batin yang berat karena cara-caranya dalam meraih dan
mempertahankan kekuasaan.
Elvis Presley, Marilyn Monroe, dan Michael Jackson menjulang dan kaya raya
sampai akhir hidupnya. Tetapi, karena batin yang sakit, mereka tidak bisa
menikmati kejayaannya itu. Di dalam membangun kebudayaan perhatian kepada

kehidupan batin tidak semata-mata terwujud dalam besaran anggaran belanja,
tetapi terutama di dalam ketulusan untuk menciptakan iklim pertumbuhannya.
Harus ada ketulusan politik untuk menciptakan keadaan yang beradab dan
menyingkirkan kebatilan.
Kebudayaan tidak bisa diciptakan dengan kerakusan dan brutalitas. Sebab, batin
manusia akan tersiksa. Di sisi lain, memuliakan batin kita tidak mungkin dilakukan
tanpa memuliakan batin orang lain di dalam kehidupan bersama.
Apabila kesadaran batin adalah dasar kemantapan kebudayaan, kesadaran pikiran
adalah motor kemajuannya. Ia sumber daya cipta yang bisa menyajikan cita-cita
dan konsep untuk hidup bersama. Pikiran mampu bernalar secara sebab-akibat,
sehingga melahirkan filsafat. Pikiran mampu bernalar secara analisis, sehingga
melahirkan ilmu pengetahuan; atau secara paralel sehingga bisa mendekati batin,
selanjutnya melahirkan mistikisme dan kesenian.
Selalu ada halangan di segenap kurun masa untuk memperkembangkan pikiran.
Suatu penemuan pikiran yang akhirnya bisa diterima oleh masyarakat akan
menjadi kesadaran akal sehat kolektif. Pemikiran baru yang datang kemudian,
kadang-kadang sangat sulit untuk membuka dan memperkembangkan akal sehat
kolektif itu.
Akal sehat kolektif yang pada zaman tertentu dinilai sangat progresif, di kurun
masa sesudahnya bisa dianggap sangat konservatif. Bangsa yang dianggap maju di
dunia pada suatu zaman, apabila terlalu sulit berkembang akal sehatnya, bisa
menjadi bangsa yang mundur dan terbelakang pada zaman berikutnya
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 131
(Bandingkan Tiongkok di zaman Ch’in Shih-Huang Ti dan Tiongkok di permulaan
abad XX). Oleh karena itu, daya dinamik akal sehat kolektif harus selalu dijaga.
Inilah tugas para pemikir dan seniman di dalam masyarakat. Sebab, kesibukan
operasi kekuasaan politik, sosial, dan ekonomi masyarakat sering
mengesampingkan standar mutu akal sehat kolektif itu.
Bahkan sering terjadi, para pemikir dan seniman-–yang biasanya peka pada mutu
kesadaran pikiran—dengan sengaja dibungkam, sehingga akal sehat kolektif
menjadi beku, pasif, ataupun malah merosot standarnya. Namun keadaan seperti
itu malah dianggap sebagai yang ideal, yang rukun, yang stabil untuk landasan
operasi yang lancar. Tidak pernah disadari bahwa akal sehat kolektif yang beku
dan pasif adalah bom waktu yang akan membuat mobilitas masyarakat menjadi
sekadar mekanis, tidak kreatif. Lalu akhirnya akan mengakibatkan mobilitas itu
tersendatsendat seperti mesin yang bobrok, dan ujungnya menjadi bangsa yang
kalah, tak berdaya, dijajah secara halus ataupun brutal oleh kekuatan-kekuatan
lain di dunia.
Dengan kata lain, apabila keadaan sudah sedemikian parah serupa itu, hanya
dengan susah payah, banyak toleransi, dan kesabaran, bisa diperbaiki. Esensial
Inilah kenyataan yang pedih. Kita ketinggalan perkembangan pikiran. Pedih.
Tetapi kepedihan ini seharusnya bisa menjadi cambuk untuk kebangkitan
Pembangunan struktural sangatlah penting, tetapi dapat menjadi sia-sia bila tidak
disertai secara sekaligus membangun yang esensial, yaitu dunia pikiran dan
kelestarian dunia batin.
Tanpa kelestarian dunia batin, kebudayaan tidak akan mendatangkan
ketenteraman hidup kepada masyarakat. Tanpa dinamika dunia pikiran, struktur
dan infrastruktur akan kehilangan fungsi, sehingga menjadi sekadar berhala
belaka. Sebenarnya di dalam sila-sila kehidupan kita bersama telah tersedia
jawaban yang positif. Melestarikan dunia batin akan ditunjang oleh sila
Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengembangkan filsafat kemanusiaan, mengenal
adanya Kedaulatan Manusia dengan segenap hak dan kewajibannya akan
ditunjang oleh Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Dan hak rakyat untuk
mengembangkan akal sehat kolektif dengan mempraktikkan disiplin analisis akan
sesuai dengan kalimat di dalam Preambule UUD 1945 yang berbunyi: Kemudian
dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dengan batin yang damai dan penuh iktikad baik, kita sebagai suatu bangsa harus
siap bertanggung jawab untuk menjawab pertanyaanpertanyaan itu, tidak
sekadar berdasarkan prinsip, sekaligus berdasarkan pelaksanaan yang operatif.
Itulah salah satu jalan keluar untuk bangkit dan mengejar cakrawala kita.
(Sumber: Media Indonesia, 14 Juli 2009)

Mudik Keluarga, Mudik Bangsa
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 17 September 2009 jam 11:26
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Andaikan kata mudik berasal dari bahasa Arab: dho'a=hilang, mudli'=orang yang
menghilangkan, orang yang kehilangan. Menjelang Lebaran, orang berduyunduyun
pulang dari perantauan ke kampungnya, karena selama setahun mereka
merasa kehilangan. Kemudian, mereka mudik untuk menemukan kembali.
Meskipun sudah tinggal permanen di Jakarta atau di negeri mana pun,
kampungnya adalah rumah sejatinya. Saya punya banyak teman-teman PKI atau
yang di-PKI-kan hidup puluhan tahun di Jerman, Ceko, Prancis, tapi hatinya tetap
berdomisili di kampung kelahirannya. Tak hanya di Indonesia, tapi lebih detail: di
rumah keluarga di kampungnya. Banyak di antara mereka mengimpor istri dari
kampung. Karena rumah mereka di mancanegara haruslah tetap terasa seperti
rumahnya di kampung.
Kalau agak sok ilmiah, katakanlah: ada mudik sosiologis, ada mudik antropologis,
ada mudik kosmologis. Mudik sosiologis itu waktunya ''sekarang'', ruangnya
adalah skala atau teritori sosial budaya. Kita cari hidup, mengembangkan diri, dari
kampung bersekolah keluar, bekerja, sampai jadi presiden atau gelandangan di
tepian jalan protokol Jakarta. Di depan ada masa depan, di belakang ada masa
silam. Masa silam sebenarnya selalu lebih kuat dibandingkan dengan masa depan.
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 134
Masa silam memberi kenikmatan prima karena cukup dikhayalkan, dan mudah
menambah unsur dalam khayalan merdeka setiap orang. Kita jadi presiden
kemudian memitologisasikan kepada seluruh rakyat bahwa asal usul kita adalah
anak petani, sambil meyakin-yakinkan alias menipu diri kita sendiri tentang apa
saja yang kita manipulasikan secara sosial. Atau kita rekayasa bahwa memang
sudah selayaknya kita jadi presiden karena aslinya kita bernasab Keraton Solo
atau Yogya, atau keturunan Prabu Brawijaya, Sunan Giri, atau turunan Rasulullah
Muhammad SAW.
Pandangan ke masa silam sungguh kenikmatan tiada tara. Sementara masa depan
berujung di maut. Kalau kita gagal berkarier, hidup miskin, tak punya keunggulan
apa-apa, menabung kematian dalam kehidupan, mungkin malah agak enteng
memandang ke masa depan. Maut sudah kita akrabi melalui riwayat-riwayat
kesengsaraan dan kegagalan.
Tapi kalau kita sukses, dari sopir meningkat tata usaha meningkat wartawan terus
jadi menteri dalam kabinet dan negara yang nirkualifikasi: kita semakin takut
meninggalkan apa yang kita sangka sukses hidup. Semakin uzur usia semakin
menyesali berkurangnya umur. Semakin tua usia semakin karib dengan
kekosongan dan kengerian berada dalam kubur. Maka upacara mudik kita
perlukan agar para kerabat dan handai tolan di kampung mengerti sukses kita,
dan itu merupakan snack kepuasan sosial budaya sesaat.
Orang tak pernah punya sukses kayak saya terbebas dari post-power syndrome.
Tetapi bisa juga ada dialektika yang sebaliknya. Karena hidup tak begitu sukses,
masa depan terjauh hanya tua dan mati, maka mumpung masih dikasih jatah
hidup oleh Tuhan, mending kita rajin pulang kampung. Dan yang paling efektif
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 135
adalah seusai Ramadan, semua keluarga pasti berkumpul dan kita bisa
bercengkerama beberapa saat untuk menutupi kekecewaan hidup yang
menggumpal di kalbu.
Mudik sosiologis setiap Lebaran menjadi momentum yang jangan sampai
terlewat. Karena masih lebih nikmat mengenang sejenak asal usul sosial budaya
kita di kampung bersama keluarga, dibandingkan dengan menikmati kehidupan
nyata.
Orang sukses sangat membutuhkan mudik antropologis, karena melancong ke
wilayah nasab diri dari Hayam Wuruk sampai Homo sapiens dan mungkin Homo
erectus sungguh menambah bersinarnya ikon eksistensi kita. Sekarang bahkan
sangat banyak kartu ID yang mencantumkan nama plus gelar plus nenek moyang
hebat. Kebanyakan orang akan mengenal nama itu dan kagum kepada pemilik IDcard
itu. Nama Gus Fullah bin Kiai Haji Fulan keturunan Syekh Falun bin Maulana
Fulun bin Ayatullah Fulus... mudik sangat penting untuk mengisi kekosongan diri
di tengah zaman yang menindas harkat manusia dan derajat kemanusiaan.
Mudik Lebaran setahun sekali, tapi banyak modus mudik yang bisa kita lakukan.
Saya tidak punya prestasi apa-apa tidaklah penting, pokoknya saya keturunan
Nabi Ibrahim.
Adapun mudik kosmologis adalah hakikat setiap detik untuk berproses dalam
lingkar Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un. Itulah prinsip utama kehidupan yang oleh
kebudayaan manusia dialihkan menjadi tanda kematian. Kalau jalan kaki dari
Jakarta menuju Jakarta, maka rutenya harus melingkar. Orang tak bisa untuk tidak
mudik, karena hidup adalah pergi untuk kembali. Atau, perginya orang hidup,
adalah kembali.
Takkan ke mana-mana engkau pergi, meskipun kau lalui seribu peperangan dan
kemenangan, kau libas setiap pesaing, kau menangkan pemilihan nasional, kau
pertahankan kursi kekuasaan, kau memancar di puncak mercusuar popularitas,
kau bangun segala kemegahan, kau tumpuk gumpalan emas dan kau himpun
seribu dayang menjadi budak yang melayanimu memakaikan baju, menyikat
gigimu dan menceboki tinjamu. Tak kan ke mana engkau pergi kecuali
menyerahkan dirimu kembali, terpaksa atau ikhlas, kepada asal usul yang sejati.
Juga apa pun saja yang kau pikir kau miliki: kekayaan, harta benda, kau tumpuktumpuk
mereka hanya untuk satu tujuan: mereka meninggalkanmu atau engkau
mendadak meninggalkan mereka. Kalau kau curi uang dan harta milyaran
trilyunan itu untuk kau pergikan ke mana? Sebab setiap momentum pergi adalah
kembali. Engkau mencuri sesuatu dari suatu tempat yang sertifikatnya milik
Tuhan, engkau memindahkannya mentransfernya ke suatu tempat yang juga milik
Tuhan.
Setiap tempat pergi adalah tempat kembali. Setiap barang yang kau curi tidak
punya jalan lain kecuali kau setorkan kembali ke "Tukang Tadah Agung" yang
sesungguhnya tidak menadahi apa-apa kecuali milik-Nya sendiri. Inna lillahi wa
inna ilaihi roji'un. Sesungguh-sungguhnya kita dan apa saja adalah adalah hak-Nya
dan satu-satunya kemungkinan hanyalah kembali ke pangkuan-Nya.
Tak ada kekuasaan yang bisa benar-benar kau raih, karena menjelang engkau lahir
tak kau setorkan apa-apa untuk saham rencana kelahiranmu. Jangan sekadar
katakan bahwa kekuasaan hanyalah titipan: dirimu sendiri pun titipan. Karena
engkau tak mampu menciptakan dirimu sendiri. Bahkan kedua orangtuamu tak
bisa merancang panjang hidungmu, jenis rambutmu, apalagi tingkat kecerdasan
pikiranmu.
Tak ada kemenangan yang sejati engkau raih. Karena setelah seorang petinju
menjatuhkan lawan, tunggu sejam lagi dan pertarungkan mereka kembali:
kemungkinannya bisa berbeda. Kemenangan berlaku sesaat, dan batal
substansinya pada detik berikutnya. Indonesia menjadi Juara Dunia Demokrasi,
memilih presiden langsung dengan rekor jumlah pemilih dan rekor keamanan
kedamaian pemilu. Tetapi apa hasil dari puncak demokrasi itu hari ini?
Bertanyalah kepada hati dan analisis akalmu, mintalah mereka berdua agar tak
terkontaminasi oleh apa pun untuk jujur menjawab.
Maka salah satu impian saya adalah pada pemilu mendatang, semoga Allah
menjadi pencoblos pertama. Semoga coblosan pertama itu adalah hidayah yang
menggiring seluruh pemilih Nusantara "yadhuluna fi dinillahi afwaja", berduyunduyun
memasuki cakrawala kasih sayang Allah. Ratusan kali saya bertanya
langsung kepada ribuan publik di hadapan forum saya di berbagai wilayah
Indonesia: "Saudara-saudara dulu beramai-ramai memilih SBY karena ilmu
pengetahuan tentang beliau atau berdasar sangka-sangka? Karena mengerti siapa
beliau atau kira-kira?"
Demi Allah 100% mereka menjawab: "Kira-kira!", "Dengar-dengar!", "Kayaknya!",
"Kata teman-teman, kata tetangga". Bangsa Indonesia tidak punya akses lebih
dari 10% informasi tentang siapa-siapa tokoh nasionalnya. Andaikanpun ada
cukup informasi, mereka juga tak cukup memiliki parameter untuk mengukur dan
menilai. Rakyat Indonesia sama sekali belum memenuhi syarat untuk menjadi
pelaku kecerdasan demokrasi kenegaraan mereka.
Masuk akal dari sudut itu pujangga Ronggowarsito menyebut kalau SBY adalah
Satrio Pambuko Gerbang, kepemimpinan berikutnya, kalau Indonesia mau bangkit
dari keterpurukan totalnya: sebaiknya mulai mudik, mulai pergi untuk kembali,
mulai belajar memahami dimensi-dimensi nilai di balik idiom Satrio Pinandito
Sinisihan Wahyu.
Sebagaimana dulu Gus Dur afdhal letakkan dirinya sebagai pada posisi "Sunan
Ampel", memimpin peralihan zaman, bukan sebagai "Raden Patah" yang raja. SBY
juga pembuka gerbang: konsep kepemimpinannya membereskan segala sesuatu
agar siap masuk gerbang milenium Nusantara Baru. Sebagaimana Thalut
menyiapkan rakyat Yahudi menuju Era Daud, kebangunan yang sesungguhnya.
Buka saja dulu gerbangnya, segala yang tidur mulai dibangunkan, yang buntu
coba dibor, yang jauh didekatkan, yang flu di-fresh-kan, yang macet dibukakan
jalan. Untuk kebangkitan yang sesungguhnya diperlukan seorang pemimpin yang
kesatria, menguasai peta masalah, jantan tegas, profesional, cakap manajemen.
Satrio. Juga harus pinandito: memiliki kapasitas spiritual, aura, awu, wibawa,
berani menindas dunia di dalam dirinya, ringan menepis nafsu keduniaan. Bahkan
sinisihan wahyu: setiap langkah dan perilakunya relevan dan terbimbing oleh alyad
al-khair, tangan bajiknya Tuhan.(Sumber: Gatra Nomor 47 Beredar Kamis, 4
Oktober 2007, ilustrasi: handaru.light17.com)


MUHAMMADKAN HAMBA YA RABBI
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 16 Agustus 2010 jam 10:16
Puisi: Emha Ainun Nadjib
Di setiap tarikan napas dan langkah kaki
Tak ada dambaan yang lebih sempurna lagi
Di ufuk jauh kerinduan hamba Muhammad berdiri
Muhammadkan hamba ya Rabbi
Muhammmadkan ya Rabbi hamba yang hina dina
Seperti siang dan malammu yang patuh dan setia
Seperti bumi dan martahari yang bekerja sama
Menjalankan tugasnya dengan amat terpelihara
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 140
Sebagai Adam hamba lahir dari gua garba ibunda
Engkau tuturkan pengetahuan tentang benda-benda
Hamba meniti alif-ba-ta makrifat pertama
Mengawali perjuangan untuk menjadi mulia
Ya Rabbi engkau tiupkan ruh ke dalam Nuh hamba
Dengan perahu di padang pasir yang mensamudera
Hamba menangis oleh pengingkaran amat dahsyatnya
Dan bersujud di bawah kebenaran-Mu yang nyata

Sesudah berulangkali bangun dan terbanting
Merenung dan mencarilah hamba sebagai Ibrahim
Menatapi laut, bulan, bintang dan matahari
Sampai gamblang bagi hamba Allah yang sejati
Jadilah hamba pemuda pengangkat kapak
Menghancurkan berhala sampai luluh lantak
Hamba lawan jika pun Fir’aun sepuluh jumlahnya
Karena api sejuk membungkus badan hamba

Kemudian ya Rabbi engkau ajarkan hal kedewasaan
Yakni penyembelihan dan kurban, pasrah dan keikhlasan
Tatkala dengan hati pedih pedang hamba ayunkan
Sukma hamba memasuki Ismail yang menelentang
Ismail hamba membisikkan firman-Mu ya Rabbi
Bahwa dewasa tidak ditandai kegagahan diri
Melainkan rela menyaring dan menyeleksi
Agar secara jernih berkenalan dengan yang inti
Di saat meng-Ismail itu betapa jiwa hamba gemetar
Ego pribadi adalah musuh yang teramat tegar
Jika di hadapan-Mu masih ada sejumput saja pamrih
Maka leher hamba sendiri yang bakal tersembelih
Dan memang kepala hamba tanggal berulangkali
Di medan peperangan modern ini ya Rabbi
Hamba kambing di jalanan peradaban ini
Darah mengucur, daging hamba dijadikan kenduri

Tulus hati dan istiqamah Ismail ya Rabbi
Betapa sering lenyap dari gairah perjuangan ini
Keberanian untuk bersetia kepada kehendak-Mu
Di hadapan musuh gugur satu demi satu
Maka hamba-Mu yang dungu belajar menjadi
Musa Meniti kembali setiap hakikat alif-ba-ta
Belajar berkata-kata, belajar merumuskan cara
Harun hamba membantu mengungkapkannya

Musa hamba membukakan universitas cakrawala
Setiap gejala dan segala warna zaman hamba baca
Dengan seribu buku dan seribu perdebatan
Hamba tuntaskan makna kebangkitan
Tongkat hamba angkat dan tegakkan ya Rabbi
Memusnahkan iklan-iklan takhayul Fir’aun yang keji
Ular klenik pembangunan, sihir gaya kebudayaan
Karena telah hamba genggam yang bernama kebenaran

Ya Rabbi alangkah agung segala ciptaan ini
Kebenaran belaka membuat hidup kering dan sepi
Maka Engkau jadikan hamba Isa yang lembut wajahnya
Dengan mata sayu namun bercahaya, mengajarkan cinta
Isa hamba sedemikian runduknya kepada dunia
Segala tutur kata dan prilakunya kelembutan belaka
Sehingga murid-murid hamba dan anak turunnya terkesima
Tenggelam mesra dalam Isa hamba yang disangka tuhannya

Ya Rabbi, haruslah berlangsung keseimbangan
Antara cinta dan kebenaran
Haruslah ada tuntunan pengelolaan
Atas segala ilmu dan nilai yang Engkau anugerahkan
Karena itu Muhammadkan hamba ya Rabbi
Bukakan pintu kesempurnaan yang sejati
Pamungkas segala pengetahuan hidup dan hati suci
Perangkum bangunan keselamatan para rasul dan nabi

Muhammadkan hamba ya Rabbi Muhammadkan
Agar tak menangis dalam keyatim piatuan
Agar tak mengutuk meski batu dan benci ditimpakan
Agar sesudah hijrah hamba memperoleh kemenangan
Muhammadkan hamba ya Rabbi Muhammadkan hamba
Agar kehidupan hamba jauh melampaui usia hamba
Agar kesakitan tak menghentikan perjuangan
Agar setiap langkah mengantarkan rahmat bagi alam
Muhammadkan hamba ya Rabbi Muhammadkan
Di rumah, di tempat kerja serta di perjalanan
Agar setiap ucapan, keputusan dan gerakan
Menjadi ayat-Mu yang indah dan menaburkan keindahan
Takkan ada lagi sosok pribadi seanggun ia
Dipahami ataupun disalahpahami oleh manusia
Kalau tak sanggup kaki hamba menapaki jejaknya
Penyesalan hamba akan tak terbandingkan oleh apapun saja

Para malaikat sedemikian hormat dan segan kepadanya
Bagai dedaunan yang merunduk kepada keluasan semesta
Para nabi berbaris menegakkan sembahyang
Engkau perkenankan ia berdiri menjadi imam
Ya Rabbi Muhammadkan hamba, Muhammadkan hamba
Perdengarkan tangis bayi padang pasir di kelahiran hamba
Alirkan darah Al-Amin di sekujur badan hamba
Sarungkan tameng Al-Ma’shum di gerak perjuangan hamba

Kalungkan kebencian Abu Jahal di leher hamba
Sandingkan keteduhan Abu Thalib di kaki duka lara hamba
Payungkan awan cinta-Mu di bawah terik politik durjana
Usapkan tangan sejuk Khadijah pada kening derita hamba
Kirimkan Jibril mencuci hati Muhammad hamba
Lahirkan kembali wahyu-Mu di detak gemetar jantung hamba
Dan kucurkan darah luka Muhammad oleh pedang kaum pendusta
Hadiahkan kepada hamba rasa sakitnya

Ya Rabbi ya Rabbi Muhammadkan hamba
Bersujud dan tafakkur di gua Hira jiwa hamba
Berkeliling ke rumah tetangga, negeri dan dunia
Menjajakan cahaya

Pasar dan Pasar Bebas
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 02 Maret 2010 jam 10:09
Ditulis Oleh: Toto Rahardjo
Tulisan ini memang hanya sekadar cerita berdasarkan ingatan, dari apa yang
pernah dilihat, didengar dari cerita orang, maka janganlah berharap Anda akan
menemukan hal-hal ilmiah dalam tulisan ini.
Kalau Anda berasal dari pedesaan pasti memiliki cerita kenangan tentang pasar.
Mayoritas anak-anak di pedesaan selalu berbinar-binar ketika hari pasar tiba,
karena pasar memang tidak setiap hari ada. Apa yang dibayangkan pada saat
menjelang hari pasar—yakni, kesempatan anak-anak bisa jajan, ada secercah
harapan anak-anak, karena akan dibelikan sesuatu oleh orang tuanya. Apalagi
menjelang lebaran, adalah saat akan mendapatkan baju baru. Pasar memang
menjadi peristiwa dan perhelatan bagi orang tua, anak-anak, perempuan, lakilaki.
Bahkan pasar menjadi tempat pertemuan, tempat ngrumpi, silaturahmi,
menjadi pusat informasi selain tentu saja mempunyai fungsi pokok, yakni menjadi
tempat interaksi si penjual dan si pembeli. Maka tidaklah heran jika pasar menjadi
ajang lobby politik, untuk mengetahui perkembangan apa yang sedang terjadi di
desa-desa sekitar pasar, juga perkembangan-perkembangan menarik di daerah
lain.
Rata-rata putaran penyelenggaraan pasar di masing-masing tempat sekitar dua
sampai dengan lima hari sekali. Selain tujuh nama hari yang dikenal diseluruh
penjuru tanah air yakni; Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at dan Sabtu), di
Jawa juga dikenal lima hari yang sering dimaknai sebagai hari pasaran (Legi,
Pahing, Pon, Wage dan Kliwon).
Jadi putaran penyelenggaraan pasar terjadi lima hari sekali. Ada pasar Legi di desa
tertentu yang lebih banyak untuk menjual hasil-hasil bumi, ada Pasar Kliwon di
desa anu yang lebih khusus menjual grabah dan alat-alat pertanian, ada Pasar Pon
di wilayah lain yang khusus menjual hewan (maka sering dikenal dengan pasar
hewan). Selain penyelenggaraan pasar yang lumintu itu, juga ada pasar-pasar
khusus yang biasanya terjadi pada saat-saat tertentu, misalnya tepat pada harihari
besar (lebaran misalnya) yang biasanya jauh lebih lengkap barang-barang
dagangan dan jauh lebih besar jumlah dan ragamnya—sering disebut dengan
prepegan. Ada juga pasar malam yang memang diselenggarakan di malam hari
biasanya disertai dengan berbagai pertunjukan atau hiburan—namun perhelatan
seperti ini tidak setiap saat ada (biasanya terjadi pada momen-momen tertentu,
pada hari-hari besar).
Pengertian Pasar dipahami secara arief dan sederhana, sebuah interaksi jual beli
memang sudah diniati sejak dari rumah, karena ada kebutuhan untuk
mendapatkan sesuatu—tanpa dipaksa dan terpaksa, bahkan untuk menjual atau
membeli telah dipikir masak-masak melalui perdebatan di setiap keluarga,
minimal selama lima hari sebelum pasar itu tiba.
Tentu saja di dalam pasar itu ada saja orang-orang yang menipu, ada yang
mengambil barang dengan cara diam-diam dan kecil-kecilan, itu disebut ngutil,
ada yang khusus mengambil uang dari kantong celana atau baju atau dompet
secara cepat, itu disebut copet. Namun profesi-profesi itu biasanya sudah
diketahui oleh khalayak, baik ciri-ciri wajah, pola-pola gerak-geriknya maupun dari

mana asalnya (biasanya dari tempat-tempat tertentu), sehingga kewaspadaan
sesungguhnya telah melekat pada setiap orang yang akan pergi ke pasar. Namun
profesi (ngutil, copet, jambret dll) mengandung resiko besar, tidak jarang para
pelaku itu tertangkap basah di pasar dan pasti akan diadili beramai-ramai,
minimal mereka akan dipermalukan.
Melihat penyelenggaraan pasar, pada mulanya ada kesepakatan kapan dan di
mana pasar itu diselenggarakan, bahkan spesial untuk jenis produk apa yang akan
dijual di pasar itu. Jelas ada sirkulasi produksi, kapan dipasarkan, bukan dengan
cara eksploitatif setiap hari, apalagi setiap jam, menit dan detik.Karena harus
melalui kalkulasi, kapan waktunya produk itu dibutuhkan; misalnya alat-alat
pertanian, grabah, alat-alat rumah tangga tidaklah setiap hari orang akan
membeli.
Pasar bagi masyarakat bukanlah momok apalagi terkesan monster—pasar bahkan
menjadi tempat bercanda bagi ibu-ibu, pasar juga menjadi tempat untuk menukar
benih-benih pertanian antar petani yang akan menanam, tempat menukar sekian
kambing dengan seekor sapi, kelak di zaman modern disebut barter.
Yang jelas sebagian proses penyelenggaraan pasar dikendalikan bersama-sama
oleh masyarakat. Ada banyak kesepakatan-kesepakatan tak tertulis yang ternyata
sangat dipatuhi di pasar itu yang intinya untuk melindungi kepentingan bersama.
Mulailah jaman modern masuk dan menginterfensi, mengatur bahkan
menguasainya. Aturan-aturan yang disepakati secara kolektif berubah, bahkan
secara fisik pasar oleh para modernis dianggap kumuh dan tak teratur maka harus
dibangun. Konsep pembangunan pasar menjadi tak bisa dijangkau lagi oleh
masyarakat, bahkan yang terjadi penghuni asli pasar yang ada selama ini harus
menyingkir, tergusur karena dianggap tak pantas.
Penyelenggaraan pasar tidak lagi harus menunggu setiap hari pasaran, setiap saat
ada pasar (dimana saja, kapan saja ada pasar). Nama-nama hari pasaran sudah
tidak penting lagi. Padahal fungsi hari pasar bagi masyarakat juga terkait dengan
hitungan-hitungan kehidupan lainnya. Orang sering memaknai hari kelahiran
(weton) yang dihitung dari gabungan hari nasional dan pasaran, misalnya Sabtu
Pahing, Jumat Kliwon. Juga terkait dengan hitungan-hitungan kapan hari yang
tepat untuk menanam, untuk mendirikan rumah, untuk bepergian, untuk
menikahkan anaknya, bahkan untuk mengawinkan kambing pun harus dihitung
dengan cara yang sama.
Kini nama-nama hari, apalagi hari pasaran menjadi tidak penting karena setiap
hari, setiap jam, setiap menit bahkan setiap detik orang boleh menginginkan apa
saja, boleh melakukan apa saja, boleh membeli apa saja, menjual apa saja, artinya
metabolisme tidaklah penting lagi.
Kok sekarang ini ada lagi yang bernama Pasar Bebas! Apakah itu berbeda dengan
pasar di kampungku dulu?!
Mengapa itu disebut pasar bebas? Apakah bebas itu berarti setiap orang bebas
untuk menjual apa saja, atau apakah itu berarti negara bisa menjual apa saja,
ataukah berarti kita juga bebas untuk tidak menjual dan bebas untuk tidak
membeli?

Di pasar kampung ada pencuri kecil-kecilan yang disebut ngutil dan nyopet,
namun menurut pengalaman saya kejadian-kejadian itu bisa diatasi setidaknya
oleh pengurus pasar, bahkan di tingkat masyarakat luas. Terus terang saya tidak
bisa membayangkan bagaimana praktek pencurian yang terjadi dalam dunia pasar
bebas, tentunya tidak setingkat ngutil atau nyopet seperti yang terjadi di pasar
kampung. Di kehidupan pasar kampung, ada juga istilah bank plecit yakni orang
yang meminjamkan uang—yang biasanya untuk modal berdagang kecil-kecilan—
dengan bunga yang cukup tinggi. Untuk pedagang kecil memang berat, kami
semua tahu bahwa rentenir, lintah darat itu dosanya besar. Tapi harus diakui
bahwa bank plecit itu tidak pernah memaksa, dan kadang kala memang itu
berguna. Sebab bagi orang kecil membutuhkan pelayanan cepat, karena untuk
pinjam dari bank pemerintah yang ada, yang bunganya kecil, ternyata juga tidak
mudah bahkan cenderung bertele-tele.
Dipasar kampung juga ada profesi-profesi yang di sebut blantik, yakni orang yang
kerjanya merayu, mempengaruhi pembeli maupun penjual agar memperoleh
upah jasa, sesekali juga bisa mendapatkan keuntungan dari harga bakunya.
Di pasar bebas, ternyata ada juga bank plecit bertaraf besar yang beroperasi
dengan canggih, bahkan tidak tanggung-tanggung melakukan pemaksaan secara
canggih melalui otoritas negara. Dengan cara mengkritik bahwa instrumen pasar
di sebuah negara dianggap ‘tidak sehat’. Ada-ada saja. Istilah ‘tidak sehat’,
parameternya dan obatnya mereka yang menentukan. Jadi kata ‘bebas’ di sini
berarti kira-kira hanya yang kuat saja yang bebas menentukan apa saja, bebas
membeli apa saja dan bebas menjual apa saja. Sementara yang tidak kuat tidak
kuasa untuk menjual dan tidak kuasa pula untuk membeli. Bagi yang lemah,
barang-barang yang penting bagi kehidupannya bisa dipaksa untuk dijual ke yang
kuat, dan bagi si lemah ia bisa dipaksa untuk membeli apa saja yang dijual oleh
yang kuat.
Pasar dalam arti sempit adalah tempat dimana permintaan dan penawaran
bertemu, dalam hal ini lebih condong ke arah pasar tradisional. Sedangkan dalam
arti luas adalah proses transaksi antara permintaan dan penawaran, dalam hal ini
lebih condong ke arah pasar modern. Permintaan dan Penawaran dapat berupa
Barang atau Jasa. Maka kata “pasar” mestinya masih sama namun sungguh sangat
jauh melenceng maknanya, walaupun saya sudah dikasih tahu bahwa yang terjadi
dalam pasar bebas itu ada kejahatan-kejahatan terselubung, dan yang terjadi
sudah tidak lagi sekadar menjual atau membeli barang, tetapi yang tak nampak
adalah jual beli pikiran, sikap, prinsip bahkan menjual diri dan rasa kemanusiaan.
Tetap saja saya tidak paham, memang saya ini orang desa.
Pertanyaan-pertanyaan terus saja berkecamuk: “Siapa yang menjadi Kepala Pasar
Bebas?”, “Siapa ya yang menjadi tukang Bea di Pasar Bebas?, siapa yang menjadi
blantik?”. Karena kalau Kepala Pasar di kampung saya itu jelas rumahnya, jelas
alamatnya, tak jauh juga dari rumahku. Sekali lagi semakin tak paham, bahkan
sekarang ini aku tak paham dengan diriku sendiri, “Apakah betul segala
kemauanku, segala keinginanku, niatku sungguh-sungguh dan senyata-nyatanya
aku yang menentukan sendiri?”, Saya semakin tidak mudheng bahwa pikiranku,
segala keinginanku juga telah dikendalikan oleh sesuatu yang tak pernah aku
pahami.
Nah, di manakah letak Maiyah? Sepengetahuan saya, Maiyah menaruh kritisisme
terhadap pasar bebas. [

Pemerintah
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 30 November 2009 jam 14:11
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Pemerintah kerjanya melarang dan memerintah. Kalau Tuhan memegang hak
seratus persen memerintah dan melarang karena memang Ia yang menciptakan
kita dan semua alam ini, serta yang menyediakan hamparan rejeki dan menjamin
hidup manusia. Tapi pemerintah kan menyuruh kita cari makan sendiri-sendiri.
Kalau kita kelaparan atau dikubur utang, kita tidak bisa mengeluh kepada
pemerintah. Hubungan kita dengan pemerintah adalah bahwa kita semua berada
di bawah kekuasaannya tanpa ada jaminan bahwa kalau kita mati kelaparan
lantas mereka akan menangisi kita dan menyesali kematian itu.


Pencerahan dan Ketercerahan
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 01 Oktober 2010 jam 10:58
Kalau Anda orang Islam alangkah indahnya kalau serajin dan sedalam mungkin
Anda menggali nilai-nilai Islam untuk Anda kontribusikan kepada seluruh bangsa
kita, agar proses-proses demokrasi, keadilan dan penyejahteraan yang kita
lakukan bareng-bareng ini semakin efektif. Di kulit luar Al-Qur'an bagian belakang,
biasanya ditulis firman Allah La yamassuhu illal muthahharun. Biasanya ustadzustadz
kita mengartikan bahwa kalau kita sedang dalam keadaan batal dan belum
berwudlu, maka dilarang menyentuh Al-Qur'an. La itu tidak atau jangan. Yamassu
itu menyentuh. Hu itu kata ganti untuk Al-Qur'an. Illa itu kecuali. Muthahharun itu
orang-orang yang dalam keadaan suci.
Sekali lagi, sebelum pegang Qur'an, kita berwudlu dulu, supaya muthahhar. Itu
tidak salah, dan bagus untuk pendidikan dasar etika vertikal keislaman. Tapi
sebaiknya tidak tertutup bagi pengembangan interprestasi. Misalnya, kita ambil
dua hal. Yang pertama, yang disebut Qur'an dalam tafsir dasar di atas sebenarnya
adalah mushaf. Terdiri dari kertas dan goresan tinta. Itu yang jangan dipegang
kalau dalam keadaan batal. Pastilah Qur'an bukan kertas dan tinta.
Qur'an adalah suatu rumusan dan tuturan firman, yang bersifat rohaniah
(intelektualitas itu rohaniah), yang diantarkan oleh bahasa atau peralatan budaya
manusia melalui kertas dan tinta. Dulu malaikat Jibril tidak datang dari langit
kepada Muhammad SAW. membawa berkas buku, melainkan membawa titipan
ucapan Tuhan. Ketika dikatakan 'Bacalah !', bukan berarti Jibril menyodorkan
kertas yang ada tulisannya dan Muhammad disuruh membaca. 'Membaca' di situ
memiliki pengertian yang sangat-sangat luas. Intinya: membaca kehidupan.
Utsman ibn Affan yang kemudian mempelopori pe-mushaf-an rohani Qur'an itu.
Jadi mushaf adalah suatu sarana budaya atau fasilitas teknologi yang
mengantarkan Qur'an kepada manusia. Maka, la yamassuhu, tidak (bisa, boleh)
menyentuh, sasarannya bukan terutama mushaf, melainkan substansi Qur'an itu
sendiri.
Oleh karena itu pengembangan interpretasi atas ayat Allah yang menghiasi kulit
belakang mushaf itu, bisa begini: Kalau jiwamu tidak berada dalam keadaan
muthahhar, enlighted, tersucikan, maka engkau tidak berada di dalam koridor
hidayah dan fungsi Qur'an bagi kehidupanmu.
Katakanlah ada beberapa fungsi Qur'an, umpamanya: ia bukan hanya informasi,
tapi juga informasi yang pasti benar. Ia bukan sekedar pemberitahuan, tetapi
petunjuk. Ia bukan sekedar berita, tapi kabar gembira.
Ia bukan hanya penuturan ilmu, tapi juga rahmat. Ia bukan hanya perintah, tapi
rahasia ilmu. Ia bukan hanya ketegasan kebenaran, tapi juga cinta dan kedamaian
yang matang. Ia bukan hanya selebaran tentang iblis dan setan, tapi juga
rangsangan eksplorasi fisika, biologi, astronomi. Serta banyak lagi.
Manusia yang pikirannya skeptis terhadap Qur'an, yang hatinya blocked-out dari
firman pamungkas Allah itu, yang sikap hidupnya mempergelap dirinya sendiri,
logis kalau tidak memperoleh sentuhan apapun dari multi-probabilitas rahmat
Allah melalui Qur'an. La yamassuhu illal muthahharun.
Tidak memperoleh apa-apa darinya kalau menolak enlightment. Dan kalau
memang kita memilih yang ini, tak ada masalah bagi Tuhan, Muhammad atau
siapa pun saja. Allah tidak menangis, Muhammad tidak merugi, Islam tidak
merasa kurang suatu apa. Sebab Islam tidak akan mendapatkan risiko apa-apa, ia
bukan manusia yang harus bertanggung jawab kepada sumbernya. [EAN].
(Sumber: " Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib " ]?


Peran Tuhan
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 24 Maret 2010 jam 9:57
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Secara empiric, setidaknya ada empat peran Tuhan dalam kehidupan kita
bersama. Pertama, Tuhan sebagai pemberi solusi atau jalan keluar atas semua
problem manusia. Manusia adalah makhluk serba terbatas. Karenanya, apapun
saja yang diupayakannya, suatu saat pasti akan terbentur oleh kendala-kendala,
dan kebuntuan-kebuntuan. Maka sudah menjadi kewajiban manusia untuk
menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah atas problem dan persoalan
hidupnya. Kedua, Tuhan sebagai sumber dana atau asal-usul rahasia rejeki yang
tak terduga-duga. Prinsip ini begitu mendasar dan penting, dalam konteks upaya
manusia mengejar kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Tuhan adalah Maha
Pengatur Rejeki. Ketiga, Tuhan sebagai akuntan atau manajer ada penghidupan
setiap hamba-Nya. Keempat, Tuhan sebagai public relation atau humas atau
penyampai maksud, impian, kepada siapa saja yang diharapkan terkait dengan
itu. Tuhan adalah harapan terakhir dari apa pun aktivitas yang dilakukan oleh
mahlukNya.

Reciever Lailatul Qadar
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 02 September 2010 jam 11:09
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Yang sepenuhnya harus kita urus dalam ‘menyambut’ Lailatul Qadar adalah
Reciever Spiritual kita sendiri untuk mungkin menerima Lailatul-Qadar. Kesiapan
diri kita. Kebersihan Jiwa kita. Kejernihan Ruh kita. Kepenuhan Iman kita. Totalitas
iman dan kepasrahan kita. Itulah yang harus kita maksimalkan.
Kalau lampumu tak bersumbu dan tak berminyak, jangan bayangkan api. Kalau
gelasmu retak, jangan mimpi menuangkan minuman. Kalau mentalmu rapuh,
jangan rindukan rasukan tenaga dalam. Kalau kaca jiwamu masih kumuh oleh
kotoran-kotoran dunia, jangan minta cahaya akan memancarkan dengan jernih
atasmu.
Jadi, bertapalah dengan puasamu, bersunyilah dengan i’tikafmu, mengendaplah
dengan lapar dan hausmu. Membeninglah dengan rukuk dan sujudmu. Puasa
mengantarkanmu menjauh dari kefanaan dunia, sehingga engkau mendekat ke
alam spiritualitas. Puasa menanggalkan barang-barang pemberat pundak, nafsunafsu
pengotor hati, serta pemilikan-pemilikan penjerat kaki kesorgaanmu. ?

Sistem Nilai Apakah yang Kita Pilih?
by Komunitas Kenduri Cinta
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Benarkah yang salah selalu adalah ia dan mereka? Sementara yang benar pasti
kita dan saya?
Benarkah yang harus direformasi selalu adalah yang di situ dan di sana, dan bukan
yang di dalam diri kita sendiri?
Mungkinkah reformasi eksternal dikerjakan tanpa berakar pada reformasi
internal?
Apakah sesungguhnya yang sedang berlangsung di dalam syaraf-syaraf hati kita
serta sel-sel otak kita?
Sistem nilai apakah yang sesungguhnya kita pilih untuk mengerjakan gegap
gempita yang kita sebut reformasi ini? Demokrasi, sosialisme, Jawaisme,Islam,
Protestanisme, Yahudisme, Serabutanisme, kebencian, dendam, atau apa.

Supremasi Keselarasan (bagian I)
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 25 November 2009 jam 13:29
Dengan kondisi obyektif manusia Indonesia, masyarakat dan bangsa Indonesia
saat ini, yang merupakan hasil dari disain peradaban berabad-abad lamanya: tidak
mungkin kita bisa menegakkan Supremasi Hukum, atau lebih tinggi lagi Supremasi
Keadilan. Yang kita handal membangun dan sangat lihai menyelengarakan adalah
Supremasi Keselarasan.
Tema ini memerlukan uraian, analisis dan perdebatan yang harus sangat panjang,
sehingga malam ini sekedar kita buka pintu saja. Para ilmuwan sosial dan ahli-ahli
kebudayaan, sebaiknya mengagendakan tema ini untuk riset yang serius. Dan
mohon disiapkan kerja sama penelitian dan diskusi dengan wilayah-wilayah
kepakaran yang lebih luas, misalnya antropologi, biologi dan fisika bahkan
genekologi, sejarah umat manusia, sampai ke konsep dasar Tuhan menciptakan
manusia dan alam semesta.
Semua wilayah itu saling terkait. Manusia dan bangsa Indonesia sedang berada di
puncak ketidak-mengertian atas dirinya sendiri dalam multi-konteks yang barusan
saya deretkan itu, sehingga tidak memiliki landasan ilmu dan pengetahuan yang
memadai untuk melakukan kebangkitan dan pembangunan apapun yang
menyangkut dirinya sendiri.
Dengan ganti kepemimpinan berapa kalipun, dengan pilihan ideologi kenegaraan
apapun,pembangunan dan kebangkitan yang diselenggarakan tetap akan
membuat rakyatnya kecele, jika penelitian atas dirinya sendiri itu tak segera di
lakukan.

Bangsa Indonesia tidak punya kosa kata untuk hukum dan keadilan. Keduanya kita
import dari bahasa Arab. Kalau ternyata ada, entah dari bahasa Melayu, Jawa,
Sunda, Bugis, Madura atau manapun, saya mengusulkan kata hukum dan adil itu
segera diganti dengan milik kita yang asli, agar kita punya keberangkatan hukum
dan keadilan yang mantap dan relevan dengan sejarah kita sendiri.
Yang kita punya adalah kata laras. Selaras. Yang kita bangun adalah keselarasan.
Tak apa mencuri, asalkan mekanismenya bisa diselaraskan. Kita korupsi barengbareng
di tempat masing-masing, dengan kesepakatan bahwa semua kita samasama
menjaga keselarasan. Pemimpin bangsa adalah Kepala Pemelihara
Keselarasan Nasional. Siapa harus di hukum dan siapa harus di pertahankan,
pedomannya adalah mempertahankan keselarasan yang sudah terlanjur di
bangun dan di informasikan, bukan obyektifitas hukum atau keadilan.
Bangsa kita menomersatukan 'norma', menomerduakan 'nilai'. Nilai mengikat
setiap orang untuk tidak mencuri di manapun, kapanpun dan dalam keadaan
apapun. Norma adalah kesepakatan bersama, terutama kesepakatan di antara
mereka yang berkuasa untuk selaras. Tidak masalah kita langgar undang-undang,
hukum dan moral asalkan tetap selaras
dan citranya tetap bisa kita bikin tampak baik-baik saja. Kita jangan lakukan ini
atau itu, prinsipnya bukan ini tidak benar dan itu tidak baik, melainkan yang kita
jaga adalah "apa kata tetangga".
Kalau kita menangkap maling di kampung, kita bentak dia, "Jangan seenaknya
berbuat di kampung kami, kalau mau mencuri jangan di sini!" Prinsipnya bukan
maling itu tidak boleh melainkan ada norma yang berlaku di kampung sini bahwa
jangan ada yang tampak mencuri. Mencuri tidak ada tapi jangan kelihatan
mencuri. Melanggar hukum dan keadilan itu soal tahu sama tahu yang tidak boleh
adalah melanggar keselarasan.
Perbenturan antara KPK dengan POLRI dan Pemerintah secara keseluruhan adalah
perbenturan antara keadilan melawan keselarasan. Yang mungkin tidak terlalu
disadari oleh Bibit dan Chandra adalah bahwa mereka itu perusak keselarasan.
Mereka juga belum faham benar bahwa di Negara Kesatuan Republik Selaras
Indonesia, hukum dan keadilan harus patuh kepada keselarasan. Mereka tidak
boleh merusak pekerjaan para petugas keselarasan nasional. Satu langkah saja
lagi hukum dan keadilan melakukan ketidaktaatan kepada keselarasan, maka ia
akan diberi label anarkisme atau makar.
....
Ditulis oleh: Emha Ainun Nadjib
- Kado Ulangtahun buat Gatra, 22 November 2009
Supremasi Keselarasan (bagian II)
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 26 November 2009 jam 15:06
Indonesia Mengejutkan Dunia
Mohon jangan salah sangka, ungkapan tentang Supremasi Keselarasan itu tadi
sekedar titipan salah satu kado kepada Gatra dari guru saya, seorang Kiai yang
bernama Kiai Alhamdulillah. Saya sekedar mentranskrip dan menyampaikan
amanat itu kepada Gatra. Siapakah gerangan Kiai Alhamdulillah itu? Apa
saudaranya Kiai Astaghfirullah, Kiai Subhanallah dan Kiai Masyaallah?
Ceritanya begini. Gatra saya kenal sejak ia lahir, 19 November 15 tahun silam.
Saya juga mengenal orang-orang Gatra jauh sebelum Gatra lahir. Tetapi semua itu
pasti itu tidak membuat saya memiliki kompetensi ilmu, kredibilitas professional
atau kepatutan budaya untuk berdiri di sini. Saya merasa bahwa yang
menjerumuskan Gatra agar tersesat menyuruh saya berpidato kebudayaan
malam ini adalah 'sekedar' nilai persaudaraan dan kemanusiaan. Alhasil,
sebenarnya saya kurang percaya diri menjalankan penugasan dari Gatra ini,
sehingga saya memerlukan datang kepada Kiai Alhamdulillah untuk berkonsultasi,
meminta restu, syukur ditiup-tiupkan kekuatan ke ubun-ubun saya.
Ternyata beliau memang sudah menyiapkan kado untuk Gatra. Begitu saya di
terima, beliau langsung menyeret saya, didudukan di kursi, kemudian beliau
omong panjang tentang Supremasi Keselarasan itu.
"Tolong disampaikan kepada Gatra sebagai kado dari saya" kata beliau.
Meskipun saya sangat bergembira karena dipercaya untuk menyampaikan titipan
kado itu, sebenarnya saya tidak paham-paham amat isinya. Saya merespon
sekedarnya, "Tapi isinya kok penuh pesimisme, Kiai?"
Beliau menjawab, "Alhamdulillah kado saya ini tidak ada hubungannya dengan
pesimisme atau optimisme. Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang menjalani
hidup dengan tangguh tanpa terganggu oleh kecengengan yang bernama
pesimisme atau optimisme..."
"Aduh saya kurang paham, Kiai", saya menyela.
"Alhamdulillah tidak masalah, tidak paham itu tidak dosa. Yang penting kau
sampaikan saja kepada Gatra bahwa ulang tahunnya hari ini adalah ulang tahun
yang sangat indah. Gatra berulang tahun tatkala kita semua sedang berada pada
momentum zaman yang sangat menggairahkan. Terutama berkaitan dengan akan
segera datangnya saat dimana Indonesia akan mengejutkan dunia. Dunia akan
tampil dengan keindahan peradaban baru di bawah kepemimpinan Indonesia"
"Wah, optimis ya Kiai?" saya menyela lagi.
"Kamu cengeng" jawab Pak Kiai, "Watakmu kurang Indonesia. Orang Indonesia
asli itu watak utamanya adalah nekad dan tidak perduli"
"Maksud saya, saya senang mendengar pernyataan Kiai yang terakhir tentang
bangkitnya Indonesia..."
"Hari-hari ini tanda-tandanya mulai muncul dari berbagai arah" Kiai Alhamdulillah
melanjutkan, "perhatikan dahsyatnya kepemimpinan negaramu sekarang ini,
amati mozaik penuh cahaya kebudayaan, kejujuran dan kelihaian manusia dan
bangsanya, riuh rendah estetika demokrasinya, sebaran delapan penjuru angin
pendidikan informasi persnya, progressifitas persekolahan dan kependidikannya,
cakrawala amat luas cara pemelukan keagamaannya, kerendahan hati
olahraganya, sopan santun pariwisatanya, serta yang utama tak terbendungnya
fenomenologi pemikiran-pemikiran baru yang semakin maju melampaui gardagarda
post modernisme. Akumulasi dari seluruh pergerakan dari sejarah dari
nusantara itu akan tak bisa dielakan oleh semua masyarakat dunia bahwa
Indonesia segera akan memimpin lahirnya peradaban baru dunia....."
"Maaf ya Pak Kiai, tadi kata sampeyan Hukum dan Keadilan mustahil ditegakkan,
karena yang berlangsung selalu adalah Supremasi Keselarasan. Bagaimana
mungkin dengan kondisi itu Indonesia bangkit memimpin dunia?"
"Jangan kawatir, nak" jawab beliau, "Yaumul Qiyamat pasti tiba. Yaum itu Hari,
Qiyamat itu Kebangkitan. Hari Kebangkitan peradaban baru dunia yang dipimpin
oleh Indonesia"
"Jadi benar akan Kiamat ya Kiai? Apakah itu yang di maksud dengan tahun 2012?"
"Jangan mendahului Tuhan, nanti malah di batalkan"
"Lha ya itu maksud saya, Kiai, kengerian 2012 itu kita omong-omongkan terus
supaya Tuhan tersinggung sehingga membatalkan. Cuma masalahnya bagaimana
dengan hukum, keadilan dan keselarasan itu, Kiai?"
Bayi Lahir Putra Ibu Pertiwi
Kiai Alhamdulillah tidak langsung menjawab pertanyaan saya itu. Ia diam
memandang saya, kemudian berkata sangat serius dan pelan:
"Alhamdulillah tolong jangan potong saya sampai selesai, ini kado cinta sakral
kepada Gatra" kata beliau. "Alhamdulillah manusia dan bangsa Indonesiamu itu
berasal dari gen unggul, sehingga mereka lebih besar dan lebih tinggi dari hukum,
keadilan dan keselarasan. Bangsa Indonesia tinggal membolak-balik tangan,
segala sesuatu bisa diubah dan diatur.
Sebentar lagi bayi Indonesia akan segera lahir. Ibu pertiwi yang akan melahirkan,
bayi itu sekarang sudah mengalami "bukaan-2", kalau bukaan sudah sampai ke-
10, bayi akan lahir. Bayi itu bisa merupakan hasil total refresing dari anak bungsu
Ibu Pertiwi yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau bayi yang
sama sekali baru.
Sangat tergetar hati saya menantikan kelahiran bayi itu, sebagaimana dulu air
ketuban pecah pada 28 oktober 2008 kemudian lahir bayi pada 17 Agustus 1945 --
karena bangsa Indonesia tampaknya tergolong bangsa dengan peradaban tertua
di muka bumi. Kalau bangsa Yahudi dan Arab yang sekarang menguasai keuangan
dunia adalah keturunan kakek Ibrahim AS, bisa jadi Induk Bangsamu beberapa
puluh atau ratus generasi sebelum itu.
Katakanlah mungkin sejak Javet alias Khawit atau Kawit putra Nuh AS, saudaranya
Kan'nan, Hasyim, Habsyah dan Bustomah. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang
lahir tahun 1945, bangsa Indonesia adalah bangsa yang melahirkan Negara
Indonesia 1945. Bangsa Indonesia sudah sangat teruji melewati peradaban
Lemorian dan Atlantis, Astinapura dan Mahabharata, tidak sekedar meninggalkan
jejak di Somalia, jerman, Uruguay atau Madagaskar, juga tak sekedar melahirkan
Ajisaka, Keling, Kaliswara, Kalakulilo, Kutai, Tarumanagara atau Salakanagara.
Apalagi sekedar Singasari, Majapahit, Demak dan Mataram.
Berbagai kelompok generasi muda Indonesia saat ini sedang diam-diam
melakukan penelitian dan eksplorasi sosial di kantung dan jaringan yang dunia
media tidak memperhatikannya. Sebagian mereka sedang mempelajari situs-situs
di dua pertiga bumi, dari Eropa, Amerika Latin, hingga Afrika, Cina, Rusia,
terutama daratan luas dari yang sekarang di kenal sebagai jazirah Saudi hingga
Irian Jaya, yang memaparkan sebagai identifikasi tentang siapa bangsa Indonesia
sesungguhnya, dan mereka mampu menjelaskan lebih detail dari produk-produk
ilmiah yang sejauh ini ada.
Sebagian yang lain sedang menekuni fakta-fakta Replikasi Tuhan ke Manusia ke
peradaban, untuk mengetahui lebih persis bentuk kehancuran yang sedang
berlangsung menuju puncaknya pada Peradaban ummat manusia mutakhir.
Mereka menguji dan mengkaji kembali apa yang sesungguhnya terselenggara
sejak Revolusi Industri. Mereka sedang mencari garis sambung antara low-tech
replikasi jasad, high-tech replikasi system-logic otak, automation assembly line,
prinsip digital, 0 dan 1, real-number dan imaginary-number, Boolean Logic dan
Fuzzy Logic, 8% dan 92% wilayah fungsi otak, komputer yang secanggihcanggihnya
namun tak sedikitpun mampu membaca kerinduan, amarah,
penasaran, sedih atau gembira dan semua itu coba ditemukan
konstekstualitasnya dengan informasi-informasi langit: bagan struktur misbah dan
zujajah, sistem kerja dinamis ruhullah, dzatullah, sifatullah, jasadullah, hingga ke
regulasi Negara mahdloh dan fenomenologi kebudayaan muamalah.
Beruntunglah ummat manusia yang menghuni puncak Peradaban di abad 20-21
yang di temani oleh wahyu Tuhan. Sebelum era Nabi Musa mundur hingga Adam,
ummat manusia mencari Tuhan sendiri dan merumuskannya sendiri, tanpa ada
wacana firman. Kalian sekarang tinggal menghapalkan Qul huwallohu Ahad, 99
asma Allah, di tambah dua tiga ayat, langsung jadi Ustadz. Para ilmuwan tinggal
buka Kitab Suci untuk menemukan karbon, pertemuan laut asin dan tawar,
interaksi dinamis antara otak dengan hidayah, sumber pemahaman dasar
matematika, fisika, biologi dan hipnotisme. Atau apapun saja. Anak-anak muda itu
tidak mau bangsanya terpuruk tanpa berkesudahan. Dengan penelitian-penelitian
itu langkah mereka ke depan adalah merumuskan dan meletakkan kembali dasardasar
Ideologi Negara, Ideologi Pendidikan, Ideologi Informasi, Ideologi
Keagamaan, Ideologi Kebudayaan, Ideologi Ekonomi, Ideologi Hukum, bahkan
Ideologi Pangan dan Kesejahteraan"
Ditulis oleh: Emha Ainun Nadjib
- Kado Ulangtahun buat Gatra, 22 November 2009


Supremasi Keselarasan (bagian III - Selesai)
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 07 Desember 2009 jam 11:46
Negeri Demokrasi Sufi
Tidak sengaja spontan saya merespon: "Itu makar, Kiai!"
Pak Kiai tertawa. "Alhamdulillah tidak perlu ada makar. Di negerimu rakyat tidak
merasa terancam, sepanjang mereka masih punya sandang pangan, yang mereka
bisa mengusahakannya sendiri, dengan atau tanpa Pemerintah. Pemerintah tidak
perlu melakukan apapun, sebenarnya rakyat tidak masalah. Bahkan banyak rakyat
yang mempersilahkan uang pajak nasional itu dibagi-bagi saja oleh para Pejabat,
tidak ada masalah, asalkan jangan mempremani atau memalak rakyat yang
sedang bekerja mencari nafkah. Jadi, sekali lagi, tidak ada makar. Memang ada
kehancuran nilai, moral, mental, intelektual dan spiritual, tidak itu tidak dianggap
kehancuran. Kehancuran yang dikenal oleh bangsamu hanyalah kehancuran fisik."
"Maka alhamdulillah bayi itu akan lahir. Kita semua berdoa, jika ada yang
berusaha membuntu lubang rahim Ibu Pertiwi, sehingga diharapkan sang Bayi
akan batal lahir, semoga jangan lantas ada keputusan Operasi Cesar oleh petugaspetugas
Jagad Raya, para Eksekutor Alam Semesta, oleh Kepala-Kepala Dinas
Samudera dan Tsunami, Hujan, Banjir dan Longsor, Gunung, Lempengan Bumi di
perut bumi Nusantara dan Gempa, Pemanasan Global, Gas Metan di Kutub Utara,
anarkisme meteor-meteor, serta ruh-ruh Energi dan Frekwensi yang serabutan
maqamat-nya, serta sejumlah birokrat langit bumi lainnya"
"Akan tetapi bencana-bencana itu bisa tak perlu terjadi, karena semua semua
yang terjadi ini tetap dalam lingkup Pancasila, yang menjunjung tinggi nilai-nilai
rohaniah. Bencana-bencana itu bisa batal, meskipun korupsi makin merajalela.
Karena dalam Pancasila terbuka peluang sangat luas untuk menafsirkan nilai-nilai.
Misalnya, sesungguhnya itu semua bukan korupsi, bukan sistem yang korup,
bukan pencurian yang merata — melainkan Shadaqah. Shadaqah adalah
beralihnya uang, dana atau jasa secara sukarela dari satu tangan ke tangan lain.
Ciptakan suatu atmosfir kenegaraan dengan wacana-wacana yang membuat
semua peralihan keuangan itu bersifat sukarela dan bermakna shodaqah.
Sosialisasikan nilai bahwa ridha bir-ridla atau saling sukarela adalah pencapaian
silaturahmi yang ideal. Kalau ada yang belum ridha dan merasa itu adalah
pemerasan, harus dididik sampai bisa mencapai ridha. Kewajiban mendidik
warganegara menuju tingkat ridha itulah tugas Pemimpin, Pemerintah, Para Wakil
Rakyat, Kaum Ulama segala Agama, Pers dan semua pelaku-pelaku utama yang
lain dalam seiarah. Pasanglah spanduk di jalan-jalan yang mendidik publik:
`Relakanlah ke manapun uang Negara pergi, toh yang memakai adalah sesama
manusia, sesama makhluk Allah'.
"Pancasila bisa menggali nilai-nilai Agama, misalnya Sufisme. Kalau perlu
dilegalisir saja pedoman nasional bahwa Negeri kita adalah Negeri Demokrasi Sufi
yang berlandaskan pancasila. Di dalam Negeri Demokrasi Sufi, Presidennya harus
Sufi, seluruh Menteri dan Pejabat-pejabatnya harus Sufi. Demikian juga
Tentaranya, Polisinya, termasuk para Pengusahanya, olahraganya, keseniannya,
harus Sufi. Presiden Sufi adalah Presiden yang sesungguhnya tidak bersedia
menjadi Presiden lagi, tetapi demi Indonesia bersatu maka `Lanjutkan!'. "
"Kabinet Sufi adalah Menteri-Menteri yang rela lilo legowo tidak ditempatkan
atau ditempatkan di penugasan Kementerian manapun, meskipun seandainya
mereka tidak memiliki kompetensi proffesional. Kalau mereka menolak, akan bisa
terjadi pertengkaran antar kelompok politik. Presiden dan Menteri-Menteri Sufi
harus menomersatukan kedamaian, dan menghindarkan segala kemungkinan
konflik."
"Sufisme itu intinya adalah kesanggupan berpuasa. Berpuasa makna luasnya
adalah sanggup melakukan sesuatu yang ia tidak suka, atau mampu tidak
melakukan yang ia suka. Umpamanya saya tidak suka memeras orang, tetapi demi
mengasah kemampuan rohaniah, maka saya memeras"
"Menutupi aib sesama manusia, adalah termasuk nilai Sufi yang tinggi. Apalagi
yang punya aib itu orang dijajaran tugas kita sendiri. Tuhan melarang hamba-Nya
memperhinakan sesamanya. Bahkan dalam berolahraga, sebisa mungkin kita
menjaga hati sesama manusia. Kalau kita menang dalam pertandingan sepakbola
atau bulutangkis, harus kita perhitungkan bahwa lawan main kita pasti kesakitan
hatinya kalau kita kalahkan. Maka yang terbaik adalah kita mengalah. Kalau ada
striker lawan menggiring
bola capk-capek ke gawang kita, Kiper kita harus minggir dan mempersilahkan
bola dimasukkan. Dengan demikian olahraga kita memiliki kwalitas nilai
kemanusiaan yang sangat tinggi".
"Atau ambil contoh lain misalnya Pengusaha, Khusus di Indonesia, para
Pengusaha memiliki peluang sangat besar untuk berjuang mencapai tingkat Sufi
yang tertinggi. Para Pengusaha di Indonesia setiap saat harus siap bersedekah,
setiap langkahnya harus bersedekah kepada Negara yang diberikan melalui para
Pengurus Negara. Pengusaha yang tidak bersedekah, alhamdulillah pasti menjadi
Sufi bangkrut."
"Sebab sedekah itu kemuliaan, bukan keanehan. Kamu tahu artinya sedekah?
Infaq yang tidak wajib itu namanya shadaqah, kalau wajib itu namanya zakat.
Pengusaha Indonesia tidak wajib bershadaqah, tapi mereka perlu meningkatkan
kwalitas rohaniahnya, sehingga yang sebenarnya tidak wajib bisa ditingkatkan
menjadi wajib. Ada yang bertanya: apakah itu bukan pemerasan? Itu pemerasan
hanya bagi Pengusaha yang tidak berhati ikhlas. Jadi ini bukan soal hukum,
melainkan soal keikhlasan hati. Kemudian ada lagi yang bertanya: apakah itu
bukan sogokan? Alhamdulillah sama sekali bukan sogokan, sebab Pejabat yang
menerima sedekah itu niatnya bukan mencari uang, melainkan menguji iman si
Pengusaha"
Kaliber Dunia
"Saya akhiri kado ini", kata Kiai Alhamdulillah akhirnya, "karena saya ingin Gatra
tetap langgeng penerbitannya"
"Sampaikan respek saya kepada Gatra. Pers Indonesia, dan pasti juga Gatra,
adalah salah satu sumber energi sosial dan pendidikan sejarah yang turut
memberi sumbangan besar kepada Kebangkitan Indonesia 2012. Koran-koran dan
Majalah melakukan pencerdasan bangsa 3-5 kali lipat dibanding era-era
sebelumnya. Televisi-televisi bekerja keras 24 jam sehari untuk membuat
bangsanya menjadi sangat dewasa, matang dan berwawasan luas"
"Pers bisa ambil peranan besar dan hampir mutlak dalam hal Yaumul Qiyamat ini.
Apalagi Pers Indonesia adalah pers terbebas di seluruh dunia. Paling merdeka dan

independen. Pers Indonesia tidak punya atasan, semua yang lain adalah
bawahannya: baik dan buruk, benar dan salah, indah dan jorok, informasi dan
disinformasi, tuhan dan hantu, semuanya patuh kepada kebijakan dan strategi
redaksionalnya. Pers Indonesia sangat independen, berdiri karena dirinya sendiri,
melindungi dirinya sendiri, setia dan memegang sepenuhnya hak untuk
menghukum dirinya sendiri"
"Jangan lupa, mantapkan hati Gatra, bahwa uemokrasi Indonesia adalah
demokrasi paling fenomenal dan gegap gempita di seluruh dunia. Hendaknya
Gatra berbangga memiliki Pemerintah yang paling sukses dan prolifik di seluruh
dunia.
Gatra adalah bagian dari bangsa tertangguh dan paling proffesional me-maintain
kehidupannya masing-masing dibanding seluruh bangsa-bangsa lain di dunia.
Manusia Gatra adalah manusia Indonesia, manusia paling tahan uji, paling banyak
tersenyum dan tertawa, bahagia, penyabar, pemaaf dan pelupa di seluruh dunia.
Gatra adalah pelaku kebudayaan Indonesia, kebudayaan yang terkaya, paling
ragam dan tak terbatas kreativitasnya sehingga tidak memerlukan bentuk dan
kepribadian.
Para pekerja Gatra adalah juga bagian yang indah dari dinamika kehidupan
beragama di Indonesia, yang paling matang di seluruh dunia. Kematangan itu
sedemikian rupa membuat para pemeluknya sudah sempurna prosesnya, tidak
lagi memerlukan pemikiran, penafsiran, pembenahan atau perbaikan apapun"
"Dan akhirnya, jangan pernah lupa bersyukur Gatra dan bangsa Indonesia
memiliki pemimpin seorang Negarawan tingkat tinggi dan Presiden berkaliber
dunia. Gatra jangan ikuti orang-orang yang dangkal berpikirnya dan sempit
pandangannya, yang selalu mengkritik Presidenmu sebagai pemimpin yang
peragu, lamban, tidak punya ketegasan, tidak punya nyali untuk bertindak
obyektif, atau macam-macam lagi kesimpulan-kesimpulan yang cengeng dan
hanya bersifat impressional. Alhamdulillah, beliau itu manusia yang sangat lembut
perasaannya dan tidak hatinya tegaan. Beliau tidak kuat perasaannya
menyaksikan satu saja warganegaranya yang kesakitan. Beliau pasti akan
membela mati-matian siapapun yang akan dijatuhkan atau disakiti, terutama yang
sudah membuktikan kerja keras dan kesetiaan kepada beliau. Beliau adalah
Panglima Keselarasan".
Ditulis oleh: Emha Ainun Nadjib
- Kado Ulangtahun buat Gatra, 22 November 2009


Tak Ada Cinta di Media: Tribute to Mbah Surip
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 29 Juli 2009 jam 16:34
Ditulis Oleh: Muhammad Taufiq
Saya mengenal Mbah Surip sekitar tahun 2004. Waktu itu SCTV yang beberapa
kali menayangkannya. Tetapi “ledakan” kepopulerannya tidak terjadi. Terhitung
hanya beberapa bulan saja orang mengenal dan membicarakannya. Mungkin
karena kemasan entertaining-nya ga “kena” waktu itu.
Lama berselang, kakek yang kabarnya lahir di Mojokerto 60-an tahun yang lalu ini,
tidak saya dengar sama sekali. Hingga sampai akhir tahun 2006 saya mendapati
kembali pria paruh baya dengan penampilan dan gaya khasnya ini di acara
Kenduri Cinta (KC). Dia selalu menjadi “artis tetap” di acara yang dimotori oleh
Cak Nun (panggilan akrab Emha Ainun Nadjib) ini. Waktu itu KC selalu digelar
sebulan sekali. Namun seiring dengan dialektika yang terjalani, acara yang digelar
setiap Jumat kedua ini hanya tentatif saja belakangan. Ia akan hadir di Taman
Ismail Marzuki (TIM) jika memang “sudah waktunya” untuk tampil.
Begitulah. Setiap ada KC maka di situ pula ada Mbah Surip. Jika Cak Nun dengan
Kyai Kanjengnya ditanggap oleh komunitas tertentu pun, Mbah Surip tidak pernah
ketinggalan nimbrung bersama mereka. Lagu yang dibawakannya juga tetap lagu
yang banyak ditembangkan oleh banyak orang sekarang ini. Alhasil lagu “Tak
Gendong” itu sudah amat akrab di telinga ini sejak akhir 2006. Apalagi buat orangorang
yang suka nongkrong bareng dengannya di Warung Apresiasi (Wapres)
Bulungan atau komunitas awal KC. Dan sebenarnya tidak cuma lagu itu yang
cukup populer dan banyak diminati oleh jamaah KC. Ada lagu namanya “Bangun
Tidur”. Lagu ini malah sudah jadi semacam lagu wajib di acara yang kumpulan
manusianya disebut dengan ma’iyah (kebersamaan) ini. Selain itu ada juga yang
judulnya “Lagu Siluman”. Wah, yang ini malah lebih nyentrik lagi dari “Tak
Gendong”. Pembawaannya juga jauh lebih nyentrik dari pada klip yang ada di TV.
Keberadaan Mbah Surip di acara yang sering disebut maiyahan ini sering menjadi
penyegar disaat jumud menghinggapi para hadir. Jika penat karena diskusi sudah
terasa maka tampillah si Mbah. Yang hadir pun sontak tertawa, padahal belum
lagi dia bernyanyi. Seperti yang sering kita saksikan di TV akhir-akhir ini, segala
tingkah polanya memang selalu mengundang tawa. Bahasanya yang rada-rada
aneh, keterangannya yang lumayan ngawur namun mengandung unsur surprise,
selalu membuat semua yang hadir tertawa. Apalagi jika tawa khasnya keluar,
membuat yang hadir tambah terpingkal-pingkal. Jika sudah demikian, suasana
segar namun hangat terasa kembali.
Saat itulah kami merasakan cinta – sebuah relasi yang tidak dihitung berdasar
logika untung-rugi. Mbah Surip tampil menyanyikan lagunya karena cinta kepada
kami; kami pun menerimanya dengan penuh kecintaan kepadanya. Tidak ada
yang dibayar maupun membayar di acara ini. Tidak tampak rasa bosan meski
setiap bulan selalu lagu itu-itu saja yang disajikan si Mbah. Semua karena
kecintaan yang hadir kepada satu sama lainnya. Berbicara tentang apa saja
asalkan selalu dialasi oleh cinta. Cinta kepada bangsa, negara, sesama, kepada
Tuhan, alam, dan siapapun serta apapun asalkan pantas untuk didekati dengan
cinta. Namanya saja Kenduri Cinta. Pesta dari, oleh, untuk, dan karena cinta.
Bukan hanya rambut gimbalnya yang membuat pria (yang kabarnya pula) beranak
empat ini menarik. Pembawaan Mbah Surip yang “ultra” poloslah yang justru,

menurut saya, membuatnya unik. Bahkan teramat unik. Mbak Bertha, guru vokal
yang wajahnya juga sering nongol di acara Kontes Dangdut TPI (KDI), menilai si
Mbah sebagai sosok yang amat merdeka. Ia bisa tidur dimana saja dia mau. Dia
tidak tergantung pada tempat tidur untuk bisa tidur. Ia tergantung pada matanya,
yang jika merasa ngantuk ia akan pejamkan saat itu pula. Entah itu di halte, di
cafe, atau dimanapun dia berada. Cak Nun sendiri mengumpamakan Mbah Surip
seperti tahi lalat. Keberadaannya mungkin remeh dan tidak penting. Tetapi ia bisa
membuat manis wajah seseorang. Keberadaan Mbah Surip mungkin tidak
penting. Tetapi ia membuat manis hidup ini. Ia membuat banyak orang terhibur
setiap mereka mendapatinya.
Kepolosan itulah yang mungkin menular pada lagu-lagunya. Jika bukan Mbah
Surip yang membawakan lagu “Tak Gendong”, hasilnya pasti tidak akan seperti
Mbah Surip membawakan. Jadi perpaduan diri dan lagu yang poloslah yang,
menurut saya, membuat lagu yang kabarnya sudah menjadi ring back tone (RBT)
lebih dari sejuta pengguna ponsel ini meledak.
Tetapi rasanya bukan itu semata yang membuatnya jadi terkenal. Bahkan faktor
kepolosan bukanlah faktor yang menjadikannya terkenal. Kepolosan hanyalah
nilai uniknya. Kepolosan adalah “nilai jualnya”. Yang membuatnya jadi terkenal
adalah media. Media massa telah membuat si Mbah menjadi lebih tenar dari
sebelumnya. Sekarang hampir setiap orang mengenalnya. Orang-orang dari
Merauke hingga Sabang. Mungkin juga di negeri tetangga. Lagunya dinyanyikan
oleh banyak orang, dijadikan RBT, dan sebagainya.
Jadwal show pun berdatangan. Dari stasiun TV ke TV lainnya. Dari satu kota ke
kota lainnya. Tidak hanya untuk bernyanyi, tetapi juga untuk acara komedi, reality

show, infotainment, dan lain-lain. Managernya sampai kewalahan mengatur
jadwal kabarnya.
Mbah Surip pun jadi OKB (orang kaya baru). Sebuah mobil sudah dimilikinya.
Rumahnya tambah ciamik. TV-nya baru, lebih besar dari sebelumnya. Royalti dari
RBT lagu “Tak Gendong” saja kabarnya sudah 4,5 milyar. Itu pun cuma dari satu
provider, belum dari provider yang lain. Belum lagi honor dari show-show yang
lain. Singkatnya Mbah Surip sudah jadi selebritis baru. Keberadaannya sudah
terima lebih luas. Tidak hanya di komunitas-komunitas yang “kering” saja seperti
selama ini.
Namun itulah yang saya wanti-wanti – sesuatu yang menjadi semacam
kegelisahan saya. Saya teringat sebuah “teori” dari salah seorang teman. Dia
bilang, “siapa yang dibesarkan oleh media, akan dikecilkan oleh media suatu saat
kelak”. Sekelebat kemudian saya teringat pada Aa Gym, dai kondang yang pernah
dimanja oleh media. Di siarkan kemana-mana. Setelah dia mempraktekkan
poligami, media pun seolah “membunuhnya”.
Tentu saja saya berharap itu tidak terjadi pada diri unik si Mbah. Saya berharap
pria nyentrik yang ngakunya sudah jalan-jalan ke banyak negara ini tidak “depend
on” media. Tidak keblinger karena besar oleh media. Tidak lupa diri karena
terkenal. Tidak berubah karena sudah masuk TV, dan tidak-tidak sejenis lainnya.
Pendeknya tidak “kalah” oleh media. Saya tidak mau melihat si Mbah yang
merdeka menjadi terjajah oleh dan karena media yang korporatis seperti
sekarang ini. Lebih dari itu saya berharap Mbah “nyentrik” Surip ini bisa lebih
besar dari kebesaran yang dibuat oleh media padanya.

Kadang-kadang dalam hati kecil saya berdoa agar si mbah tidak lama-lama
“dipake” oleh media. Bukan karena tidak mau si mbah jadi terkenal, kaya, atau
yang lainnya. Tetapi karena media tidak memiliki CINTA.


Tak Pernah Berpikir
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 23 November 2009 jam 10:05
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Saya tak pernah berpikir. Pikiran saya bukanlah saya, sebagaimana peci bukanlah
saya, tangan saya bukan saya. Yang berpikir itu otak saya, artinya tidak seluruh
peralatan diri saya yang lain perlu terlibat berpikir. Jadi energi yang diperlukan
oleh otak saya untuk berpikir dibimbing dan di-supply oleh akal. Akal itu sejumput
rahasia Tuhan yang menyentuh syaraf otak tertentu. Melalui sentuhan ini saya
mendapatkan gagasan, ide, visi, atau apapun yang disebut kreativitas. Jadi saya
tidak kreatif, kreativitas hanyalah supply kepada saya. Kalau gagasan harus diolah,
tinggal kita cemplungkan ke dalam sistem kerja otak, dan nanti ia bekerja sendiri,
kita tinggal menunggu hasilnya, sambil main kartu, mengaji, atau bercanda
dengan anak. Jadi sang Supplier tidak pernah aus. Tuhan tidak pernah berakhir,
tinggal saya siap nempel Dia terus atau tidak.

Terima Kasih: Engkau Jadikan Aku Raja
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 06 Juli 2009 jam 15:49
Nuwun Sewu,
Istana Negara - 1885
Sebuah tempat tinggal selalu mencerminkan siapa penghuninya. Rumah adalah
tempat tinggal manusia. Sesungguhnya setiap manusia berada dalam derajad
yang sama – awalnya bayi yang fitri. Kemudian manusia merasa perlu berbeda
(being recognized) dan membedakan diri (self recognition) dengan yang lain
dalam berbagai strata. Strata yang dibuat oleh manusia untuk manusia lainnya.
Tempat tinggal orang miskin disebut gubug, orang yang sangat miskin di ‘gubug
reyot’. Tempat tinggal orang kota yang mulai kaya yang bertumpuk-tumpuk yang
disebut apartemen. Tempat tinggal orang kota tidak kaya yang juga bertumpuktumpuk
disebut ‘rumah susun sederhana’. Tempat tinggal orang bijak yang
mengajarkan kebajikan menyebutnya ‘padepokan’. Dan tempat tinggal seorang
raja disebut “istana (palace)”.
Ratu-ratu dan raja-raja di dunia selalu tinggal di istana.
Indonesia tersurat sebagai Negara dalam tatanan Republik, seperti Amerika
Serikat dimana Presiden disebutkan sebagai kepalanya. Indonesia serupa dengan
Amerika Serikat, yang berputar melingkar dalam “orbit demokrasi” ketika
menjalankan tata pemerintahannya. Serupa dan memang berbeda!.


Pusaran orbit demokrasi Amerika terbatas lagi monoton. Terbatas hanya dua
partai – tak ada pilihan lain. Hanya dengan dua partai ini, berdemokrasi di
Amerika sesungguhnya lebih mudah dan lebih murah. Dan ketika seorang
Presiden sudah terpilih, sang Presiden ini hanya bertempat tinggal di “rumah
putih (white house)”.
Ke-Indonesia-an adalah kreatifitas. Walaupun demokrasi yang berlaku saat ini
adalah hasil contekan, namun kreatifitas politisi Indonesia mampu membuat
demokrasi yang monoton dan membosankan jadi semarak dan mengesankan.
Orang Amerika tidak serius dalam “pesta (party)”, karena orbit demokrasinya
hanya diramaikan hanya oleh dua partai (dual parties).
Demokrasi Amerika adalah demokrasi pelit, sepi dan membelenggu hak azasi.
Bagi politisi Indonesia sebuah pesta harus semarak, tak pelit, sedikit genit dan tak
perlu ‘ngirit’, makin banyak partai makin bergengsi. Para politisi Indonesia
memang “serius pesta”. Sebuah pesta harus meriah dan megah. Tak perlu irit,
walupun ‘ngutang’ mereka tak sayang uang. “Wong untuk rakyat kok sayang
uang!. Biar hutang besar yang penting bukan saya yang bayar! Biar banyak hutang
yang penting nampang!” kira-kira begitu (politisi memang paling suka kira-kira).
Sejak merdeka di tahun 1945, Indonesia diperintah oleh seorang Presiden yang
“dirajakan” oleh rakyatnya sendiri. Presiden Raja ini berkuasa dan bertahta di
istana – Istana Merdeka. Sang Raja didampingi oleh permaisuri (kadang ada
selirnya juga) yang dinobatkan sebagai “Ibu Negara”. Dan anak-anak sang raja
diperlakukan sebagai pangeran (prince/princes) yang selalu menjadi berita,
diberikan “privilege” dan dihormati dimana-mana. Layaknya seorang raja, ia perlu
membangun lingkaran-lingkaran yang teridiri dari para punggawa setia untuk
mengamankan dan menyamankan kedudukannya. Bahkan sang Presiden Raja
memiliki beberapa penasehat spiritual dan perlu “lelaku” untuk menjaga
kewibawaannya.
Bukankah dahulu Pak Amin Rais banyak disebut orang sebagai “the King maker”
yang berhasil menempatkan Gus Dur menjadi Presiden menggantikan Pak BJ
Habibie?. Sebutan ini benar, dan benar-benar “bener” menempatkan Gus Dus
sebagai Presiden Raja yang memerintah dari Istana Merdeka. Bahkan ada sebuah
stasiun Televisi yang menayangkan program “Menuju Istana” bagi calon Presiden
Raja yang hendak bertahta.
Bagi Presiden Raja, telah tersedia pula Istana persinggahan untuk keluarga dan
kerabat kerajaan kepresidenan. Ada Istana Bogor, Istana Cipanas, Istana Tapak
Siring siap dikunjungi untuk besantai.
Istana (palace) adalah tempat raja,ratu atau kaisar – house of emperor. Jika ada
yang mengatakan bahwa sebutan “istana” hanyalah istilah, maka apakah hanya
tersedia “satu istilah” yang layak dan pantas bagi seorang Presiden yang benarbenar
mempresideni Negara ini – istana?. Man act upon his words and verbal
behavior show the color of his character.
InsyaAllah masih ada sinar mentari di tanggal 8 Juli.
Silahkan mencontreng wajah Presiden Raja, setengah Presiden setengah Raja atau
Raja yang jadi Presiden – Selamat menikmati puncak kreatifitas demokrasi yang
berseni.
Wis bener, wis apik!..Cocok.
Ngapunten,
Salamku yo dongaku,
Pudjidiot
Tiga Substansi Dari Peristiwa Hijrah
oleh Komunitas Kenduri Cinta pada 18 Desember 2009 jam 9:54
Ditulis Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Pertama.
Momentum hijrah itulah yang dipakai untuk menandai satuan waktu, awal tahun
dan abad Islam. ‘Ilmu’nya di sini terletak pada kenyataan bahwa bukan hari atau
tahun kelahiran Muhammad saw. yang dipakai sebagai patokan awal abad Islam,
sebab fokus ajaran Islam tidak pada Muhammad, melainkan pada ajaran Allah
yang dititipkan melalui ia.
Islam tidak bersikap feodal dan verted-interest dengan memonumenkan
Muhammad sebagai manusia, karena yang terpenting adalah kasih sayang Allah
yang dibawanya untuk seluruh ummat manusia. Muhammad bukan founding
father of Islam. Agama tidak didirikan oleh Nabi, Rasul atau manusia. Agama
bukan bikinan atau ciptaan yang selain Allah.
Otoritas atas kehidupan manusia seratus persen berada di tangan Allah, dan para
Nabi hanya menyampaikannya. Bagi tradisi sifat Allah, Nabi dan Rasul boleh tidak
ada. Allah berhak tidak menciptakan Muhammad, tidak memilihnya sebagai
kekasih, atau melakukan apapun. Jadi, sekali lagi, yang penting adalah ‘hijrah’nya,
bukan ‘Muhammad’nya meskipun karena etika historis dan logika cinta:
Muhammad kita sayangi sesayang-sayangnya sebagaimana Allah menyayanginya
melebihi sayangNya kepada apapun dan siapapun saja.
Kedua.
Hijrah sebagai acuan pokok ilmu, ajaran dan cinta kasih Islam.
Anda jualan bakso itu menghijrahkan bakso ke pembeli dan si pembeli
menghijrahkan uang kepada Anda. Anda buang air besar itu menghijrahkan
sampah biologis ke lubang WC. Anda nikah dan bikin anak itu menghijrahkan
sperma ke ovum istri. Anda juga menghijrahkan Suharto ke rumahnya,
menghijrahkan Habibie ke Binagraha dan seterusnya. Anda menghijrahkan uang
Anda ke brangkas bank. Anda menghijrahkan diri Anda ke rumah Allah.
Hidup adalah hijrah dariNya menuju keharibaanNya. Hidup hanya berlangsung
dalam konsep dan mekanisme hijrah. Tidak ada benda, makhluk, peristiwa atau
apapun saja dalam kehidupan ini yang tidak berhijrah. Yang menjadi masalah dan
pilihan manusia adalah pengakuan dari mana ia berhijrah, ke mana ia sedang dan
akan menghijrahkan dirinya, dengan cara apa ia melakukan hijrah.
Anda menghijrahkan uang dari kas kantor ke kas keluarga: pertanyaannya terletak
pada bagaimana konteks dan nilai (akidah, akhlak, hukum) hijrahnya uang itu.
Yang disebut Era Reformasi, jatuhnya Suharto, kerusuhan Ambon, pekikan Aceh,
kasus Bank Bali, tempe-delenya perilaku politisi, sidang MPR dan apapun diikat
oleh bagaimana nilai seseorang menghijrahkan dirinya, aspirasinya, political willnya.
Di situ terdapat langit nilai baik buruk, benar salah, indah dan jorok; serta
terdapat acuan formal: legal atau illegal, sah atau tidak sah, halal atau makruh
atau haram atau malah wajib, dan seterusnya. Menjadi jelas bahwa empasis nilai
Islam tidak pada Muhammad, melainkan pada nilai Hijrah. Muhammad wajib
patuh kepada nilai hijrah, terikat untuk menjadi uswatun hasanah atau teladan,

dan tidak boleh melanggar kasih sayang Allah yang sudah Ia rumuskan dalam Al-
Qur’an, serta yang juga dicipratkan melalui subbah-nya atas Muhammad sendiri.
Ketiga,
Metodologi dan strategi hijrah. Yang dilakukan pertama-tama oleh Rasulullah
saw. begitu tiba di Madinah adalah mempersaudarakan Kaum Muhajirin dengan
Kaum Anshor. ‘Mempersaudarakan’ ini sangat luas maknanya:
mempersaudarakan dalam konteks transaksi kultural, sosiologis, politis dan lain
sebagainya. Negara Indonesia kecolongan kerusuhan di Ambon, Timor Timur dan
Aceh dll. Karena konsep persaudaraan mereka tidak digali, diterjemahkan dan
dirumuskan ke dalam konsep nasionalisme, persatuan dan kesatuan yang jelas.
Ketidakjelasan konsep itu membuahkan ketidakmenentuan komunikasi, etika
pergaulan antar kelompok, kecurangan politik, dan menjadi lebih parah lagi
karena kepemimpinan ilmu kenegaraan Indonesia tidak bersedia mensyukuri ilmu
dan ajaran Allah yang mendialektikakan konteks-konteks horisontal dengan
vertikal. Kalau tidak karena perlindungan dan kasih sayang Allah kepada rakyat
kecil, negara Indonesia tidak akan sanggup menyelamatkan dirinya sendiri.


Warung Jodoh
by Komunitas Kenduri Cinta
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib,
Mungkinkah di warung kopi, pelanggan ketemu jodoh?
Tentu saja mungkin "... lnna khalaqnakum min dzakarin wa untsa . lita'arafu. ." --
kata Tuhan -- ...
Kuciptakan kalian menjadi lelaki dan wanita ...untuk saling berkenalan..."
Saling berkenalan. Boleh di asrama, di terminal, maupun di warung kopi. Mencari
jodoh itu mulia. Dan kalau toh pelanggan masih gagal ketemu jodoh,siapa tahu
malah penjaga warungnya yang ketiban pulung.
Misalnya seorang pelanggan wanita usul: mBok tolong bikin kopi campur jahe!--
Disebut oleh pelanggan lelaki: Lho, kok seleranya sama dengan saya?
Nah, dialog, lita'arafu. tinggal diteruskan.
Saya sendiri beberapa bulan terakhir ini banyak keliling ke berbagai tempat di
Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dalam rangka 'mencarikan jodoh'seorang
karib yang nasibnya agak malang. Aduh tapi susahnya. Kalau pas dia mau,
cewenya yang ogah. Kalau cewenya ngebet, dia yang kurang stroom.
Padahal sudah empat bulan ini karib kita itu puasa tak makan, Prihatin.
Apakah ia lelaki tipe Siti Nurbaya decade? Yang jelas ia belum pernah pacaran dan
tampaknya tak becus pacaran. Jadi, cita-citanya bukan pacaran,melainkan kawin.
Kalau bisa bulan ini juga, setidaknya tahun ini.
Lha wong uslanya sama dengan saya. Nanti selak ketuwan banget.*
Ternyata ia juga tak siap untuk "nyiti nurbaya". Artinya ia tak siap untuk tiba-tiba
kawin dan segala risikonya dihadapi dengan segala gairah belajar dan
kematangan. Soal cinta, akan tumbuh bersama kerja dan partisipasi.
Ternyata dia butuh approach. Dialog. Proses, yang sebenarnya biasanya --
ditempuh lewat pacaran. Jadi, susah.
Sementara banyak gadis yang saya pertemukan dengannya segera terjebak oleh
pemandangan kulit luar.
Karib saya ini tidak cakep, pakaian sama sekali tidak ngepop. Pokoknya tak
menarik. Segera dia tak lulus ujian pertama di mata perawan.
Apaagi kalau 'mata ujian'-nya' seperti yang sering terbaca di rubrik. Kontak Jodoh.
Misalnya, "Dicari lelaki usia maksimal 35 tahun, sarjana, punya pekerjaan tetap,
bertanggung jawab..." Dan yang mencari itu gadis 35 tahun,sarjana muda,
pekerjaan tetap dan mengaku setia.
Lha karib saya itu pasti tak lulus. Dia sudah 36 tahun. Bukan sarjana dan tak punya
kerja tetap: dia hanya asisten sutradara film yang sudah cukup kaya dan mampu
mengangkat ekonomi Ibu dan 8 saudara-saudarinya. Apakah ia bertanggung
jawab dan setia? Harus kawin dulu, untuk membuktikan tanggungjawab dan
kesetiaannya? Selebihnya, ia 'sekadar` lelaki yang baik, amat baik, amat santun,
hati lembut, penyabar, rajin shalat. Sedemikian rupa sehingga akan sangat banyak
sahabat-sahabatnya yang cemburu dan merasa kehilangan kalau ia nanti kawin.
Tapi ya Gusti yang dicari wanita mungkin lain, atau mereka tak tahu bagaimana
tahu apa yang dicarinya.
*) Maksudnya, "keburu tua".
Catatan Komunitas Kenduri Cinta I
Page 194
Bersambung ke edisi II…. (coming soon) ☺
Maturnuwun…
Jay

0 komentar:

Posting Komentar