Sabtu, 15 Desember 2012
KENDURI CINTA
Kenduricinta ala emha.
SEKILAS TENTANG KOMUNITAS KENDURI CINTA
Komunitas
Kenduri Cinta merupakan wadah silaturahmi yang tidak
hanya
berisikan kesenian namun juga mengedepankan pencerahan
pada segi
pendidikan politik, kebudayaan dan kemanusiaan yang
multikultur.
Gerakan Cinta dalam forum Maiyah Kenduri Cinta
menjembatani
kebaikan antar manusia, kemesraan dan cinta kasih
agar
nila-nilai cinta yang hakiki tidak diabaikan apalagi
ditinggalkan.
Kenduri
Cinta memberikan suasana iklim yang sehat. Panggung
dalam
forum KenduriCinta bukan suatu pementasan tetapi suatu
gerak
bersama sehingga pada akhirnya tdak ada penonton dan
yang
ditonton, bukan wadah 'show of force' perorangan atau
golongan,
melainkan sebuah forum yang mengedepankan interaksi
dan
komunikasi yang jernih, pikiran obyektif dan hati nurani yang
diliputi
kasih.
Komunitas
KenduriCinta terbentuk sejak pertengahan tahun 2000.
Komunitas
KenduriCinta adalah bagian dari komunitas Maiyah
Nusantara
yang telah lama dirintis oleh komunitas maiyah secara
rutin
bersama pada kota-kota besar di Indonesia, antara lain:
Jombang
(Padhang Mbulan), Surabaya (BangBang Wetan),
Semarang
(Gambang Syafaat), Jogjakarta (Mocopat Syafaat),
Malang
(Obor Ilahi) dan Makassar (Paparandang Ate).
Gambaran:
"lnna
ma'ya Robbi", tutur Musa, Nabi alaihissalaam, untuk
meyakinkan
ummatnya bahwa Allah ada bersamanya. Muhammad
Rasulullah
saw, juga menggunakan kata sama -di gua Tsur- tatkala
Catatan
Komunitas Kenduri Cinta I
Page 4
dikejar-kejar oleh pasukan
musuh untuk menghibur dan
memelihara iman Abu Bakar,
sahabat beliau, Sayyid kita
Rodhlialloohu'anhu:
"La takhof wa la tahzan, innalloha ma'anaa".
Jangan takut jangan sedih,
Allah ada menyertai kita.
Bahasa kenegaraan Maiyah
itu: Nasionalisme. Bahasa mondialnya:
Universalisme. Bahasa
peradabannya: Pluralisme. Bahasa
kebudayaannya: Heterogenisme,
atau kemajemukan yang
direlakan, dipahami dan
dikelola. Metode atau manejemen
pengelolaan itu namanya:
Demokrasi.
Di dalam teori Maiyah
Nasionalisme, selalu ditemukan adanya
banyak pihak, ada banyak
wajah, ada banyak warna, ada banyak
kecenderungan dan pilihan.
Masing-masing pilihan itu menggunakan
wamanya sendiri-sendiri,
wajahnya sendiri-sendiri dan
kecenderungan
sendiri-sendiri.
Setiap
mereka menghidupi dan menampilkan dirinya masingmasing.
Sehingga
pada semuanya tampak sebagai bhinneka.
Berbagai
perbedaan itu tidak membuat mereka berperang satu
sama
lain, karena diikat dan prinsip ke-ika-an, yakni komitmen
kolektif
untuk saling menyelamatkan dan mensejahterakan.
Demikianlah
berita gembira berdirinya Republik lndonesia dulu.
Sikap
Maiyah di antara berbagai pilihan itu adalah kesepakatan
untuk
saling menyetorkan kebaikan dan kemashlahatan untuk
semua.
Yang
Budha, berpakaianlah Buddha. Yang Katholik, Katholiklah.
Yang
lslam, lslamlah. Omswastiatu tak usah diganti Padamu Negeri.
Haleluya
tak usah diganti Tanah Tumpah Darahku. Shalaatullaah
salaamullaah
tak usah diganti lbu Kita Kartini. Heterogenitas itu
cukup
dijaga oleh satu prinsip: saling memperuntukkan dirinya bagi
kebersamaan.
ltulah Maiyah.
Website: http://www.kenduricinta.com
Facebook: http://www.facebook.com/#!/pages/Komunitas-
Kenduri-Cinta/34798057138?v=info
Catatan Komunitas Kenduri
Cinta I
Panggillah “Mbah Nun...!”
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 22 Februari 2010 jam 9:54
Catatan: Münzir Màdjid
TIBA-TIBA, plak-plak,
pukulan mendarat ke mulut seorang anak muda. “Tidak
sopan, jangan panggil Cak
Nun, panggillah dengan hormat, Mbah Nun...!”
SATU:
Pernah dengar nama KH
Muslim Rifa’i Imam Puro? Nama lengkap ini tidaklah
begitu populer. Namun jika
disebut “Mbah Lim” banyak kalangan yang
mengenalnya, paling tidak
sering mendengar.
Apalagi bagi kalangan
nahdliyyin, mereka sangat mengenal sosok Mbah Lim.
Bahkan kiai-kiai NU sangat
takzim terhadap beliau, termasuk Gus Dur (Allah
yarham). Karena Mbah Lim
sangat rajin menghadiri helatan-helatan yang yang
diselenggarakan NU,
terutama Muktamar. Kecenderungan pilihan Mbah Lim
terhadap sosok yang kelak
memimpin NU biasanya itulah suara Nahdliyyin.
Jika pertama kali berjumpa
pasti tak akan mempercayai bahwa orang ini sangat
disegani dari berbagai kalangan.
Sangat nyentrik. Berpakaian dengan padu padan
sangat tidak pas. Bertutup
kepala topi (bukan peci) dipadu dengan sorban. Yang
tak pernah ketinggalan,
mencangklong tas kain lusuh. Nama pesantrennya aneh,
tidak biasa: Pondok
Pesantren Al Muttaqin Pancasila Sakti, Desa Karang Anom,
Klaten. Dengan penampilan
yang “mboys” ini, tidak aneh, jika banyak yang
beranggapan bahwa Mbah Lim
adalah seorang wali.
Cara berbicaranya tidak
jelas, cedal (cadel). Sukar dipamahami. Maka sering
didampingi oleh santri atau
keluarganya sebagai juru bicara.
Suatu hari, pesantrennya
mengadakan acara dengan mengundang Emha Ainun
Nadjib untuk memberikan
ceramah. Tibalah saatnya, Emha harus naik ke atas
podium. Seorang santri
yang bertindak sebagai MC memanggil Emha.
"Kami persilakan Cak
Nun dari..."
Belum juga MC selesai
berbicara, Mbah Lim berlari-lari sambil teriak-teriak ke
arah MC. Tiba-tiba,
plak-plak, tangan Mbah Lim mendarat di mulut MC, sambil
tetap berteriak-teriak,
"Bukan Cak Nun, Mbah Nun. Ingat itu Mbah Nun!"
“Iya Mbah.”
Jawab santri agak gemetar.
Bukan sakitnya ditampar kiainya. Tapi kaget dan sama
sekali tak terduga.
Tamparannya tidak keras, karena sesungguhnya Mbah Lim
sangat menyayangi semua
santrinya.
Jamaah geger. Tapi tidak
lama. Berganti dengan gelak tawa karena Emha sangat
pandai merubah suasana.
Mbah Lim sendiri tetap
mendampingi MC sampai usai acara, berjaga-jaga agar
kesalahan ucap tak
terulang lagi.
DUA:
Pernah menyaksikan bapak
dan anak saling ejek, sindir menyindir? Itulah jika
Emha Ainun Nadjib satu panggung
dengan Sabrang Mowo Damar Panuluh,
anaknya.
“Pergaulan yang aneh,”
begitu komentar Dik Doank suatu saat
Jangan anggap mereka ada
konflik. Emha sangat mencintai Sabrang, sebaliknya
Sabrang juga sangat
menghormatinya. Mereka saling share tentang berbagai hal.
Banyak
pengetahuan-pengetahuan baru, atau penemuan-penemuan ilmiah (baru)
yang disampaikan Sabrang
kepada Emha. Sebaliknya Emha-pun sering memberi
arahan-arahan --jelas
bapaknya lebih berpengalaman, ditularkan kepada Sabrang.
Jaman SMA, setahu saya,
Sabrang tidak mengenal rokok. Emha sendiri, siapapun
tahu, adalah penikmat
rokok.
“Jika sakit jangan
merokok!” kata Emha.
“Rokok hanya untuk orang
sehat,” lanjutnya. Lho?
Logika ini mungkin saja
ditentang oleh aktivis anti rokok. Jika ingin sehat jauhilah
rokok, slogannya.
Tamat SMA, saya juga tidak
melihat Sabrang menyentuh rokok. Kalau pegang
rokok sangat wagu, hanya
diamin-mainkan, diisap tanpa api. Baguslah itu,
batinku.
Usai kuliah dari Kanada,
berkumpul lagi dengan kawan-kawan SMA-nya,
belakangan membentuk Grup
Band Letto. Saat itulah, mungkin saja, sering
belajaran merokok.
“Liiiil....!”
“Iya Mas,” jawab Kholil.
Kholil, pemuda tanggung
yang bertahun-tahun ikut di rumah Emha-Novia. Racikan
kopinya enak. Kental tak
terlalu manis.
Bersijingkat Kholil masuk
ke dalam rumah mengambil sesuatu dan diserahkan
kepada Sabrang. Entah
“persengkokolan” apa antara Sabrang dan Kholil. Jika
dipanggil oleh Sabrang
mafhumlah apa tugas Kholil.
Sampai suatu hari, entah
bagaimana ceritanya, Emha mengetahui sesuatu yang
tidak beres.
“Lil,” panggil Emha.
“Nggih Pak...”
“Apa itu?”
“Rokok, Mas Sabrang....”
Bungkusan rokok berwarna
kuning ada di gegamannya.
“Oh, mulai kapan?”
“Lami Pak, wonten
setahunan.”
(Sudah lama Pak, sekitar
setahun).
Emha, biasanya punya
simpanan rokok agak banyak. Beli sendiri atau pemberian
dari beberapa kalangan
yang berbaik hati. Sesungguhnya, telah lama, tanpa
sepengetahuannya Sabrang
meminta tolong Kholil mengambilkan rokok milik
bapaknya secara diam-diam.
Kali ini ‘tertangkap basah.’
Maka dalam suatu acara di
Kenduri Cinta, beberapa tahun lalu, Emha menagih
Sabrang.
“Coba kalikan hutangmu
itu, satu bungkus dikalikan setahun!”
Jamaah-pun tertawa.
“Dicicil saja, tiap pentas
Letto, potong 10%....”
Sabrang yang sudah dikenal
sebagai vokalis Letto, hanya menanggapi dengan
senyum-senyum.
TIGA:
Surabaya. Emha dan Kiai
Kanjeng siap-siap acara. Hari yang sama, Sabrang dan
Letto juga pentas di kota
yang sama, Kota Bonek.
Meskipun bapak dan anak
masih satu rumah, jarang sekali ketemu. Emha dan Kiai
Kanjeng keliling memenuhi
banyak undangan, Sabrang dan Letto-pun padat acara.
Bapak dan anak saling
kangen dan janjian bertemu di warung sate, makanan
favorit mereka. Emha yang
sudah dulu tiba langsung memesan beberapa porsi
sate. Tak lama kemudian
Sabrang datang.
“Ayo Brang, dimakan...!”
“Ntar Pa,” jawab Sabrang
sembari buka-buka HP.
Berceritalah mereka dengan
asyiknya. Lalu Emha tersadar, hidangannya belum
juga dijamah.
“Lho, kok tidak dimakan,
tadi sudah makan ya.”
Sabrang menjawab dengan
enteng, “Belum Pa, aku puasa.”
“Asu kowe Brang, lha
ngapain saya janjian di sini kalau puasa!”
EMPAT:
Saya ingin mengatakan
bahwa Sabrang sudah terlatih rialat. Sebuah ‘lelaku’ yang
pada umumnya anak semuda
dia belum merasa perlu menjalani. Pasti banyak
yang mengira bahwa
bapaknyalah yang mengajari. Atau minimal memberi contoh
dalam keseharian. Saya
berani bilang, bahwa secara langsung kayaknya tidak.
Emha tidak pernah
mengajarkan sebagaimana orang tua lain mendidik anaknya.
“Le, kowe puasa ya, rajin
shalat!”
Tampaknya tidak pernah
seperti itu.
Sampai kemudian saya
mendengar bahwa Sabrang punya “guru spiritual.” Keren
ya istilahnya. Maksud
saya, guru ngaji. Seorang ustadz atau kiai. Sosoknya jarang
yang kenal, seorang kiai
sederhana dan kini bertempat tinggal di Lampung.
Dulu, saat Sabrang masih
SMP, memang saya pernah diutus bapaknya mengantar
seorang guru ngaji dari
Jogja ke Lampung. Seorang guru ngaji privat selama tiga
bulan untuk mengajari
“alif ba ta” dan pelajaran dasar-dasar agama.
Tapi bukan guru ngaji itu.
Namanya KH Mustofa, saya
pernah sekali bertemu di kantor, Jakarta. Sabrang
memanggilnya Pakde Mus.
Kepada Pakde Mus inilah Sabrang banyak meminta
nasehat.
Saya sendiri kurang tahu
sejak kapan Sabrang mengenal dan menjadikan Pakde
Mus sebagai tempat
bertanya.
Belakangan juga saya
mengetahui bahwa Pakde Mus adalah santrinya Mbah Lim.
Bisa jadi Pakde Mus, kala
pertama, tidak menyadari bahwa Sabrang adalah
anaknya Emha, yang oleh
Mbah Lim sendiri ditahbiskan sebagai “Mbah Nun.”
Ini agak muter-muter.
Pakde Mus sangat takzim terhadap Emha, sebagaimana
santrinya Mbah Lim lain,
memanggilnya juga: Mbah Nun.
Hujanpun semakin kerap.
Tamu-tamu berlarian. Semua orang menduga bahwa
acara akan berantakan.
Emha yang punya gawe berlari naik ke atas panggung.
“Allahu Akbar, Alaahu
Akbar.”
“Allahu Akbar, Allahu
Akbar,” azan digemakan sampai usai.
Resepsi pernikahan Sabrang
dengan Uchi (26 Maret 2009) tetap berjalan dengan
lancar di Monjali, Jogja.
Hujan mulai reda. Langitpun kembali dipenuhi bintang
gemintang. Di pojokan,
entah di mana, Pakde Mus ngumpet sampai acara usai.
Berdoa dengan khusuk untuk
“anak” kesayangannya, Sabrang.
LIMA:
Selamat kepada Sabrang dan
Uchi untuk kelahiran putri pertamanya, 8 Februari
2010: Rih Anawai Lu'lu'
Bodronoyo. []
Jkt-Pwt, Des 2009, Jan,
Feb 2010
Tulisan ini untuk bapakku.
Semoga cepat sembuh. Anakmu, sungguh
menyayangimu.
ABDURAHMAN WAHID-WAHID
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 18 Juni 2010 jam 11:01
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Lambat atau cepat hegemoni
kekuatan persepakbolaan dunia akan bergeser ke
Afrika, meskipun kemudian
akan bergilir ke wilayah lainnya. Sejak piala dunia
beberapa kali yang lalu
Aljazair, Camerun, Nigeria, Marokko, sudah ngampingamping
- tetapi memang masih ada
semacam nuansa rasisme dalam mekanisme
politik persepakbolaan,
yang tercermin pada psikologi wasit atau pengurus
organisasi persepakbolaan.
Sayang Mesir tak masuk,
gara-gara Gus Dur di-impeach oleh MPR. Orang Mesir
cinta Indonesia, Sukarno
dan merasa memiliki Gus Dur karena sejarah kakek
beliau serta karena pernah
kuliah di Cairo. Gus Dur jatuh mengecewakan orang
Mesir, sehingga sampai
hari ini belum tentu Megawati diterima di sana. Sampaisampai
kesebelasan Mesir kacau
hatinya dan tidak bisa menang lawan Aljazair.
Skor 1-1, padahal kalau
1-0, Mesir masuk Piala Dunia. Kalau Gus Dur waktu itu
tetap jadi presiden, skor
pasti 1-0. 1 itu Wahid. Kalau 1-0 berarti Wahidnya satu.
Kalau skor 1-1 maka nama
Gus Dur menjadi Abdurahman Wahid Wahid...Maka
Mesir gagal ke Piala
Dunia.
Tapi toh sekarang Senegal
memberi lampu kuning, meskipun tidak akan semulus
yang kita impikan. Bagi
kita yang berpikiran standar, tentu kaget kok Perancis bisa
kalah oleh Senegal.
Meskipun tak ada Zidane tapi ya jan gan lantas begitu loyo,
tidak kreatif, tidak punya
daya menaklukkan, permainan individu kalah, tidak
punya aransemen dengan
akselerasi gerak dan irama bermain.
Tapi bagi yang sudah punya
instink dan tahu bahwa Senegal akan unggul, hasil
pertandingan awal Piala
Dunia tadi malam tidak mengejutkan. Namun demikian
saya sarankan sebaiknya
kita memilih kaget saja menyaksikan setiap kejadian
selama Piala Dunia, sebab
tujuan kita memang untuk terkaget-kaget, sehingga
asyik dan selalu ada
dinamika, ada tegangan.
Kalau pada pertandingan
perdana Perancis kalah tapi nantinya malah jadi juara,
sebaiknya kita kaget.
Kalau ternyata Perancis tak bisa sampai ke final, marilah
tetap kaget. Kalau Senegal
menang terus setelah yang awal ini, juga marilah
kaget. Kalau kalah dan
tidak bisa masuk ke babak berikutnya, marilah terus kaget.
Kalau tidak kaget, apa gunanya
nonton sepakbola.
Hari ini saya bertugas di
tiga acara, dan pertandingan perdana Perancis-Senegal
berlangsung pada acara
terakhir saya tadi malam. Saya nonton tidak intensif dan
tidak seluruhnya. Sambil
kedinginan dalam acara - karena tempatnya dekat Kutub
Selatan - saya
bertanya-tanya siapa yang menang, dan tiba-tiba ada SMS masuk
berbunyi :"Itali
juara Cak!". Gendeng. Tapi memang nonton sepakbola adalah
peluang sangat indah untuk
berkhayal, menciptakan lakon-lakon apa saja di
dalam benak kita, membayang-bayangkan,
melampiaskan obsesi, bahkan bisa
nonton sepakbola untuk
menerapkan ideology, sentimen-sentimen sejarah atau
selera pribadi. Teman saya
yang memandang sepakbola secara professionalestetik,
tidak senang Perancis
kalah, karena tidak cocok dengan teori baku
tentang mutu kesebelasan.
Tapi bagi teman lain yang pikirannya dipenuhi oleh
romantisme perjuangan kaum
tertindas, bersorak-sorak karena Senegal menang,
karena mengidentifikasi
Perancis sebagai salah satu negara penjajah pada abadabad
yang lalu.
Semula dia mencita-citakan
finalnya nanti Perancis vs. Kamerun dan akan
dimenangkan kesebelasan
negara kaum hitam yang nenek moyangnya dulu
dijajah. Cuma ideologi
teman saya ini menjadi agak tidak mantap kalau dia ingat
bahwa Zidan beragama
Islam...
Ah, apa Anda pernah
mendengar musik Senegal? Tidak ada musik yang asyiknya
melebihi asyiknya musik
Senegal serta negara-negara Afrika agak Utara lainnya.
Kreativitas musik di
wilayah ini menggabungkan 3 dimansi keindahan: dinamika
Afrika, romantisme Timur Tengah
dan kecanggihan Eropa. Beruntung saya pernah
pentas bareng mereka di
lapangan pinggir pantai Rotterdam......***
Akal dan Otak
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 23 April 2010 jam 11:01
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Akal tidak sama dengan
Otak. Ayam dan kambing juga punya otak, tapi jangan
bilang kambing berakal.
Otak itu hanya hardware-machine dari suatu fungsi
berfikir. Adapun akal itu
suatu potensialitas rohaniah, kita harus menggalinya
sepanjang zaman, karena
yang kita dapatkan darinya hanya gejala-gejalanya saja,
Anda kenal inspirasi,
kretivitas, ilham, ide, gagasan. Serpihan-serpihan meloncat
dalam kandungan rahasia
akal ke memori dan kesadaran kita. Akal itu bagaikan
ujung jari Tuhan yang
menyentuh cintanya kepada kita untuk mentransfer cinta,
silaturahmi, janji kasih,
dan berbagai anugrah. Kalau dikatakan ada orang
kehilangan akal, artinya
ia mengalami keterputusan kontak dengan hidayah
Tuhan. Pikirannya buntu
dan otaknya terbengkalai. Jadi, otak bisa tidak sehat,
cara berpikir bisa khilaf dan
terpeleset, tapi akal selalu sehat dan benar. Yang tak
sehat biasanya adalah
metode dan mekanisme berpikir.
“Apa tho Nak, Emansipasi itu?”
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 21 April 2010 jam 9:06
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Ibu menjaga hasrat baik
agar terus
memenuhi desa, berperang
melawan
kelapukan akibat tumpahan
hujan dari
kekuatan-kekuatan yang
mengatasi
desa kita.
Mungkin sekedar ‘kelas’
rukuh, tapi
soalnya ialah kerajinan
Ibu untuk
menerobos dan menelusup,
di samping
rukuh memang menyediakan
rasa tidak
aman bagi kemunafikan. Ibu
juga maju
ke Pak Polisi, angkat
tangan memotong
pidato Pak Pejabat di
mimbar, melayani
segala kesulitan pekerjaan
birokratis
yang bisanya ditangani
oleh kaum
Catatan Komunitas Kenduri
Cinta I
lelaki, menampung pertengkaran
suami istri-suami istri,
membendungi
gejala saling benci di
antara siapapun,
mempertanyakan sesuatu
kepada Pak-
Pak Pamong, tanpa rasa
sungkan atau
pakewuh seperti yang lazim
diketahui
sebagai lenderteal
pembungkus sikap
sosial orang Jawa. Meskipun
toh
frekuensi ketidakberesan
yang pada
umumnya tumpah dari atas
selalu akan
bisa mengubur usaha-usaha
hasrat baik
Ibu.
Pasti ada ribuan orang di
negeri ini
yang melakukan seperti
yang Ibu
lakukan. Ratusan
kawan-kawan
anakmu juga mampu
mengerjakan
berbagai hal yang penuh
arti. Tapi
lihatlah, apa yang lebih
bermutu dari
sepak terjang anakmu ini
selain
merengek-rengek?
Banyak hal pada kegiatan
kaum wanita di desa kita yang membuat segala
pembicaraan tentang
masyarakat
patrimonial menjadi terasa
aneh. Tetapi
toh Ibu juga tak
bosan-bosan bertanya
kepada anak-anakmu atau
kepada
kawan-kawan anak-anakmu
yang
datang ke desa:“apa tho
Nak
emansipasi wanita itu?”
(Sumber: “IBU, TAMPARLAH
MULUT ANAKMU” Sekelumit Catatan Harian.
23.8.1985. foto oleh:
Budhi Ipoeng)
Bakso Khalifatullah
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 12 Februari 2010 jam 9:36
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Setiap kali menerima uang
dari orang yang membeli bakso darinya, Pak Patul
mendistribusikan uang itu
ke tiga tempat: sebagian ke laci gerobagnya, sebagian
ke dompetnya, sisanya ke
kaleng bekas tempat roti.
“Selalu begitu, Pak?”,
saya bertanya, sesudah beramai-ramai menikmati bakso
beliau bersama anak-anak
yang bermain di halaman rumahku sejak siang.
“Maksud Bapak?”, ia ganti
bertanya.
“Uangnya selalu disimpan
di tiga tempat itu?”
Ia tertawa. “Ia Pak. Sudah
17 tahun begini. Biar hanya sedikit duit saya, tapi kan
bukan semua hak saya”
“Maksud Pak Patul?”, ganti
saya yang bertanya.
“Dari pendapatan yang saya peroleh dari kerja
saya terdapat uang yang
merupakan milik keluarga
saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.
Aduh gawat juga Pak Patul
ini. “Maksudnya?”, saya mengejar lagi.
“Uang yang masuk dompet
itu hak anak-anak dan istri saya, karena menurut
Tuhan itu kewajiban utama
hidup saya. Uang yang di laci itu untuk zakat, infaq,
qurban dan yang
sejenisnya. Sedangkan yang di kaleng itu untuk nyicil biaya naik
haji. Insyaallah sekitar
dua tahun lagi bisa mencukupi untuk membayar ONH.
Mudah-mudahan ongkos haji
naiknya tidak terlalu, sehingga saya masih bisa
menjangkaunya”.
Spontan saya menghampiri
beliau. Hampir saya peluk, tapi dalam budaya kami
orang kecil jenis
ekspressinya tak sampai tingkat peluk memeluk, seterharu
apapun, kecuali yang
ekstrem misalnya famili yang disangka meninggal ternyata
masih hidup, atau anak
yang digondhol Gendruwo balik lagi.
Bahunya saja yang saya
pegang dan agak saya remas, tapi karena emosi saya
bilang belum cukup maka
saya guncang-guncang tubuhnya. Hati saya
meneriakkan “Jazakumullah,
masyaallah, wa yushlihu balakum!”, tetapi bibir saya
pemalu untuk
mengucapkannya. Tuhan memberi ‘ijazah’ kepadanya dan selalu
memelihara kebaikan
urusan-urusannya.
Saya juga menjaga diri
untuk tidak mendramatisir hal itu. Tetapi pasti bahwa di
dalam diri saya tidak
terdapat sesuatu yang saya kagumi sebagaimana kekaguman
yang saya temukan pada
prinsip, managemen dan disiplin hidup Pak Patul.
Untung dia tidak menyadari
keunggulannya atas saya: bahwa saya tidak mungkin
siap mental dan memiliki
keberanian budaya maupun ekonomi untuk hidup
sebagai penjual bakso,
sebagaimana ia menjalankannya dengan tenang dan
ikhlas.
Saya lebih berpendidikan
dibanding dia, lebih luas pengalaman, pernah mencapai
sesuatu yang ia tak pernah
menyentuhnya, bahkan mungkin bisa disebut kelas
sosial saya lebih tinggi darinya.
Tetapi di sisi manapun dari realitas hidup saya,
tidak terdapat sikap dan
kenyataan yang membuat saya tidak berbohong jika
mengucapkan kalimat
seperti diucapkannya: “Di antara pendapatan saya ini
terdapat milik keluarga
saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.
Peradaban saya masih
peradaban “milik saya”. Peradaban Pak Patul sudah lebih
maju, lebih rasional,
lebih dewasa, lebih bertanggungjawab, lebih mulia dan tidak
pengecut sebagaimana
‘kapitalisme subyektif posesif’ saya.
30 th silam saya pernah menuliskan
kekaguman saya kepada Penjual cendhol
yang marah-marah dan
menolak cendholnya diborong oleh Pak Kiai Hamam
Jakfar Pabelan karena
“kalau semua Bapak beli, bagaimana nanti orang lain yang
memerlukannya?”
Ilmunya penjual jagung
asal Madura di Malang tahun 1976 saya pakai sampai tua.
Saya butuh 40 batang
jagung bakar untuk teman-teman seusai pentas teater, tapi
uang saya kurang, hanya
cukup untuk bayar 25, sehingga harga perbatang saya
tawar. Dia bertahan dengan
harganya, tapi tetap memberi saya 40 jagung.
“Lho, uang saya tidak cukup, Pak”
“Bawa saja jagungnya, asal
harganya tetap”
“Berarti saya hutang?”
“Ndaaak. Kekurangannya itu
tabungan amal jariyah saya”.
Doooh adoooh…! Tompes ako
tak’iye!
Di pasar Khan Khalili
semacam Tenabang-nya Cairo saya masuk sebuah took
kemudian satu jam lebih
pemiliknya hilang entah ke mana, jadi saya jaga tokonya.
Ketika dating saya protes:
“Keeif Inta ya Akh…ke mane aje? Kalau saya ambilin
barang-barang Inta terus
saya ngacir pigimane dong….”
Lelaki tua mancung itu
senyum-senyum saja sambil nyeletuk: “Kalau mau curi
barang saya ya curi saja,
bukan urusan saya, itu urusan Ente sama Tuhan….”
Sungguh manusia adalah
ahsanu taqwim, sebaik-baik ciptaan Allah, master-piece.
Orang-orang besar
bertebaran di seluruh muka bumi. Makhluk-makhluk agung
menghampar di jalan-jalan,
pasar, gang-gang kampung, pelosok-pelosok dusun
dan di mana-manapun. Bakso
Khlifatullah, bahasa Jawanya: bakso-nya Pak Patul,
terasa lebih sedap karena
kandungan keagungan.
Catatan Komunitas Kenduri
Cinta I
Page 25
Itu baru tukang bakso,
belum anggota DPR. Itu baru penjual cendhol, belum
Menteri dan Dirjen Irjen
Sekjen. Itu baru pemilik toko kelontong, belum Gubernur
Bupati Walikota
tokoh-tokoh Parpol. Itu baru penjual jagung bakar, belum Kiai
dan Ulama. **
Bid'ah
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 07 April 2010 jam 9:54
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Bid’ah itu adalah sesuatu
yang tidak dilakukan/dipakai oleh Rasulullah, terus kita
pakai. Bid’ah itu berlaku
diwilayah mahdhah. Islam itu dibagi 2 berdasarkan
firman Allah, yang satu
namanya ibadah mahdhah jumlah firmannya 3,5 %, yang
kedua namanya ibadah
muamalah ayat-ayatnya menyeluruh sekitar 96,5%.
Ibadah mahdhah itu apa?,
ibadah muamalah itu apa?. Pedomannnya ibadah
mahdhah adalah jangan
lakukan apapun kecuali yang Aku perintahkan. Kalau
ibadah muamalah, lakukan
apa saja semaumu asalkan tidak melanggar syariat Ku.
Contoh ibadah mahdhah itu:
syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji, itu saja yang
tidak boleh ditambah dan
tidak boleh dikurangi.
BU CAMMANA KEKASIH
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 31 Maret 2010 jam 13:03
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Maiyahan terakhir Kiai
Kanjeng dengan saya adalah di garis kaki dan 'pantat'
belakang Pulau Selawesi.
Dari Makassar menuju utara lewat trans Sulawesi - di sisi
barat sesudah sisi lain
ditakuti karena kasus Poso. 5 jam pertama menuju
Tinambung, salah satu
titik sisa kerajaan di antara 7 kerajaan pantai dan 7
kerajaan pegunungan.
Serombongan 22 orang,
berangkat awalnya enak karena naik pesawat, tapi dari
Makassar kami menyusuri
jalanan ratusan kilometer untuk pekerjaan yang kami
beri judul "latihan
tawakkal". Medan sangat berat, suhu sangat panas, tidak mesti
bisa mandi, keringatan
terus menerus tanpa sempat mencuci atau menjemur
pakaian. Acara formalnya
hanya enam kali, tapi yang non-formal - dan di sini letak
konteks maiyah
kemasyarakatan kami - bertubi-tubi.
Ibunda Cammana, saat
menerima penghargaan Satyalancana dari Presiden RI,
pada Minggu malam lalu, 28
Maret 2010
Maiyahan dengan ribuan
masyarakat yang turun dari gunung-gunung dan sudah
tiba di tempat itu satu
dua hari sebelumnya karena tidak mudahnya transportasi.
Maiyahan mengidentifikasi
masalah-masalah mereka, merundingkannya,
membukakan wacana dan
mencari solusi bersama-sama - dibungkus perjanjian
vertical dengan Allah
melalui dzikir dan shalawat bersama yang diperindah oleh
musik Kiai Kanjeng.
Maiyahan dengan ribuan
masyarakat di pertigaan tengah kota kecil Tinambung -
pusat asal usul Pasukan
Balanipa - yang dua puluh tahun yang lalu hampir
menyerbu Majene dan kami
hentikan di tengah jalan, kami cegat dan kami giring
pulang untuk berkumpul di
Masjid. "Musuh Anda bukan orang lain golongan atau
lain suku" - demikian
saya sempat omong waktu itu - "Musuh Anda akan masuk
lewat jembatan yang dua
tahun lagi akan di bangun di Sungai Mandar ini. Truktruk
dan fasilitas kekuasaan
orang kota akan masuk kesini. Pertanyaan yang harus
Anda jawab adalah apakah
jembatan itu akan memasukkan kesejahteraan ke
kampung-kampung Anda
ataukah justru akan dipakai untuk menguras kekayaan
Anda ke Jakarta..."
Maiyahan di lapangan
Majene, di depan pasar Polewali-Mamassa, di alun-alun
Mamuju. Jika lampu mati -
karena PLN belum berpengalaman dengan
penggunaan sound-system
yang butuh teknologi los stroom - rembulan
menaburkan cahaya dan keremangan
di bawah langit sangat mengkhusyukkan
kehadiran Allah dan
Rasulullah.
Di sekitar lapangan maiyah
selalu tampak pebukitan yang subur, laut dan
cakrawala remang. Ketika
siang hari kami melintasi daerah-daerah itu, tak bisa
menahan hati untuk mengatakan
kepada ribuan jamaah maiyah bahwa "Anda
semua di wilayah yang
subur ini sesungguhnya tidak butuh Indonesia. Negara ini
jelas lebih banyak
mengganggu Anda dar ipada menyayangi dan membantu
kehidupan Anda...."
Kemudian diskusi tentu saja menjadi berkepanjangan.
Entah butuh berapa ratus
halaman untuk mengisahkan indahnya pengalaman
maiyahan dengan
saudara-saudara kita di pelosok itu. Tidak mungkin terucap oleh
rangkaian kata sepuitis
apapun maiyahan kami di dusunnya Bu Cemmana - Ibu tua
yang vocalnya seperti
terompet, powernya tidak bisa dilawan oleh Ian Gillan,
warna suaranya seperti
perawan 14 tahun. Ibu asset bangsa yang bangsanya
sendiri tidak punya ilmu
sama sekali untuk menghargainya....
Bangsa ini membiayai
putauw dengan uang tak terbatas, membiayai kemaksiatan
tanpa hitungan, membiayai
kekonyolan dengan malah membangga-banggakan,
membiayai fitnah dan
berita-berita pembodohan dengan trliyunan rupiah. Bu
Cemmana.****
Bulan Purnama Rendra
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 23 Agustus 2009 jam 16:52
Sumber: GATRA
Tuhan memilihkan saat
terbaik untuk memanggil kekasih-Nya, Rendra. Malam
Jumat, di bawah cahaya
bulan purnama. Orang besar itu telah pergi dengan gagah
sebagaimana ajarannya:
''gagah dalam kemiskinan''. Istrinya, Ken Zuraida,
menyatakan ''ia sangat
bahagia'', meskipun pasti bagi setiap yang terlibat
kematian selalu ada
semacam ''derita manusiawi'' yang membungkusnya.
Ini adalah puncak tangis
mengguguk-guguk seorang pecinta yang air matanya
tumpah di ufuk kesadaran
tentang nyawiji. Selama sakit di pembaringan, Rendra
selalu spontan menyebut,
''Ya Lathif, wahai Yang Mahalembut." Di saat-saat
paling menderita oleh
sakitnya, ia meneguhkan hatinya dengan ''Qul huwal-Lahu
Ahad, Allahus-Shamad....''
Setengah sadar, sambil saya genggam tangan kirinya,
saya minta ia menambahi,
''Mas, ucapkan juga Qul Huwal-Lahu Wahid....''
Ia berbisik, ''Apa bedanya
Ahad dengan Wahid, Nun'', saya jawab, ''Mas, Ahad itu
Allah yang tunggal, yang
satu, yang gagah perkasa dengan maha-eksistensi-Nya.
Wahid itu Allah yang
manunggal, yang menyatu, yang integral, yang merendahkan
diri-Nya, mendekat ke
hamba-Nya, nyawiji....'' Meledak tangis Rendra dalam rasa
dan kesadaran bahwa ia tak
berjarak dengan-Nya dan Ia tak berjarak dengan
dirinya. Tatkala mereda
gejolak hatinya, Rendra menorehkan puisi yang diakhiri
dengan kalimat, ''Tuhan,
aku cinta pada-Mu."
Maka, Rendra tak pergi.
Tak pernah pergi. Ia tidak perlu pergi menuju sesuatu
yang ia sudah menyatu
dengannya. Mungkin Rendra memang telah pergi
meninggalkan kita, jauh
sebelum detik kematiannya, karena kita meletakkan diri
semakin jauh dari titik
nyawiji yang Rendra sudah lama menikmatinya.
***
Tapi sudah pasti kemudian
terdengar suara dari seluruh penjuru: ''Kita sangat
kehilangan'', ''Bangsa
kita ditinggalkan lagi oleh salah seorang putra terbaiknya'',
atau ''Tidak. Rendra tak
pernah pergi. Orang besar tak pernah mati''.
Bisa jadi, pekikan-pekikan
hati itu sebenarnya tidak terutama tentang Rendra,
melainkan lebih terkait
dengan kandungan batin kita sendiri. Semua pernyataan
itu sangat memancarkan
kedalaman cinta, semangat mempertahankan
optimisme ke depan.
Mungkin juga diam-diam terdapat kandungan kecemasan
dan kebingungan dari dalam
ego kita sendiri.
Terutama bagi orang yang
semakin berangkat tua seperti saya: mengibarkan
kehidupan Rendra pada
momentum kematiannya sesungguhnya diam-diam
sangat tajam mencerminkan
kengerian terhadap kehidupan dan kematian saya
sendiri. Kita
berduyun-duyun menghadiri pemakamannya, mungkin untuk
menyatakan kepada Tuhan
betapa cintanya kita kepada kehidupan kita dan
betapa khawatirnya kita
akan datangnya maut sewaktu-waktu atas kita.
Mungkin terdapat semacam
raungan di kandungan jiwa setiap pen-takziyah
pemakaman Rendra. Raungan
panjang seperti puisi "Rick dari Corona'' atau
''Khotbah''. Tetapi
mungkin berakhir sublim dan mengkristal menjadi Drama Mini
Kata Rendra: ''Bip Bop'',
''Rambate Rate Rata''....
Sementara bagi para
pen-takziyah yang muda-muda, yang menyangka bahwa
maut ada kaitannya dengan
muda dan tua, di kompleks Bengkel Teater
meneriakkan puisi-puisi
perjuangan, mengibarkan kepercayaan di dalam diri
mereka bahwa kepergian
Rendra bukanlah sirnanya perjuangan sosial,
progresivisme ideologi
nasional dan martabat kemanusiaan. Mereka seolah
menghadirkan kembali
panggung ''Mastodon dan Burung Kondor'', ''Sekda'',
bahkan ''Kasidah
Barzanji'', hingga puisi ''Orang Miskin di Jalan'', ''Bersatulah
Pelacur-pelacur Ibukota'',
''Seonggok Jagung di Kamar''.
***
Wahai maut, siapakah
engkau? ''Bukan kematian benar menusuk kalbu,'' kata
Chairil Anwar, penyair
terbesar Indonesia di samping Rendra dan Sutardji Calzoum
Bachri. ''Keridaanmu
menerima segala tiba. Tak kutahu setinggi itu atas debu. Dan
duka Maha Tuan
bertahta...."
Tuhan tak sudi dipergoki.
Takdir-Nya tak bisa dicegat. Kehendak-Nya tak mungkin
dibatasi. Hak-Nya atas
misteri garis terang dan gelap kehidupan, serta atas
ketentuan detik maut
dihadirkan, tak membuka diri sedikit pun untuk dirumuskan
oleh segala ilmu dan
pengalaman. Kehidupan sangat mengaitkan sakit dengan
kematian, tetapi maut tidak
bersedia dikaitkan dengan sakit.
Orang bisa sakit
berkepanjangan tanpa kunjung maut menjemputnya. Orang
sehat walafiat bisa
mendadak dihadang oleh kematian. Rendra dipanggil Allah
tidak berdasar akselerasi
logis dari sakit demi sakit yang dideritanya: pikiran yang
memberat, jantung bekerja
terlalu keras, ginjal menanggung akibatnya, kemudian
tiba-tiba demam berdarah
menelusup ke darahnya dan menganiaya jiwanya.
Keadaannya justru membaik,
sehingga diperkenankan keluar dari rumah sakit,
kemudian menempuh jalan
yang ia menyebutnya: ''Aku pengin membersihkan
tubuhku dari racun kimia.
Aku ingin kembali kepada jalan alam. Aku ingin
meningkatkan pengabdian
kepada Allah. Tuhan, aku cinta pada-Mu'' (31 Juli
2009).
Rasulullah Muhammad SAW
menderita panas badan yang sangat luar biasa
melebihi kebanyakan orang.
Beliau menjawab pertanyaan salah seorang
sahabatnya tentang panas
yang ekstra itu: bahwa beliau dibebani Allah tanggung
jawab sangat besar
melampaui semua yang lain, sehingga Tuhan
menganugerahkan juga
kemuliaan yang sangat tinggi melebihi siapa pun, tetapi
harus juga beliau tanggung
panas yang amat tinggi dan dahsyat yang orang lain
tak menanggungnya.
Demikianlah juga kadar
derita sakit yang dialami Rendra, takaran jenis
kesengsaraan yang
menimpanya, yang khalayak ramai tidak perlu mengetahui
atau turut menghayatinya.
Rendra bahagia di dalam anugerah kemuliaan yang
diterimanya dalam rahasia.
Bahkan lautan kebahagiaan dan kemuliaan Rendra
tidak perlu ''digarami''
oleh pernyataan pers Presiden Republik Indonesia
sebagaimana Mbah Surip
dianggap memerlukannya.
Pada hari wafatnya Rendra,
di samping menikmati pemandangan indahnya
kemuliaan rahasia Rendra
itu, saya mendapat cipratan anugerah yang lain:
menyaksikan seseorang
menginfakkan Rp 6,1 trilyun --dengan Allah merebut
seluruh kemuliaan
hamba-Nya itu-- dengan cara membiarkan sesama manusia
justru memperhinakannya.
Alangkah anehnya metode cinta Tuhan.
Di hadapan akal sehat,
presiden berpidato untuk wafatnya Mbah Surip tapi tidak
untuk wafatnya Rendra
adalah kehancuran logika dan kebangkrutan parameter
nilai budaya. Tapi, di
hadapan karamah Allah, itu justru keindahan yang spesifik.
SBY bikin stempel tegas
atas dirinya sendiri.
Ini sama sekali bukan
polarisasi antara Rendra dan Mbah Surip. Tiga tahun lebih
saya ikut mengawal dan
menjunjung Mbah Surip dan ''Tiga Gorilla''-nya --bersama
Bertha dan almarhum Ndang:
melalui forum rakyat rutin bulanan di Jakarta,
Jombang, Semarang,
Surabaya, dan Yogyakarta.
Sehingga Tak Gendong dan
Tidur Lagi sudah sangat dihafal oleh komunitas lima
kota itu dan terus-menerus
diulang karena sangat dicintai sebagai ''lagu
kebangsaan'' komunitas
kami. Kami ''I love you full'' kepada Mbah Surip,
meskipun dua bulan
terakhir menjelang beliau wafat, kami kehilangan diri kami di
penggalan akhir sejarah
Mbah Surip, tanpa Mbah Surip pernah hilang dari hati
kami.
***
Rendra dipanggil Allah
justru di puncak optimisme keluarganya atas
kesembuhannya. Candle
light phenomenon, kata orang. Fenomena lilin yang
apinya membesar dan
memancarkan cahaya sangat benderang, sebelum akhirnya
padam. Tapi Tuhan berhak
juga bikin lilin membenderang apinya, kemudian tidak
padam. Atau lilin tidak
pernah membenderang dan lantas padam.
Tuhan berhak memaparkan
suatu gejala yang pada repetisi kesekian
dihipotesiskan oleh manusia
sebagai jenis "perilaku" Tuhan atas nasib manusia.
Tapi Tuhan juga berhak
kapan saja melanggar rumusan apa pun yang pernah Ia
berikan. Bahkan Tuhan
seratus persen tidak berkewajiban untuk berbuat adil
kepada siapa pun, karena
Ia tidak terikat atau bergantung pada pola hubungan
apa pun dengan siapa pun,
yang secara logis membuat-Nya wajib bertindak adil.
Namun Ia selalu sangat
adil kepada siapa pun, dan tindakan adil-Nya itu bukan
karena Ia wajib adil,
melainkan karena Ia sangat sayang kepada makhluk-Nya.
Termasuk bagaimana cara
maut ditimpakan kepada seseorang, Tuhan menolak
untuk kita rumuskan. Ada
bandit mati ketika bersujud. Ada orang sangat alim
saleh pergi ke masjid di
tengah malam diserempet motor, kemudian ia dipukuli
pengendara motor itu
sampai meninggal. Ada pendosa besar mati ketika
bertawaf, ada true
believer pengkhusyuk ibadah mati kecelakaan secara sangat
mengenaskan.
Semua fenomena itu tidak
menggambarkan apa-apa kecuali kemutlakan kuasa
Tuhan. Posisi manusia
hanya pada dinamika doa: selalu cemas dan memohon
kepada-Nya agar
diperkenankan untuk tidak tampak hina di hadapan sesama
manusia.
Pun tak usah merumuskan
sebab-akibat antara baik-buruknya manusia dan
jumlah pelayat, volume
pemberitaan media, tayangan langsung atau tunda,
tatkala meninggal. Ada
ratu lalim diantarkan ke pemakaman oleh puluhan ribu
orang, ada nabi dikuburkan
hanya oleh enam orang. Jadi, Rendra tidak bisa kita
ukur kualitas mautnya, tak
juga bisa kita takar mutu hidupnya. Tidak ada jenis dan
wilayah ilmu manusia apa
pun yang bisa dipakai untuk merumuskan hidup dan
matinya Rendra.
Sirrul-asror. Itu misteri seserpih rahasia di antara jagat raya tak
terhingga rahasia
iradah-Nya.
Yang mungkin, dan harus,
kita lakukan adalah meneliti dan menghitung ulang
karya-karya Rendra, menghormatinya
dengan ilmu, merayakannya terus-menerus
dengan cinta,
menjunjungnya dengan semangat tanpa henti untuk memelihara
keindahan hidup, serta
menghidupkan kembali kandungan karya-karyanya itu di
dalam berbagai modus
kreatif kebudayaan kita.
Rendra telah diterima
Allah untuk bergabung dalam keabadian. Kelabakanlah kita,
sebab yang kita punyai
pada saat ini adalah budaya instan, pola berpikir
sepenggal, perhatian
terlalu rendah terhadap sejarah, serta kefakiran yang luar
biasa terhadap kualitas
hidup. ''Kami cuma tulang-tulang berserakan,'' kata
Chairil, ''Tapi adalah
kepunyaanmu." Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang
berserakan. Ataukah jiwa
kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan, dan
harapan....''
Emha Ainun Nadjib
Budayawan
[Obituari, Gatra Edisi
Khusus Beredar Kamis, 13 Agustus 2009]
Bulan Tidak Suci
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 25 Agustus 2009 jam 13:27
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Kita menghormati ramadhan
dengan selalu menyebutnya sebagai bulan suci
ramadhan. Mungkin karena
ramadhan ini memang khas. Ramadhan mengandung
malam seribu bulan. Bulan
penuh kekhususan. Padanya al-quran diturunkan, dan
Allah sendiri begitu
posesif terhadap ibadah puasa dengan mengemukakan bahwa
ibadah yang satu ini
khusus untukNya. Apakah bulan yang selain ramadhan boleh
kita sebut bulan tidak
suci? Apakah syawal bukan bulan suci, padahal padanya
justru para pelaku puasa
yg sukses mencapai kesucian atau kefitriannya kembali?
Apakah ada bulan yang
tidak suci? Apakah ada tahun, hari, jam, menit, detik,
second atau waktu ciptaan
Allah yang tidak suci? Apa sesungguhnya konsep dan
pengertian tentang
kesucian?. (Dikutip dari hikmah puasa)
Dia mati; Alhamdulillah…………
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 25 Januari 2010 jam 9:01
Petani Pugra berkata,
“besok saya akan ke Solo dan mungkin akan tinggal lama
sekali, karena saya akan
belajar untuk bisa bertemu dengan aku saya yang sejati”
– dan besoknya ia mati. Ia
ketemu aku-nya yang sejati. Ini terjadi tahun 1974, jadi
di kurun kita dimana orang
haus akan dunia ini jua. Jadi, Wisanggeni yang lenyap
ke telingan Sang Hyang
Tunggal mungkin khayalan, tapi esensinya riil. Para Sufi, di
Arab atau Jawa, yang
bercinta terus menerus untuk bertemu dengan Tuhan
kekasihnya, bukan impian
atau omong besar belaka. Terkadang oleh keterbatasan
manusiawinya, mereka ingin
cepat sampai ke kaki Tuhan (baca dengan ‘bahasa
kita’: ingin cepat mati).
Namun inti sikapnya jelas: dunia ini fana belaka, dan tidak
terlalu penting dan sangat
naif untuk membikin manusia berduyun jadi binatang
serakah. Ini bukan igauan.
Maka sufi itu menguburkan badan rekanya sambil
berkata, “Dia mati;
Alhamdulillah………….” [Emha Ainun Nadjib, Indonesia bagian
dari desa saya, hal 208].
Dimaafkan, Memaafkan, dan Tidak Memaafkan
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 09 September 2010 jam 10:47
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Dimaafkan adalah kelegaan
memperoleh rizqi, tapi Memaafkan adalah
perjuangan yang sering
tidak ringan dan membuat kita penasaran kepada diri
sendiri. Tidak Memaafkan
adalah suatu situasi psikologis dimana hati kita
menggumpal, alias menjadi
gumpalan, atau terdapat gumpalan di wilayah ruhani-
Nya. Gumpalan itu benda
padat, sedangkan gumpalan daging yang kita sebut
dengan hati diantara dada
dan perut itu bukanlah hati, melainkan indikator fisik
dari suatu pengertian
ruhani tentang gaib. Jika hati hanyalan gumpalan daging; ia
tak bisa dimuati oleh iman
atau cinta. Maka gumpalan daging itu sekedar tanda
syari’at hati, sedangkan
hakikatnya adalah watak ruhani.
Didalam kehidupan manusia,
yang biasanya berupa gumpalan dalam hati,
misalnya, adalah watak
dendam. Dendam bersumber dari mitos tentang harga
diri dan kelemahan jiwa.
Manusia terlalu ‘GR’ atas dirinya sendiri, dan tidak begitu
percaya bahwa ia ‘faqir
indallah’: ’musnah dan menguap’ dihadapan Allah.
Kemudian cemburu. Ini
watak yang juga mejadi ‘suku cadang’ dari hakikat cinta
dan keindahan. Namun
syari’atnya ia harus diletakkan pada konteks yang tepat.
Hanya karena punya sepeda,
saya tidak lantas jengkel dan cemburu kepada setiap
orang yang memiliki mobil.
Sambil makan di warung pinggir jalan tak usah kita
hardik mereka yang duduk
di kursi mengkilap sebuah restoran.?
Gelar Karya Para Rajawali
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 09 Agustus 2010 jam 9:02
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Sebagai penggembira Gelar
Karya Para Maestro Yogya, saya ingin turut
merayakan kegembiraan dan
optimisme peristiwa ini dengan sebuah wacana
klasik tentang Burung
Rajawali.
Pada awalnya saya ingin
bersegera mensyukuri dua hal. Pertama, telah lahirny
satu Genre Baru Masyarakat
budaya yang otentik dan orisinal, satu dua tahun
terahir ini di Yogyakarta,
melalui berbagai peristiwa kreativitas di sejumlah
laboratorium kebudayaan,
termasuk Taman Budaya Yogyakarta.
Akan tetapi saya menekan
diri saya sendiri untuk bersabar dengan terlebih dahulu
bercerita tentang
Rajawali, sebab ada kemungkinan Sang Rajawali itu terdapat
pada Genre baru itu.
Alkisah, burung Rajawali
itu oleh Tuhan dikasih rangsum usia relative sama
dengan umumnya makhluk
manusia, yakni 60-80an tahun, naik turun. Kalau
manusia Yogyakarta
menggunakan wacana “katuranggan” dan menemukan
dirinya adalah Rajawali,
bukan mprit atau Cipret, atau sekurang-kurangnya ia
menemukan potensi Rajawali
di dalam dirinya : maka ia tinggal bercermin pada
burung itu, karena hidup
pada irama dan skala waktu yang relative sama.
Manusia Yogya memiliki
potensial untuk “hamengku” alias sikap memangku
berbagai formulasi
peradaban. Semua hasil “ijtihad” kosmologi diakomodasikan
olehnya. Berbagai satuan
tahun – dari Yunani, Mesir Kuno, Sanskrit, Jawi, Java—
satuan bulan, siklus hari,
bahkan weton dan neptu, dielus-elus oleh manusia
Yogya dari pangkuanya.
Sudah pasti itu disebabkan
oleh keistimewaan manusia Yogya, sehingga daerah ini
tidak perlu dilegarisir
oleh otoritas apapun untuk menjadi istimewa, karena
keistimewaan Yogya sudah
lama ‘niscaya’ oleh dirinya sendiri, ada atau tidak ada
NKRI, dengan atau tanpa
Indonesia.
Keistimewaan itu akan
memuat dan menerbitkan kepantasan kepemimpinan
nasional secara politik
dan internasional secara kebudayaan. Hal itu akan
mewujud atau tidak, Yogya
tidak pusing, sebab de facto ia tetap istimewa dan
pemimpin. Kalau sejarah
tidak menerimanya, maka kehancuran sejarah tidak
akan mengurangi
keistimewaan dan kepemimpinan kultural Yogya.
Pada usia 40 tahun, burung
Rajawali terbang ke gunung jauh, mencari batu
karang, memilih yang
paling baja dari bebatuan itu, mematuknya, menggigitnya,
sekeras-kerasnya,
sekuat-kuatnya, dan takkan dilepaskanya sampai
paruhnyatanggal dari mulut
dan kepalanya.
Demikian juga cakar-cakar
kedua kakinya. Ia cengkeramkan ke batu paling karang,
dengan daya cengkeram
sekali seumur hidup, dan takkan dibatalkanya sampai
lepas tanggal kuku-kukunya
dari jari-jemari kedua kakinya.
Kemudian dia akan
kesakitan, tergeletak, terbang dengan lemah, hinggap di
seberang tempat tanpa
kekuatan untuk berpegang. Rajawali mengambil
keputusan untuk menderita,
untuk mereguk sakit dan kesengsaraan, sampai
akhirnya hari demi hari
paruh dan kuku-kukunya tumbuh kembali.
Nanti setelah sempurna
pertumbuhan paruh dan kuku-kuku barunya, maka
barulah itu yang sejati
bernama bernama paruh dan kuku-kuku Rajawali, yang
membuatnya pantas disebut
Garuda.
Tariklah garis
pengandaian: Rajawali itu adalah Anda. Sesungguhnya yang anda
lakukan adalah, pertama :
keberanian mental, ketahanan jasad, ketangguhan hati
dan keikhlasan rohani
untuk menyelenggarakan perubahan yang bukan hanya
mendasar dan mengakar,
melainkan ekstra-eksistensial, kegagahan untuk
merelakan segala perolehan
sejarah untuk di-nol-kan kembali, dan itu
probabilitasnya
benar-benar terletak diantara hidup dan mati.
Kedua, pengambilan
keputusan Anda sang Rajawali itu tidak mempersyaratkan
sekedar keputusan hati,
tapi juga keputusan akal dan nalar dengan pengetahuan
yang sempurna tentang alur
waktu ke depan. Keputusan itu bukan sekedar
tindakan mental, tapi juga
intelektual dan rohaniah. Rajawali diakui dan digelari
Sang Garuda karena
mengerti dan berani betapa beratnya menyangga kalimat
sehari-hari yang sederhana
dari Bapak Mbok dan para tetangganya di desa : yakni
“mati sakjroning urip”.
Garuda Rajawali atau
Rajawali Garuda itu pastilah Anda semua yang kini ada
dihadapan saya. Sebab
nyuwun sewu saya tidak menjumpai potensi dan
kecenderungan itu di
wilayah pemerintahan, di hamparan keummatan dan
gerombolan-gerombolan
kemasyarakatan. Termasuk di kalangan yang disebut
Kaum Intelektual atau
Kelas Menengah. Apalagi kaum Selebritis, meskipun gebyar
beiau-beliau sangat penuh
dengan kata ‘dahsyat’, ‘super’, ‘luar biasa’ dan banyak
lagi ungapan-ungkapan yang
penuh ketidakpercayaan diri.
Kita sedang mengalami
hukuman dari suatu Negri yang terlanjur mengalami
kesalahan-kesalahan sangat
substansial pada filosofi kebangsaan dan kostitusi
kenegaraanya. Kita sedang
berada di dalam berbagai cengkeraman global dan
reaksi kita adalah
berjuang untuk siapa tahu bisa menjadi bagian dari
pencengkeram, atau minimal
sanggup membangun kenikmatan di dalam
cengkeraman.
Hukuman sejarah itu berupa
kehancuran logika, kemusnahan nalar sosial,
ketidakmengertian tentang
apa yang layak dikagumi dan apa yang
menghancurkan martabat kemanusiaan,
kebutaan untuk menentukan tokoh,
pemimpin, idola, dan
panutan. Kita dihukum dengan mengalami Negara yang
hampir selalu gagal
sebagai Negara, dengan Pemerintah yang benar-benar tidak
mengerti pada tingkat
elementer pun di mana sebenarnya letak Pemerintah,
peranya, fungsinya, hak,
dan kewajiban.
Kita dihukum dengan
memiliki kekayaan alam yang melimpah dan harus membeli
sangat mahal hasil
kekayaan kita sendiri itu, setelah kita sewa para tetangga
mancanegara untuk mengolah
kekayaan itu dengan bayaran yang harus kita
tanggung dengan menelan
kenyataan bahwa kekayaan itu ternyata akhirnya
menjadi milik mereka.
Bangsa ini sungguh-sungguh
memerlukan “pengambilan keputusan paruh dan
kuku Rajawali”. Namun
lihatlah, potensi untuk itu betapa rendahnya, kecuali pada
Anda semua yang kini
berada di depan saya.
Maka di Yogya kita
menggelar karya para Rajawali : Umar Kayam yang
memelihara dan menjaga
karakter bangsanya, Kuntowijoyo yang sungguhsungguh
berilmu Rajawali, Nasyah
Djamin yang allround sanggup terbang sanggup
pula melata, Muhammad
Diponegoro yang mampu memasak nasi sastra di atas
kompor budaya Agama
lingkunganya yang hampir tanpa sumbu dan api, Linus
Suryadi AG yang menyelam
di latan kemesraan dan estika ‘Jawi’ gen-nya,
Suryanto Sastro atmojo
penjaga simpul tali sejarah dari Astinapura, Lemoria
Atlantis, Anglingdharma
Batik madrim hingga Kemusu, Romo YB Mangun Wijaya
yang mewasiti manusia dan
masyarakat kemanusiaan, Rendra yang tidak sedia
membiarkan anak-anak
bangsanya merunduk rendah diri, yang senantiasa gagah
karena menjaga pertanda
manusia adalah kreativitasnya, serta Pak Besut yang
dengan suaranyamembangun
kegembiraan hidup menjadi kebesaran sehingga
mengatasi segala yang
bukan kegembiraan.
Siapakah yang belajar
kepada Rajawali, selain Rajawali? Siapakah Rajawali itu,
selain anda yang berkumpul
di sini belajar kepada Gelar Karya Para Rajawali?
Itulah yang diawal tulisan
ini saya sebut Genre Baru Masyarakat Kebudayaan di
Yogya.
Terhisap oleh hidungku bau
darah dari kandungan jiwa Rajawali-Rajawali,
berhembus dari kaum muda
yang dating berduyun-duyun, yang hadir dan belajar
dengan otentisitas dan
orisinalitasnya, yang melangkahkan kaki mereka dan
mengerubungi medan
pembelajaran Rajawali dengan sukses mentransendensikan
dirinya dari arus pusaran
sejarah yang terlalu penuh sampah sepuluh tahun
terahir ini.Kadipiro 6
Agustus 2010
*) (Dibacakan untuk
membuka acara ‘Repertoar Maestro Sastra Yogya 2010’ di
Gedung Kesenian Sositet
Taman Budaya Yogyakarta, jum’at 6 Agustus 2010).
Gunung Jangan Pula
Meletus?
by Komunitas Kenduri Cinta
Ditulis oleh: Emha Ainun
Nadjib,
Sumber: Kiai Bejo Kiai
Untung Kiai Hoki, Gramedia Pustaka Utama, 2007
Khusus untuk bencana Aceh,
saya terpaksa menemui Kiai Sudrun. Apakah kata
mampu mengucapkan
kedahsyatannya? Apakah sastra mampu menuturkan
kedalaman dukanya? Apakah
ilmu sanggup menemukan dan menghitung nilainilai
kandungannya?
Wajah Sudrun yang buruk
dengan air liur yang selalu mengalir pelan dari salah
satu sudut bibirnya hampir
membuatku marah. Karena tak bisa kubedakan
apakah ia sedang berduka
atau tidak. Sebab, barang siapa tidak berduka oleh
ngerinya bencana itu dan
oleh kesengsaraan para korban yang jiwanya luluh
lantak terkeping- keping,
akan kubunuh.
“Jakarta jauh lebih pantas
mendapat bencana itu dibanding Aceh!” aku
menyerbu.
“Kamu juga tak kalah
pantas memperoleh kehancuran,” Sudrun menyambut
dengan kata-kata, yang
seperti biasa, menyakitkan hati.
“Jadi, kenapa Aceh, bukan
aku dan Jakarta?”
“Karena kalian berjodoh
dengan kebusukan dunia, sedang rakyat Aceh dinikahkan
dengan surga.”
“Orang Aceh-lah yang
selama bertahun-tahun terakhir amat dan paling menderita
dibanding kita senegara,
kenapa masih ditenggelamkan ke kubangan
kesengsaraan sedalam itu?”
“Penderitaan adalah
setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya sehingga
derajat orang Aceh
ditinggikan, sementara kalian ditinggalkan untuk terus
menjalani kerendahan.”
“Termasuk Kiai….”
Cuh! Ludahnya melompat
menciprati mukaku. Sudah biasa begini. Sejak dahulu
kala. Kuusap dengan
kesabaran.
“Kalau itu hukuman, apa
salah mereka? Kalau itu peringatan, kenapa tidak kepada
gerombolan maling dan
koruptor di Jakarta? Kalau itu ujian, apa Tuhan masih
kurang kenyang melihat
kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh selama ini, di
tengah perang politik dan
militer tak berkesudahan?”
Sudrun tertawa
terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa yang lucu dari kata-kataku.
Badannya
terguncang-guncang.
“Kamu mempersoalkan Tuhan?
Mempertanyakan tindakan Tuhan?
Mempersalahkan
ketidakadilan Tuhan?” katanya.
Aku menjawab tegas, “Ya”
“Kalau Tuhan diam saja
bagaimana?”
“Akan terus kupertanyakan.
Dan aku tahu seluruh bangsa Indonesia akan terus
mempertanyakan.”
“Sampai kapan?”
“Sampai kapan pun!”
“Sampai mati?”
“Ya!”
“Kapan kamu mati?”
“Gila!”
“Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih
baik kamu mempertanyakan kenapa
ilmumu sampai tidak
mengetahui akan ada gempa di Aceh. Kamu bahkan tidak
tahu apa yang akan kamu
katakan sendiri lima menit mendatang. Kamu juga tidak
tahu berapa jumlah bulu
ketiakmu. Kamu pengecut. Untuk apa mempertanyakan
tindakan Tuhan. Kenapa
kamu tidak melawanNya. Kenapa kamu memberontak
secara tegas kepada Tuhan.
Kami menyingkir dari bumiNya, pindah dari alam
semestaNya, kemudian kamu
tabuh genderang perang menantangNya!”
“Aku ini, Kiai!” teriakku,
“datang kemari, untuk merundingkan hal- hal yang bisa
menghindarkanku dari
tindakan menuduh Tuhan adalah diktator dan otoriter….”
Sudrun malah melompat-
lompat. Yang tertawa sekarang seluruh tubuhnya.
Bibirnya melebar-lebar ke
kiri-kanan mengejekku.
“Kamu jahat,” katanya,
“karena ingin menghindar dari kewajiban.”
“Kewajiban apa?”
“Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan
itu diktator dan otoriter.
Kewajiban untuk
mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar menerimanya,
dan akhirnya memperoleh
kenikmatan mengikhlaskannya. Tuhan-lah satusatunya
yang ada, yang berhak
bersikap diktator dan otoriter, sebagaimana
pelukis berhak menyayang
lukisannya atau merobek-robek dan
mencampakkannya ke tempat
sampah.
Tuhan tidak berkewajiban
apa- apa karena ia tidak berutang kepada siapa-siapa,
dan keberadaanNya tidak
atas saham dan andil siapa pun. Tuhan tidak terikat
oleh baik buruk karena
justru Dialah yang menciptakan baik buruk. Tuhan tidak
harus patuh kepada benar
atau salah, karena benar dan salah yang harus taat
kepadaNya."
"Ainun, Ainun, apa
yang kamu lakukan ini? Sini, sini…” -ia meraih lengan saya dan
menyeret ke tembok-
“Kupinjamkan dinding ini kepadamu….”
“Apa maksud Kiai?” aku
tidak paham.
“Pakailah sesukamu”
“Emang untuk apa?”
“Misalnya untuk
membenturkan kepalamu….”
“Sinting!”
“Membenturkan kepala ke
tembok adalah tahap awal pembelajaran yang terbaik
untuk cara berpikir yang
kau tempuh.”
Ia membawaku duduk
kembali.
“Atau kamu saja yang jadi
Tuhan, dan kamu atur nasib terbaik untuk manusia
menurut pertimbanganmu?”
ia pegang bagian atas bajuku.
“Kamu tahu Muhammad?” ia
meneruskan, “Tahu? Muhammad Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa
alihi wasallam, tahu? Ia manusia mutiara yang memilih hidup
sebagai orang jelata.
Tidak pernah makan kenyang lebih dari tiga hari, karena
sesudah hari kedua ia tak
punya makanan lagi. Ia menjahit bajunya sendiri dan
menambal sandalnya
sendiri. Panjang rumahnya 4,80 m, lebar 4,62 m. Ia manusia
yang paling dicintai Tuhan
dan paling mencintai Tuhan, tetapi oleh Tuhan orang
kampung Thaif diizinkan
melemparinya dengan batu yang membuat jidatnya
berdarah. Ia bahkan
dibiarkan oleh Tuhan sakit sangat panas badan oleh racun
Zaenab wanita Yahudi.
Cucunya yang pertama diizinkan Tuhan mati diracun
istrinya sendiri. Dan
cucunya yang kedua dibiarkan oleh Tuhan dipenggal
kepalanya kemudian kepala
itu diseret dengan kuda sejauh ratusan kilometer
sehingga ada dua
kuburannya. Muhammad dijamin surganya, tetapi ia selalu
takut kepada Tuhan
sehingga menangis di setiap sujudnya. Sedangkan kalian yang
pekerjaannya mencuri,
kelakuannya penuh kerendahan budaya, yang politik
kalian busuk, perhatian
kalian kepada Tuhan setengah-setengah, menginginkan
nasib lebih enak dibanding
Muhammad? Dan kalau kalian ditimpa bencana, Tuhan
yang kalian salahkan?”
Tangan Sudrun mendorong
badan saya keras-keras sehingga saya jatuh ke
belakang.
“Kiai .. ” kata saya agak
pelan, “Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa icon
utama eksistensi Tuhan
adalah sifat Rahman dan Rahim….”
“Sangat benar demikian,”
jawabnya, “Apa yang membuatmu tidak yakin?”
“Ya Aceh itu, Kiai, Aceh….
Untuk Aceh-lah aku bersedia Kiai ludahi.”
“Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku
meludahimu. Yang terjadi adalah
bahwa kamu pantas
diludahi.”
“Terserah Kiai, asal
Rahman Rahim itu….”
“Rahman cinta meluas,
Rahim cinta mendalam. Rahman cinta sosial, Rahim cinta
lubuk hati. Kenapa?”
“Aceh, Kiai, Aceh.”
“Rahman menjilat Aceh dari
lautan, Rahim mengisap Aceh dari bawah bumi.
Manusia yang mulia dan
paling beruntung adalah yang segera dipisahkan oleh
Tuhan dari dunia. Ribuan
malaikat mengangkut mereka langsung ke surga dengan
rumah-rumah cahaya yang
telah tersedia. Kepada saudara- saudara mereka yang
ditinggalkan, porak
poranda kampung dan kota mereka adalah medan
pendadaran total bagi
kebesaran kepribadian manusia Aceh, karena sesudah ini
Tuhan menolong mereka
untuk bangkit dan menemukan kembali kependekaran
mereka. Kejadian tersebut
dibikin sedahsyat itu sehingga mengatasi segala tema
Aceh Indonesia yang
menyengsarakan mereka selama ini. Rakyat Aceh dan
Indonesia kini terbebas
dari blok-blok psikologis yang memenjarakan mereka
selama ini, karena air
mata dan duka mereka menyatu, sehingga akan lahir
keputusan dan perubahan
sejarah yang melapangkan kedua pihak”
“Tetapi terlalu mengerikan, Kiai, dan
kesengsaraan para korban sukar
dibayangkan akan mampu
tertanggungkan.”
“Dunia bukan tempat utama
pementasan manusia. Kalau bagimu orang yang
tidak mati adalah selamat
sehingga yang mati kamu sebut tidak selamat, buang
dulu Tuhan dan akhirat
dari konsep nilai hidupmu. Kalau bagimu rumah tidak
ambruk, harta tidak sirna,
dan nyawa tidak melayang, itulah kebaikan; sementara
yang sebaliknya adalah
keburukan? berhentilah memprotes Tuhan, karena toh
Tuhan tak berlaku di dalam
skala berpikirmu, karena bagimu kehidupan berhenti
ketika kamu mati.”
“Tetapi kenapa Tuhan
mengambil hamba-hambaNya yang tak berdosa,
sementara membiarkan para
penjahat negara dan pencoleng masyarakat hidup
nikmat sejahtera?”
“Mungkin Tuhan tidak puas
kalau keberadaan para pencoleng itu di neraka kelak
tidak terlalu lama. Jadi
dibiarkan dulu mereka memperbanyak dosa dan
kebodohannya. Bukankah
cukup banyak tokoh negerimu yang baik yang justru
Tuhan bersegera
mengambilnya, sementara yang kamu doakan agar cepat mati
karena luar biasa jahatnya
kepada rakyatnya malah panjang umurnya?”
“Gusti Gung Binathoro!” saya mengeluh, “Kami
semua dan saya sendiri, Kiai,
tidaklah memiliki
kecanggihan dan ketajaman berpikir setakaran dengan yang
disuguhkan oleh perilaku
Tuhan.”
“Kamu jangan tiba-tiba
seperti tidak pernah tahu bagaimana pola perilaku Tuhan.
Kalau hati manusia
berpenyakit, dan ia membiarkan terus penyakit itu sehingga
politiknya memuakkan,
ekonominya nggraras dan kebudayaannya penuh
penghinaan atas martabat
diri manusia sendiri- maka Tuhan justru menambahi
penyakit itu, sambil
menunggu mereka dengan bencana yang sejati yang jauh
lebih dahsyat. Yang di
Aceh bukan bencana pada pandangan Tuhan. Itu adalah
pemuliaan bagi mereka yang
nyawanya diambil malaikat, serta pencerahan dan
pembangkitan bagi yang
masih dibiarkan hidup.”
“Bagi kami yang awam, semua
itu tetap tampak sebagai ketidakadilan….”
“Alangkah dungunya kamu!”
Sudrun membentak, “Sedangkan ayam menjadi
riang hatinya dan
bersyukur jika ia disembelih untuk kenikmatan manusia meski
ayam tidak memiliki
kesadaran untuk mengetahui, ia sedang riang dan bersyukur”
“Jadi, para koruptor dan
penindas rakyat tetap aman sejahtera hidupnya?”
“Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan masih
sayang kepada mereka sehingga
selama satu dua bulan
terakhir ini diberi peringatan berturut-turut, baik berupa
bencana alam, teknologi
dan manusia, dengan frekuensi jauh lebih tinggi
dibanding bulan-bulan
sebelumnya. Tetapi, karena itu semua tidak menjadi
pelajaran, mungkin itu
menjadikan Tuhan mengambil keputusan untuk memberi
peringatan dalam bentuk
lebih dahsyat. Kalau kedahsyatan Aceh belum
mengguncangkan jiwa
Jakarta untuk mulai belajar menundukkan muka, ada
kemungkinan….”
“Jangan pula gunung akan
meletus, Kiai!” aku memotong, karena ngeri
membayangkan lanjutan
kalimat Sudrun.
“Bilang sendiri sana sama
gunung!” ujar Sudrun sambil berdiri dan ngeloyor
meninggalkan saya.
“Kiai!” aku meloncat
mendekatinya, “Tolong katakan kepada Tuhan agar
beristirahat sebentar dari
menakdirkan bencana-bencana alam….”
“Kenapa kau sebut bencana
alam? Kalau yang kau salahkan adalah Tuhan, kenapa
tak kau pakai istilah
bencana Tuhan?”
Sudrun benar-benar tak
bisa kutahan. Lari menghilang.
Gusti, Kok Pas Sih....!
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 28 Januari 2010 jam 8:51
Catatan: Munzir Madjid
NAMANYA “Muhammad Ainun
Nadjib,” diutak-atik sendiri menjadi “Emha Ainun
Nadjib.” Sejak tahun
1970-an namanya mulai dikenal sebagai penyair dari Jogja.
Wilayah jelajah berikutnya
sebenarnya tidak melulu di dunia kepenyairan.
Bahkan pertengahan
1960-an, kala masih tercatat sebagai pelajar SMA, sudah
dipercaya mengasuh rubrik
“Sastra-Budaya” di sebuah harian lokal Jogjakarta.
Tahun 1980-an mulai
melanglang dunia; ke Amerika Serikat, Filipina, Jerman,
Belanda dan lorong-lorong
Negara Eropa yang lain. Di tahun 80-an pula, tulisantulisannya
mulai memenuhi berbagai
majalah dan harian nasional. Undangan-pun
berdatangan dari berbagai
kalangan untuk dijadikan nara sumber lintas disiplin
keilmuan.
Orang-orang terbiasa
memanggilnya “Cak Nun.” Panggilan khas jawatimuran
karena Emha berasal dari
Jombang, Jawa Timur. Yang memanggil “Emha” juga
tidak sedikit, terutama
dari pergaulan dengan kalangan di luar Jogja dan Jawa
Timur. Emha sendiri tidak
terlalu peduli dengan berbagai panggilan itu, bahkan
ada yang menjuluki “Kiai
Mbeling.” Barangkali karena dalam berbagai
kesempatan, baik dalam
tulisan atau ucapan-ucapannya, Emha sangat fasih
menyitir ayat-ayat Al
Qur’an. Mungkin pula orang mau memanggil “Kiai” tanpa
embel-embel “Mbeling”
masih agak diragukan, kurang rela dan tidak pantas.
Beda lagi orang Makassar.
Emha selalu dipanggil dengan “Cak Nung.” Saya tidak
tahu kenapa lidah orang
Makassar susah mengucapkan “Nun,” sebab bila nama
Anda “Agung” akan
dipanggil “Mas Agun.” Yang ini kebalik ‘kan, susah melafalkan
“Mas Agung.”
Maka jangan heran jika di
suatu tempat Emha dipanggil “Bapak Cak Nun,”
sebagaimana orang keliru
memanggil Bung Karno dengan “Bapak Bung Karno”
atau Gus Dur dipanggil
“Bapak Gus Dur.” Atau malah dikelira-kelirukan dengan
“Cak Nur” (Nurcholish
Madjid, Allah yarham).
<“Cak Nur kan?”
seseorang menodong di Bandara Soekarno Hatta.
Emha kebingungan
menjawabnya, jika dijawab tidak, kasihan juga.
“Cak Nur kan?”
Emha hanya tersenyum.
“Iya, Nurcholish Ainun
Nadjib kan?”
Saya sebenarnya bingung
mau menulis apa tentang Emha, memulai dari mana
dan menuju kemana. Banyak
sekali memori saya tentang Emha, selama bertahuntahun
bergaul sampai sekarang.
Beberapa kawan menyarankan saya menulis lagi
sebagaimana
tulisan-tulisan berseri yang pernah saya tuturkan. Saya bukan orang
yang cerdas menyerap ilmu
lalu saya deskripsikan dalam sebuah tulisan dengan
berbagai analisa. Jadi
mohon maaf, kalau tulisan ini hanya “wadag,” dan bukan
“ruh.” Terlebih memohon
maaf kepada Emha, jika ternyata tuturan saya tidak pas
atau malah berlebihan.
Dalam suatu acara, seorang
MC memanggil, “Kami persilakan Bapak KH Emha
Ainun Nadjib, yang kita
kenal sebagai Cak Nun...”
Sejak kapan Emha menjadi
haji, saya membatin. Memang pada saat itu Emha
belum berangkat haji,
bahkan ke Makkah-pun belum pernah. Dan ‘haji’ dalam
pemahaman kita juga bukan
titel sebagaimana rukun Islam lain.
Beberapa kali
sahabat-sahabatnya ‘memaksa’ Emha untuk berangkat haji, dengan
fasilitas ONH Plus-nya.
Dengan cara halus Emha selalu menolaknya. Seorang
pejabat penting mengirim
ajudannya dengan membawa amplop berisi ribuan US
Dollar untuk ongkos naik
haji. Setelah amplop diterima dan dibuka isinya lalu
Emha menyerahkan kembali
kepada sang ajudan. Entahlah, apakah amplop
diserahkan kembali kepada
sang pejabat, atau diam-diam tidak diserahkan
dengan alasan jika
dikembalikan mendapat resiko dimarahi. Nilai nominalnya
banyak lho, taruhlah
misalnya USD 10.000 dikalikan kurs sekarang. Wallahu a’lam.
Barangkali pejabat tadi,
yang sangat akrab dengan Emha, melihat Emha belum
juga mau berangkat haji,
meminta lagi kepada Emha untuk kesekian kalinya. Kali
ini Emha mau menerima
ongkos naik haji, tapi bukan untuk dirinya melainkan
untuk beberapa orang
miskin di kampungnya. Kalau Anda bertanya kapan
kejadiannya, saat musim
haji berbarengan dengan musibah terowongan Mina.
Lagi, di Bandara Soekarno
Hatta. Seseorang wanita paruh baya mendatangi Emha.
Emha sendiri merasa tidak
mengenalnya. Emha berencana menuju Surabaya lalu
ke Jombang. Saat sedang
beracara di Jakarta dikabari bahwa salah satu kakaknya
mendapat musibah
kecelakaan mobil dan di rawat di RSUD Jombang.
“Mas Emha kan?” wanita
berwajah oriental itu menyapa.
“Iya bu,” Emha dengan santun menjawabnya.
“Saya ada titipan, mohon
diterima,” wanita itu memohon.
“Terima kasih bu,” Emha
menerima amplop dengan ucapan terima kasih.
Aneh. Mereka tidak saling
kenal dan tidak saling memperkenalkan diri.
Kejadiannya sangat cepat.
Emha tersadar, kok tidak bertanya namanya siapa, dan
ini amplop apa.
Sampailah Emha di RSUD
Jombang dan menjenguk sang kakak. Lalu seseorang
menyerahkan kwitansi
pembiayaan pengobatan. Buru-buru Emha menuju toilet
dan membuka isi amplop.
Amplop berisi uang itu dihitung dan disesuaikan dengan
tagihan biaya rumah sakit.
Emha terkejut, nominalnya sangat pas.
“Gusti, syukur
Alhamdulillah, tapi mbok yao dilebihin barang limapuluh ribulah...!”
Emha mengucap dalam batin.
[]
Jkt, 26.01.2010. 11:41
Hijrah dan Kultus Individu
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 26 Februari 2010 jam 9:44
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Tidak ada satu peristiwa
apa pun dalam kehidupan yang dihuni oleh manusia ini
yang tidak bersifat
hijrah. Seandainya pun ada benda yang beku, diam dan seolah
sunyi abadi: ia tetap
berhijrah dari jengkal waktu ke jengkal waktu berikutnya.
Orang jualan bakso
menghijrahkan bakso ke pembelinya, dan si pembeli
menghijrahkan uang ke
penjual bakso. Orang buang ingus, buang air besar,
melakukan transaksi,
banking, ekspor impor, suksesi politik, revolusi, apapun saja,
adalah hijrah.
Tidak ada satu peristiwa
apa pun dalam kehidupan yang dihuni oleh manusia ini
yang tidak bersifat hijrah.
Seandainya pun ada benda yang beku, diam dan seolah
sunyi abadi: ia tetap
berhijrah dari jengkal waktu ke jengkal waktu berikutnya.
Orang jualan bakso
menghijrahkan bakso ke pembelinya, dan si pembeli
menghijrahkan uang ke
penjual bakso. Orang buang ingus, buang air besar,
melakukan transaksi,
banking, ekspor impor, suksesi politik, revolusi, apapun saja,
adalah hijrah.
Inti ajaran Islam adalah
hijrah. Icon Islam bukan Muhammad, melainkan hijrah.
Muhammad hanya utusan, dan
Allah dulu bisa memutuskan utusan itu Darsono
atau Winnetou, tanpa ummat
manusia men-demo Tuhan kenapa bukan
Muhammad. Oleh karena itu
hari lahirnya Muhammad saw. Tidak wajib
diperingati. Juga tidak
diletakkan sebagai peristiwa nilai Islam. Hari lahir
Muhammad kita ingat dan selenggarakan
peringatannya semata-mata sebagai
peristiwa cinta dan ucapan
terima kasih atas jasa-jasanya melaksanakan perintah
Tuhan.
12 Rabiul Awal bukan hari
besar Islam sebagaimana Natal bagi ummat Kristiani.
Sekali lagi, itu karena
Islam sangat menghindarkan ummatnya dari kultus individu.
Wajah Muhammad tak boleh
digambar. Muhammad bukan founding father of
islam. Muhammad bukan
pencipta ajaran, melainkan pembawa titipan. Tahun
Masehi berdasarkan
kelahiran Yesus Kristus, sementara Tahun Hijriyah
berdasarkan peristiwa
hijrah Nabi, yang merupakan momentum terpenting dari
peta perjuangan nilainya.
Kesadaran hijriyah menghindarkan ummat dari
penyembahan individu,
membawanya menyelam ke dalam substansi ajaran --
siapa pun dulu yang diutus
oleh Tuhan untuk membawanya.
Hijrah adalah pusat jaring
nilai dan ilmu. Dari gerak dalam fisika dan kosmologi
hingga perubahan dan
transformasi dalam kehidupan sosial manusia. Manusia
Muslim tinggal bersyukur
bahwa wacana dasar hijrah sedemikian bersahaja, bisa
langsung dipakai untuk
mempermatang cara memasak makanan, cara menangani
pendidikan anak-anak, cara
mengurus organisasi dan negara.
Hijrah Muhammad saw. dan
kaum Anshor ke Madinah, di samping merupakan
pelajaran tentang
pluralisme politik dan budaya, juga bermakna lebih esoterik
dari itu.
Peristiwa Isra' Mi'raj
misalnya, bisa dirumuskan sebagai peristiwa hijrah,
perpindahan, atau lebih
tepatnya transformasi, semacam proses perubahan atau
'penjelmaan' dari materi
ke (menjadi) energi dan ke (menjadi) cahaya.
Sebenarnya sederhana saja.
Kalau dalam ekonomi: uang itu materi, kalau diputar
atau digerakkan atau
'dilemparkan' maka menjadi enerji. Itu kejadian isro'
namanya. Tinggal kemudian
enerji ekonomi itu akan digunakan (dimi'rajkan)
untuk keputusan budaya
apa. Kalau sudah didagangkan dan labanya untuk beli
motor: motornya dipakai
untuk membantu anak sekolah atau sesekali dipakai ke
tempat pelacuran.
Di dalam teknologi, tanah
itu materi. Ia bisa ditransformasikan menjadi genting
atau batu-bata. Logam
menjadi handphone, besi menjadi tiang listrik, atau
apapun. Tinggal untuk apa
atau ke mana mi'rajnya.
Peristiwa isro' bergaris
horisontal. Negara-negara berteknologi tinggi adalah
pelopor isro' dalam
pengertian ini. Pertanyaannya terletak pada garis vertikal
tahap mi'raj sesudahnya.
Kalau vertikal ke atas, berarti transform ke atau menjadi
cahaya. Artinya
produk-produk teknologi didayagunakan untuk budaya kehidupan
manusia dan masyarakat
yang menyehatkan jiwa raga mereka dunia akhirat.
Kalau garis vertikalnya ke
bawah, berati transform ke atau menjadi kegelapan.
Mesiu Cina diimport ke
Eropa menjadi peluru, meriam dan bom. Kita bisa dengan
gampang menghitung beribu
macam produk teknologi isro' pemusnah manusia,
perusak mental dan moral
masyarakat.
Dalam pengertian umum dan
baku selama ini, Isra' Mi'raj selain merupakan
peristiwa besar dalam
sejarah, namun pada umumnya berhenti sebagai wacana
dongeng, dan belum digali
simbol-simbol berharganya atas idealitas etos
tranformatif.
Dalam kehidupan
sehari-hari, sesuai dengan rumus di atas, segala sesuatu yang
menyangkut kehidupan
manusia-baik di bidang ekonomi, politik, sosial budaya
dan sebagainya-terjadi
secara berputar membentuk bulatan. Yang sehari-hari
sajapun: badan kita
(materi), tentu, jika tidak diolah-ragakan (dienergikan),
mengakibatkan tidak sehat.
Tidak sehat adalah kegelapan.
Setelah badan kita sehat
dan menyehatkan, lantas dipergunakan untuk kegiatan
yang baik, yang memproduk
cahaya bagi batin kehidupan kita, serta bermanfaat
seoptimal mungkin bagi
sesama manusia dan alam-lingkungan.
Humor
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 26 Juli 2010 jam 11:43
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Humor orisinal dari
kehidupan sehari-hari adalah bahasa atau ungkapan budaya
yang paling canggih dalam
penggambaran inti realitas zaman. Kalau tulisan atau
buku-buku ilmiah, harus
berputar-putar dulu kalau hendak membawa kita ke
realitas. Mesti melalui
jalan metodologi dan terminologi yang ruwet, yang hanya
bisa dijangkau oleh hanya
sebagian orang yang punya uang untuk sekolah.
Sementara sepotong humor langsung
saja membenturkan kita ke inti kenyataan.
Humor adalah sinar laser
yang amat tajam, yang mengirimkan kita secara sangat
pragmatis untuk mengerti
terhadap sesuatu hal.
Indonesia Maafkan Aku
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 17 Agustus 2010 jam 11:08
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Indonesia
maafkan aku
tak ada yang bisa
kuperbuat untukmu
karena engkau terlalu
besar untukku
dan aku terlalu kecil
untukmu
Indonesia
maafkan aku tak bisa
menolongmu
karena engkau terlalu kuat
bagiku
dan aku terlalu lemah bagimu
Indonesia
maafkan tak ada peran yang
bisa kupersembahkan kepadamu
karena engkau terlalu
agung untuk kupahami
dan aku terlalu kerdil dan
tak berarti
bahkan memalukan untuk
menjadi bagian darimu
Catatan Komunitas Kenduri
Cinta I
Page 70
Indonesia
maafkan kakiku tak sanggup
melangkah untukmu
tanganku tak mampu
bergerak buatmu
engkau semesta gaib yang
tak mampu kujangkau
dan aku daun kering layu,
mengotori tanah sucimu
Indonesia
maafkan aku tak sanggup
mengikuti jalanmu
karena langkahmu langkah
cakrawala
sedangkan aku cacing
melata
Indonesia
maafkan aku berpaling
karena wajahmu terlalu
berkilause
hingga tak sanggup aku
menatapmu
Indonesia
karena tak ada satupun
dari perilakumu
yang sanggup kumengerti
maafkan aku abstain...
aku abstain...
*) diambil dari pementasan
Jangan Cintai Ibu Pertiwi GKJ 2-3 April 2009
Industri dan Sportivitas Sepakbola
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 29 Juni 2010 jam 10:53
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Lucunya, kalau sportivitas
nomer satu, industri sepakbola tidak jalan. Sportivitas
hanya aktual di
wilayah-wilayah romantik. Masing-masing kita menjagokan
kesebelasan
sendiri-sendiri. Pertimbangan kita bukan sportivitas, melainkan
selera pribadi.
Sedangkan orang yang
mengerti ilmu sejati, berkata: “Engkau menjadi lemah dan
kelak bisa menjadi celaka
kalau menjalankan hidup bersadarkan senang dan tidak
senang, mengandalkan
selera pribadi dan kemauan sendiri. Manusia yang kuat
dan akan menemukan hakekat
hidup adalah yang melangkahkan kaki berdasarkan
pilihan yang benar, baik
dan indah, serta meninggalkan yang salah, buruk, dan
konyol".
”Islamic Valentine Day”
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 14 Februari 2010 jam 8:08
Ditulis Oleh: Muhammad
Ainun Nadjib
JUDUL ini harus dikasih
tanda petik di awal dan akhir, karena sesungguhnya itu
istilah ngawur dari sudut
apapun kecuali dari sisi iktikad baik tentang cinta
kemanusiaan.
Islam bukan kostum drama,
sinetron atau tayangan-tayangan teve Ramadan.
Islam itu substansi nilai,
juga metodologi.Ia bisa memiliki kesamaan atau
perjumpaan dengan berbagai
macam substansi nilai dan metodologi lain, baik
yang berasal dari ”agama”
lain, dari ilmu-ilmu sosial modern atau khasanah
tradisi. Namun sebagai
sebuah keseluruhan entiti, Islam hanya sama dengan
Islam.
Bahkan Islam tidak sama
dengan tafsir Islam.Tidak sama dengan pandangan
pemeluknya yang
berbagai-bagai tentang Islam. Islam tidak sama dengan Sunni,
Syi’i, Muhammadiyah, NU,
Hizbut Tahrir dan apapun saja aplikasi atas tafsir
terhadap Islam. Islam yang
sebenar-benarnya Islam adalah dan hanyalah Islam
yang sejatinya dimaksudkan
oleh Allah.
Semua pemeluk Islam
berjuang dengan pandangan-pandangannya masingmasing
mendekati sejatinya Islam.
Sehingga tidak ada satu kelompok pun yang legal dan
logis untuk mengklaim
bahwa Islam yang benar adalah Islamnya kelompok ini
atau itu. Kalau ada teman
melakukan perjuangan ”islamisasi”, ”dakwah Islam”,
”syiar Islam”, bahkan
perintisan pembentukan ”Negara Islam Indonesia” – yang
sesungguhnya mereka
perjuangkan adalah Islamnya mereka masingmasing.
Dan Islamnya si A si B si
C tidak bisa diklaim sebagai sama dengan Islamnya Allah
sejatinya Islam.
Demikianlah memang hakekat penciptaan Allah atas kehidupan.
Sehingga Islam bertamu ke
rumahmu tidak untuk memaksamu menerimanya. La
ikroha fid-din.Tak ada
paksaan dalam Agama, juga tak ada paksaan dalam
menafsirkannya. Tafsir
populer atas Islam bahkan bisa menggejala sampai ke
tingkat pelecehan atas
Islam itu sendiri.
Islam bisa hanya
disobek-sobek, diambil salah satu sobekannya yang menarik bagi
seseorang karena enak dan
sesuai dengan seleranya. Islam bisa diperlakukan
hanya dengan diambil salah
satu unsurnya, demi mengamankan psikologi
subyektif seseorang
sesudah hidupnya ia penuhi dengan pelanggaranpelanggaran
terhadap Islam.
Islam bisa hanya diambil
sebagai ikon untuk mengkamuflase kekufuran,
kemunafikan, kemalasan
pengabdian,korupsi atau keculasan. Islam bisa dipakai
untuk menipu diri, diambil
satu faktor pragmatisnya saja: yang penting saya sudah
tampak tidak kafir, sudah
merasa diri bergabung dengan training shalat, sudah
kelihatan di mata orang
lain bahwa saya bagian dari orang yang mencari sorga,
berdzikir ingat
keserakahan diri dan keserakahan itu bisa dihapus dengan
beberapa titik air mata di
tengah ribuan jamaah yang berpakaian putih-putih
bagaikan pasukan Malaikat
Jibril.
Sedemikian rupa sehingga
kita selenggarakan dan lakukan berbagai formula dunia
modern, industri liberal,
mode show, pembuatan film, diskusi pengajian, yang
penting dikasih kostum
Islam.Tentu saja tidak usah kita teruskan sampai tingkat
menyelenggarakan tayangan
”Gosip Islami”, ”Lokalisasi Pelacuran Islami”,
”Peragaan Busana Renang
Wanita Muslimah” atau pertandingan volley ball
wanita muslimah berkostum
mukena putih-putih. Sampai kemudian dengan tolol
dan ahistoris kita
resmikan salah satu hari ganjil di tengah sepuluh hari terakhir
Ramadan sebagai Hari
Valentine Islami.
Tapi sesungguhnya saya
serius dengan makna Hari Kasih Sayang Islam versi
Rasulullah Muhammad SAW.
Fathu Makkah, yang diabadikan dalam Al Qur’an
sebagai Fathan Mubiiina,
kemenangan yang nyata, terjadi pada Bulan Ramadan,
tepatnya pada tanggal 10
Ramadan tahun ke-8 Hijriyah. Pasukan Islam dari
Madinah merebut kembali
kota Makkah. Diizinkan Allah memperoleh
kemenangan besar. Ribuan
tawanan musuh diberi amnesti massal.
Rasulullah berpidato kepada
ribuan tawanan perang: ”...hadza laisa yaumil
malhamah, walakinna hadza
yaumul marhamah,wa antumut thulaqa....”.Wahai
manusia, hari ini bukan
hari pembantaian, melainkan hari ini adalah hari kasih
sayang, dan kalian semua
merdeka kembali ke keluarga kalian masing-masing.
Pasukan Islam mendengar
pidato itu merasa shock juga. Berjuang hidup
mati,diperhinakan
dilecehkan sekian lama, ketika kemenangan sudah di
genggaman: malah musuh
dibebaskan. Itu pun belum cukup. Rasulullah
memerintahkan papasan
perang, berbagai harta benda dan ribuan onta,
dibagikan kepada para
tawanan.
Sementara pasukan Islam
tidak memperoleh apa-apa. Sehingga mengeluh dan
memproteslah sebagian
pasukan Islam kepada Rasulullah. Mereka dikumpulkan
dan Muhammad SAW bertanya:
”Sudah berapa lama kalian bersahabat
denganku?” Mereka
menjawab: sekian tahun, sekian tahun... ”Selama kalian
bersahabat denganku,
apakah menurut hati kalian aku ini mencintai kalian atau
tidak mencintai kalian?”
Tentu saja sangat
mencintai. Rasulullah mengakhiri pertanyaannya: ”Kalian
memilih mendapatkan onta
ataukah memilih cintaku kepada kalian?”
Menangislah mereka karena
cinta Rasulullah kepada mereka tidak bisa
dibandingkan bahkan dengan
bumi dan langit. Tentu saja, andai kita berada di situ
sebagai bagian dari pasukan
Islam, kelihatannya kita menjawab agak berbeda:
”Sudah pasti kami memilih
cinta Rasulullah... tapi kelau boleh mbok ya juga diberi
onta dan emas barang
segram dua gram...” (Sindo, 21/09/2007)
Kangen
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 20 Januari 2010 jam 13:09
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Kangen itu baik. Kangen
itu mahluk ciptaan Allah yang tergolong paling indah. Ia
mutiara batin, atau api
yang menghidupkan jiwa. Karena kangen yang menggebu,
dulu Ibrahim mengembarai
bumi dan langit bertahun-tahun, untuk akhirnya
menemukan apa yang paling
dibutuhkan oleh hidupnya: Allah.
Oleh kangen yang tak
tertahan pula, Musa bermaksud membelah kodrat,
menerobos maqom dan ingin
memergoki Allah yang amat dicintainya. Tentu saja
gagal, sebab ketika itu ia
masih manusia, masih darah daging.
Kangen membuat seorang
istri paham arti kehidupan. Kangen membikin
suaminya, yang pergi nun
jauh, membatalkan penyelewengannya sebagai lelaki.
Kangen mendorong seorang
gadis menancapkan cintanya lebih dalam. Kangen
membuat pemuda kekasihnya
mengerjakan kesibukan-kesibukan baik untuk
memelihara kebersihan
rindu yang dinikmatinya. [...]
Kawah Api: “Universitas Patangpuluhan” - I
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 19 Mei 2010 jam 11:23
Catatan: Kang Munzir
Yasinan
Seorang berteriak lantang,
mengagetkan semua orang. “Api, api....!” Matanya
melotot ke atas seolah
melihat hal yang menakjubkan. Kedua tangannya
digerakkan mengikuti irama
teriakan bak seorang pembaca puisi. “Lihatlah, aku
melihat api...!”
Orang-orang berdatangan
usai magrib. Tikar dan karpet telah tertata rapi di ruang
tamu dan ruang tengah.
Sebagian mahasiswa, seniman dan pengangguran.
Beberapa wajahnya tidak
terlalu asing karena rutin datang ke Patangpuluhan,
rumah kontrakan Emha Ainun
Nadjib.
Entah sejak kapan, tiap
Kamis (malam Jumat) diselenggarakan Yasinan, membaca
QS Yasin. “Santri-santri”
mahasiswa mengaji, yang lain, mungkin kurang tartil atau
berbeda agama, duduk
santun di teras mendengarkan. Salah satu mahasiswa
memimpin dan berdoa. Emha
tentu saja ikut di lingkaran, mengaji dan menyimak.
Usai ngaji, orang-orang
tidak beranjak. Biasanya ngobrol ngalor ngidul membahas
berita yang menjadi issu
nasional. Diskusi. Dari pintu belakang terlihat teh manis
dan nasi kuning mulai
dikeluarkan. Sejak sore, seksi dapur yang ditangani Mbak
Roh, Dik In dan Mbak Wik
(almarhumah) sudah sibuk belanja dan memasak.
Di tengah pembicaraan yang
kadang panas, tiba-tiba Agus Supriyatna, seorang
mahasiswa dari Karawang
berteriak seperti orang trance. Mata hampa seolah
melihat sesuatu, entah
apa. “Api, api, lihatlah....!” Mulut terus berbunyi. Bagai
melafal bait-bait puisi.
Jika hal semacam terjadi, biasanya Emha mendekat,
mengelus punggungnya dan
seolah membacakan sesuatu di telinga dan ubunubun.
Lalu berangsur tenang.
Tema-tema obrolan muncul
begitu saja. Pelontar umumnya berawal dari
pertanyaan-pertanyaan
mahasiswa yang diajukan kepada Emha. Karena
pesertanya berbeda latar
belakang, maka diantara mereka sering saling ngotot
mempertahankan argumen
masing-masing. Kalangan mahasiswa dengan bahasabahasa
“planet” yang bagi
kalangan awam susah dipahami, nukilan-nukilan text
book dengan istilah-itilah
asing. Sementara yang seniman berpuitis dan berbahasa
“nyufi.”
Jika malam makin larut,
secara perlahan satu persatu berpamit. Pasti mereka
tidak terbiasa “melek
malam.” Yang lain tetap bertahan, bisa jadi dilanjut dengan
permainan gaple. Main
gaple seolah menebak nasib, meramal takdir. Kita tidak
sanggup menghitung “balak”
apa yang akan muncul. Meski jumlah kartu bisa
dihitung, probabilitasnya
agak susah untuk memastikan. Bahkan Emha sering agak
ekstrim mengemukakan bahwa
pasti “Tangan Tuhan” ikut berperan. Kartu
dikocok sekian kali, kartu
dibagi, masing-masing pemain tidak bisa memilih kartu
terbaik. Seorang pemain
ahli-pun bisa kalah jika tandem sisi kiri atau kanan
ngawur cara membuang
kartu. Permainan gaple (atau kartu) hampir mirip sopir
taxi atau tukang ojek.
Tuhan-lah yang mengatur detik demi detik jalannya rejeki.
Kita tidak bisa
memperkirakan seberapa cepat melajukan kendaraan tatkala tiba
di pojok jalan seseorang
muncul dan menyetop kendaraan kita. Laju cepat sedikit
orang itu belum keluar
dari rumah, diperlambat, kendaraan lainlah yang distop.
Pertemuan di titik antara
sopir taxi dan calon penumpang adalah pertemuan
agung yang diatur Tuhan.
Seorang kawan aktifis
kebudayaan dari Banten yang berdiam lama di Solo, adalah
lawan ulet Emha. Mereka
saling mengalahkan. Saling ejek. Untuk membuktikan
bahwa Tuhan juga ikut
“bermain gaple,” Emha berani taruhan dengan receh lima
puluh rupiah (Rp 50,- --mungkin
kurs sekarang setara dengan Rp 500,-). Kali ini
Emha menang bagai bandar.
Ih, berjudi ya? Jangan khawatir, siapa yang menang
uang receh dikumpulkan
untuk makan bersama. Jelas saja kurang, pasti harus ada
yang nombokin
kekurangannya. Makan di waktu malam di Jogja sangat
mengasyikkan. Banyak
tempat bisa dikunjungi, semuanya serba murah. Mau pilih
menu apa? Oseng-oseng
mercon, gudeg Permata, warung “gua hira,” nasi kucing
Mbah Wongso atau sayur
brongkos Pojok Beteng?
Kapan sejarah ini
berlangsung? Untuk mengingat bulan dan tahun, apalagi
tanggal, saya agak sulit.
Tampaknya akhir tahun 1980-an, 1988-1989 atau awal
1990-an. Beberapa orang
yang sering muncul adalah Agung Waskito, Seteng Agus
Yuniawan, Jebeng Slamet
Jamaluddin, Wahyudi Nasution, Godor, Muhammad
Hadiwiyono, Imam Syuhada,
Hamim Ahmad, Irfan Mukhlis, Goetheng Iku Ahkin,
Moh Zainuri, Joko Kamto,
Novi Budiyanto, Jemek, Toro, Toto Rahardjo, beberapa
aktifis mahasiswa dan LSM.
Saya tidak berani
mengklaim atau men-justifikasi bahwa kelak pengajian Padhang
Bulan ber-embrio dari
sini, Yasinan di Patangpuluhan. Lalu gerakan shalawat
menyebar dari Jakarta,
yang berawal dari idenya Cak Dil (Adil Amrullah) membuat
wadah HAMAS (Himpunan
Masyarakat Shalawat), setelah Emha merasa
“gamang” dengan gagalnya reformasi
1).
Itulah proses. Yasinan di
Patangpuluhan, Pengajian Padhang Bulan, HAMAS
Jakarta, Mocopat Syafaat
17 Agustus 1999 di Jogjakarta, Kenduri Cinta dan
seterusnya, yang kemudian
menjadi Jamaah Maiyah.
Catatan judul. Kawah Api
“Universitas Patangpuluhan” istilah ini yang pertama
kali melontarkan Emha
sendiri. Universitas Patangpuluhan, harus dengan tanda
petik. Patangpuluhan,
bukan Patang Puluhan.
Jkt.09.05.2010, 13:06
Bersambung.
1). Emha sangat aktif ikut
membidani jalannya reformasi melalui pertemuan demi
pertemuan dengan berbagai
pihak dan mengawal prosesi 21 Mei 1998, sampai
kemudian Pak Harto secara
suka rela meletakkan jabatan. Namun reformasi yang
diharapkan benar-benar
sebagai momentum perubahan, justru tidak sesuai
harapan. Habibie, wakil presiden,
naik menggantikan Pak Harto sebagai presiden
dengan menteri-menteri
yang tidak jauh berbeda dengan Orde Baru. Lebih
lengkap tercatat dalam
buku kecil “Ikrar Khusnul Khatimah.” Atau “Satu Setengah
Jam Bersama Pak Harto.”
Catatan Komunitas Kenduri
Cinta I
Page 81
Kawah Api: “Universitas Patangpuluhan” - II
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 26 Mei 2010 jam 9:31
Catatan: Kang Munzir
Guk Nuki
Di Jawa Timur panggilan
yang paling populer adalah “Cak,” mengalahkan
panggilan “Mas” untuk Jawa
(Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jogjakarta). Orang
Sunda terbiasa dengan
“Aa.” Panggilan “Cak” lebih egaliter, tidak memandang
strata sosial. Cak Ruslan,
Cak Markeso (bukan Markesot), Cak Kandar, Cak Kartolo
atau Cak Nur.
Ternyata ada panggilan
yang lebih “ndeso” lagi, kurang populer, mungkin orang
Jawa Timur-pun banyak yang
sudah lupa, yaitu “Guk.” Panggilan “Guk” lebih
banyak digunakan di
desa-desa untuk petani, pangon, tukang ngarit dst. Saya
sendiri bukan dari Jawa
Timur, jika ternyata kurang pas mohon diberi
pembenaran.
Markesot Sang Legenda
Tersebutlah nama Guk Nuki
sebagai kawan main Emha sejak kecil. Bukan teman
sekolah, karena Guk Nuki
sendiri tidak tamat sekolah tingkat dasar. Bisa jadi
semacam teman “nakal.”
Teman mencuri mangga milik tetangga, memindahkan
sandal ke tempat
tersembunyi sesama kawan di langgar. Atau, mengikat sebutir
garam dengan benang lalu
dimasukkan ke mulut kawannya yang sedang tidur, jika
garam dikecap secara
perlahan benang diangkat. Kenakalan yang sungguh
mengasyikkan. Sampai kini
Guk Nuki dan Guk Nun masih berkawan akrab.
Nama aslinya, saya kurang
begitu paham, Nuchin siapa gitu. Di usia remaja
merantau ke pedalaman
Kalimantan. Ia bergaul dengan alam yang ganas dan
lingkungan dari berbagai
suku. Ia bisa masuk ke suku melayu, dayak dan madura.
Keahliannya merakit ulang
mesin yang rusak, dari berbagai jenis. Dari kipas angin,
diesel, motor, mobil dan
kapal yang teronggok. Dengan kreatifitasnya ia bisa
menghidupkan kembali mesin
tanpa dengan spare part baru. Bisa dengan cara
kanibal atau rekayasa
ketrampilan tangannya.
Konon, kala tidur di bawah
pohon tua di hutan pedalaman Kalimantan pernah
mengalahkan para jin yang
tiba-tiba mengeroyoknya. Ia “preman” juga rupanya.
Dialek bicaranya sangat
kental jawatimuran dan kasar. Raut mukanya dihiasi
kumis dan jenggot tak
teratur.
Guk Nuki ini menginspirasi
Emha untuk mengangkat menjadi tulisan berseri di
Surabaya Post, akhir
1980-an sampai awal 1990-an: “Markesot Bertutur.” Guk
Nuki ini ya Markesot itu.
Dari cara berpikirnya yang
sederhana, menjadi buah-buah pikiran yang sangat
filosofis. Emha seolah
menemukan “sumur ilham” untuk menjadikan “Markesot
Bertutur” tulisan yang
hidup, jujur, polos dan sangat bernas. Berkat tulisan berseri
ini, fasilitas sekolah dan
lembaga pendidikan “Al Muhammady” di Menturo,
Jombang; diperbaiki.
Karena Emha menghibahkan hasil honor seluruhnya untuk
kelangsungan pembangunan
lembaga pendidikan milik keluarga tsb.
Jkt,12.05.2010, 07:35
Bersambung.
Kawah Api: “Universitas Patangpuluhan” - III
oleh Kenduri Cinta pada 02
Juni 2010 jam 10:55
Catatan: Kang Munzir
Bengkel Markesot
Yasinan di Patangpuluhan
makin hari semakin banyak yang ikut bergabung.
Terutama dari mahasiswa
UGM, IAIN (kini UIN) dan beberapa perguruan tinggi
lain; UII dan IKIP
Muhammadiyah (UAD, Universitas Ahmad Dachlan). Mahasiswamahasiswa
ini terutama dari Jamaah
Shalahuddin UGM karena Sanggar
Shalahuddin, yang bergiat
di teater, aktivitasnya bersentuhan dengan
Patangpuluhan. (Jamaah
Shalahuddin lintas perguruan tinggi, tidak hanya UGM).
Di tengah perbincangan
serius, tiba-tiba Markesot menyela dan membantah.
Bantahannya kadang sangat
tidak konteks dengan apa yang menjadi perdebatan.
Hal ini berulang terjadi.
Siapa saja yang berbicara selalu berhadapan dengan
Markesot. Beberapa
mahasiswa dibuat jengkel. Bagi mahasiswa, kalimat-kalimat
Markesot tidak tersusun
secara sistematis.
Markesot dan Cak Nun
Emha, yang ada di
lingkaran, hanya terlihat tersenyum menyimak. Sesekali Emha
meninggalkan forum masuk
ke bilik pribadinya. Siapapun tahu, Emha meneruskan
mengetik tulisan yang
mendekati deadline beberapa surat kabar dan majalah.
Surabaya Post, Jawa Pos,
Kedaulatan Rakyat, Yogya Post, Suara Merdeka,
Wawasan, Tempo. Beberapa
redaktur berkirim surat minta tulisan, untuk secara
temporal dimuat; Kompas,
Suara Pembaruan dst.
“Mahasiswa ini bagaimana,
katanya orang pintar kok tidak paham omongan
saya,” Markesot protes.
“Orang pintar itu harus
memahami bahasanya orang bodoh,” Markesot masih
protes.
Semua hadirin terkesiap.
Markesot tidak tamat sekolah dasar tapi omongannya
sangat dalam.
“Kalau saya tidak paham
omongan sampeyan, ya wajar, lha saya kan tidak
sekolah!” Markesot terus
mencerca para mahasiswa. Matanya memerah.
Tangannya
diacung-acungkan. Beberapa mahasiswa di kiri kanan Markesot
berusaha meredam dengan
mengelus punggungnya. Markesot secara kasar
membuang tangan yang
mengelusnya, “Saya tidak marah...!”
Dari balik pintu Emha ikut
melongok, lalu bergabung. Bantah berbantah masih
berlangsung.
“Pertanyaannya adalah
orang awam harus memahami orang pintar atau
sebaliknya?” Emha memulai
ikut berbicara.
“Seharusnya mahasiswa, orang-orang pintar,
dituntut bisa memahami bahasanya
orang bodoh, bahasanya
orang awam. Jangan sebaliknya. Kalian ini orang-orang
beruntung, bisa sekolah
tinggi. Tampunglah semua orang, tampunglah Markesot.”
Markesot merasa dibela.
Hampir sebagian forum merasa kesal dengan Markesot.
Karena tiap diskusi yang
dibangun selalu berantakan jika ada Markesot. Ia
menjadi momok. Sangat
menjengkelkan. Markesot dianggap bodoh.
Itulah Guk Nuki, kawan
lama “Guk Nun.” Orang yang sangat disayang Emha. Kini
Markesot di Jogja.
Setelah melanglang di
hutan Kalimantan, Markesot pulang ke Jombang. Kerja
serabutan di kampungnya
atau di Surabaya. Sesekali dipanggil untuk bantu-bantu
service mobilnya Emha.
Keahlian Markesot mbenerin
mobil sangat spesial. Tanpa mengganti spare part
baru dengan kecerdasannya
sebuah mobil ngadat bisa jalan lagi dan irit bensin.
Repotnya, sewaktu-waktu
mobil bermasalah sementara Markesot berhalangan
tidak bisa ke Jogja, maka
“terpaksa” mobil harus ditangani montir bengkel
konvensional. Disitulah
akan terjadi “pertarungan kultural.” Versi Markesot akan
diganti semuanya oleh
montir bengkel. Karena dianggap merepotkan dan tidak
baku teorinya. Jalan
pintasnya, ganti spare part baru. Ini kan hukum dagang, rusak
sedikit harus beli yang
baru. Mudah kan?
Lalu, Emha meminta tolong
Toto Rahardjo untuk mencari tanah kosong untuk
dijadikan tempat
mangkalnya Bengkel Markesot... []
Jkt,26.05.2010, 09:32
Bersambung.
Kawah Api: “Universitas
Patangpuluhan” - IV
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 14 Juni 2010 jam 10:50
Catatan: Kang Munzir
Pacar Markesot
SIAPA sih Toto Rahardjo ?
Pacar Markesot? Bukan.
Saya menggelar “tikar”
dahulu agar cerita ini bisa dinikmati tanpa ada selaan atau
banyak “interupsi.”
Entah sejak kapan Toto “menyatu”
dengan Emha. Awalnya saya juga tidak begitu
tahu “makhluk” dari mana,
hanya medok banyumasan saja yang mudah dikenali.
Saya dengan dia beda
“aliran.” Saya bersama kawan-kawan dari kampus,
sementara Toto adalah
tokohnya LSM. Sesekali muncul, 2-3 hari ngendon di
Patangpuluhan, tiba-tiba
menghilang entah kemana.
Toto “anak” kesayangan
Romo Mangun Widjaya, seorang pastur yang sangat
“islami,” hidup menyatu di
perkampungan kumuh Kali Code. Istrinya Toto
semacam sekretaris
pribadinya Romo Mangun.
Jangan kaget, di awal
kemunculan KiaiKanjeng (1994) -–Toto salah satu pendiri—-
ikut memainkan alat musik
Gong. Untuk memainkan alat musik tersebut cukup
sulit, kapan dipukul dan
kapan berhentinya. Entah dari mana belajarnya, nyanyi
saja tidak pernah.
Emha memberi mandat kepada
Toto untuk mencari lokasi bakal tempat bengkel
Markesot. Sebidang tanah
kosong di jalan Bugisan dibangun gubugan, kios tidak
permanen. Yang kerja
kita-kita juga di bawah arahan “mandor” Markesot. Lalu bla
bla bla berdirilah Bengkel
Markesot, terpampang spanduk: Menerima Service
Mobil/Motor. Dan,
“slametan” pun diadakan dengan mengundang tetangga kiri
kanan dan “pekok-pekok”
Patangpuluhan.
Satu dua hari masih sepi.
Seminggu dua minggu mulai satu dua mobil atau motor
diservice. Itu juga masih
orang-orang dekatnya Emha. Emha tidak segan ikut
mempromosikan.
Dalam kehidupan keseharian
Markesot memang sering menjengkelkan.
Perbedaan kultur dan
budaya “preman” ikut mewarnai. Saya seringkali berantem
omong. Masalahnya juga hal
remeh temeh, sama sekali bukan prinsip. Saking
ngeyelnya saya, entah
masalah apa, tiba-tiba Markesot mengeluarkan
“simpanan”-nya. Semua
terkesiap. Sebilah celurit diambil dari almari. Lha kok ada
celurit di almari? Padahal
almari itu pakainya rame-rame, pakaian saya disimpan
disitu juga.
Takut? Jelas mengkeretlah.
Markesot memang temperamental. Oleh kawan saya,
Imam Syuhada, Markesot
diajak ngobrol hal lain. Diambil hatinya agar emosinya
menurun. Agak lega saya.
Terima kasih tak terhingga untuk: Imam Syuhada
Konflik kecil-kecilan ini
tanpa sepengetahuan Emha. Pasti dia akan marah.
Seharusnya kitalah yang
memahami dan menampung Markesot. Untuk beberapa
saat saya dan Markesot
saling diam. Kalau disapa melengos dan diam. Asem. Jelek
banget.
Jangan khawatir, tidak
lama kok. Kita hidup satu atap (tanpa perkawinan), di
rumah kontrakan milik
Emha, rumah Patangpuluhan. Apa yang disuguhkan di
meja kita makan bersama
dalam kesederhanaan. Sesekali jalan mencari soto atau
makanan khas kaki lima.
“Orang Jogja malas!” kata
Markesot di warung.
“Kenapa memang?” tanya
saya kaget.
“Nyuguhin teh ndak mau
ngaduk!”
“Hahaha, oh itu.”
Teh manis di Jogja memang
nyamleng. Wangi dan enak. Karena sering dijog ulang,
gulanya hampir setengah
gelas. Penjual tidak pernah mengaduk. Penikmatlah
yang mengaduk sesuai selera
kadar manisnya. Budaya ini yang belum dipahami
Markesot.
Markesot, kala itu usianya
40-an tahun. Jejaka kasep. Badan tegap, tangan kaki
kekar. Rambut sedikit
gondrong dengan kumis dan jambang tak beraturan. Salah
seorang adik laki-lakinya
sedang kuliah di Surabaya, bergiat juga di teater.
Sering saya pergoki,
Markesot menerima tamu seorang wanita, usianya relatif
sama. Berkelakar dan
saling cubit. Ah, sudah tuwek pacaran juga, bikin iri saja.
Siapa wanita “sial” yang,
kok, mau-maunya pacaran dengan Markesot? Ia seorang
lulusan sarjana, dan
menempati posisi penting di perusahaan Kereta Api yang
berpusat di Bandung. Tiap
akhir pekan, Sabtu atau Minggu datang dari Bandung
ke Patangpuluhan,
Jogjakarta, menjenguk sang pujaan hati, Markesot. Tidak jelas
kisah asmaranya. Dari
beberapa sumber, wanita ini sudah lama sekali menjalin
kasih dengan Markesot,
namun Markesot malah merantau belasan tahun. Cinta
lama bersemi kembali.
Kelak, wanita ini dipersunting oleh Markesot. Pernikahan
beda status sosial. Why
not?
Kembali ke bengkel.
Sebulan sudah berjalan, bulan-bulan berikutnya menyusul;
kok bengkelnya masih sepi
juga. Maksud saya, konsumen ada satu dua dalam
sehari, tiga empat sampai
lima, namun kok pendapatan sekedar untuk makan
minum saja sering nombok.
Wah, jangan-jangan
Markesot korupsi. Apa yang didapat tidak berterus terang,
tidak dilaporkan, atau ada
sesuatu yang disembunyikan.
Secara tidak sengaja ada
yang memberi info, bahwa Markesot “terlalu baik.” Jika
ada orang kena apes, ban
motornya gembos kena paku, misalnya, dengan senang
hati Markesot akan
menambalnya, meski resminya Bengkel Mobil/Motor; bukan
tambal ban. Anehnya, jika
dilihat orang yang kena apes itu potongannya orang
susah, maka Markesot tidak
mau dibayar. Oh, ini tho biang keladinya.
Bisa diduga, semua
konsumen diperlakukan sama; bayar murah. Apalagi jika
sudah saling mengenal.
Gratis.
“Lho kok gak mau dibayar
Cak?”
“Mesakno, kena apes masa
harus bayar.”
“Lha ini bengkel, siapapun
harus bayar.”
“Menolong kan baik!”
Sangat naif. Bengkelnya
akhirnya ditutup. Bangkrut. Besar pasak dari pada tiang.
Untuk membayar uang
kontrakan tahun berikutnya tidak mencukupi.
“Markesot bukan pedagang,”
kata Emha.
Jkt,08.06.2010, 01:00
Bersambung.
Kekuatan Yang Mendasari
Kekuatan
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 24 Februari 2010 jam 11:22
Ditulis Oleh: Sabrang Mowo
Damar Panuluh
Sembilan tahun yang lalu,
ketika masih merantau di negeri orang, ada momentum
di mana saya menggelandang
beberapa bulan, tak punya tempat tinggal dan tak
begitu punya uang,
sehingga sempat menjadikan sebuah masjid terbesar di kota
itu sebagai tempat
tinggal. Tempat di mana saya mendapatkan sebuah jawaban
menarik dari sebuah
pertanyaan sederhana. Pertanyaan itu adalah, “kenapa saya
merasa bahwa umat Islam
terasa lebih solid di negara non-Islam daripada negara
yang mayoritas beragama
Islam?” Jawaban dari Syeikh di mesjid tersebut, ”di
mana pun, minoritas punya
kecenderungan untuk berkumpul bersama demi
membangun sebuah kekuatan.
Dengan syarat di antara mereka harus mampu
melupakan/menghargai perbedaan-perbedaan
kecil di antara mereka.”
Ini bukan tentang Islam.
Ini kecenderungan psikologi manusia di mana yang
merasa minoritas biasanya
akan bereaksi dengan berkumpul bersama,
berorganisasi, bikin gank
atau apalah, demi mendapatkan sebuah kekuatan dari
jumlah yang besar.
Kalau mau jujur,
sepertinya jamaah Maiyah juga bisa dikatakan semacam
‘kumpulan’ orang-orang.
Saya pribadi belum berani mengambil kesimpulan
apakah anggotanya adalah
kumpulan orang-orang minoritas atau bukan. Yang
pasti kita bisa mencari
sebenarnya jenis ‘kekuatan‘ yang mana yang dicari oleh
Jamaah Maiyah ini.
Politik, ekonomi, sosial-budaya?
Kekuatan politik. Untuk
menjadi sebuah kekuatan politik, sekumpulan orang
seharusnya (harus ala
Indonesia) membentuk sebuah partai politik. Ada
anggotanya, ada
organisasinya, ada pengurusnya dan tak lupa ada lambangnya
untuk dicoblos. Oh, maksud
saya dicontreng. Tapi sepengamatan saya Jamaah
Maiyah belum pernah
bergerak ke arah itu. Berarti mungkin bukan kekuatan
politik yang dicari.
Kekuatan ekonomi. Untuk
menjadi kekuatan ekonomi, sekumpulan orang
biasanya membuat sebuah
perusahaan, atau minimal perjanjian di antara
mereka. Yang efeknya
adalah, mereka yang ada dalam perjanjian tersebut
merupakan satu entitas di
mata dunia ekonomi. Contohnya begini, saham
perusahaan bisa
berfluktuasi sesuai keadaan pasar global. Akan tetapi gaji pekerja
dalam perusahaan tidak
fluktuatif seperti sahamnya. Jadi perkumpulan yang
bertujuan sebagai kekuatan
ekonomi, paling tidak memiliki komitmen di antara
satu anggota dengan
anggota yang lain untuk bersama-sama sebagai satu
kesatuan yang utuh dalam
menghadapi pasar luas. Lagi-lagi saya pribadi tidak
melihat ini di Jamaah
Maiyah.
Kekuatan sosial budaya.
Kemampuan untuk mempengaruhi atau menahan
sebentuk kondisi. Mungkin
di Jamaah Maiyah kita bisa mengatakan ‘ada’ tentang
pembentukan kekuatan ini,
walaupun untuk mendapatkan ukuran secara pasti
dan kuantitatif akan
sangat tidak mudah.
Ketika terlibat di
lingkungan ini, dari tindak-tanduk, kebiasaan, dan mekanisme,
saya melihat sebuah
potensi yang berbeda. Jamaah Maiyah tidak membentuk
sebuah padatan yang
diterjemahkan menjadi kekuatan. Jamaah Maiyahsepertinya
berusaha mencari dan
menemukan bahan mentah (cair) yang bisa membentuk
padatan-padatan tersebut.
Semoga tidak terlalu
muluk-muluk jika saya mempunyai harapan yang besar
bahwa Jamaah Maiyah mampu
membentuk sebuah jenis kekuatan yang baru.
Yaitu kekuatan NILAI.
Sebuah kekuatan yang mendasari kekuatan-kekuatan yang
lain. Kekuatan nilai yang
matang akan bisa diterjemahkan menjadi kekuatankekuatan
yang lain. Dan
kekuatan-kekuatan yang terbentuk dari kekuatan nilai
akan menjadi sesuatu yang
lebih komprehensif untuk (dalam) kebersamaan.
Kekuatan ekonomi yang
mampu memaslahatkan banyak orang, kekuatan politik
yang bertanggung jawab,
dan kekuatan sosial politik yang cerdas dan tidak
dangkal-romantis.
Tentu itu sekadar harapan
dan pandangan. Yang bisa mendefinisikan Jamaah
Maiyah adalah Jamaah
sendiri. Ketika ini adalah kekuatan nilai, berarti semua
sudah dewasa menghadapi ekonomi,
politik, sosial dan budaya. Sampai titik yang
manakah kita sekarang? []
Konser8
by Komunitas Kenduri Cinta
1. Tahun 1996, brsm
#caknun, @kiaikanjeng meluncurkan album "Kado
Muhammad". Hit album
itu adlh TOMBO ATI yg dilantunkan dg bait2 puisi.
2. Sambutan masyarakat
sangat luar biasa. Mulailah shalawat & syair khasanah
masyarakat Islam
mendapatkan perhatian secara nasional.
3. Sampai saat ini,
@kiaikanjeng tlah mengunjungi lbh dr 21 propinsi, 384
kabupaten, 1030 kecamatan
& ribuan desa di seluruh Indonesia.
4. Gamelan @kiaikanjeng
bukan nama grup musik, melainkan nama sebuah
konsep nada pd alat musik
gamelan yg diciptakan oleh Novi Budianto.
5. Walau berbagai alat
musik dimainkan pd kelompok musik ini, namun GAMELAN
bisa disebut sebagai ciri
khas piranti musikal @kiaikanjeng.
6. Meski wujud lahiriah
sama persis dengan gamelan Jawa pd umumnya, gamelan
@kiaikanjeng sesungguhnya
bukan lagi sekadar gamelan Jawa.
7. Dlm khasanah musik
Jawa, (lazimnya gamelan) sistem tangga nadanya adlh
laras pentatonis. Terbagi
pd dua jenis nada: pelog dan slendro.
8. Maka gamelan yg digubah
oleh Novi Budianto ini (gamelan @kiaikanjeng) tidak
berada pd jalur salah
satunya, alias bkn pelog bkn slendro.
9. Meski bila ditinjau dr
segi bahan & bentuk, gamelan @kiaikanjeng ttp sama dg
gamelan Jawa pd umumnya.
Perbedaan terletak pd jmlh bilahan.
10. Serta, kenyataan bahwa
gamelan @kiakanjeng juga merambah ke wilayah
diatonis, meski tidak
sepenuhnya. Ini keunikan gamelan @kiaikanjeng.
Catatan Komunitas Kenduri
Cinta I
Page 95
11. Keunikan td,
memungkinkan eksplorasi musikal @kiaikanjeng merambah ke
mana saja aliran musik.
Membuat musik mereka bersifat adaptif.
12. @kiaikanjeng adlh
kelompok musik 'plus' mencoba menjalankan kemerdekaan
alias tak terkungkung pada
satu-dua jenis aliran musik.
13. Pelarasan nada ini
oleh Novi Budianto pd mulanya dipilih atas pengalamannya
menata musik-puisi #caknun
sejak berproses brsm di Dinasti.
Kira-kira Tuhan Pilih
Yang Mana?
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 09 Desember 2009 jam 10:04
Ditulis Oleh: Muhammad
Ainun Nadjib
Kira-kira Tuhan suka yang
mana dari tiga orang ini?.
Pertama, orang yang shalat
lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid,
tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap
hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan
hidup sederhana, tapi dia
sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat
permusuhan.
Ketiga, orang yang tidak
shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak
korupsi, dan penuh kasih
sayang?”
Kalau saya,memilih orang
yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya
membangun neraka, bukan
membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu
namanya bukan membaca
al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang
rakyat, itu namanya tidak
sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang
suka beramal, tidak
korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang
sesungguhnya sembahyang
dan membaca al-quran.
Komposisi Debu dan
Aransemen Ruh
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 20 Oktober 2010 jam 11:07
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Setiap ayat Allah
sesungguhnya mengandung dimensi-dimensi yang sangat
kompleks dan sangat penuh
ketidakterdugaan. Misalnya, ada ayat yang
kelihatannya cuma perintah
perilaku sederhana yang menyangkut akhlak, tapi
ternyata di baliknya
tersimpan ilmu fisika, biologi, kimia, dan seterusnya.
Saya dikasih tahu oleh
anak saya tentang semacam pemahaman, atau sebut saja
spekulasi, bahwa ruh itu
tidak berbeda dengan badan, tidak berbeda dengan
jisim. Jisim itu kulit
arinya ruh. Ruh itu pada penampilannya yang paling dangkal,
yang simptoma-simptoma
yang sederhana dia itu bernama jisim, tapi seluruhnya
ini sebenarnya adalah
dunia ruh. Jadi bukan ini ruh, ini badan, bukan begitu.
Sama dengan jangan
ditanyakan apa badan Rasulullah ikut Isra` Mi`raj atau tidak.
Bukan begitu. Karena,
ketika beliau naik Buraq dengan percepatan tertentu,
badan beliau berubah atau
transformed menjadi energi. Ketika dia memakai
percepatan Mi`raj yaitu
kecepatan yang dulu bisa memindahkan istana Bulkis
sekejapan mata sebelum
Sulaiman selesai berkedip Istana sudah sampai ke situ.
Dan itulah kecepatan
Mi`raj. Pada saat itu tubuh Rasulullah sudah menjadi
barqun, yang menaiki
buraqun.
Dia sudah menjadi
halilintar, sudah menjadi cahaya maha cahaya.
Jadi ruh dan badan itu
tidak berbeda. Bahan dasarnya adalah partikel yang sama.
Yang berbeda adalah
komposisi dan aransemennya. Badan itu adalah ketika ruh
mengaransir dan
mengkomposisikan diri ke dalam suatu formula yang paling
sederhana, maka dia
bernama jisim atau badan.
Siapakah komposer dan
arranger? Sehingga kita menyaksikan batu, angin, virus,
buah mangga, dan pada diri
kita ini sendiri ada tulang, daging, sungsum, darah,
nanah, ingus, bahkan juga
segumpal hati yang berisi ruang tak terhingga, serta
sekepal otak yang sistem
hardware sedemikian canggih dan sistem software-nya
sedemikian tak kita kenali
- siapakah gerangan Sang Komposer dan Arranger?"
Kata anak saya, kalau
manusia bisa menguakkan rahasia amr, rahasia perintah,
yang di genggaman
tangan-Nya terdapat 'partitur' segala sesuatu dalam
kehidupan ini -- maka kita
bisa meracik pasir dengan campuran tertentu menjadi
emas, bisa mengubah kain
celana menjadi nasi goreng.?
Kostum Agama
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 07 September 2009 jam 12:21
Ditulis Oleh: Muhammad
Ainun Nadjib
Budaya keagamaan islam
mencapai puncak kemeriahannya terutama pada bulan
Ramadhan. Televisi
berlomba menggelar mubaligh dan presenter. Berbagai
busana muslim-muslimah
kita tonjolkan. Hiasan dan konsum warna-warni mewah
meriah kita pajang. Saya
sendiri berusaha menyesuaikan diri, sehinggak untuk
keperluan shooting saya
pinjam sarung untuk kemul-kemul. Untuk siapakah
semua itu dipertunjukkan?
Untuk Allah, untuk bulan ramadhan, atau untuk
pemirsa? Kita
ber-husnudhan bahwa kita ini semua sangat mencintai dan
menghormati Allah. Hanya
saja, seakan-akan hanya pada bulan ramadhan saja
Allah hadir. Seolah-olah
hanya pada bulan ramadhan saja kita semua berhadapan
dengan Allah. Dan kalau
sesudah selesai acara lantas kita berganti pakaian yang
asli seakan-akan hanya
didepan kamera saja kita menghormati Allah. Saya sangat
takut jangan-jangan Allah
merasa kita bohongi.(Dikutip dari hikmah puasa)
Lupa dan Salah
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 30 Juli 2010 jam 11:51
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Ada 4 jenis Kelupaan atau
Kesalahan dalam diri manusia.
Pertama, namanya 'Nisyan',
itu artinya lupa, tapi lupa dan melupakan itu berbeda.
Kalau lupa itu gak ada
kesalahan, tidak ada pasal hukumnya, pasal akhlak maupun
akidahnya, tapi kalau
melupakan itu suatu tindakan moral, suatu tindakan yang
bisa menyentuh batas
hukum, baik hukum negara maupun akhlak.
Yang kedua, namanya
'Qoto', itu salah. Kesalahan juga ada 2 macam, kesalahan
teknis manajemen, ada
kesalahan dalam arti bermakna moral, misalnya saya ujian
berhitung matematik, saya
melakukan kesalahan, saya tidak dosa karena saya ada
kekeliruan ngitung, kalau
keliru ngitung-nya ini dalam administrasi negara, dalam
klausul-klausul,
policy-policy aturan, ini bukan kesalahan intelektual, ini sebagai
kesalahan moral.
Nomer ketiga, namanya
'Dhulm', itu artinya aniaya, penindasan, penganiayaan.
Jadi ini ketika lupa dan
kesalahan sudah pada tingkat dimana kekuatan
berbenturan pada manusia.
Yang kuat ke yang lemah dan terjadi pada berbagai
macam lini, bidang atau
level pada kehidupan manusia. Ada penganiayaan dalam
arti praksis politik
kekuasaan, dalam arti violence, kekerasan. ada kekerasan fisik
pakai peluru, pakai sepatu
lars. Ada kekerasan kata-kata, ada kekerasan tayangan,
ada kekerasan religius.
Yang keempat 'junun',
namanya Junun itu dari kata jin, jadi 'something outside of
the logics' itu namanya
majnun. Jin itu aplikasi kemahlukannya, majnun itu orang
biasa, orang manusia yang
ditimpa oleh junun. Kata junun bisa dijelaskan secara
psikiatrik maupun
psikologis. Cinta kalau disakiti terus menerus akan menjadi
kebencian, tapi kalau
engkau menyelam kedalam apa yang disebut kebencian
sesungguhnya dia adalah
cinta yang tulus.[]
Makalah Diskusi Forum
Martabat: Pertanyaan
dalam
"Bertanya"
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 03 Agustus 2010 jam 12:45
Ditulis Oleh: Sabrang Mowo
Damar Panuluh
“Segelas kopi panas,
diminum dikala sore hari sambil ngobrol-ngobrol sembari
menikmati rokok yang baru
kemarin lusa difatwa haram, benar-benar membuat
sore ini terasa sangat
nikmat.”
Jawab dengan jujur, dengan
sekali baca cerita diatas, bagaimana reaksi anda ?
membayangkan suasana sore
hari yang nikmat, membayangkan gelak canda tawa
sekelompok orang,
membayangkan dua orang ngobrol ngga jelas sambil
melamun, atau justru
mengkernyitkan dahi?
Prekonsepsi pengalaman
sore hari yang biasa pembaca alami sangat
mempengaruhi ‘hantaman
imajinasi’ pertama sebagai respon terhadap cerita
diatas. Jika anda diberi
kesempatan melontarkan satu pertanyaan untuk menggali
informasi lebih dalam,
kira-kira apa yang akan anda tanyakan ?
Dari teori bertanya yang
selama ini kita kenal, yaitu 5W 1 H (What, why, where,
who, when dan how),
kira-kira yang mana yang akan anda lontarkan ? Atau teori
itu justru tidak menjadi
pedoman ketika anda bertanya?
Catatan Komunitas Kenduri
Cinta I
Page 103
Ada teori lain tentang
‘pertanyaan’ yang saat ini tidak begitu populer, (mungkin
karena baru dikarang) yang
disebut PRWT (Pitakonan Ra Waton Takon), jangan
dikritik dulu, ini juga
baru dikarang. Teori ini mengatakan bahwa setiap
pertanyaan harus mempunyai
syarat, prasyarat dan kerangka yang jelas pada
peta yang lebih luas.
Samasekali bukan untuk menggantikan 5W1H, teori ini justru
mencoba menambahkan apa
yang masih belum terdefinisikan dalam 5W1H.
Sebelum menentukan jenis
pertanyaan yang akan dilontarkan, adalah wajib
memastikan bahwa si
penanya dan yang ditanya mempunyai ‘bahasa’ yang sama
(duh ). Ngga lucu juga si
penanya pakai bahasa Jawa sementara yang ditanya
berbahasa Swahili. Bisa
saja terjadi, tapi maksud saya adalah ‘bahasa’ pada level
pemahaman. Setiap bangsa,
setiap budaya, setiap suku, bahkan setiap orang
mempunyai ‘bahasa’nya
sendiri. Kata yang terucap tidak selalu mempunyai
makna yang sama untuk
pengucapnya, walaupun tidak sama sekali berbeda. Mari
ambil contoh populer.
Cinta, tanyakan definisinya pada 100 orang dan anda akan
mempunyai 100 jenis
jawaban.
Jika anda mengatakan bahwa
tidak mungkin kita mengkonfirmasi bahwa semua
kata bisa tersampaikan
sempurna, saya setuju. Tapi adalah kewajiban penanya
untuk meminimalisir
dicrepancy pemahaman kata. Disini kata kuncinya adalah
menghindari ambigu atau
bahkan salah faham.
Pernahkah anda berargument
dengan diri anda sendiri ? sepertinya tidak harus
menjadi orang gila untuk
punya penglaman tersebut. Jika anda belum pernah,
mungkin ada baiknya
sekali-sekali dicoba. Paling tidak, berguna ketika tidak ada
lawan ngobrol dikala sepi.
usul saya cobalah tanyakan pertanyaan ini pada
pertanyaan yang akan anda
tanyakan.
Pertama, tujuan/fungsi
pertanyaan ini apa ya ? Untuk menggali informasi,
memancing informasi,
memancing emosi, mengerucutkan tema bahasan,
melebarkan tema bahasan,
mengganti tema, menghabiskan waktu, mengajak
berkonklusi dst dst …
sangat banyak kemungkinan. Dengan modal itu, konsep
pertanyaan akan menjadi
lebih terarah karena anda akan siap dengan reaksi
lanjutannya.
Kedua, apakah pertanyaan
saya mengandung asumsi pribadi yang belum
terkonfirmasi oleh object
yang ditanya ? Kalau ini belum ‘clear’, potensi ambigu
dan salah faham akan
meningkat. Contoh : “Ketika bapak sedang tidak kerja, apa
yang bapak lakukan”. Sepertinya
pertanyaan yang sangat innocent. Apakah anda
sudah meluruskan bahwa
arti kata “kerja” antara anda dan penanya adalah sama
? misalnya dijawab begini
: “Loh dik, kapan saya ngga kerja, orang bernafas saja
sudah saya anggap kerja,
ibadah kepada Tuhan”. Tambah ruwet pastinya. Jangan
asumsikan si bapak tidak
tahu maksud anda, dia hanya berperilaku jujur terhadap
pemahaman dia kepada kata
“kerja”. Kewajiban penanya lah mencari kata yang
lebih tajam atau memberi
‘lambaran’ kepada si bapak agar tidak bisa
‘menghindari’ pertanyaan.
Ketiga, apakah pertanyaan
saya ‘sesuai’ ? Sesuai memang kata-kata yang sangat
cair, tidak mudah
mendefinisikanya. Karena selalu dibutuhkan kesensitifitasan
terhadap konteks, ruang
dan waktu. Faktornya bisa kesopanan, kepantasan,
pilihan istilah, ranah
bahasan dll. Keempat, dengan apa saya akan menggali
informasi. Jangan lupa
alat bertanya tidak hanya kata-kata yang keluar dari mulut.
Hanya dengan mengernyitkan
dahi anda bisa membuat orang berbicara lebih
banyak, hanya dengan senyuman
anda akan bisa mendapat respon yang lebih
friendly. Hanya dengan
tertawa anda akan bisa membuat object yang ditanya
merasa lebih nyaman
mengungkapkan informasi. Dari cerita ‘minum kopi sore
sore’ diatas, siapa
diantara pembaca yang bertanya : “nikmat karena rokoknya
haram kah ? (sambil
tersenyum)” ?. Anda baru saja membuat pencerita
tersenyum atau bahkan
tertawa, yang berarti membuka pintu-pintu pertanyaan
lain yang akan dijawab
dengan senyuman. Selamat.
Diskusi Martabat kali ke 7
ini mencoba mencari formula yang berhubungan
dengan ‘pertanyaan’ agar
setiap kita bertanya, kritis itu menjadi otomatis, tidak
perlu nyinyir atau amis,
tapi praktis, pragmatis dan etis. Pisss !!
*) Pengantar Diskusi
Martabat 28 Juli 2010
Makna Spiritual Dan
Sosial Ibadah Puasa
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 02 September 2009 jam 10:50
Ditulis Oleh: Muhammad
Ainun Nadjib
Tulisan ini bisa dimulai
dari perspektif Rukun Islam. Dari syahadah hingga
menunaikan haji di rumah
suci Allah. Kita mencoba menjelaskan satu per satu
maqam Rukun Islam
tersebut. Dan, pada akhirnya, kita akan melihat maqam
ibadah puasa, yang menjadi
topik bahasan tulisan ini. Apakah maqam-maqam itu
saling terkait, atau
tidak?
‘Alamat’ dan ‘Jurusan’
Syahadah. Salah satu Rukun
Islam berarti ketetapan dan penetapan titik pijak dan
sekaligus arah tujuan
gerak kehidupan manusia Muslim. Semacam ‘alamat’ dan
‘jurusan’. Pertama
barangkali pada spektrum kosmologis kemudian teologis, baru
kemudian kedua kultural.
Pandangan tentang ’sangkan
paran’, semacam alamat historis-kosmologis,
menurut manusia untuk
(melalui akal pikiran maupun melalui informasi wahyu,
mawaddah wa rahmah, juga
huda, bayyinat, wa furqan) menentukan alamat
teologis (atau
a-teologis)nya. Berdasarkan itu maka ia berangkat merumuskan
alamat sosialnya, alamat
kulturalnya, juga mungkin alamat politiknya, bahkan
bukan tidak mungkin juga
alamat geografisnya. Dengan itu, beda pandang
manusia mengenai dunia,
akhirat, dan tentang dunia akhirat menjadi terumuskan.
Menduniakan Akhirat,
Mengakhiratkan Dunia, dan Mendunia-akhiratkan
Kehidupan
Pada budaya dan perilaku
manusia beserta sistem nilai yang disusun dalam
kolektivitas mereka, ada
yang memandang dunia ini sebagai tujuan. Seluruh
aktivitas pribadi, gerakan
sosial, pengorganisasian kekuasaan dan kesejahteraan
di antara mereka,
dilaksanakan dengan mengandaikan bahwa dunia ini adalah
wadah satu-satunya dari
segala awal dan segala akhir.
Wadahnya hanya dunia.
Substansinya hanya dunia. Metodenya hanya dunia. Dan,
targetnya juga hanya
dunia. Orang lahir, orang bersekolah, orang bekerja, orang
berkuasa, orang berkarier,
dalam ‘durasi’ dunia.
Segala sesuatunya akan
berbeda dengan pandangan lain yang meletakkan dunia
sebagai titik tolak dan
titik pijak untuk melangkah ke akhirat. Sejarah di dunia
dikerjakan sebagai jalan
(syari’, thariq, shirath), dan produknya adalah akhirat.
Setiap kegiatan dan fungsi
manusia dalam sejarah, selama dunia berlangsung,
berlaku sebagai metoda.
Berkedudukan tinggi, berjaya, unggul, atau menang di
antara manusia, tidak
dipahami sebagai neraka. Sebab surga dan neraka adalah
produk dari penyikapan
(teologis, moral, kultural) manusia atas semua keadaan
tersebut.
Dalam hal ini belum akan
kita perdebatan tentang apakah dunia dan akhirat itu
diwadahi oleh dua satuan
waktu yang berbeda, atau terletak pada rentang waktu
yang sama, yang dibatasi
oleh momentum yawm al-qiyamah, ataukah dunia dan
akhirat itu sesungguhnya
berlangsung sekaligus.
Ikrar teologis (yang
beraktualisasi kultural) yang dilaksanakan melalui
syahadatain, ibadah lain
serta ’syariat’ hidup secara menyeluruh adalah suatu
pengambilan sikap, suatu
pilihan terhadap pandangna atas dunia dan akhirat.
Dengan pijakan sikap ini
manusia menggerakkan aktivitas sosialnya,
melaksanakan upaya-upaya
hidupnya, serta menja-dikannya sebagai pedoman di
dalam memandang,
menghayati dan memperlakukan apapun saja dalam
hidupnya.
Tidak termasuk dalam
katagori ini pola sikap manusia yang dalam bersyahadat
seakan-akan mengambil
keputusan teologis yang memetodekan dunia untuk
target akhirat, namun
dalam praktiknya ia lebih cenderung meletakkan dunia
sebagai target dan tujuan.
Kerancuan sikap semacam
ini bisa dilatarbelakangi oleh semacam kebutaan
(spiritual), oleh
inkonsistensi (mental), oleh kemunafikan (moral), atau oleh tiada
atau tidak tegaknya pengetahuan
(intelektual). Yang terjadi padanya adalah
kecenderungan menduniakan
akhirat. Sementara pada manusia yang dalam
konteks tersebut
tercerahkan spiritualitasnya, yang konsisten sikap mentalnya,
yang teguh moralnya, dan
yang tegak pengetahuannya- kecenderungannya
adalah mengakhiratkan
dunia, atau dari sisi lain ia bermakna menduniaakhiratkan
kehidupan.
Evolusi Salat dan Idul
Fitri-Idul Fitri Kecil
Salat. Ibadah Salat
merupakan suatu metode ‘rutin’ kultural untuk proses
pengakhiratan.
Momentum-momentum salat lima waktu memungkinkan manusia
pelakunya untuk secara
berkala melakukan pengambilan ‘jarak dari dunia’.
Itu bisa berarti suatu
disiplin intelektual untuk menjernihkan kembali persepsipersepsinya,
untuk memproporsionalkan
dan mensejatikan kembali pandanganpandangannya
terhadap dunia dan isinya,
sekaligus itu bermakna ia menemukan
kembali
kefitrian-diri-kemanusiaan. Salat dengan demikian adalah idul fitri-idul
fitri kecil yang bersifat
rutin. Sekurang-kurangnya salat mengandung potensi
untuk membatalkan atau
mengurangi keterjeratan oleh dunia. Ini sama sekali
bukan pandangan antidunia.
Yang saya maksud, sebagai substansi, target, titik
berat atau tujuan
kehidupan.
Ibadah salat dengan
demikian adalah suatu transisi sistem yang terus-menerus
mengingatkan dan
mengkodisikan pelakunya yang memelihara sikap
mengakhiratkan dunia atau
menduniaakhiratkan kehidupan. Ibadah salat
menawarkan irama, yaitu
proporsi kedunia-akhiratan yang dialektis berlangsung
dalam kesadaran, naluri
dan perilaku manusia.
Kalau kita idiomatikkan
bahwa salat itu bermakna pencahayaan (’air hujan’, salah
satu jenis air yang
disebut oleh al-Qur’an), maka jenis ibadah berkala ini berfungsi
mencahayai dan
mencahayakan kehidupan pelakunya. Mencahayai dalam arti
menaburkan alat
penjernihan diri dan persepsi hidup. Mencahayakan dalam arti
memberi kemungkinan kepada
pelakunya untuk bergerak dari konsentrasi
kuantitas (benda, materi)
menuju dinamika kreativitas (energi) sampai akhirnya
menuju atau menjadi
kualitas cahaya (Allahu nur al-samawat wa al-ardl).
Ibadah salat bersifat
kumulatif dan evolusioner, sebagimana zakat yang
berlambangkan susu (jenis
air lain yang disebut oleh al-Qur’an). Kambing tidak
meminum susunya sendiri,
melainkan mendistribusi-kannya kepada anak-anak
dan makhluk lain. Etos
zakat adalah membersihkan harta perolehan manusia.
Membersihkan artinya
memproporsikan letak hak dan wajib harta. Manusia tidak
memberikan zakat,
melainkan membayarkan atau menyampaikan hak orang atau
makhluk lain atasnya.
Revolusi Puasa,
Melampiaskan dan Mengendalikan
Puasa. Berbeda dengan
salat dan zakat, ibadah puasa bersifat lebih ‘revolusioner’
radikal dan frontal.
Waktunya pun dilakukan pada masa yang ditentukan, seperti
disebutkan al-Qur’an. Dan,
waktu puasa wajib sangat terbatas. Hanya pada bulan
Ramadhan.
Orang yang berpuasa
diperintahkan untuk berhadapan langsung atau mengengkau-
kan wakil-wakil paling
wadag dari dunia dan diinstruksikan untuk menolak
dan meninggalkannya pada
jangka waktu tertentu.
Pada orang salat, dunia
dibelakanginya. Pada orang berzakat, dunia di sisinya,
namun sebagian ia pilah
untuk dibuang. Sementara pada orang berpuasa, dunia
ada di hadapannya namun
tak boleh dikenyamnya.
Orang berpuasa disuruh
langsung berpakaian ketiadaan: tidak makan, tidak
minum, dan lain
sebagainya. Orang berpuasa diharuskan bersikap ‘tidak’ kepada
isi pokok dunia yang
berposisi ‘ya’ dalam substansi manusia hidup. Orang
berpuasa tidak
menggerakkan tangan dan mulut untuk mengambil dan memakan
sesuatu yang disenangi;
dan itu adalah perang frontal terhadap sesuatu yang
sehari-hari meru-pakan
tujuan dan kebutuhan.
Puasa adalah pekerjaan
menahan di tengah kebiasaan menum-pahkan, atau
mengendalikan di tengah
tradisi melampiaskan. Pada skala yang besar nanti kita
bertemu dengan tesis ini; ekonomi-industri-konsumsi
itu mengajak manusia untuk
melampiaskan, sementara
agama mengajak manusia untuk menahan dan
mengendalikan. Keduanya
merupakan musuh besar, dan akan berperang frontal
jika masing-maisng menjadi
lembaga sejarah yang sama kuat.
Sementara ibadah haji
adalah puncak ‘pesta pora’ dan demonstrasi dari suatu
sikap, pada saat dunia
disepelekan dan ditinggalkan. Dunia disadari sebagai
sekadar seolah-olah megah.
Ibadah thawaf adalah
penemuan perjalanan sejati sesudah seribu jenis perjalanan
personal dan personal yang
tidak menjanjikan kesejatian dan keabadian. Nanti
kita ketahui gerak
melingkar thawaf adalah aktualisasi dasar teori inna lillahi wa
inna ilayhi raji’un. Suatu
perjalanan nonlinier, perjalanan melingkar perjalanan
siklikal, perjalanan yang
‘menuju’ dan ‘kembali’nya searah.
Ihram adalah ‘pelecehan’
habis-habisan atas segala pakaian dan hiasan keduniaan
yang palsu status sosial,
gengsi budaya, pangkat, kepemilikan, kedudukan,
kekayaan, atau apapun saja
yang sehari-hari diburu oleh manusia. Sehabis
berihram mestinya sang
pelaku mengerti bahwa nanti kalau ia pulang dan hadir
kembali ke
kemegahan-kemegahan dunia–tak lagi untuk disembahnya atau
dinomorsatukannya. Karena
ihramlah puncak mutu dan kekayaan.
Tauhid Vertikal dan Tauhid
Horisontal
Adapun apa, ke mana, dan
bagaimanakah sesungguhnya yang dijalani oleh para
pelaku Rukun Islam,
terutama yang ber’revolusi’ dengan puasa?
Pilar utamanya adalah
tauhid vertikal (tawhid ilahiyyah) dan tauhid horisontal
(tawhid basyariyyah).
Tauhid itu proses penyatuan. Penyatuan (ilahiyyah) ke atau
dengan Allah, serta
penyatuan ke atau dengan sesama manusia atau makhluk,
memiliki rumus dan
formulanya sendiri-sendiri.
Perlawanan terhadap dunia,
penaklukan atas diri dan kehidupan untuk
diduniaakhiratkan yang ditawarkan
oleh ibadah puasa–sekaligus berarti proses
deindividualisasi, bahkan
deeksistensialisasi. Tauhid adalah perjalanan
deeksistensialisasi,
pembebasan dari tidak pentingnya identitas dan rumbairumbai
sosial keduniaan di
hadapan Allah. Segala kedudukan, fungsi dan peran di
dunia dipersembahkan atau
dilebur ke dalam eksistensi sejati Allah dan kasih
sayang-Nya. Tauhid sebagai
perjalanan deindividualisasi berarti menyadari dan
mengupayakan proses untuk
larut menjadi satu atau lenyap ke dalam wujudqidam-
baqa’ Allah. Manusia hanya
diadakan, diselenggarakan seolah-olah ada,
ada-nya palsu–oleh Yang
Sejati Ada.
Yang juga ditawarkan oleh
puasa adalah proses dematerialisasi, atau peruhanian
atau dalam konteks
tertentu pelembutan dan peragian. Dematerialisasi bisa
dipahami melalui,
umpamanya, konteks peristiwa Isra’ Mi’raj. Rasulullah
mengalami proses
transformasi dari materi menjadi energi menjadi cahaya. Maka,
dematerialisasi vertikal
bisa berarti mempersepsikan, menyikapi dan mengolah
materi (badan, pemilikan,
dunia, perilaku, peristiwa) untuk dienergikan menuju
pencapaian cahaya. Fungsi
sosial dikerjakan, managemen dijalankan, musik
diciptakan, karier
ditempuh, ilmu digali dan buku dicetak, uang dicari dan harta
dihamparkan–tidak dengan
orientasi ke kebuntuan dunia sebagai materi yang
fana, melainkan digerakkan
ke makna ruhani, pengabdian dan taqarrub kepada
Allah, sampai akhirnya
masuk dan bergabung ke dalam ‘kosmos’ dan sifat-Nya.
Proses dematerialisasi,
proses ruhanisasi atau proses transformasi menuju
(bergabung, menjadi)
Allah, meminta hal-hal tertentu ditanggalkan dan
ditinggalkan. Dalam bahasa
sehari-hari orang bilang: jangan mati-matian mencari
hal-hal yang tidak bisa
dibawa mati.
Menanggalkan dan
meninggalkan itu mungkin seperti perjalanan transformasi
padi menjadi beras, dan
menjadi nasi. Padi menjadi beras dengan menanggalkan
kulit. Beras juga padi,
tapi beras bukan lagi padi, sebagaimana padi belum beras.
Nasi itu substansinya padi
atau beras, tapi sudah melalui proses suatu pencapaian
transformatif. Para
pemakan nasi tidak antipadi, tapi juga tidak makan padi dan
menanggalkan kulit padi.
Pemakan nasi sangat membutuhkan beras, tapi tidak
makan beras dan tidak
membiarkan beras tetap jadi gumpalan keras. Pemakan
nasi memproses bahan dan
substansi yang sama menjadi atau menuju sesuatu
yang baru.
Jadi, jika pemburu atau
pengabdi Allah tidak antidunia, tidak antimateri, tidak
antibenda, tapi juga tidak
menyembah benda, melainkan mentransformasikan
(mengamalsalehkannya),
meruhanikannya (menyaringnya menjadi bermakna
akhirat). Bahkan manusia
akan menanggalkannya dan meninggalkan dirinya
sendiri (gumpalan
individu, wajah, badan, performance, eksistensi dunia), karena
‘dirinya’ di akhirat,
dirinya yang bergabung ke Allah adalah sosok amal salehnya.
Pada ‘citra’ waktu,
dematerialisasi, peruhanian, deindividualisasi, dan
deeksistensialisasi
berarti pengabdian. Pembebasan dari kesementaraan. Yang
ditanggalkan dan
ditinggalkan adalah kesementaraan. Segumpal tanah bersifat
sementara, tapi ia
difungsikan dalam sistem manfaat dan rahmat, maka fungsinya
itu mengabdi. Sebagaimana
gumpalan badan kita serta segala materi eksistensi
kita bersifat sementara,
yang menjadi abadi adalah produk ruhani pemfungsian
atas semua gumpalan itu.
Melampiaskan dan
Mengendalikan
Juga dalam proses tauhid
horisontal, penyatuan berarti sosialisasi pribadi. Kalau
masih pribadi yang
individualistik (ananiyyah), ia gumpalan. Begitu integral-sosial
(tawhid basyariyyah), ia
mencair, melembut. Yang ananiyyah itu temporer dan
berakhir, yang tauhid
basyariyah itu baqa’ dan tak berakhir.
Identitas sosial, harta
benda, individu, segala jenis pemilikan dunia, dienergikan,
diputar, disirkulasikan,
didistribusikan, dibersamakan atau diabadikan ke dalam
keberbagian sosial. Itulah
peruhanian horisontal.
Karena itu, proses-proses
menuju keadilan sosial, kemerataan ekonomi, distribusi
kesejahteraan, kebersamaan
kewenangan dan lain sebagainya–sesungguhnya
merupakan aktualisasi
tauhid secara horisontal.
Kita tinggal memperhatikan
setiap sisi, segmen dan lapisan dari proses sosial
umat manusia (pergaulan,
kebudayaan, negara, sistem, organisasi) melalui termaterma
materialisasi versus
peruhanian, satu versus kemenyatuan,
pensementaraan versus
pengabdian, penggumpalan versus pelembutan, sampai
akhirnya nanti pelampiasan
versus pengendalian. Budaya ekonomi-industrikonsumsi
kita mengajak manusia
untuk melampiaskan. Sementara agama
menganjurkan manusia untuk
mengendalikan. Kalau kedua arus itu sama-sama
menemukan lembaga dan
kekuatan sejarahnya yang berimbang, konflik
peradaban akan serius.
Ibadah puasa merupakan
jalan ‘tol’ bagi perjuangan manusia untuk mencapai
kemenangan di tengah
tegangan-tegangan konflik tersebut. Juga dalam
pergulatan antara iradah
al-nas dalam arti individualisme individu-kecil dengan
iradah Allah Individu
Besar Total.
Kita bisa menolak ke terma
sab’a samawat, tujuh langit– Roh-Benda-Tumbuhan-
Hewan-Manusia-
Ruhanisasi-Ruh– bisa kita temukan siklus-siklus kecil dan besar
proses peruhanian yang
diselenggarakan oleh manusia.
Atau terma Empat ‘Agama’–’agama’intuitif-instinktif,
‘agama’ intelektual, ‘agama’
wahyu, serta ‘agama atas
agama’--kita bisa menemukan bahwa ketika penerapan
wahyu –Agama terjebak
menjadi berfungsi gumpalan-gumpalan, maka ‘agama
atas agama’ merupakan
fenomena peruhanian, kristalisasi substansi. Semua
manusia bekerjasama
menempuh nilai-nilai inti peruhanian yang mengatasi
gumpalan-gumpalan aliran,
sekte, kelompok, mazhab atau organisasi agama.
Terma lain yang mungkin
bisa kita sentuh adalah cakrawala puasa la’allakum
tattaqun. Produk maksimal
puasa bagi pelakunya adalah derajat dan kualitas
takwa. Dalam terapan
empiriknya, kita mencatat stratifikasi fiqh/hukum-akhlaktakwa.
Kondisi peradaban umat
manusia masih tidak gampang untuk sekadar
mencapai tataan manusia
fiqh/hukum atau budaya fiqh/hukum. Apalagi naik lebih
lagi ke level akhlak dan
takwa. []
__________
arsip/1996
Manajemen adalah.......
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 22 Juli 2010 jam 10:58
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Manajemen bukanlah kita
punya sayur-sayuran lantas kita memasaknya.
Manajemen adalah tidak
punya apa-apa tapi sanggup menyuguhkan sayur kepada
orang yang memerlukan.
Manajemen adalah
ditiadakan namun mampu menjadi lebih ada dibanding pihak
yang meniadakan.
Manajemen adalah kaki
diborgol kemudian memenangkan lomba lari melawan
orang yang memborgol.
Manajemen adalah sayapmu
dipangkas namun mampu terbang lebih cepat,
tinggi, dan jauh dibanding
mereka yang memangkas sayapmu.
Manajemen adalah hampir
tak ada air tapi bisa mandi dan menjadi lebih bersih
dibanding pencuri airmu.
Manajemen adalah engkau
tak boleh bicara, tak ditampilkan, tak ditayangkan, tak
dianggap ada, namun mampu
hadir lebih mendalam dan evergreen didalam kalbu
orang banyak dibanding
mereka yang membunuh eksistensimu atau mereka yang
diunggul-unggulkan
dimuan-muat ditayang-tayangkan dibesar-besarkan siang
malam oleh penindasmu.[]
MATINYA SANG PENTAFSIR
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 19 Februari 2010 jam 9:37
Ditulis Oleh: Ratri Dian
Ariani
Pernah Cak Nur (Dr.
Nurcholish Madjid) mengatakan bahwa 3,4% dari Alquran
memuat perkara ibadah
mahdhoh, sedangkan sisanya yang 96,6%-nya
membicarakan ibadah
muamalah. Kitab suci Alquran keberlakuannya universal,
melintasi batas-batas
teritori dan rentang waktu. namun nyatanya pada wilayah
tafsir, sangat mungkin
menjadi sangat berbeda antara satu kepala dengan yang
lain. Yang menjadi
pertanyaan kemudian adalah siapa saja yang ber-'hak'
melakukan penafsiran itu?
Di wilayah mana kita memenuhi syarat melalkukan
tafsir?
Pada majlis kali ini kita
akan memetakan apa itu sinkretisme, hibridasi, dan
multikulturalisme.
Kemudian kita akan menyimpulkan apakah plural itu esensi
dalam aufklarung?
Nursamad Kamba
Filsafat bicara soal
apakah kebenaran itu bernilai mutlak atau relatif. Melalui kisah
Nabi Yusuf alaihissalam,
Allah mengakui adanya kebenaran yang diliputi
kebathilan.
Saudara-saudara Yusuf membajui kebathilan yang mereka rencanakan
melalui logika yang
merreka sampaikan pada sang ayah, Ya'qub alaihissalam.
Bisa jadi, Allah
membiarkan hamba-nya melakukan perbuatan bathil, dan pada
waktunya Dia akan
memberikan balasan yang seberat-beratnya.
Piagam Madinah memberikan
pelajaran pada kita bahwa masyarakat tidak usah
repot-repot mencari
pemerintahan. Poinnya, tidak ada seorang pun yang boleh
menganggur, dengan maiyah
sebagai spiritnya. maka pada waktu itu
perekonomian Madinah
demikian maju.
Diajarkan pada kita bahwa
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah seorang
tukang fatwa, bicara ini
halal itu haram.
Dalam sejarah, ada ilmu
Islam yang kemudian dilembagakan sehingga menjadi
doktrin. Pada abad 4
Hijriah, lahir ilmu kalam yang saat ini berkembang menjadi
doktrin. Maka ada beberapa
orang yang meng-'kafir'-kan siapa saja yang tidak
mengakui Sifat Duapuluh.
Padahal, ilmu kalam adalah sebuah pendekatan untuk
memahami aspek-aspek
filsafat.
Al-Muhasiby (tahun 300 H),
guru dari Imam Al-Ghazali, mengatakan bahwa
penafsiran Alquran tidak
ada rumus baku. Penafsiran merupakan interaksi yang
hidup antara hamba dengan
Allah, sehingga bukan sesuatu yang aneh jika tafsir
Alquran bervariasi.
Pendapat ya pendapat saja. Keberagaman pikiran tidak akan
menimbulkan dampak apapun
kecuali memperkaya.
Yang paling berbahaya dari
agama adalah ketika agama dilembagakan dalam
forum-forum tertentu,
seperti kependetaan contohnya. Ada di sekitar kita
kelompok-kelompok tertentu
yang mengklaim kebenaran. Padahal, ilmu ada di
mana-mana. jangan pernah
mempersempit ruang kemungkinan ilmu!
Allah memberikan dua
pahala pada mujtahid atas ijtihadnya yang benar.
kemudian ketika ternyata
ijtihadnya tidak benar, ia tetap mendapatkan satu
pahala. Dari sini kita
dapat menyimpulkan adanya ruang kemungkinan yang
ditawarkan Allah. Yang
tidak boleh adalah memaksa orang lain untuk mengikuti
ijtihadnya.
Betapa arifnya Rasululah
yang mengatakan, "Hikmah ada di mana-mana, siapa
yang mendapatkan di
memetiknya." Kita menjadi sengsara karena mengandalkan
ilmu kita sendiri, padahal
ilmu Allah dapat diperoleh dengan cara bermaiyah
dengan Allah, Rasululah,
dan makhluk-makhluk-Nya.
Kondisi bangsa kita dapat
dianalogikan sebagai perahu. Problem ada bukan pada
penumpang atau nakhodanya
saja, melainkan pada perahunya (sistemik).
Sedangkan jika kita bicara
kosmologi, problem mungkin ada pada samuderanya.
Baginda Siregar
(Masyarakat Hukum Indonesia)
Memberikan antitesis pada
apa yang telah disampaikan sebelumnya, Baginda
berpijak pada kenyataan
bahwa alquran terdiri dari ayat-ayat muhkamat dan
mutasyabihat. Hukum
merupakan seperangkat norma dan sanksi. Berjalannya
hukum mensyaratkan adanya
pemerintahan atau kekuasaan.
Hukum Islam bukanlah
potong tangan, rajam, jilid, dan sebagainya, melainkan
'dilarang mencuri',
dilarang 'berzina'. Poin hukum adalah pada norma yang
berupa perintah dan
larangan. Norma-norma itu tetap keberlakuannya.
Indonesia telah bersepakat
mengakui KUHP sebagai sistem hukum. yang menjadi
permasalahan adalah kita
tidak konsisten dalam menerapkan hukum. Hukum
digunakan untuk
akal-akalan, dan yang pertama kali menjual hukum adalah
masyarakat, aparatur hukum
hanya berposisi sebagai pembelinya. Maka
kesadaran hukum harus
dimulai dari masyarakat.
Setelah itu ada Mas Arya
sebagai pembicara, yang menilik persoalan-persoalan
negara ini dari perspektif
ekonomi.
Masyarakat kita adalah
masyarakat yang mampu survive pada kondisi apapun,
yang didorong oleh faktor
imunitas dan kreativitas. Jangan sampai negara
mengambil langkah-langkah
yang dapat berakibat pada terbunuhnya dua potensi
itu.
Dalam bargaining position,
ada unsur bargaining power dan bargaining value.
Kalau ditarik bisa sampai
pada 'mati sajroning urip'.
Ada tiga konsep Tuhan
dalam sejarah tiga nabi. Musa meletakkan Tuhan sebagai
'Dia', Isa sebagai 'Aku',
dan Muhammad sebagai 'Engkau'. Hal serupa terjadi juga
dalam agama ardhi. Agama
Hindu mengenal tuhan yang banyak, Buddha
mengenal-Nya sebagai
seseorang yang telah menjadi brahman sedangkan agama
Jawa mengenal-Nya sebagai
Sang Hyang Tunggal.
Pada puncaknya, Kiai Budi
menghamparkan 'sajak-sajak'-nya yang --as usual--
mendobrak kedalaman hati.
Saya tak mampu menuliskannya di sini. (Kenduri
Cinta tanggal 12 Februari
2010)
Membaca Sajak-Sajak
Emha: membaca perjalanan
sujud
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 14 Desember 2009 jam 9:29
Ditulis Oleh: Sedopati
Sukandar
Karena hidupku tidak
bersih maka selalu kuincar
Engkau untuk jadi muatan
utama perjalananku
Sebab kalau toh kelak
Engkau tak menerimaku
Aku masih akan berani
menangis-nangis
Ke hadiratMu dengan
bergumam-gumam
Untuk hatiku sendiri bahwa
sekotor-kotor
Hidupku dulu tetap kukejar
Engkau (Karena Aku kotor, 5, Emha Ainun Nadjib)
Sepertinya Emha adalah orang
yang dengan terus terang dan lantang berkabar
tentang tak ada yang kita
miliki selain Allah azza wa jalla, tak ada yang bisa kita
andalkan dalam setiap
jangkah kehidupan selain Dia. Puisi-puisi, ceramahceramah
dan segudang ruang yang
menampungnya senantiasa bermuatan dan
menempatkan Tuhan sebagai
payung utama dalam perjalanan.
Demikian Cak Nun
(panggilan khas unutk Emha Ainun Nadjib) menapaki segenap
lorong kehidupannya. Dalam
dunia sastra, puisi-puisinya seperti tak berhenti
menyerukan Asma-asma Allah
dan persujudan dia. Sebagaimana yang ia tulis :
‘hamba bukan sekedar pelayan, hamba buruh
Paduka/ Hamba bukan sekedar
pembantu, hamba pekatik
paduka’ demikikan 2 baris kalimat yang mengawali
sajak ‘Hamba Budak’ dalam
kumpulan puisi Tarian rembulan. Emha senantiasa
konsisten mengusung
keyakinan yang direngkuhnya. Dalam setiap acara, tidak
pernah dia tidak
menyatakan bahwa yang bisa kita lakukan sekarang adalah
menduwur, transenden,
merajuk pada pertolonganNya. Terlebih pada kondisi
bangsa kekinian yang sudah
hilang arah.
Membaca sajak-sajak Emha
seperti mengantar kita pada ruang dengan suasana
yang sarat akan makna
ketuhanan atau lebih pas nilai keIlahian. Sering dalam
sajak-sajaknya kita
dihentak pada makna dasar manusia yang menurutnya, kita ini
adalah hamba atau budakNya
saja. Meski demikian dalam sajak-sajaknya, Emha
juga tak jarang mengajak
pembacanya untuk merangkak perlahan ke rumah
persujudan. Emha, dengan
kecerdasan bahasa dan dalam membangun suasana,
mampu menyorong seseorang
pada wilayah ketuhanan dengan terkadang tanpa
disadari oleh si pembaca.
Semisal dalam sajak Nyanyian Gelandangan, Emha
dengan lantang menyurakan
potret dan wajah gelandangan dan pada puncakpuncak
sajak ia mengajak pada
sebuah ruang yang tak lain adalah ruang
persujudan yang agak aneh.
Dalam sajak yang panjang
itu kita diajak ziarah pada rumah gelandangan sekaligus
pada rumah besar tempat
mereka tinggal yang pengap dan berjejal soal. Dengan
selingan dan dialog-dialog
yang menggoda, dalam sajak itu kita seakan menjadi
timbul tenggelam di air
dan sampai akhirnya kita megap-megap dan percaya
bahwa kita berada pada
keadaan yang menyedihkan dan butuh pertolongan.
Memang sebagian besar
sajak-sajak Emha akan sangat hidup ketika dibacakan
olehnya dan inilah yang
juga menjadi salah satu kelebihan Emha dalam
memindahkan nilai yang ia
bawa ke para pembaca ataupun pendengarnya. Emha
juga mempunyai kemampuan
yang sangat cukup dalam membawa sajak-sajaknya
pada orang-orang di
sekitarnya, lewat pembacaan yang tak jarang dibarengi
alunan dan irama musik.
Menggelinding begitu saja,
namun terkadang menderas dan sesekali mendayu.
Kemampuan meramu kata dan
menyampaikan menjadikan Emha tidak saja bisa
menulis puisi namun juga
membacakannya. Terlepas dari kemampuan yang
sangat cukup itu, yang
terasa sangat jelas tentu adalah isi dari sajak-sajaknya yang
sebagian besar adalah
refleksi perjalanannya. Baik sisi spiritual. intelektual
ataupun perjalanan
sosialnya. Ia mengemasnya dalam rangkaian sajak yang
beraneka ragam namun
kemudian seperi menyatu dalam satu warna, satu muara
pada akhirnya :
persujudan. Inilah yang kemudian menjadikan pembaca sajaknya
bisa hampir jelas melihat
langkah perjalanan yang sedang ditempuh Emha. Para
pembaca hampir bisa
melihat apa yang menjadi kegundahan dan cita-cita Emha.
Seperti yang banyak juga
ia sampaikan dalam beragam perjumpaan dengan
beragam strata masyarakat,
bahwa yang harus dipegang teguh adalah keberanian
kita untuk menjadi
khalifah yang mampu membawa setiap yang dijumpa pada
sebuah persujudan padaNya.
Dalam sajak-sajaknya Emha konsisten dengan hal
itu. Perjalanan Emha
memang tidak hanya pada karya puisi saja, cukup banyak
ruang telah ditempuhnya
dan ini tentu juga mencipta ruang tersendiri bagi para
pembaca karya—karyanya
untuk setidaknya memandang dia. Namun terlihat saat
membaca sajak-sajaknya,
kita mau tidak mau dibawanya pada satu kenyataan
yang mengarahkan bahwa
sajak-sajaknya menajdi teropong yang bisa digunakan
untuk melihat gerak dan
bahkan kelebat hidupnya.
Membaca sajak-sajak Emha
seperti terus membawa kita pada ruang diri dan
permenungan namun juga
tindakan. Seperti yang pernah ia tulis dan tanyakan di
baris-baris kalimat pada
sebagian puisinya.
Aku bertanya padamu
masih tersediakah ruang
di dalam dada dan akal
kepala kita
untuk sesekali berkata
kepada diri sendiri
bahwa yang bersalah bukan
hanya mereka
bahwa yang melakukan
dosa-dosa bukan hanya ia tetapi juga kita
………….
(masih tersediakah ruang,
Emha Ainun Nadjib)
Membaca sajak-sajak Emha,
seperti mangantar kita pada ruang persujudan yang
tanpa henti, setidaknya
bagi saya.
Merendahkan Diri
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 11 Maret 2010 jam 8:24
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Pekerjaan malaikat itu
cuma satu, yakni ya’malu ma yu’marun, mengerjakan apa
yang diperintahkan oleh
Allah kepadanya. Karena itu, malaikat suci bukan buatan.
Bahkan mereka hanya
memiliki kesucian. Tapi kenapa mahluk manusia ditentukan
oleh Allah lebih tinggi
daripada malaikat? Kenapa para mahluk suci itu harus sujud
kepada Adam?. Tentulah
karena manusia diberi tangan kemungkinan, diberi
peluang untuk
memperjuangkan diri menuju puncak kapasitasnya – dihadapan
Allah – yang lebih
sophisticated dibanding malaikat. Apalagi dibanding iblis.
Tetapi salah satu nilai
kemanusiaan yang sering kita anggap luhur adalah
merendahkan diri. Betul-betul
merendahkan diri. Kalau kita melakukan keburukan
kita bilang, “Lho, saya
kan bukan malaikat”. Padahal kita bisa lebih tinggi
derajatnya dari malaikat..
padahal merendahkan diri tidaklah sama dengan
tawadhu. (Buku Secangkir
Kopi Jon Parkiri)
Merenungkan Mutu
Kebudayaan
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 19 Juli 2009 jam 13:44
Ditulis Oleh: WS. Rendra
Membangun kebudayaan pada
hakikatnya meningkatkan budi dan daya manusia
di dalam mengembangkan
mutu dan kesejahteraan hidupnya. Kesejahteraan
hidup manusia harus
mengandung mutu untuk kepuasan batin dan pikiran.
Sebaliknya idealisme mutu
harus ada kaitannya dengan kenyataan kesejahteraan.
Kesejahteraan yang
diperoleh dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan
mana bisa menimbulkan
ketentraman? Mana mungkin kesejahteraan dibangun
dengan merusak kehidupan
kaum lemah dan memorak-porandakan lingkungan
alam? Sebaliknya pula,
nilai-nilai mutu yang dipertahankan haruslah mengandung
dinamika yang mampu
menjawab tantangan zaman. Apakah gunanya nilai-nilai
yang mengekang
perkembangan kehidupan sosial kaum perempuan, misalnya?
Dan apakah gunanya pula
nilai-nilai yang menyebabkan masyarakat menjadi
kolot? Meningkatkan budi
dan daya manusia pada intinya adalah meningkatkan
kesadaran dan kekuatan
daya hidup. Totalitas kesadaran manusia tidak terdiri
dari kesadaran pikiran
semata, tetapi juga kesadaran batin dan panca indranya.
Oleh sebab itu, olah
kepekaan panca indra yang dikembangkan oleh dunia
persilatan dan seni bela
diri, juga dunia kanuragan dan dunia kepanduan pantas
untuk dilestarikan. Sebab
pancaindra adalah pintu pertama ke arah penyadaran
terhadap
kenyataan-kenyataan kebendaan di luar diri kita.
Pengamatan yang total dan
teliti atas kenyataan kebendaan dari zat dan jasad di
dalam alam semesta ini
telah mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Bagi para
seniman hal tersebut bisa melahirkan kemampuan untuk
melukiskan kekayaan
detail.
Adapun kepekaan batin
adalah unsur kesadaran yang paling dalam pada diri
manusia. Iman, cinta,
kedamaian, kepuasan dan sejenisnya tidak bisa ditangkap
oleh pancaindra. Bahkan,
kadang luput dari pengertian pikiran. Tetapi bisa
seketika dihayati oleh
batin.
Ikatan jodoh antara lelaki
dan perempuan, antara seorang dengan bangsa dan
tanah airnya, dengan
keluarganya, atau sahabatnya adalah ikatan batin. Semua
pengalaman kita yang hanya
menjadi pengalaman panca indra dan pikiran akan
sedikit artinya bagi
perkembangan kehidupan apabila tidak mendalam menjadi
pengalaman batin. Tanpa
penghayatan batin, tidak ada kenikmatan hidup yang
memuaskan manusia.
Membangun kebudayaan yang mengabaikan segi
kehidupan batin justru
akan menimbulkan keresahan dan ketegangan.
Glamor kebudayaan Sodom
dan Gomorah, atau keperkasaan proyek menara
Babil, bukanlah jawaban
untuk kepuasan hidup manusia. Karena, tidak
mengandung masukan
terhadap batin. Ternyata tujuan tidak bisa menghalalkan
cara. Karena, kita tidak
pernah bisa hindar untuk bertanggung jawab kepada batin
kita mengenai cara-cara
kita dalam mencapai tujuan. Macbeth dan Duryudana
harus menanggung derita
batin yang berat karena cara-caranya dalam meraih dan
mempertahankan kekuasaan.
Elvis Presley, Marilyn
Monroe, dan Michael Jackson menjulang dan kaya raya
sampai akhir hidupnya.
Tetapi, karena batin yang sakit, mereka tidak bisa
menikmati kejayaannya itu.
Di dalam membangun kebudayaan perhatian kepada
kehidupan batin tidak
semata-mata terwujud dalam besaran anggaran belanja,
tetapi terutama di dalam
ketulusan untuk menciptakan iklim pertumbuhannya.
Harus ada ketulusan
politik untuk menciptakan keadaan yang beradab dan
menyingkirkan kebatilan.
Kebudayaan tidak bisa
diciptakan dengan kerakusan dan brutalitas. Sebab, batin
manusia akan tersiksa. Di
sisi lain, memuliakan batin kita tidak mungkin dilakukan
tanpa memuliakan batin
orang lain di dalam kehidupan bersama.
Apabila kesadaran batin
adalah dasar kemantapan kebudayaan, kesadaran pikiran
adalah motor kemajuannya.
Ia sumber daya cipta yang bisa menyajikan cita-cita
dan konsep untuk hidup
bersama. Pikiran mampu bernalar secara sebab-akibat,
sehingga melahirkan
filsafat. Pikiran mampu bernalar secara analisis, sehingga
melahirkan ilmu
pengetahuan; atau secara paralel sehingga bisa mendekati batin,
selanjutnya melahirkan
mistikisme dan kesenian.
Selalu ada halangan di
segenap kurun masa untuk memperkembangkan pikiran.
Suatu penemuan pikiran
yang akhirnya bisa diterima oleh masyarakat akan
menjadi kesadaran akal
sehat kolektif. Pemikiran baru yang datang kemudian,
kadang-kadang sangat sulit
untuk membuka dan memperkembangkan akal sehat
kolektif itu.
Akal sehat kolektif yang
pada zaman tertentu dinilai sangat progresif, di kurun
masa sesudahnya bisa
dianggap sangat konservatif. Bangsa yang dianggap maju di
dunia pada suatu zaman,
apabila terlalu sulit berkembang akal sehatnya, bisa
menjadi bangsa yang mundur
dan terbelakang pada zaman berikutnya
Catatan Komunitas Kenduri
Cinta I
Page 131
(Bandingkan Tiongkok di
zaman Ch’in Shih-Huang Ti dan Tiongkok di permulaan
abad XX). Oleh karena itu,
daya dinamik akal sehat kolektif harus selalu dijaga.
Inilah tugas para pemikir
dan seniman di dalam masyarakat. Sebab, kesibukan
operasi kekuasaan politik,
sosial, dan ekonomi masyarakat sering
mengesampingkan standar
mutu akal sehat kolektif itu.
Bahkan sering terjadi,
para pemikir dan seniman-–yang biasanya peka pada mutu
kesadaran pikiran—dengan
sengaja dibungkam, sehingga akal sehat kolektif
menjadi beku, pasif,
ataupun malah merosot standarnya. Namun keadaan seperti
itu malah dianggap sebagai
yang ideal, yang rukun, yang stabil untuk landasan
operasi yang lancar. Tidak
pernah disadari bahwa akal sehat kolektif yang beku
dan pasif adalah bom waktu
yang akan membuat mobilitas masyarakat menjadi
sekadar mekanis, tidak
kreatif. Lalu akhirnya akan mengakibatkan mobilitas itu
tersendatsendat seperti
mesin yang bobrok, dan ujungnya menjadi bangsa yang
kalah, tak berdaya,
dijajah secara halus ataupun brutal oleh kekuatan-kekuatan
lain di dunia.
Dengan kata lain, apabila
keadaan sudah sedemikian parah serupa itu, hanya
dengan susah payah, banyak
toleransi, dan kesabaran, bisa diperbaiki. Esensial
Inilah kenyataan yang
pedih. Kita ketinggalan perkembangan pikiran. Pedih.
Tetapi kepedihan ini
seharusnya bisa menjadi cambuk untuk kebangkitan
Pembangunan struktural
sangatlah penting, tetapi dapat menjadi sia-sia bila tidak
disertai secara sekaligus
membangun yang esensial, yaitu dunia pikiran dan
kelestarian dunia batin.
Tanpa kelestarian dunia
batin, kebudayaan tidak akan mendatangkan
ketenteraman hidup kepada
masyarakat. Tanpa dinamika dunia pikiran, struktur
dan infrastruktur akan
kehilangan fungsi, sehingga menjadi sekadar berhala
belaka. Sebenarnya di
dalam sila-sila kehidupan kita bersama telah tersedia
jawaban yang positif.
Melestarikan dunia batin akan ditunjang oleh sila
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Mengembangkan filsafat kemanusiaan, mengenal
adanya Kedaulatan Manusia
dengan segenap hak dan kewajibannya akan
ditunjang oleh Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab. Dan hak rakyat untuk
mengembangkan akal sehat
kolektif dengan mempraktikkan disiplin analisis akan
sesuai dengan kalimat di
dalam Preambule UUD 1945 yang berbunyi: Kemudian
dari pada itu untuk
membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dengan batin yang damai
dan penuh iktikad baik, kita sebagai suatu bangsa harus
siap bertanggung jawab
untuk menjawab pertanyaanpertanyaan itu, tidak
sekadar berdasarkan
prinsip, sekaligus berdasarkan pelaksanaan yang operatif.
Itulah salah satu jalan keluar
untuk bangkit dan mengejar cakrawala kita.
(Sumber: Media Indonesia,
14 Juli 2009)
Mudik Keluarga, Mudik
Bangsa
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 17 September 2009 jam 11:26
Ditulis Oleh: Muhammad
Ainun Nadjib
Andaikan kata mudik
berasal dari bahasa Arab: dho'a=hilang, mudli'=orang yang
menghilangkan, orang yang
kehilangan. Menjelang Lebaran, orang berduyunduyun
pulang dari perantauan ke
kampungnya, karena selama setahun mereka
merasa kehilangan.
Kemudian, mereka mudik untuk menemukan kembali.
Meskipun sudah tinggal
permanen di Jakarta atau di negeri mana pun,
kampungnya adalah rumah
sejatinya. Saya punya banyak teman-teman PKI atau
yang di-PKI-kan hidup
puluhan tahun di Jerman, Ceko, Prancis, tapi hatinya tetap
berdomisili di kampung
kelahirannya. Tak hanya di Indonesia, tapi lebih detail: di
rumah keluarga di
kampungnya. Banyak di antara mereka mengimpor istri dari
kampung. Karena rumah
mereka di mancanegara haruslah tetap terasa seperti
rumahnya di kampung.
Kalau agak sok ilmiah,
katakanlah: ada mudik sosiologis, ada mudik antropologis,
ada mudik kosmologis.
Mudik sosiologis itu waktunya ''sekarang'', ruangnya
adalah skala atau teritori
sosial budaya. Kita cari hidup, mengembangkan diri, dari
kampung bersekolah keluar,
bekerja, sampai jadi presiden atau gelandangan di
tepian jalan protokol
Jakarta. Di depan ada masa depan, di belakang ada masa
silam. Masa silam
sebenarnya selalu lebih kuat dibandingkan dengan masa depan.
Catatan Komunitas Kenduri
Cinta I
Page 134
Masa silam memberi
kenikmatan prima karena cukup dikhayalkan, dan mudah
menambah unsur dalam
khayalan merdeka setiap orang. Kita jadi presiden
kemudian memitologisasikan
kepada seluruh rakyat bahwa asal usul kita adalah
anak petani, sambil
meyakin-yakinkan alias menipu diri kita sendiri tentang apa
saja yang kita
manipulasikan secara sosial. Atau kita rekayasa bahwa memang
sudah selayaknya kita jadi
presiden karena aslinya kita bernasab Keraton Solo
atau Yogya, atau keturunan
Prabu Brawijaya, Sunan Giri, atau turunan Rasulullah
Muhammad SAW.
Pandangan ke masa silam
sungguh kenikmatan tiada tara. Sementara masa depan
berujung di maut. Kalau
kita gagal berkarier, hidup miskin, tak punya keunggulan
apa-apa, menabung kematian
dalam kehidupan, mungkin malah agak enteng
memandang ke masa depan. Maut
sudah kita akrabi melalui riwayat-riwayat
kesengsaraan dan
kegagalan.
Tapi kalau kita sukses,
dari sopir meningkat tata usaha meningkat wartawan terus
jadi menteri dalam kabinet
dan negara yang nirkualifikasi: kita semakin takut
meninggalkan apa yang kita
sangka sukses hidup. Semakin uzur usia semakin
menyesali berkurangnya
umur. Semakin tua usia semakin karib dengan
kekosongan dan kengerian
berada dalam kubur. Maka upacara mudik kita
perlukan agar para kerabat
dan handai tolan di kampung mengerti sukses kita,
dan itu merupakan snack
kepuasan sosial budaya sesaat.
Orang tak pernah punya
sukses kayak saya terbebas dari post-power syndrome.
Tetapi bisa juga ada
dialektika yang sebaliknya. Karena hidup tak begitu sukses,
masa depan terjauh hanya
tua dan mati, maka mumpung masih dikasih jatah
hidup oleh Tuhan, mending
kita rajin pulang kampung. Dan yang paling efektif
Catatan Komunitas Kenduri
Cinta I
Page 135
adalah seusai Ramadan,
semua keluarga pasti berkumpul dan kita bisa
bercengkerama beberapa
saat untuk menutupi kekecewaan hidup yang
menggumpal di kalbu.
Mudik sosiologis setiap
Lebaran menjadi momentum yang jangan sampai
terlewat. Karena masih
lebih nikmat mengenang sejenak asal usul sosial budaya
kita di kampung bersama
keluarga, dibandingkan dengan menikmati kehidupan
nyata.
Orang sukses sangat
membutuhkan mudik antropologis, karena melancong ke
wilayah nasab diri dari
Hayam Wuruk sampai Homo sapiens dan mungkin Homo
erectus sungguh menambah
bersinarnya ikon eksistensi kita. Sekarang bahkan
sangat banyak kartu ID
yang mencantumkan nama plus gelar plus nenek moyang
hebat. Kebanyakan orang
akan mengenal nama itu dan kagum kepada pemilik IDcard
itu. Nama Gus Fullah bin
Kiai Haji Fulan keturunan Syekh Falun bin Maulana
Fulun bin Ayatullah
Fulus... mudik sangat penting untuk mengisi kekosongan diri
di tengah zaman yang
menindas harkat manusia dan derajat kemanusiaan.
Mudik Lebaran setahun
sekali, tapi banyak modus mudik yang bisa kita lakukan.
Saya tidak punya prestasi
apa-apa tidaklah penting, pokoknya saya keturunan
Nabi Ibrahim.
Adapun mudik kosmologis
adalah hakikat setiap detik untuk berproses dalam
lingkar Inna lillahi wa
inna ilaihi roji'un. Itulah prinsip utama kehidupan yang oleh
kebudayaan manusia
dialihkan menjadi tanda kematian. Kalau jalan kaki dari
Jakarta menuju Jakarta,
maka rutenya harus melingkar. Orang tak bisa untuk tidak
mudik, karena hidup adalah
pergi untuk kembali. Atau, perginya orang hidup,
adalah kembali.
Takkan ke mana-mana engkau
pergi, meskipun kau lalui seribu peperangan dan
kemenangan, kau libas
setiap pesaing, kau menangkan pemilihan nasional, kau
pertahankan kursi
kekuasaan, kau memancar di puncak mercusuar popularitas,
kau bangun segala
kemegahan, kau tumpuk gumpalan emas dan kau himpun
seribu dayang menjadi
budak yang melayanimu memakaikan baju, menyikat
gigimu dan menceboki
tinjamu. Tak kan ke mana engkau pergi kecuali
menyerahkan dirimu
kembali, terpaksa atau ikhlas, kepada asal usul yang sejati.
Juga apa pun saja yang kau
pikir kau miliki: kekayaan, harta benda, kau tumpuktumpuk
mereka hanya untuk satu
tujuan: mereka meninggalkanmu atau engkau
mendadak meninggalkan
mereka. Kalau kau curi uang dan harta milyaran
trilyunan itu untuk kau
pergikan ke mana? Sebab setiap momentum pergi adalah
kembali. Engkau mencuri
sesuatu dari suatu tempat yang sertifikatnya milik
Tuhan, engkau
memindahkannya mentransfernya ke suatu tempat yang juga milik
Tuhan.
Setiap tempat pergi adalah
tempat kembali. Setiap barang yang kau curi tidak
punya jalan lain kecuali
kau setorkan kembali ke "Tukang Tadah Agung" yang
sesungguhnya tidak
menadahi apa-apa kecuali milik-Nya sendiri. Inna lillahi wa
inna ilaihi roji'un.
Sesungguh-sungguhnya kita dan apa saja adalah adalah hak-Nya
dan satu-satunya
kemungkinan hanyalah kembali ke pangkuan-Nya.
Tak ada kekuasaan yang
bisa benar-benar kau raih, karena menjelang engkau lahir
tak kau setorkan apa-apa
untuk saham rencana kelahiranmu. Jangan sekadar
katakan bahwa kekuasaan
hanyalah titipan: dirimu sendiri pun titipan. Karena
engkau tak mampu
menciptakan dirimu sendiri. Bahkan kedua orangtuamu tak
bisa merancang panjang
hidungmu, jenis rambutmu, apalagi tingkat kecerdasan
pikiranmu.
Tak ada kemenangan yang
sejati engkau raih. Karena setelah seorang petinju
menjatuhkan lawan, tunggu
sejam lagi dan pertarungkan mereka kembali:
kemungkinannya bisa
berbeda. Kemenangan berlaku sesaat, dan batal
substansinya pada detik
berikutnya. Indonesia menjadi Juara Dunia Demokrasi,
memilih presiden langsung
dengan rekor jumlah pemilih dan rekor keamanan
kedamaian pemilu. Tetapi apa
hasil dari puncak demokrasi itu hari ini?
Bertanyalah kepada hati
dan analisis akalmu, mintalah mereka berdua agar tak
terkontaminasi oleh apa
pun untuk jujur menjawab.
Maka salah satu impian
saya adalah pada pemilu mendatang, semoga Allah
menjadi pencoblos pertama.
Semoga coblosan pertama itu adalah hidayah yang
menggiring seluruh pemilih
Nusantara "yadhuluna fi dinillahi afwaja", berduyunduyun
memasuki cakrawala kasih
sayang Allah. Ratusan kali saya bertanya
langsung kepada ribuan
publik di hadapan forum saya di berbagai wilayah
Indonesia:
"Saudara-saudara dulu beramai-ramai memilih SBY karena ilmu
pengetahuan tentang beliau
atau berdasar sangka-sangka? Karena mengerti siapa
beliau atau
kira-kira?"
Demi Allah 100% mereka
menjawab: "Kira-kira!", "Dengar-dengar!",
"Kayaknya!",
"Kata teman-teman,
kata tetangga". Bangsa Indonesia tidak punya akses lebih
dari 10% informasi tentang
siapa-siapa tokoh nasionalnya. Andaikanpun ada
cukup informasi, mereka
juga tak cukup memiliki parameter untuk mengukur dan
menilai. Rakyat Indonesia
sama sekali belum memenuhi syarat untuk menjadi
pelaku kecerdasan
demokrasi kenegaraan mereka.
Masuk akal dari sudut itu
pujangga Ronggowarsito menyebut kalau SBY adalah
Satrio Pambuko Gerbang,
kepemimpinan berikutnya, kalau Indonesia mau bangkit
dari keterpurukan
totalnya: sebaiknya mulai mudik, mulai pergi untuk kembali,
mulai belajar memahami
dimensi-dimensi nilai di balik idiom Satrio Pinandito
Sinisihan Wahyu.
Sebagaimana dulu Gus Dur
afdhal letakkan dirinya sebagai pada posisi "Sunan
Ampel", memimpin
peralihan zaman, bukan sebagai "Raden Patah" yang raja. SBY
juga pembuka gerbang:
konsep kepemimpinannya membereskan segala sesuatu
agar siap masuk gerbang
milenium Nusantara Baru. Sebagaimana Thalut
menyiapkan rakyat Yahudi
menuju Era Daud, kebangunan yang sesungguhnya.
Buka saja dulu gerbangnya,
segala yang tidur mulai dibangunkan, yang buntu
coba dibor, yang jauh
didekatkan, yang flu di-fresh-kan, yang macet dibukakan
jalan. Untuk kebangkitan
yang sesungguhnya diperlukan seorang pemimpin yang
kesatria, menguasai peta
masalah, jantan tegas, profesional, cakap manajemen.
Satrio. Juga harus
pinandito: memiliki kapasitas spiritual, aura, awu, wibawa,
berani menindas dunia di
dalam dirinya, ringan menepis nafsu keduniaan. Bahkan
sinisihan wahyu: setiap
langkah dan perilakunya relevan dan terbimbing oleh alyad
al-khair, tangan bajiknya
Tuhan.(Sumber: Gatra Nomor 47 Beredar Kamis, 4
Oktober 2007, ilustrasi:
handaru.light17.com)
MUHAMMADKAN HAMBA YA
RABBI
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 16 Agustus 2010 jam 10:16
Puisi: Emha Ainun Nadjib
Di setiap tarikan napas
dan langkah kaki
Tak ada dambaan yang lebih
sempurna lagi
Di ufuk jauh kerinduan
hamba Muhammad berdiri
Muhammadkan hamba ya Rabbi
Muhammmadkan ya Rabbi
hamba yang hina dina
Seperti siang dan malammu
yang patuh dan setia
Seperti bumi dan martahari
yang bekerja sama
Menjalankan tugasnya
dengan amat terpelihara
Catatan Komunitas Kenduri
Cinta I
Page 140
Sebagai Adam hamba lahir
dari gua garba ibunda
Engkau tuturkan
pengetahuan tentang benda-benda
Hamba meniti alif-ba-ta
makrifat pertama
Mengawali perjuangan untuk
menjadi mulia
Ya Rabbi engkau tiupkan
ruh ke dalam Nuh hamba
Dengan perahu di padang
pasir yang mensamudera
Hamba menangis oleh
pengingkaran amat dahsyatnya
Dan bersujud di bawah
kebenaran-Mu yang nyata
Sesudah berulangkali
bangun dan terbanting
Merenung dan mencarilah
hamba sebagai Ibrahim
Menatapi laut, bulan,
bintang dan matahari
Sampai gamblang bagi hamba
Allah yang sejati
Jadilah hamba pemuda
pengangkat kapak
Menghancurkan berhala
sampai luluh lantak
Hamba lawan jika pun
Fir’aun sepuluh jumlahnya
Karena api sejuk
membungkus badan hamba
Kemudian ya Rabbi engkau
ajarkan hal kedewasaan
Yakni penyembelihan dan
kurban, pasrah dan keikhlasan
Tatkala dengan hati pedih pedang
hamba ayunkan
Sukma hamba memasuki
Ismail yang menelentang
Ismail hamba membisikkan
firman-Mu ya Rabbi
Bahwa dewasa tidak
ditandai kegagahan diri
Melainkan rela menyaring
dan menyeleksi
Agar secara jernih
berkenalan dengan yang inti
Di saat meng-Ismail itu
betapa jiwa hamba gemetar
Ego pribadi adalah musuh
yang teramat tegar
Jika di hadapan-Mu masih
ada sejumput saja pamrih
Maka leher hamba sendiri
yang bakal tersembelih
Dan memang kepala hamba
tanggal berulangkali
Di medan peperangan modern
ini ya Rabbi
Hamba kambing di jalanan
peradaban ini
Darah mengucur, daging
hamba dijadikan kenduri
Tulus hati dan istiqamah
Ismail ya Rabbi
Betapa sering lenyap dari
gairah perjuangan ini
Keberanian untuk bersetia
kepada kehendak-Mu
Di hadapan musuh gugur
satu demi satu
Maka hamba-Mu yang dungu
belajar menjadi
Musa Meniti kembali setiap
hakikat alif-ba-ta
Belajar berkata-kata,
belajar merumuskan cara
Harun hamba membantu
mengungkapkannya
Musa hamba membukakan
universitas cakrawala
Setiap gejala dan segala
warna zaman hamba baca
Dengan seribu buku dan
seribu perdebatan
Hamba tuntaskan makna
kebangkitan
Tongkat hamba angkat dan
tegakkan ya Rabbi
Memusnahkan iklan-iklan
takhayul Fir’aun yang keji
Ular klenik pembangunan,
sihir gaya kebudayaan
Karena telah hamba genggam
yang bernama kebenaran
Ya Rabbi alangkah agung
segala ciptaan ini
Kebenaran belaka membuat
hidup kering dan sepi
Maka Engkau jadikan hamba
Isa yang lembut wajahnya
Dengan mata sayu namun
bercahaya, mengajarkan cinta
Isa hamba sedemikian
runduknya kepada dunia
Segala tutur kata dan
prilakunya kelembutan belaka
Sehingga murid-murid hamba
dan anak turunnya terkesima
Tenggelam mesra dalam Isa
hamba yang disangka tuhannya
Ya Rabbi, haruslah
berlangsung keseimbangan
Antara cinta dan kebenaran
Haruslah ada tuntunan
pengelolaan
Atas segala ilmu dan nilai
yang Engkau anugerahkan
Karena itu Muhammadkan
hamba ya Rabbi
Bukakan pintu kesempurnaan
yang sejati
Pamungkas segala
pengetahuan hidup dan hati suci
Perangkum bangunan
keselamatan para rasul dan nabi
Muhammadkan hamba ya Rabbi
Muhammadkan
Agar tak menangis dalam
keyatim piatuan
Agar tak mengutuk meski
batu dan benci ditimpakan
Agar sesudah hijrah hamba
memperoleh kemenangan
Muhammadkan hamba ya Rabbi
Muhammadkan hamba
Agar kehidupan hamba jauh
melampaui usia hamba
Agar kesakitan tak
menghentikan perjuangan
Agar setiap langkah
mengantarkan rahmat bagi alam
Muhammadkan hamba ya Rabbi
Muhammadkan
Di rumah, di tempat kerja
serta di perjalanan
Agar setiap ucapan,
keputusan dan gerakan
Menjadi ayat-Mu yang indah
dan menaburkan keindahan
Takkan ada lagi sosok
pribadi seanggun ia
Dipahami ataupun
disalahpahami oleh manusia
Kalau tak sanggup kaki
hamba menapaki jejaknya
Penyesalan hamba akan tak
terbandingkan oleh apapun saja
Para malaikat sedemikian
hormat dan segan kepadanya
Bagai dedaunan yang
merunduk kepada keluasan semesta
Para nabi berbaris
menegakkan sembahyang
Engkau perkenankan ia
berdiri menjadi imam
Ya Rabbi Muhammadkan
hamba, Muhammadkan hamba
Perdengarkan tangis bayi
padang pasir di kelahiran hamba
Alirkan darah Al-Amin di
sekujur badan hamba
Sarungkan tameng
Al-Ma’shum di gerak perjuangan hamba
Kalungkan kebencian Abu
Jahal di leher hamba
Sandingkan keteduhan Abu
Thalib di kaki duka lara hamba
Payungkan awan cinta-Mu di
bawah terik politik durjana
Usapkan tangan sejuk
Khadijah pada kening derita hamba
Kirimkan Jibril mencuci
hati Muhammad hamba
Lahirkan kembali wahyu-Mu
di detak gemetar jantung hamba
Dan kucurkan darah luka
Muhammad oleh pedang kaum pendusta
Hadiahkan kepada hamba
rasa sakitnya
Ya Rabbi ya Rabbi
Muhammadkan hamba
Bersujud dan tafakkur di
gua Hira jiwa hamba
Berkeliling ke rumah
tetangga, negeri dan dunia
Menjajakan cahaya
Pasar dan Pasar Bebas
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 02 Maret 2010 jam 10:09
Ditulis Oleh: Toto
Rahardjo
Tulisan ini memang hanya
sekadar cerita berdasarkan ingatan, dari apa yang
pernah dilihat, didengar
dari cerita orang, maka janganlah berharap Anda akan
menemukan hal-hal ilmiah
dalam tulisan ini.
Kalau Anda berasal dari
pedesaan pasti memiliki cerita kenangan tentang pasar.
Mayoritas anak-anak di
pedesaan selalu berbinar-binar ketika hari pasar tiba,
karena pasar memang tidak
setiap hari ada. Apa yang dibayangkan pada saat
menjelang hari
pasar—yakni, kesempatan anak-anak bisa jajan, ada secercah
harapan anak-anak, karena
akan dibelikan sesuatu oleh orang tuanya. Apalagi
menjelang lebaran, adalah
saat akan mendapatkan baju baru. Pasar memang
menjadi peristiwa dan
perhelatan bagi orang tua, anak-anak, perempuan, lakilaki.
Bahkan pasar menjadi
tempat pertemuan, tempat ngrumpi, silaturahmi,
menjadi pusat informasi
selain tentu saja mempunyai fungsi pokok, yakni menjadi
tempat interaksi si
penjual dan si pembeli. Maka tidaklah heran jika pasar menjadi
ajang lobby politik, untuk
mengetahui perkembangan apa yang sedang terjadi di
desa-desa sekitar pasar,
juga perkembangan-perkembangan menarik di daerah
lain.
Rata-rata putaran
penyelenggaraan pasar di masing-masing tempat sekitar dua
sampai dengan lima hari
sekali. Selain tujuh nama hari yang dikenal diseluruh
penjuru tanah air yakni;
Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at dan Sabtu), di
Jawa juga dikenal lima
hari yang sering dimaknai sebagai hari pasaran (Legi,
Pahing, Pon, Wage dan
Kliwon).
Jadi putaran
penyelenggaraan pasar terjadi lima hari sekali. Ada pasar Legi di desa
tertentu yang lebih banyak
untuk menjual hasil-hasil bumi, ada Pasar Kliwon di
desa anu yang lebih khusus
menjual grabah dan alat-alat pertanian, ada Pasar Pon
di wilayah lain yang
khusus menjual hewan (maka sering dikenal dengan pasar
hewan). Selain
penyelenggaraan pasar yang lumintu itu, juga ada pasar-pasar
khusus yang biasanya
terjadi pada saat-saat tertentu, misalnya tepat pada harihari
besar (lebaran misalnya)
yang biasanya jauh lebih lengkap barang-barang
dagangan dan jauh lebih
besar jumlah dan ragamnya—sering disebut dengan
prepegan. Ada juga pasar
malam yang memang diselenggarakan di malam hari
biasanya disertai dengan
berbagai pertunjukan atau hiburan—namun perhelatan
seperti ini tidak setiap
saat ada (biasanya terjadi pada momen-momen tertentu,
pada hari-hari besar).
Pengertian Pasar dipahami
secara arief dan sederhana, sebuah interaksi jual beli
memang sudah diniati sejak
dari rumah, karena ada kebutuhan untuk
mendapatkan sesuatu—tanpa
dipaksa dan terpaksa, bahkan untuk menjual atau
membeli telah dipikir
masak-masak melalui perdebatan di setiap keluarga,
minimal selama lima hari
sebelum pasar itu tiba.
Tentu saja di dalam pasar
itu ada saja orang-orang yang menipu, ada yang
mengambil barang dengan
cara diam-diam dan kecil-kecilan, itu disebut ngutil,
ada yang khusus mengambil
uang dari kantong celana atau baju atau dompet
secara cepat, itu disebut
copet. Namun profesi-profesi itu biasanya sudah
diketahui oleh khalayak,
baik ciri-ciri wajah, pola-pola gerak-geriknya maupun dari
mana asalnya (biasanya
dari tempat-tempat tertentu), sehingga kewaspadaan
sesungguhnya telah melekat
pada setiap orang yang akan pergi ke pasar. Namun
profesi (ngutil, copet,
jambret dll) mengandung resiko besar, tidak jarang para
pelaku itu tertangkap
basah di pasar dan pasti akan diadili beramai-ramai,
minimal mereka akan
dipermalukan.
Melihat penyelenggaraan
pasar, pada mulanya ada kesepakatan kapan dan di
mana pasar itu
diselenggarakan, bahkan spesial untuk jenis produk apa yang akan
dijual di pasar itu. Jelas
ada sirkulasi produksi, kapan dipasarkan, bukan dengan
cara eksploitatif setiap
hari, apalagi setiap jam, menit dan detik.Karena harus
melalui kalkulasi, kapan
waktunya produk itu dibutuhkan; misalnya alat-alat
pertanian, grabah,
alat-alat rumah tangga tidaklah setiap hari orang akan
membeli.
Pasar bagi masyarakat
bukanlah momok apalagi terkesan monster—pasar bahkan
menjadi tempat bercanda
bagi ibu-ibu, pasar juga menjadi tempat untuk menukar
benih-benih pertanian
antar petani yang akan menanam, tempat menukar sekian
kambing dengan seekor
sapi, kelak di zaman modern disebut barter.
Yang jelas sebagian proses
penyelenggaraan pasar dikendalikan bersama-sama
oleh masyarakat. Ada
banyak kesepakatan-kesepakatan tak tertulis yang ternyata
sangat dipatuhi di pasar
itu yang intinya untuk melindungi kepentingan bersama.
Mulailah jaman modern
masuk dan menginterfensi, mengatur bahkan
menguasainya.
Aturan-aturan yang disepakati secara kolektif berubah, bahkan
secara fisik pasar oleh
para modernis dianggap kumuh dan tak teratur maka harus
dibangun. Konsep
pembangunan pasar menjadi tak bisa dijangkau lagi oleh
masyarakat, bahkan yang
terjadi penghuni asli pasar yang ada selama ini harus
menyingkir, tergusur
karena dianggap tak pantas.
Penyelenggaraan pasar
tidak lagi harus menunggu setiap hari pasaran, setiap saat
ada pasar (dimana saja,
kapan saja ada pasar). Nama-nama hari pasaran sudah
tidak penting lagi.
Padahal fungsi hari pasar bagi masyarakat juga terkait dengan
hitungan-hitungan
kehidupan lainnya. Orang sering memaknai hari kelahiran
(weton) yang dihitung dari
gabungan hari nasional dan pasaran, misalnya Sabtu
Pahing, Jumat Kliwon. Juga
terkait dengan hitungan-hitungan kapan hari yang
tepat untuk menanam, untuk
mendirikan rumah, untuk bepergian, untuk
menikahkan anaknya, bahkan
untuk mengawinkan kambing pun harus dihitung
dengan cara yang sama.
Kini nama-nama hari,
apalagi hari pasaran menjadi tidak penting karena setiap
hari, setiap jam, setiap
menit bahkan setiap detik orang boleh menginginkan apa
saja, boleh melakukan apa
saja, boleh membeli apa saja, menjual apa saja, artinya
metabolisme tidaklah
penting lagi.
Kok sekarang ini ada lagi
yang bernama Pasar Bebas! Apakah itu berbeda dengan
pasar di kampungku dulu?!
Mengapa itu disebut pasar
bebas? Apakah bebas itu berarti setiap orang bebas
untuk menjual apa saja,
atau apakah itu berarti negara bisa menjual apa saja,
ataukah berarti kita juga
bebas untuk tidak menjual dan bebas untuk tidak
membeli?
Di pasar kampung ada
pencuri kecil-kecilan yang disebut ngutil dan nyopet,
namun menurut pengalaman
saya kejadian-kejadian itu bisa diatasi setidaknya
oleh pengurus pasar,
bahkan di tingkat masyarakat luas. Terus terang saya tidak
bisa membayangkan
bagaimana praktek pencurian yang terjadi dalam dunia pasar
bebas, tentunya tidak
setingkat ngutil atau nyopet seperti yang terjadi di pasar
kampung. Di kehidupan
pasar kampung, ada juga istilah bank plecit yakni orang
yang meminjamkan uang—yang
biasanya untuk modal berdagang kecil-kecilan—
dengan bunga yang cukup
tinggi. Untuk pedagang kecil memang berat, kami
semua tahu bahwa rentenir,
lintah darat itu dosanya besar. Tapi harus diakui
bahwa bank plecit itu
tidak pernah memaksa, dan kadang kala memang itu
berguna. Sebab bagi orang
kecil membutuhkan pelayanan cepat, karena untuk
pinjam dari bank
pemerintah yang ada, yang bunganya kecil, ternyata juga tidak
mudah bahkan cenderung
bertele-tele.
Dipasar kampung juga ada
profesi-profesi yang di sebut blantik, yakni orang yang
kerjanya merayu,
mempengaruhi pembeli maupun penjual agar memperoleh
upah jasa, sesekali juga
bisa mendapatkan keuntungan dari harga bakunya.
Di pasar bebas, ternyata
ada juga bank plecit bertaraf besar yang beroperasi
dengan canggih, bahkan
tidak tanggung-tanggung melakukan pemaksaan secara
canggih melalui otoritas
negara. Dengan cara mengkritik bahwa instrumen pasar
di sebuah negara dianggap
‘tidak sehat’. Ada-ada saja. Istilah ‘tidak sehat’,
parameternya dan obatnya
mereka yang menentukan. Jadi kata ‘bebas’ di sini
berarti kira-kira hanya
yang kuat saja yang bebas menentukan apa saja, bebas
membeli apa saja dan bebas
menjual apa saja. Sementara yang tidak kuat tidak
kuasa untuk menjual dan
tidak kuasa pula untuk membeli. Bagi yang lemah,
barang-barang yang penting
bagi kehidupannya bisa dipaksa untuk dijual ke yang
kuat, dan bagi si lemah ia
bisa dipaksa untuk membeli apa saja yang dijual oleh
yang kuat.
Pasar dalam arti sempit
adalah tempat dimana permintaan dan penawaran
bertemu, dalam hal ini
lebih condong ke arah pasar tradisional. Sedangkan dalam
arti luas adalah proses
transaksi antara permintaan dan penawaran, dalam hal ini
lebih condong ke arah
pasar modern. Permintaan dan Penawaran dapat berupa
Barang atau Jasa. Maka
kata “pasar” mestinya masih sama namun sungguh sangat
jauh melenceng maknanya,
walaupun saya sudah dikasih tahu bahwa yang terjadi
dalam pasar bebas itu ada
kejahatan-kejahatan terselubung, dan yang terjadi
sudah tidak lagi sekadar
menjual atau membeli barang, tetapi yang tak nampak
adalah jual beli pikiran,
sikap, prinsip bahkan menjual diri dan rasa kemanusiaan.
Tetap saja saya tidak
paham, memang saya ini orang desa.
Pertanyaan-pertanyaan
terus saja berkecamuk: “Siapa yang menjadi Kepala Pasar
Bebas?”, “Siapa ya yang
menjadi tukang Bea di Pasar Bebas?, siapa yang menjadi
blantik?”. Karena kalau
Kepala Pasar di kampung saya itu jelas rumahnya, jelas
alamatnya, tak jauh juga
dari rumahku. Sekali lagi semakin tak paham, bahkan
sekarang ini aku tak paham
dengan diriku sendiri, “Apakah betul segala
kemauanku, segala
keinginanku, niatku sungguh-sungguh dan senyata-nyatanya
aku yang menentukan
sendiri?”, Saya semakin tidak mudheng bahwa pikiranku,
segala keinginanku juga
telah dikendalikan oleh sesuatu yang tak pernah aku
pahami.
Nah, di manakah letak
Maiyah? Sepengetahuan saya, Maiyah menaruh kritisisme
terhadap pasar bebas. [
Pemerintah
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 30 November 2009 jam 14:11
Ditulis Oleh: Muhammad
Ainun Nadjib
Pemerintah kerjanya
melarang dan memerintah. Kalau Tuhan memegang hak
seratus persen memerintah
dan melarang karena memang Ia yang menciptakan
kita dan semua alam ini,
serta yang menyediakan hamparan rejeki dan menjamin
hidup manusia. Tapi
pemerintah kan menyuruh kita cari makan sendiri-sendiri.
Kalau kita kelaparan atau
dikubur utang, kita tidak bisa mengeluh kepada
pemerintah. Hubungan kita
dengan pemerintah adalah bahwa kita semua berada
di bawah kekuasaannya
tanpa ada jaminan bahwa kalau kita mati kelaparan
lantas mereka akan
menangisi kita dan menyesali kematian itu.
Pencerahan dan
Ketercerahan
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 01 Oktober 2010 jam 10:58
Kalau Anda orang Islam
alangkah indahnya kalau serajin dan sedalam mungkin
Anda menggali nilai-nilai
Islam untuk Anda kontribusikan kepada seluruh bangsa
kita, agar proses-proses
demokrasi, keadilan dan penyejahteraan yang kita
lakukan bareng-bareng ini
semakin efektif. Di kulit luar Al-Qur'an bagian belakang,
biasanya ditulis firman
Allah La yamassuhu illal muthahharun. Biasanya ustadzustadz
kita mengartikan bahwa
kalau kita sedang dalam keadaan batal dan belum
berwudlu, maka dilarang
menyentuh Al-Qur'an. La itu tidak atau jangan. Yamassu
itu menyentuh. Hu itu kata
ganti untuk Al-Qur'an. Illa itu kecuali. Muthahharun itu
orang-orang yang dalam
keadaan suci.
Sekali lagi, sebelum
pegang Qur'an, kita berwudlu dulu, supaya muthahhar. Itu
tidak salah, dan bagus
untuk pendidikan dasar etika vertikal keislaman. Tapi
sebaiknya tidak tertutup
bagi pengembangan interprestasi. Misalnya, kita ambil
dua hal. Yang pertama,
yang disebut Qur'an dalam tafsir dasar di atas sebenarnya
adalah mushaf. Terdiri
dari kertas dan goresan tinta. Itu yang jangan dipegang
kalau dalam keadaan batal.
Pastilah Qur'an bukan kertas dan tinta.
Qur'an adalah suatu
rumusan dan tuturan firman, yang bersifat rohaniah
(intelektualitas itu
rohaniah), yang diantarkan oleh bahasa atau peralatan budaya
manusia melalui kertas dan
tinta. Dulu malaikat Jibril tidak datang dari langit
kepada Muhammad SAW.
membawa berkas buku, melainkan membawa titipan
ucapan Tuhan. Ketika
dikatakan 'Bacalah !', bukan berarti Jibril menyodorkan
kertas yang ada tulisannya
dan Muhammad disuruh membaca. 'Membaca' di situ
memiliki pengertian yang
sangat-sangat luas. Intinya: membaca kehidupan.
Utsman ibn Affan yang
kemudian mempelopori pe-mushaf-an rohani Qur'an itu.
Jadi mushaf adalah suatu
sarana budaya atau fasilitas teknologi yang
mengantarkan Qur'an kepada
manusia. Maka, la yamassuhu, tidak (bisa, boleh)
menyentuh, sasarannya
bukan terutama mushaf, melainkan substansi Qur'an itu
sendiri.
Oleh karena itu
pengembangan interpretasi atas ayat Allah yang menghiasi kulit
belakang mushaf itu, bisa
begini: Kalau jiwamu tidak berada dalam keadaan
muthahhar, enlighted,
tersucikan, maka engkau tidak berada di dalam koridor
hidayah dan fungsi Qur'an
bagi kehidupanmu.
Katakanlah ada beberapa
fungsi Qur'an, umpamanya: ia bukan hanya informasi,
tapi juga informasi yang
pasti benar. Ia bukan sekedar pemberitahuan, tetapi
petunjuk. Ia bukan sekedar
berita, tapi kabar gembira.
Ia bukan hanya penuturan
ilmu, tapi juga rahmat. Ia bukan hanya perintah, tapi
rahasia ilmu. Ia bukan
hanya ketegasan kebenaran, tapi juga cinta dan kedamaian
yang matang. Ia bukan
hanya selebaran tentang iblis dan setan, tapi juga
rangsangan eksplorasi
fisika, biologi, astronomi. Serta banyak lagi.
Manusia yang pikirannya
skeptis terhadap Qur'an, yang hatinya blocked-out dari
firman pamungkas Allah
itu, yang sikap hidupnya mempergelap dirinya sendiri,
logis kalau tidak
memperoleh sentuhan apapun dari multi-probabilitas rahmat
Allah melalui Qur'an. La
yamassuhu illal muthahharun.
Tidak memperoleh apa-apa
darinya kalau menolak enlightment. Dan kalau
memang kita memilih yang
ini, tak ada masalah bagi Tuhan, Muhammad atau
siapa pun saja. Allah
tidak menangis, Muhammad tidak merugi, Islam tidak
merasa kurang suatu apa.
Sebab Islam tidak akan mendapatkan risiko apa-apa, ia
bukan manusia yang harus
bertanggung jawab kepada sumbernya. [EAN].
(Sumber: " Kitab
Ketentraman Emha Ainun Nadjib " ]?
Peran Tuhan
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 24 Maret 2010 jam 9:57
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Secara empiric, setidaknya
ada empat peran Tuhan dalam kehidupan kita
bersama. Pertama, Tuhan
sebagai pemberi solusi atau jalan keluar atas semua
problem manusia. Manusia
adalah makhluk serba terbatas. Karenanya, apapun
saja yang diupayakannya,
suatu saat pasti akan terbentur oleh kendala-kendala,
dan kebuntuan-kebuntuan.
Maka sudah menjadi kewajiban manusia untuk
menyerahkan segala
sesuatunya kepada Allah atas problem dan persoalan
hidupnya. Kedua, Tuhan
sebagai sumber dana atau asal-usul rahasia rejeki yang
tak terduga-duga. Prinsip
ini begitu mendasar dan penting, dalam konteks upaya
manusia mengejar kebutuhan
hidup sehari-hari mereka. Tuhan adalah Maha
Pengatur Rejeki. Ketiga,
Tuhan sebagai akuntan atau manajer ada penghidupan
setiap hamba-Nya. Keempat,
Tuhan sebagai public relation atau humas atau
penyampai maksud, impian,
kepada siapa saja yang diharapkan terkait dengan
itu. Tuhan adalah harapan
terakhir dari apa pun aktivitas yang dilakukan oleh
mahlukNya.
Reciever Lailatul Qadar
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 02 September 2010 jam 11:09
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Yang sepenuhnya harus kita
urus dalam ‘menyambut’ Lailatul Qadar adalah
Reciever Spiritual kita
sendiri untuk mungkin menerima Lailatul-Qadar. Kesiapan
diri kita. Kebersihan Jiwa
kita. Kejernihan Ruh kita. Kepenuhan Iman kita. Totalitas
iman dan kepasrahan kita.
Itulah yang harus kita maksimalkan.
Kalau lampumu tak bersumbu
dan tak berminyak, jangan bayangkan api. Kalau
gelasmu retak, jangan
mimpi menuangkan minuman. Kalau mentalmu rapuh,
jangan rindukan rasukan
tenaga dalam. Kalau kaca jiwamu masih kumuh oleh
kotoran-kotoran dunia,
jangan minta cahaya akan memancarkan dengan jernih
atasmu.
Jadi, bertapalah dengan
puasamu, bersunyilah dengan i’tikafmu, mengendaplah
dengan lapar dan hausmu.
Membeninglah dengan rukuk dan sujudmu. Puasa
mengantarkanmu menjauh
dari kefanaan dunia, sehingga engkau mendekat ke
alam spiritualitas. Puasa
menanggalkan barang-barang pemberat pundak, nafsunafsu
pengotor hati, serta
pemilikan-pemilikan penjerat kaki kesorgaanmu. ?
Sistem Nilai Apakah yang
Kita Pilih?
by Komunitas Kenduri Cinta
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Benarkah yang salah selalu
adalah ia dan mereka? Sementara yang benar pasti
kita dan saya?
Benarkah yang harus direformasi
selalu adalah yang di situ dan di sana, dan bukan
yang di dalam diri kita
sendiri?
Mungkinkah reformasi
eksternal dikerjakan tanpa berakar pada reformasi
internal?
Apakah sesungguhnya yang
sedang berlangsung di dalam syaraf-syaraf hati kita
serta sel-sel otak kita?
Sistem nilai apakah yang
sesungguhnya kita pilih untuk mengerjakan gegap
gempita yang kita sebut
reformasi ini? Demokrasi, sosialisme, Jawaisme,Islam,
Protestanisme, Yahudisme,
Serabutanisme, kebencian, dendam, atau apa.
Supremasi Keselarasan
(bagian I)
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 25 November 2009 jam 13:29
Dengan kondisi obyektif
manusia Indonesia, masyarakat dan bangsa Indonesia
saat ini, yang merupakan
hasil dari disain peradaban berabad-abad lamanya: tidak
mungkin kita bisa menegakkan
Supremasi Hukum, atau lebih tinggi lagi Supremasi
Keadilan. Yang kita handal
membangun dan sangat lihai menyelengarakan adalah
Supremasi Keselarasan.
Tema ini memerlukan
uraian, analisis dan perdebatan yang harus sangat panjang,
sehingga malam ini sekedar
kita buka pintu saja. Para ilmuwan sosial dan ahli-ahli
kebudayaan, sebaiknya
mengagendakan tema ini untuk riset yang serius. Dan
mohon disiapkan kerja sama
penelitian dan diskusi dengan wilayah-wilayah
kepakaran yang lebih luas,
misalnya antropologi, biologi dan fisika bahkan
genekologi, sejarah umat
manusia, sampai ke konsep dasar Tuhan menciptakan
manusia dan alam semesta.
Semua wilayah itu saling
terkait. Manusia dan bangsa Indonesia sedang berada di
puncak ketidak-mengertian
atas dirinya sendiri dalam multi-konteks yang barusan
saya deretkan itu,
sehingga tidak memiliki landasan ilmu dan pengetahuan yang
memadai untuk melakukan
kebangkitan dan pembangunan apapun yang
menyangkut dirinya
sendiri.
Dengan ganti kepemimpinan
berapa kalipun, dengan pilihan ideologi kenegaraan
apapun,pembangunan dan
kebangkitan yang diselenggarakan tetap akan
membuat rakyatnya kecele,
jika penelitian atas dirinya sendiri itu tak segera di
lakukan.
Bangsa Indonesia tidak
punya kosa kata untuk hukum dan keadilan. Keduanya kita
import dari bahasa Arab.
Kalau ternyata ada, entah dari bahasa Melayu, Jawa,
Sunda, Bugis, Madura atau
manapun, saya mengusulkan kata hukum dan adil itu
segera diganti dengan
milik kita yang asli, agar kita punya keberangkatan hukum
dan keadilan yang mantap
dan relevan dengan sejarah kita sendiri.
Yang kita punya adalah
kata laras. Selaras. Yang kita bangun adalah keselarasan.
Tak apa mencuri, asalkan
mekanismenya bisa diselaraskan. Kita korupsi barengbareng
di tempat masing-masing,
dengan kesepakatan bahwa semua kita samasama
menjaga keselarasan.
Pemimpin bangsa adalah Kepala Pemelihara
Keselarasan Nasional.
Siapa harus di hukum dan siapa harus di pertahankan,
pedomannya adalah
mempertahankan keselarasan yang sudah terlanjur di
bangun dan di informasikan,
bukan obyektifitas hukum atau keadilan.
Bangsa kita menomersatukan
'norma', menomerduakan 'nilai'. Nilai mengikat
setiap orang untuk tidak
mencuri di manapun, kapanpun dan dalam keadaan
apapun. Norma adalah
kesepakatan bersama, terutama kesepakatan di antara
mereka yang berkuasa untuk
selaras. Tidak masalah kita langgar undang-undang,
hukum dan moral asalkan
tetap selaras
dan citranya tetap bisa
kita bikin tampak baik-baik saja. Kita jangan lakukan ini
atau itu, prinsipnya bukan
ini tidak benar dan itu tidak baik, melainkan yang kita
jaga adalah "apa kata
tetangga".
Kalau kita menangkap
maling di kampung, kita bentak dia, "Jangan seenaknya
berbuat di kampung kami,
kalau mau mencuri jangan di sini!" Prinsipnya bukan
maling itu tidak boleh
melainkan ada norma yang berlaku di kampung sini bahwa
jangan ada yang tampak
mencuri. Mencuri tidak ada tapi jangan kelihatan
mencuri. Melanggar hukum
dan keadilan itu soal tahu sama tahu yang tidak boleh
adalah melanggar
keselarasan.
Perbenturan antara KPK
dengan POLRI dan Pemerintah secara keseluruhan adalah
perbenturan antara
keadilan melawan keselarasan. Yang mungkin tidak terlalu
disadari oleh Bibit dan
Chandra adalah bahwa mereka itu perusak keselarasan.
Mereka juga belum faham
benar bahwa di Negara Kesatuan Republik Selaras
Indonesia, hukum dan
keadilan harus patuh kepada keselarasan. Mereka tidak
boleh merusak pekerjaan
para petugas keselarasan nasional. Satu langkah saja
lagi hukum dan keadilan
melakukan ketidaktaatan kepada keselarasan, maka ia
akan diberi label
anarkisme atau makar.
....
Ditulis oleh: Emha Ainun
Nadjib
- Kado Ulangtahun buat
Gatra, 22 November 2009
Supremasi Keselarasan
(bagian II)
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 26 November 2009 jam 15:06
Indonesia Mengejutkan
Dunia
Mohon jangan salah sangka,
ungkapan tentang Supremasi Keselarasan itu tadi
sekedar titipan salah satu
kado kepada Gatra dari guru saya, seorang Kiai yang
bernama Kiai
Alhamdulillah. Saya sekedar mentranskrip dan menyampaikan
amanat itu kepada Gatra.
Siapakah gerangan Kiai Alhamdulillah itu? Apa
saudaranya Kiai
Astaghfirullah, Kiai Subhanallah dan Kiai Masyaallah?
Ceritanya begini. Gatra
saya kenal sejak ia lahir, 19 November 15 tahun silam.
Saya juga mengenal
orang-orang Gatra jauh sebelum Gatra lahir. Tetapi semua itu
pasti itu tidak membuat
saya memiliki kompetensi ilmu, kredibilitas professional
atau kepatutan budaya
untuk berdiri di sini. Saya merasa bahwa yang
menjerumuskan Gatra agar
tersesat menyuruh saya berpidato kebudayaan
malam ini adalah 'sekedar'
nilai persaudaraan dan kemanusiaan. Alhasil,
sebenarnya saya kurang
percaya diri menjalankan penugasan dari Gatra ini,
sehingga saya memerlukan
datang kepada Kiai Alhamdulillah untuk berkonsultasi,
meminta restu, syukur
ditiup-tiupkan kekuatan ke ubun-ubun saya.
Ternyata beliau memang
sudah menyiapkan kado untuk Gatra. Begitu saya di
terima, beliau langsung
menyeret saya, didudukan di kursi, kemudian beliau
omong panjang tentang
Supremasi Keselarasan itu.
"Tolong disampaikan
kepada Gatra sebagai kado dari saya" kata beliau.
Meskipun saya sangat
bergembira karena dipercaya untuk menyampaikan titipan
kado itu, sebenarnya saya
tidak paham-paham amat isinya. Saya merespon
sekedarnya, "Tapi
isinya kok penuh pesimisme, Kiai?"
Beliau menjawab,
"Alhamdulillah kado saya ini tidak ada hubungannya dengan
pesimisme atau optimisme.
Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang menjalani
hidup dengan tangguh tanpa
terganggu oleh kecengengan yang bernama
pesimisme atau
optimisme..."
"Aduh saya kurang
paham, Kiai", saya menyela.
"Alhamdulillah tidak
masalah, tidak paham itu tidak dosa. Yang penting kau
sampaikan saja kepada
Gatra bahwa ulang tahunnya hari ini adalah ulang tahun
yang sangat indah. Gatra
berulang tahun tatkala kita semua sedang berada pada
momentum zaman yang sangat
menggairahkan. Terutama berkaitan dengan akan
segera datangnya saat
dimana Indonesia akan mengejutkan dunia. Dunia akan
tampil dengan keindahan
peradaban baru di bawah kepemimpinan Indonesia"
"Wah, optimis ya
Kiai?" saya menyela lagi.
"Kamu cengeng"
jawab Pak Kiai, "Watakmu kurang Indonesia. Orang Indonesia
asli itu watak utamanya
adalah nekad dan tidak perduli"
"Maksud saya, saya
senang mendengar pernyataan Kiai yang terakhir tentang
bangkitnya
Indonesia..."
"Hari-hari ini
tanda-tandanya mulai muncul dari berbagai arah" Kiai Alhamdulillah
melanjutkan,
"perhatikan dahsyatnya kepemimpinan negaramu sekarang ini,
amati mozaik penuh cahaya
kebudayaan, kejujuran dan kelihaian manusia dan
bangsanya, riuh rendah
estetika demokrasinya, sebaran delapan penjuru angin
pendidikan informasi
persnya, progressifitas persekolahan dan kependidikannya,
cakrawala amat luas cara
pemelukan keagamaannya, kerendahan hati
olahraganya, sopan santun
pariwisatanya, serta yang utama tak terbendungnya
fenomenologi
pemikiran-pemikiran baru yang semakin maju melampaui gardagarda
post modernisme. Akumulasi
dari seluruh pergerakan dari sejarah dari
nusantara itu akan tak
bisa dielakan oleh semua masyarakat dunia bahwa
Indonesia segera akan
memimpin lahirnya peradaban baru dunia....."
"Maaf ya Pak Kiai,
tadi kata sampeyan Hukum dan Keadilan mustahil ditegakkan,
karena yang berlangsung
selalu adalah Supremasi Keselarasan. Bagaimana
mungkin dengan kondisi itu
Indonesia bangkit memimpin dunia?"
"Jangan kawatir,
nak" jawab beliau, "Yaumul Qiyamat pasti tiba. Yaum itu Hari,
Qiyamat itu Kebangkitan.
Hari Kebangkitan peradaban baru dunia yang dipimpin
oleh Indonesia"
"Jadi benar akan
Kiamat ya Kiai? Apakah itu yang di maksud dengan tahun 2012?"
"Jangan mendahului
Tuhan, nanti malah di batalkan"
"Lha ya itu maksud
saya, Kiai, kengerian 2012 itu kita omong-omongkan terus
supaya Tuhan tersinggung
sehingga membatalkan. Cuma masalahnya bagaimana
dengan hukum, keadilan dan
keselarasan itu, Kiai?"
Bayi Lahir Putra Ibu
Pertiwi
Kiai Alhamdulillah tidak
langsung menjawab pertanyaan saya itu. Ia diam
memandang saya, kemudian
berkata sangat serius dan pelan:
"Alhamdulillah tolong
jangan potong saya sampai selesai, ini kado cinta sakral
kepada Gatra" kata
beliau. "Alhamdulillah manusia dan bangsa Indonesiamu itu
berasal dari gen unggul,
sehingga mereka lebih besar dan lebih tinggi dari hukum,
keadilan dan keselarasan.
Bangsa Indonesia tinggal membolak-balik tangan,
segala sesuatu bisa diubah
dan diatur.
Sebentar lagi bayi
Indonesia akan segera lahir. Ibu pertiwi yang akan melahirkan,
bayi itu sekarang sudah
mengalami "bukaan-2", kalau bukaan sudah sampai ke-
10, bayi akan lahir. Bayi
itu bisa merupakan hasil total refresing dari anak bungsu
Ibu Pertiwi yang bernama
Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau bayi yang
sama sekali baru.
Sangat tergetar hati saya
menantikan kelahiran bayi itu, sebagaimana dulu air
ketuban pecah pada 28
oktober 2008 kemudian lahir bayi pada 17 Agustus 1945 --
karena bangsa Indonesia
tampaknya tergolong bangsa dengan peradaban tertua
di muka bumi. Kalau bangsa
Yahudi dan Arab yang sekarang menguasai keuangan
dunia adalah keturunan
kakek Ibrahim AS, bisa jadi Induk Bangsamu beberapa
puluh atau ratus generasi
sebelum itu.
Katakanlah mungkin sejak
Javet alias Khawit atau Kawit putra Nuh AS, saudaranya
Kan'nan, Hasyim, Habsyah
dan Bustomah. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang
lahir tahun 1945, bangsa
Indonesia adalah bangsa yang melahirkan Negara
Indonesia 1945. Bangsa
Indonesia sudah sangat teruji melewati peradaban
Lemorian dan Atlantis,
Astinapura dan Mahabharata, tidak sekedar meninggalkan
jejak di Somalia, jerman,
Uruguay atau Madagaskar, juga tak sekedar melahirkan
Ajisaka, Keling,
Kaliswara, Kalakulilo, Kutai, Tarumanagara atau Salakanagara.
Apalagi sekedar Singasari,
Majapahit, Demak dan Mataram.
Berbagai kelompok generasi
muda Indonesia saat ini sedang diam-diam
melakukan penelitian dan
eksplorasi sosial di kantung dan jaringan yang dunia
media tidak
memperhatikannya. Sebagian mereka sedang mempelajari situs-situs
di dua pertiga bumi, dari
Eropa, Amerika Latin, hingga Afrika, Cina, Rusia,
terutama daratan luas dari
yang sekarang di kenal sebagai jazirah Saudi hingga
Irian Jaya, yang
memaparkan sebagai identifikasi tentang siapa bangsa Indonesia
sesungguhnya, dan mereka
mampu menjelaskan lebih detail dari produk-produk
ilmiah yang sejauh ini
ada.
Sebagian yang lain sedang
menekuni fakta-fakta Replikasi Tuhan ke Manusia ke
peradaban, untuk
mengetahui lebih persis bentuk kehancuran yang sedang
berlangsung menuju
puncaknya pada Peradaban ummat manusia mutakhir.
Mereka menguji dan
mengkaji kembali apa yang sesungguhnya terselenggara
sejak Revolusi Industri.
Mereka sedang mencari garis sambung antara low-tech
replikasi jasad, high-tech
replikasi system-logic otak, automation assembly line,
prinsip digital, 0 dan 1,
real-number dan imaginary-number, Boolean Logic dan
Fuzzy Logic, 8% dan 92%
wilayah fungsi otak, komputer yang secanggihcanggihnya
namun tak sedikitpun mampu
membaca kerinduan, amarah,
penasaran, sedih atau
gembira dan semua itu coba ditemukan
konstekstualitasnya dengan
informasi-informasi langit: bagan struktur misbah dan
zujajah, sistem kerja
dinamis ruhullah, dzatullah, sifatullah, jasadullah, hingga ke
regulasi Negara mahdloh
dan fenomenologi kebudayaan muamalah.
Beruntunglah ummat manusia
yang menghuni puncak Peradaban di abad 20-21
yang di temani oleh wahyu
Tuhan. Sebelum era Nabi Musa mundur hingga Adam,
ummat manusia mencari
Tuhan sendiri dan merumuskannya sendiri, tanpa ada
wacana firman. Kalian
sekarang tinggal menghapalkan Qul huwallohu Ahad, 99
asma Allah, di tambah dua
tiga ayat, langsung jadi Ustadz. Para ilmuwan tinggal
buka Kitab Suci untuk
menemukan karbon, pertemuan laut asin dan tawar,
interaksi dinamis antara
otak dengan hidayah, sumber pemahaman dasar
matematika, fisika,
biologi dan hipnotisme. Atau apapun saja. Anak-anak muda itu
tidak mau bangsanya
terpuruk tanpa berkesudahan. Dengan penelitian-penelitian
itu langkah mereka ke
depan adalah merumuskan dan meletakkan kembali dasardasar
Ideologi Negara, Ideologi
Pendidikan, Ideologi Informasi, Ideologi
Keagamaan, Ideologi
Kebudayaan, Ideologi Ekonomi, Ideologi Hukum, bahkan
Ideologi Pangan dan
Kesejahteraan"
Ditulis oleh: Emha Ainun
Nadjib
- Kado Ulangtahun buat
Gatra, 22 November 2009
Supremasi Keselarasan
(bagian III - Selesai)
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 07 Desember 2009 jam 11:46
Negeri Demokrasi Sufi
Tidak sengaja spontan saya
merespon: "Itu makar, Kiai!"
Pak Kiai tertawa.
"Alhamdulillah tidak perlu ada makar. Di negerimu rakyat tidak
merasa terancam, sepanjang
mereka masih punya sandang pangan, yang mereka
bisa mengusahakannya
sendiri, dengan atau tanpa Pemerintah. Pemerintah tidak
perlu melakukan apapun,
sebenarnya rakyat tidak masalah. Bahkan banyak rakyat
yang mempersilahkan uang
pajak nasional itu dibagi-bagi saja oleh para Pejabat,
tidak ada masalah, asalkan
jangan mempremani atau memalak rakyat yang
sedang bekerja mencari
nafkah. Jadi, sekali lagi, tidak ada makar. Memang ada
kehancuran nilai, moral,
mental, intelektual dan spiritual, tidak itu tidak dianggap
kehancuran. Kehancuran
yang dikenal oleh bangsamu hanyalah kehancuran fisik."
"Maka alhamdulillah
bayi itu akan lahir. Kita semua berdoa, jika ada yang
berusaha membuntu lubang
rahim Ibu Pertiwi, sehingga diharapkan sang Bayi
akan batal lahir, semoga
jangan lantas ada keputusan Operasi Cesar oleh petugaspetugas
Jagad Raya, para Eksekutor
Alam Semesta, oleh Kepala-Kepala Dinas
Samudera dan Tsunami,
Hujan, Banjir dan Longsor, Gunung, Lempengan Bumi di
perut bumi Nusantara dan
Gempa, Pemanasan Global, Gas Metan di Kutub Utara,
anarkisme meteor-meteor,
serta ruh-ruh Energi dan Frekwensi yang serabutan
maqamat-nya, serta
sejumlah birokrat langit bumi lainnya"
"Akan tetapi
bencana-bencana itu bisa tak perlu terjadi, karena semua semua
yang terjadi ini tetap
dalam lingkup Pancasila, yang menjunjung tinggi nilai-nilai
rohaniah. Bencana-bencana
itu bisa batal, meskipun korupsi makin merajalela.
Karena dalam Pancasila
terbuka peluang sangat luas untuk menafsirkan nilai-nilai.
Misalnya, sesungguhnya itu
semua bukan korupsi, bukan sistem yang korup,
bukan pencurian yang
merata — melainkan Shadaqah. Shadaqah adalah
beralihnya uang, dana atau
jasa secara sukarela dari satu tangan ke tangan lain.
Ciptakan suatu atmosfir
kenegaraan dengan wacana-wacana yang membuat
semua peralihan keuangan
itu bersifat sukarela dan bermakna shodaqah.
Sosialisasikan nilai bahwa
ridha bir-ridla atau saling sukarela adalah pencapaian
silaturahmi yang ideal.
Kalau ada yang belum ridha dan merasa itu adalah
pemerasan, harus dididik
sampai bisa mencapai ridha. Kewajiban mendidik
warganegara menuju tingkat
ridha itulah tugas Pemimpin, Pemerintah, Para Wakil
Rakyat, Kaum Ulama segala
Agama, Pers dan semua pelaku-pelaku utama yang
lain dalam seiarah.
Pasanglah spanduk di jalan-jalan yang mendidik publik:
`Relakanlah ke manapun
uang Negara pergi, toh yang memakai adalah sesama
manusia, sesama makhluk
Allah'.
"Pancasila bisa
menggali nilai-nilai Agama, misalnya Sufisme. Kalau perlu
dilegalisir saja pedoman
nasional bahwa Negeri kita adalah Negeri Demokrasi Sufi
yang berlandaskan
pancasila. Di dalam Negeri Demokrasi Sufi, Presidennya harus
Sufi, seluruh Menteri dan
Pejabat-pejabatnya harus Sufi. Demikian juga
Tentaranya, Polisinya,
termasuk para Pengusahanya, olahraganya, keseniannya,
harus Sufi. Presiden Sufi
adalah Presiden yang sesungguhnya tidak bersedia
menjadi Presiden lagi,
tetapi demi Indonesia bersatu maka `Lanjutkan!'. "
"Kabinet Sufi adalah
Menteri-Menteri yang rela lilo legowo tidak ditempatkan
atau ditempatkan di
penugasan Kementerian manapun, meskipun seandainya
mereka tidak memiliki
kompetensi proffesional. Kalau mereka menolak, akan bisa
terjadi pertengkaran antar
kelompok politik. Presiden dan Menteri-Menteri Sufi
harus menomersatukan
kedamaian, dan menghindarkan segala kemungkinan
konflik."
"Sufisme itu intinya
adalah kesanggupan berpuasa. Berpuasa makna luasnya
adalah sanggup melakukan
sesuatu yang ia tidak suka, atau mampu tidak
melakukan yang ia suka.
Umpamanya saya tidak suka memeras orang, tetapi demi
mengasah kemampuan
rohaniah, maka saya memeras"
"Menutupi aib sesama
manusia, adalah termasuk nilai Sufi yang tinggi. Apalagi
yang punya aib itu orang
dijajaran tugas kita sendiri. Tuhan melarang hamba-Nya
memperhinakan sesamanya.
Bahkan dalam berolahraga, sebisa mungkin kita
menjaga hati sesama
manusia. Kalau kita menang dalam pertandingan sepakbola
atau bulutangkis, harus
kita perhitungkan bahwa lawan main kita pasti kesakitan
hatinya kalau kita
kalahkan. Maka yang terbaik adalah kita mengalah. Kalau ada
striker lawan menggiring
bola capk-capek ke gawang
kita, Kiper kita harus minggir dan mempersilahkan
bola dimasukkan. Dengan
demikian olahraga kita memiliki kwalitas nilai
kemanusiaan yang sangat
tinggi".
"Atau ambil contoh
lain misalnya Pengusaha, Khusus di Indonesia, para
Pengusaha memiliki peluang
sangat besar untuk berjuang mencapai tingkat Sufi
yang tertinggi. Para
Pengusaha di Indonesia setiap saat harus siap bersedekah,
setiap langkahnya harus
bersedekah kepada Negara yang diberikan melalui para
Pengurus Negara. Pengusaha
yang tidak bersedekah, alhamdulillah pasti menjadi
Sufi bangkrut."
"Sebab sedekah itu
kemuliaan, bukan keanehan. Kamu tahu artinya sedekah?
Infaq yang tidak wajib itu
namanya shadaqah, kalau wajib itu namanya zakat.
Pengusaha Indonesia tidak
wajib bershadaqah, tapi mereka perlu meningkatkan
kwalitas rohaniahnya,
sehingga yang sebenarnya tidak wajib bisa ditingkatkan
menjadi wajib. Ada yang
bertanya: apakah itu bukan pemerasan? Itu pemerasan
hanya bagi Pengusaha yang
tidak berhati ikhlas. Jadi ini bukan soal hukum,
melainkan soal keikhlasan
hati. Kemudian ada lagi yang bertanya: apakah itu
bukan sogokan?
Alhamdulillah sama sekali bukan sogokan, sebab Pejabat yang
menerima sedekah itu
niatnya bukan mencari uang, melainkan menguji iman si
Pengusaha"
Kaliber Dunia
"Saya akhiri kado ini",
kata Kiai Alhamdulillah akhirnya, "karena saya ingin Gatra
tetap langgeng
penerbitannya"
"Sampaikan respek
saya kepada Gatra. Pers Indonesia, dan pasti juga Gatra,
adalah salah satu sumber
energi sosial dan pendidikan sejarah yang turut
memberi sumbangan besar
kepada Kebangkitan Indonesia 2012. Koran-koran dan
Majalah melakukan
pencerdasan bangsa 3-5 kali lipat dibanding era-era
sebelumnya.
Televisi-televisi bekerja keras 24 jam sehari untuk membuat
bangsanya menjadi sangat
dewasa, matang dan berwawasan luas"
"Pers bisa ambil
peranan besar dan hampir mutlak dalam hal Yaumul Qiyamat ini.
Apalagi Pers Indonesia
adalah pers terbebas di seluruh dunia. Paling merdeka dan
independen. Pers Indonesia
tidak punya atasan, semua yang lain adalah
bawahannya: baik dan
buruk, benar dan salah, indah dan jorok, informasi dan
disinformasi, tuhan dan
hantu, semuanya patuh kepada kebijakan dan strategi
redaksionalnya. Pers
Indonesia sangat independen, berdiri karena dirinya sendiri,
melindungi dirinya
sendiri, setia dan memegang sepenuhnya hak untuk
menghukum dirinya
sendiri"
"Jangan lupa,
mantapkan hati Gatra, bahwa uemokrasi Indonesia adalah
demokrasi paling fenomenal
dan gegap gempita di seluruh dunia. Hendaknya
Gatra berbangga memiliki
Pemerintah yang paling sukses dan prolifik di seluruh
dunia.
Gatra adalah bagian dari
bangsa tertangguh dan paling proffesional me-maintain
kehidupannya masing-masing
dibanding seluruh bangsa-bangsa lain di dunia.
Manusia Gatra adalah
manusia Indonesia, manusia paling tahan uji, paling banyak
tersenyum dan tertawa,
bahagia, penyabar, pemaaf dan pelupa di seluruh dunia.
Gatra adalah pelaku
kebudayaan Indonesia, kebudayaan yang terkaya, paling
ragam dan tak terbatas
kreativitasnya sehingga tidak memerlukan bentuk dan
kepribadian.
Para pekerja Gatra adalah
juga bagian yang indah dari dinamika kehidupan
beragama di Indonesia,
yang paling matang di seluruh dunia. Kematangan itu
sedemikian rupa membuat
para pemeluknya sudah sempurna prosesnya, tidak
lagi memerlukan pemikiran,
penafsiran, pembenahan atau perbaikan apapun"
"Dan akhirnya, jangan
pernah lupa bersyukur Gatra dan bangsa Indonesia
memiliki pemimpin seorang
Negarawan tingkat tinggi dan Presiden berkaliber
dunia. Gatra jangan ikuti
orang-orang yang dangkal berpikirnya dan sempit
pandangannya, yang selalu
mengkritik Presidenmu sebagai pemimpin yang
peragu, lamban, tidak
punya ketegasan, tidak punya nyali untuk bertindak
obyektif, atau macam-macam
lagi kesimpulan-kesimpulan yang cengeng dan
hanya bersifat
impressional. Alhamdulillah, beliau itu manusia yang sangat lembut
perasaannya dan tidak
hatinya tegaan. Beliau tidak kuat perasaannya
menyaksikan satu saja
warganegaranya yang kesakitan. Beliau pasti akan
membela mati-matian
siapapun yang akan dijatuhkan atau disakiti, terutama yang
sudah membuktikan kerja
keras dan kesetiaan kepada beliau. Beliau adalah
Panglima
Keselarasan".
Ditulis oleh: Emha Ainun
Nadjib
- Kado Ulangtahun buat
Gatra, 22 November 2009
Tak Ada Cinta di Media:
Tribute to Mbah Surip
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 29 Juli 2009 jam 16:34
Ditulis Oleh: Muhammad
Taufiq
Saya mengenal Mbah Surip
sekitar tahun 2004. Waktu itu SCTV yang beberapa
kali menayangkannya.
Tetapi “ledakan” kepopulerannya tidak terjadi. Terhitung
hanya beberapa bulan saja
orang mengenal dan membicarakannya. Mungkin
karena kemasan
entertaining-nya ga “kena” waktu itu.
Lama berselang, kakek yang
kabarnya lahir di Mojokerto 60-an tahun yang lalu ini,
tidak saya dengar sama
sekali. Hingga sampai akhir tahun 2006 saya mendapati
kembali pria paruh baya dengan
penampilan dan gaya khasnya ini di acara
Kenduri Cinta (KC). Dia
selalu menjadi “artis tetap” di acara yang dimotori oleh
Cak Nun (panggilan akrab
Emha Ainun Nadjib) ini. Waktu itu KC selalu digelar
sebulan sekali. Namun
seiring dengan dialektika yang terjalani, acara yang digelar
setiap Jumat kedua ini
hanya tentatif saja belakangan. Ia akan hadir di Taman
Ismail Marzuki (TIM) jika
memang “sudah waktunya” untuk tampil.
Begitulah. Setiap ada KC
maka di situ pula ada Mbah Surip. Jika Cak Nun dengan
Kyai Kanjengnya ditanggap
oleh komunitas tertentu pun, Mbah Surip tidak pernah
ketinggalan nimbrung
bersama mereka. Lagu yang dibawakannya juga tetap lagu
yang banyak ditembangkan
oleh banyak orang sekarang ini. Alhasil lagu “Tak
Gendong” itu sudah amat
akrab di telinga ini sejak akhir 2006. Apalagi buat orangorang
yang suka nongkrong bareng
dengannya di Warung Apresiasi (Wapres)
Bulungan atau komunitas
awal KC. Dan sebenarnya tidak cuma lagu itu yang
cukup populer dan banyak
diminati oleh jamaah KC. Ada lagu namanya “Bangun
Tidur”. Lagu ini malah
sudah jadi semacam lagu wajib di acara yang kumpulan
manusianya disebut dengan
ma’iyah (kebersamaan) ini. Selain itu ada juga yang
judulnya “Lagu Siluman”.
Wah, yang ini malah lebih nyentrik lagi dari “Tak
Gendong”. Pembawaannya
juga jauh lebih nyentrik dari pada klip yang ada di TV.
Keberadaan Mbah Surip di
acara yang sering disebut maiyahan ini sering menjadi
penyegar disaat jumud
menghinggapi para hadir. Jika penat karena diskusi sudah
terasa maka tampillah si
Mbah. Yang hadir pun sontak tertawa, padahal belum
lagi dia bernyanyi.
Seperti yang sering kita saksikan di TV akhir-akhir ini, segala
tingkah polanya memang
selalu mengundang tawa. Bahasanya yang rada-rada
aneh, keterangannya yang
lumayan ngawur namun mengandung unsur surprise,
selalu membuat semua yang
hadir tertawa. Apalagi jika tawa khasnya keluar,
membuat yang hadir tambah
terpingkal-pingkal. Jika sudah demikian, suasana
segar namun hangat terasa
kembali.
Saat itulah kami merasakan
cinta – sebuah relasi yang tidak dihitung berdasar
logika untung-rugi. Mbah
Surip tampil menyanyikan lagunya karena cinta kepada
kami; kami pun menerimanya
dengan penuh kecintaan kepadanya. Tidak ada
yang dibayar maupun
membayar di acara ini. Tidak tampak rasa bosan meski
setiap bulan selalu lagu
itu-itu saja yang disajikan si Mbah. Semua karena
kecintaan yang hadir
kepada satu sama lainnya. Berbicara tentang apa saja
asalkan selalu dialasi
oleh cinta. Cinta kepada bangsa, negara, sesama, kepada
Tuhan, alam, dan siapapun
serta apapun asalkan pantas untuk didekati dengan
cinta. Namanya saja
Kenduri Cinta. Pesta dari, oleh, untuk, dan karena cinta.
Bukan hanya rambut
gimbalnya yang membuat pria (yang kabarnya pula) beranak
empat ini menarik.
Pembawaan Mbah Surip yang “ultra” poloslah yang justru,
menurut saya, membuatnya
unik. Bahkan teramat unik. Mbak Bertha, guru vokal
yang wajahnya juga sering
nongol di acara Kontes Dangdut TPI (KDI), menilai si
Mbah sebagai sosok yang
amat merdeka. Ia bisa tidur dimana saja dia mau. Dia
tidak tergantung pada
tempat tidur untuk bisa tidur. Ia tergantung pada matanya,
yang jika merasa ngantuk
ia akan pejamkan saat itu pula. Entah itu di halte, di
cafe, atau dimanapun dia
berada. Cak Nun sendiri mengumpamakan Mbah Surip
seperti tahi lalat.
Keberadaannya mungkin remeh dan tidak penting. Tetapi ia bisa
membuat manis wajah
seseorang. Keberadaan Mbah Surip mungkin tidak
penting. Tetapi ia membuat
manis hidup ini. Ia membuat banyak orang terhibur
setiap mereka
mendapatinya.
Kepolosan itulah yang
mungkin menular pada lagu-lagunya. Jika bukan Mbah
Surip yang membawakan lagu
“Tak Gendong”, hasilnya pasti tidak akan seperti
Mbah Surip membawakan.
Jadi perpaduan diri dan lagu yang poloslah yang,
menurut saya, membuat lagu
yang kabarnya sudah menjadi ring back tone (RBT)
lebih dari sejuta pengguna
ponsel ini meledak.
Tetapi rasanya bukan itu
semata yang membuatnya jadi terkenal. Bahkan faktor
kepolosan bukanlah faktor
yang menjadikannya terkenal. Kepolosan hanyalah
nilai uniknya. Kepolosan
adalah “nilai jualnya”. Yang membuatnya jadi terkenal
adalah media. Media massa
telah membuat si Mbah menjadi lebih tenar dari
sebelumnya. Sekarang
hampir setiap orang mengenalnya. Orang-orang dari
Merauke hingga Sabang.
Mungkin juga di negeri tetangga. Lagunya dinyanyikan
oleh banyak orang,
dijadikan RBT, dan sebagainya.
Jadwal show pun
berdatangan. Dari stasiun TV ke TV lainnya. Dari satu kota ke
kota lainnya. Tidak hanya
untuk bernyanyi, tetapi juga untuk acara komedi, reality
show, infotainment, dan
lain-lain. Managernya sampai kewalahan mengatur
jadwal kabarnya.
Mbah Surip pun jadi OKB
(orang kaya baru). Sebuah mobil sudah dimilikinya.
Rumahnya tambah ciamik.
TV-nya baru, lebih besar dari sebelumnya. Royalti dari
RBT lagu “Tak Gendong”
saja kabarnya sudah 4,5 milyar. Itu pun cuma dari satu
provider, belum dari
provider yang lain. Belum lagi honor dari show-show yang
lain. Singkatnya Mbah
Surip sudah jadi selebritis baru. Keberadaannya sudah
terima lebih luas. Tidak
hanya di komunitas-komunitas yang “kering” saja seperti
selama ini.
Namun itulah yang saya
wanti-wanti – sesuatu yang menjadi semacam
kegelisahan saya. Saya
teringat sebuah “teori” dari salah seorang teman. Dia
bilang, “siapa yang
dibesarkan oleh media, akan dikecilkan oleh media suatu saat
kelak”. Sekelebat kemudian
saya teringat pada Aa Gym, dai kondang yang pernah
dimanja oleh media. Di
siarkan kemana-mana. Setelah dia mempraktekkan
poligami, media pun seolah
“membunuhnya”.
Tentu saja saya berharap
itu tidak terjadi pada diri unik si Mbah. Saya berharap
pria nyentrik yang
ngakunya sudah jalan-jalan ke banyak negara ini tidak “depend
on” media. Tidak keblinger
karena besar oleh media. Tidak lupa diri karena
terkenal. Tidak berubah
karena sudah masuk TV, dan tidak-tidak sejenis lainnya.
Pendeknya tidak “kalah”
oleh media. Saya tidak mau melihat si Mbah yang
merdeka menjadi terjajah
oleh dan karena media yang korporatis seperti
sekarang ini. Lebih dari
itu saya berharap Mbah “nyentrik” Surip ini bisa lebih
besar dari kebesaran yang
dibuat oleh media padanya.
Kadang-kadang dalam hati
kecil saya berdoa agar si mbah tidak lama-lama
“dipake” oleh media. Bukan
karena tidak mau si mbah jadi terkenal, kaya, atau
yang lainnya. Tetapi
karena media tidak memiliki CINTA.
Tak Pernah Berpikir
oleh Komunitas Kenduri Cinta
pada 23 November 2009 jam 10:05
Ditulis Oleh: Muhammad
Ainun Nadjib
Saya tak pernah berpikir.
Pikiran saya bukanlah saya, sebagaimana peci bukanlah
saya, tangan saya bukan
saya. Yang berpikir itu otak saya, artinya tidak seluruh
peralatan diri saya yang
lain perlu terlibat berpikir. Jadi energi yang diperlukan
oleh otak saya untuk
berpikir dibimbing dan di-supply oleh akal. Akal itu sejumput
rahasia Tuhan yang
menyentuh syaraf otak tertentu. Melalui sentuhan ini saya
mendapatkan gagasan, ide,
visi, atau apapun yang disebut kreativitas. Jadi saya
tidak kreatif, kreativitas
hanyalah supply kepada saya. Kalau gagasan harus diolah,
tinggal kita cemplungkan
ke dalam sistem kerja otak, dan nanti ia bekerja sendiri,
kita tinggal menunggu
hasilnya, sambil main kartu, mengaji, atau bercanda
dengan anak. Jadi sang
Supplier tidak pernah aus. Tuhan tidak pernah berakhir,
tinggal saya siap nempel
Dia terus atau tidak.
Terima Kasih: Engkau
Jadikan Aku Raja
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 06 Juli 2009 jam 15:49
Nuwun Sewu,
Istana Negara - 1885
Sebuah tempat tinggal
selalu mencerminkan siapa penghuninya. Rumah adalah
tempat tinggal manusia.
Sesungguhnya setiap manusia berada dalam derajad
yang sama – awalnya bayi
yang fitri. Kemudian manusia merasa perlu berbeda
(being recognized) dan
membedakan diri (self recognition) dengan yang lain
dalam berbagai strata.
Strata yang dibuat oleh manusia untuk manusia lainnya.
Tempat tinggal orang
miskin disebut gubug, orang yang sangat miskin di ‘gubug
reyot’. Tempat tinggal orang
kota yang mulai kaya yang bertumpuk-tumpuk yang
disebut apartemen. Tempat
tinggal orang kota tidak kaya yang juga bertumpuktumpuk
disebut ‘rumah susun
sederhana’. Tempat tinggal orang bijak yang
mengajarkan kebajikan
menyebutnya ‘padepokan’. Dan tempat tinggal seorang
raja disebut “istana
(palace)”.
Ratu-ratu dan raja-raja di
dunia selalu tinggal di istana.
Indonesia tersurat sebagai
Negara dalam tatanan Republik, seperti Amerika
Serikat dimana Presiden
disebutkan sebagai kepalanya. Indonesia serupa dengan
Amerika Serikat, yang
berputar melingkar dalam “orbit demokrasi” ketika
menjalankan tata
pemerintahannya. Serupa dan memang berbeda!.
Pusaran orbit demokrasi
Amerika terbatas lagi monoton. Terbatas hanya dua
partai – tak ada pilihan
lain. Hanya dengan dua partai ini, berdemokrasi di
Amerika sesungguhnya lebih
mudah dan lebih murah. Dan ketika seorang
Presiden sudah terpilih,
sang Presiden ini hanya bertempat tinggal di “rumah
putih (white house)”.
Ke-Indonesia-an adalah
kreatifitas. Walaupun demokrasi yang berlaku saat ini
adalah hasil contekan,
namun kreatifitas politisi Indonesia mampu membuat
demokrasi yang monoton dan
membosankan jadi semarak dan mengesankan.
Orang Amerika tidak serius
dalam “pesta (party)”, karena orbit demokrasinya
hanya diramaikan hanya
oleh dua partai (dual parties).
Demokrasi Amerika adalah
demokrasi pelit, sepi dan membelenggu hak azasi.
Bagi politisi Indonesia
sebuah pesta harus semarak, tak pelit, sedikit genit dan tak
perlu ‘ngirit’, makin
banyak partai makin bergengsi. Para politisi Indonesia
memang “serius pesta”.
Sebuah pesta harus meriah dan megah. Tak perlu irit,
walupun ‘ngutang’ mereka
tak sayang uang. “Wong untuk rakyat kok sayang
uang!. Biar hutang besar
yang penting bukan saya yang bayar! Biar banyak hutang
yang penting nampang!”
kira-kira begitu (politisi memang paling suka kira-kira).
Sejak merdeka di tahun
1945, Indonesia diperintah oleh seorang Presiden yang
“dirajakan” oleh rakyatnya
sendiri. Presiden Raja ini berkuasa dan bertahta di
istana – Istana Merdeka.
Sang Raja didampingi oleh permaisuri (kadang ada
selirnya juga) yang
dinobatkan sebagai “Ibu Negara”. Dan anak-anak sang raja
diperlakukan sebagai
pangeran (prince/princes) yang selalu menjadi berita,
diberikan “privilege” dan
dihormati dimana-mana. Layaknya seorang raja, ia perlu
membangun
lingkaran-lingkaran yang teridiri dari para punggawa setia untuk
mengamankan dan
menyamankan kedudukannya. Bahkan sang Presiden Raja
memiliki beberapa
penasehat spiritual dan perlu “lelaku” untuk menjaga
kewibawaannya.
Bukankah dahulu Pak Amin
Rais banyak disebut orang sebagai “the King maker”
yang berhasil menempatkan
Gus Dur menjadi Presiden menggantikan Pak BJ
Habibie?. Sebutan ini
benar, dan benar-benar “bener” menempatkan Gus Dus
sebagai Presiden Raja yang
memerintah dari Istana Merdeka. Bahkan ada sebuah
stasiun Televisi yang
menayangkan program “Menuju Istana” bagi calon Presiden
Raja yang hendak bertahta.
Bagi Presiden Raja, telah
tersedia pula Istana persinggahan untuk keluarga dan
kerabat kerajaan kepresidenan.
Ada Istana Bogor, Istana Cipanas, Istana Tapak
Siring siap dikunjungi
untuk besantai.
Istana (palace) adalah
tempat raja,ratu atau kaisar – house of emperor. Jika ada
yang mengatakan bahwa
sebutan “istana” hanyalah istilah, maka apakah hanya
tersedia “satu istilah”
yang layak dan pantas bagi seorang Presiden yang benarbenar
mempresideni Negara ini –
istana?. Man act upon his words and verbal
behavior show the color of
his character.
InsyaAllah masih ada sinar
mentari di tanggal 8 Juli.
Silahkan mencontreng wajah
Presiden Raja, setengah Presiden setengah Raja atau
Raja yang jadi Presiden –
Selamat menikmati puncak kreatifitas demokrasi yang
berseni.
Wis bener, wis
apik!..Cocok.
Ngapunten,
Salamku yo dongaku,
Pudjidiot
Tiga Substansi Dari
Peristiwa Hijrah
oleh Komunitas Kenduri
Cinta pada 18 Desember 2009 jam 9:54
Ditulis Oleh: Muhammad
Ainun Nadjib
Pertama.
Momentum hijrah itulah
yang dipakai untuk menandai satuan waktu, awal tahun
dan abad Islam. ‘Ilmu’nya
di sini terletak pada kenyataan bahwa bukan hari atau
tahun kelahiran Muhammad
saw. yang dipakai sebagai patokan awal abad Islam,
sebab fokus ajaran Islam
tidak pada Muhammad, melainkan pada ajaran Allah
yang dititipkan melalui
ia.
Islam tidak bersikap
feodal dan verted-interest dengan memonumenkan
Muhammad sebagai manusia,
karena yang terpenting adalah kasih sayang Allah
yang dibawanya untuk
seluruh ummat manusia. Muhammad bukan founding
father of Islam. Agama
tidak didirikan oleh Nabi, Rasul atau manusia. Agama
bukan bikinan atau ciptaan
yang selain Allah.
Otoritas atas kehidupan
manusia seratus persen berada di tangan Allah, dan para
Nabi hanya
menyampaikannya. Bagi tradisi sifat Allah, Nabi dan Rasul boleh tidak
ada. Allah berhak tidak
menciptakan Muhammad, tidak memilihnya sebagai
kekasih, atau melakukan
apapun. Jadi, sekali lagi, yang penting adalah ‘hijrah’nya,
bukan ‘Muhammad’nya
meskipun karena etika historis dan logika cinta:
Muhammad kita sayangi
sesayang-sayangnya sebagaimana Allah menyayanginya
melebihi sayangNya kepada
apapun dan siapapun saja.
Kedua.
Hijrah sebagai acuan pokok
ilmu, ajaran dan cinta kasih Islam.
Anda jualan bakso itu
menghijrahkan bakso ke pembeli dan si pembeli
menghijrahkan uang kepada
Anda. Anda buang air besar itu menghijrahkan
sampah biologis ke lubang
WC. Anda nikah dan bikin anak itu menghijrahkan
sperma ke ovum istri. Anda
juga menghijrahkan Suharto ke rumahnya,
menghijrahkan Habibie ke
Binagraha dan seterusnya. Anda menghijrahkan uang
Anda ke brangkas bank.
Anda menghijrahkan diri Anda ke rumah Allah.
Hidup adalah hijrah
dariNya menuju keharibaanNya. Hidup hanya berlangsung
dalam konsep dan mekanisme
hijrah. Tidak ada benda, makhluk, peristiwa atau
apapun saja dalam
kehidupan ini yang tidak berhijrah. Yang menjadi masalah dan
pilihan manusia adalah
pengakuan dari mana ia berhijrah, ke mana ia sedang dan
akan menghijrahkan
dirinya, dengan cara apa ia melakukan hijrah.
Anda menghijrahkan uang
dari kas kantor ke kas keluarga: pertanyaannya terletak
pada bagaimana konteks dan
nilai (akidah, akhlak, hukum) hijrahnya uang itu.
Yang disebut Era
Reformasi, jatuhnya Suharto, kerusuhan Ambon, pekikan Aceh,
kasus Bank Bali,
tempe-delenya perilaku politisi, sidang MPR dan apapun diikat
oleh bagaimana nilai
seseorang menghijrahkan dirinya, aspirasinya, political willnya.
Di situ terdapat langit
nilai baik buruk, benar salah, indah dan jorok; serta
terdapat acuan formal:
legal atau illegal, sah atau tidak sah, halal atau makruh
atau haram atau malah
wajib, dan seterusnya. Menjadi jelas bahwa empasis nilai
Islam tidak pada Muhammad,
melainkan pada nilai Hijrah. Muhammad wajib
patuh kepada nilai hijrah,
terikat untuk menjadi uswatun hasanah atau teladan,
dan tidak boleh melanggar
kasih sayang Allah yang sudah Ia rumuskan dalam Al-
Qur’an, serta yang juga
dicipratkan melalui subbah-nya atas Muhammad sendiri.
Ketiga,
Metodologi dan strategi
hijrah. Yang dilakukan pertama-tama oleh Rasulullah
saw. begitu tiba di
Madinah adalah mempersaudarakan Kaum Muhajirin dengan
Kaum Anshor.
‘Mempersaudarakan’ ini sangat luas maknanya:
mempersaudarakan dalam
konteks transaksi kultural, sosiologis, politis dan lain
sebagainya. Negara
Indonesia kecolongan kerusuhan di Ambon, Timor Timur dan
Aceh dll. Karena konsep
persaudaraan mereka tidak digali, diterjemahkan dan
dirumuskan ke dalam konsep
nasionalisme, persatuan dan kesatuan yang jelas.
Ketidakjelasan konsep itu
membuahkan ketidakmenentuan komunikasi, etika
pergaulan antar kelompok,
kecurangan politik, dan menjadi lebih parah lagi
karena kepemimpinan ilmu
kenegaraan Indonesia tidak bersedia mensyukuri ilmu
dan ajaran Allah yang
mendialektikakan konteks-konteks horisontal dengan
vertikal. Kalau tidak
karena perlindungan dan kasih sayang Allah kepada rakyat
kecil, negara Indonesia
tidak akan sanggup menyelamatkan dirinya sendiri.
Warung Jodoh
by Komunitas Kenduri Cinta
Ditulis Oleh: Emha Ainun
Nadjib,
Mungkinkah di warung kopi,
pelanggan ketemu jodoh?
Tentu saja mungkin
"... lnna khalaqnakum min dzakarin wa untsa . lita'arafu. ." --
kata Tuhan -- ...
Kuciptakan kalian menjadi
lelaki dan wanita ...untuk saling berkenalan..."
Saling berkenalan. Boleh
di asrama, di terminal, maupun di warung kopi. Mencari
jodoh itu mulia. Dan kalau
toh pelanggan masih gagal ketemu jodoh,siapa tahu
malah penjaga warungnya
yang ketiban pulung.
Misalnya seorang pelanggan
wanita usul: mBok tolong bikin kopi campur jahe!--
Disebut oleh pelanggan
lelaki: Lho, kok seleranya sama dengan saya?
Nah, dialog, lita'arafu.
tinggal diteruskan.
Saya sendiri beberapa
bulan terakhir ini banyak keliling ke berbagai tempat di
Jakarta, Jawa Tengah dan
Jawa Timur, dalam rangka 'mencarikan jodoh'seorang
karib yang nasibnya agak
malang. Aduh tapi susahnya. Kalau pas dia mau,
cewenya yang ogah. Kalau
cewenya ngebet, dia yang kurang stroom.
Padahal sudah empat bulan
ini karib kita itu puasa tak makan, Prihatin.
Apakah ia lelaki tipe Siti
Nurbaya decade? Yang jelas ia belum pernah pacaran dan
tampaknya tak becus
pacaran. Jadi, cita-citanya bukan pacaran,melainkan kawin.
Kalau bisa bulan ini juga,
setidaknya tahun ini.
Lha wong uslanya sama
dengan saya. Nanti selak ketuwan banget.*
Ternyata ia juga tak siap
untuk "nyiti nurbaya". Artinya ia tak siap untuk tiba-tiba
kawin dan segala risikonya
dihadapi dengan segala gairah belajar dan
kematangan. Soal cinta,
akan tumbuh bersama kerja dan partisipasi.
Ternyata dia butuh
approach. Dialog. Proses, yang sebenarnya biasanya --
ditempuh lewat pacaran.
Jadi, susah.
Sementara banyak gadis
yang saya pertemukan dengannya segera terjebak oleh
pemandangan kulit luar.
Karib saya ini tidak
cakep, pakaian sama sekali tidak ngepop. Pokoknya tak
menarik. Segera dia tak
lulus ujian pertama di mata perawan.
Apaagi kalau 'mata
ujian'-nya' seperti yang sering terbaca di rubrik. Kontak Jodoh.
Misalnya, "Dicari
lelaki usia maksimal 35 tahun, sarjana, punya pekerjaan tetap,
bertanggung jawab..."
Dan yang mencari itu gadis 35 tahun,sarjana muda,
pekerjaan tetap dan
mengaku setia.
Lha karib saya itu pasti
tak lulus. Dia sudah 36 tahun. Bukan sarjana dan tak punya
kerja tetap: dia hanya
asisten sutradara film yang sudah cukup kaya dan mampu
mengangkat ekonomi Ibu dan
8 saudara-saudarinya. Apakah ia bertanggung
jawab dan setia? Harus
kawin dulu, untuk membuktikan tanggungjawab dan
kesetiaannya? Selebihnya,
ia 'sekadar` lelaki yang baik, amat baik, amat santun,
hati lembut, penyabar,
rajin shalat. Sedemikian rupa sehingga akan sangat banyak
sahabat-sahabatnya yang
cemburu dan merasa kehilangan kalau ia nanti kawin.
Tapi ya Gusti yang dicari
wanita mungkin lain, atau mereka tak tahu bagaimana
tahu apa yang dicarinya.
*) Maksudnya, "keburu
tua".
Catatan Komunitas Kenduri
Cinta I
Page 194
Bersambung ke edisi II….
(coming soon) ☺
Maturnuwun…
Jay
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar