Pages

Sabtu, 15 Desember 2012

Kumpulan Tulisan Emha 5


Tuhan Pengasuh alam dan manusia
Jika gunung berapi memuntahkan lahar
Engkau mengambil alih muntahan itu
dan kalau Engkau yang melahari kami
pasti Engkau sertakan juga makna yang tak terperi

Tuhan Penyantun siang dan malam
Jika gunung gerapi menghembuskan hawa panas
Engkau mengambil alih hembusan itu
dan kalau Engkau yang memanasi kami
pasti panas itu datang disertai arti

Tuhan Pembimbing gelap dan terang
Jika gunung berapi menghantamkan kehancuran
Engkau mengambil alih hantaman itu
dan kalau Engkau yang menghantam kami
pasti Engkau janjikan juga rahmat dan kasih

Tuhan Pengurus segala kesedihan dan kebahagiaan
Ambil-alihlah pikiran kami agar menjadi jernih
Ambil-alihlah hati kami agar membening
Ambil-alihlah kesadaran kami, agar seluruh makna
bencana ini menjadi awal kebangunan kami

1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
Engkau selalu bertanya kepada burung-burung, tanpa engkau sadari bahwa engkau selalu bertanya kepada burung-burung: "Milik siapakah kalian?"
Dan burung-burung selalu menjawab: "Pemilik kami Tuhan kami, namun Ia meminjamkan diri kami ini kepada kami, kemudian kami pinjamkan diri kami kepada kumpulan manusia yang menghuni tanah dan padang-padang di mana kami beterbangan mencari makan"
Seterusnya engkau bertanya: "Kapan kalian akan mengembalikan diri kalian kepada Tuhan, dan kapan kumpulan manusia itu akan mengembalikan diri kalian kepada diri kalian?"
Burung-burung menjawab: "Setiap saat, kapan pun saja, kami siap mengembalikan diri kami kepada Pemiliknya. Namun kami tak bisa melakukannya, karena manusia tidak mau mengembalikan diri kami kepada diri kami...."

***

Demikianlah juga jawaban pepohonan, rumput-rumput, gunung dan perbukitan; demikianlah juga jawaban tanah dan air, darah dan daging, hutan dan sungai-sungai, jika engkau bertanya: "Milik siapakah kalian?" Sehingga engkau akan terheran-heran dan melanjutkan pertanyaan:
"Apakah manusia itu sejenis makhluk yang kalau meminjam tidak bersedia mengembalikan? yang kalau berhutang, selalu menunda-nunda pembayaran, sampai saat maut menghadang, sampai di bilik pengap penjara ia digeletakkan, sampai dari singgasananya ia dicampakkan? ataukah manusia itu sejenis ciptaan Tuhan yang sedemikian dungunya sehingga kalau mencuri malah merasa memiliki, dan kalau memonopoli malah merasa paling berjasa sendiri?"

***

Maka aku juga ingin engkau selalu membisikkan ke telingaku apa kata burung-burung itu, apa kata hutan, pegunungan, angin dan lumpur. Aku ingin engkau membisikkan ke telingaku dendang hati mereka tentang negeri ini. Aku ingin mendengar nyanyian-nyanyian itu kembali:
Nasionalisme bukanlah tali ikatan antara satu jenis burung yang membedakan diri dari jenis-jenis burung yang lain
Nasionalisme adalah persentuhan getaran hatinurani seluruh burung-burung, seluruh burung-burung
Nasionalisme bukanlah pada wilayah hutan belantara mana burung-burung boleh hinggap dan beterbangan
Nasionalisme adalah kesepakatan antara semua jenis burung tentang bagaimana memelihara hutan yang indah dan sehat bagi kehidupan setiap burung, setiap burung
Nasionalisme bukanlah burung dibikinkan sangkar oleh Tuannya, yang diulur naik ke puncak tiang di pagi hari, kemudian diturunkan dan dimasukkan kandang di sore hari
nasionalisme adalah burung tanpa sangkar, adalah burung di angkasa bebas, yang dari kebebasan itu hati dan kesadarannya belajar memahami dan merancang sangkarnya sendiri

***

Nasionalisme bukanlah mengketapel burung, menjerat dan mengurungnya, serta menjadikannya hiasan karena meskipun engkau mengelus-elus bulu dan sayapnya, namun engkau berdusta kepada hakikat burung-burung ketika merebut langit dan alam dari kehidupannya.
Nasionalisme bukanlah membatasi ruang terbang burung-burung, melainkan membuka peluang belajar dan pelatihan bagi nurani burung-burung untuk sanggup menciptakan batas-batas ruang terbangnya sendiri.
Nasionalisme bukanlah burung dalam sangkar bambu yang tunduk menghormati burung sangkar emas, atau burung sangkar emas meludahi burung sangkar bambu.
Nasionalisme adalah burung-burung sangkar langit, burung-burung sangkar alam semesta, burung-burung sangkar jagat yang tak dibatasi garis kepentingan kelas-kelas burung, oleh egosentrisme dan penghisapan sejenis burung atas sejenis burung yang lain
Nasionalisme bukanlah burung-burung yang engkau tawan dan engkau jatah makan minumnya serta engkau tentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh disantapnya.
Nasionalisme adalah menguakkan kesanggupan burung-burung yang tanpa akal senantiasa mengerti apa yang berhak dimakannya dan apa yang terlarang untuk diminumnya.
Nasionalisme burung-burung tidak punya tuan, nasionalisme burung-burung hanya punya Tuhan.
Nasionalisme adalah burung-burung yang menentukan dan memiliki pemuka-pemuka. Pemuka-pemuka yang bertugas untuk menjadi pekerja yang memenuhi keperluan seluruh burung-burung, sehingga seluruh burung-burung itu bersedia menyisihkan pendapatannya untuk memberi makan kepada pemuka-pemukanya.

***

Burung-burung tak dimiliki oleh Tuan, burung-burung hanya memiliki Tuhan. Sebab jika Tuan memilikinya, mereka tak boleh memiliki Tuannya, sedang jika mereka dimiliki Tuhannya, itu berarti Tuhan adalah milik mereka.
Burung-burung sangat mengerti bahwa hak tertinggi yang dimiliki oleh setiap makhluk hidup adalah memperoleh pinjaman dari Tuhannya sejumlah yang diperlukannya, adalah makan dan minum sebanyak yang dibutuhkannya
Burung-burung sangat memahami bahwa hanya tatkala lapar ia berhak memetik makanan dari alam, dan hanya ketika haus ia berhak menimba minum dari alam
Burung-burung sangat bersetia kepada kenyataan betapa Tuhan sangat memiliki segala sesuatu, namun senantiasa pula ia tak memakainya sendiri melainkan meminjamkannya
Betapa Tuhan sangat memiliki kesanggupan untuk menggenggam apa pun saja, untuk merampas apa pun saja, serta untuk mengambil alih apa pun saja, namun ia tak melakukannya
Sehingga burung-burung selalu sangat merasa heran betapa ada makhluk-Nya yang tak memiliki namun berlaku sebagai pemilik, yang tak berkewenangan namun bertindak sebagai penguasa, yang tak berhak namun mengambil apa saja yang dinafsuinya, yang berkedudukan hanya sebagai hamba namun segala jenis penghisapan, perbudakan dan penindasan dilakukannya

***

Nasionalisme burung-burung tidak mempersoalkan di sarang pepohonan apa telornya menetas, oleh karena itu segenap burung di muka bumi mencicit-cicit apabila ada saudara-saudaranya sesama makhluk datang bagai banjir, menebangi pohon-pohon, sehingga merasa kehilangan tempat untuk membuat sarang-sarang
Nasionalisme burung-burung tidak mempersoalkan apa warna telor mereka, berbentuk lonjong atau bulat, oleh karena itu segenap burung di hamparan tanah ini mendongakkan paruh-paruh mereka apabila tiba mesin besar entah dari mana yang menyeragamkan bentuk telor mereka
Nasionalisme burung-burung tidak mempersoalkan apa warna bulu atau berapa besar tubuh mereka, oelh karena itu segenap burung-burung di kehangatan alam ini mengepak-ngepakkan sayap mereka apabila hadir pisau besar yang memangkas bulu mereka dan membonsai badan-badan mereka
Nasionalisme burung-burung adalah negeri cinta kasih yang dibatasi hanya oleh cakrawala dan langit biru, sungai, gunung-gunung, hutan, samudera dan pulau-pulau hanyalah torehan garis dan warna-warni dalam kanvas lagu pujaan mereka kepada Tuhan
Nasionalisme burung-burung adalah kesepakatan untuk menjaga kemerdekaan seluruh alam. Negara burung-burung adalah pembangunan tempat dan kesejahteraan utnuk saling memerdekakan dan mengasihi

***

Jika burung-burung rajawali, jika burung-burung hantu, jika burung-burung raksasa lainnya bergerombol untuk mematuki burung-burung kecil dan merampas jatah makan minum dan kemerdekaan mereka: maka jagat cinta kasih terbelah menjadi dua negeri. Yang satu negeri para penindas, lainnya negeri para tertindas
Para penindas berlaku sebagai tuhan, sedangkan para tertindas sesak napasnya tidak hanya oleh kekuasaan yang menindih, tapi juga oleh cinta dan kesantunan yang tidak disemaikan di bagian manapun dari tanah Tuhan
Nasionalisme burung-burung terluka dan mengucurkan darah, karena seluruh burung-burung kecil di mana saja di permukaan bumi terjaring menjadi satu negara rahasia yang tergetar nuraninya, serta bersiap menagih di hari esoknya

1989
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
Betapa dahsyat penciptaan hati
Bagai Tuhan itu sendiri
Oleh apa pun tak terwakili:
Ia adalah ia sendiri

Semalam batok kepalaku pecah
Dipukul orang dari belakang
Tatkala bangun di pagi merekah
Hatiku telah memaafkan

Hati bermuatan seribu alam semesta
Dindingnya keremangan
Kalau kau keliru sapa
Ia berlagak jadi batu seonggokan

Kepala negara hingga kuli mengincar
Menjebak dan mencuri hidupmu
Namun betapa ajaib sesudah siuman
Kau percaya lagi

Betapa Tuhan serasa hati ini
Dicacah dilukai berulangkali
Berdarah-darah dan mati beribu kali
Esok terbit jadi matahari

1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
Kafilah 190 juta
Menatap cakrawala
Astaga!
Kafilah 190 juta
Menatap cakrawala

Aku sapa mereka dan bertanya:
"Gerangan apa yang tampak di cakrawala?"
Serempak terdengar jawaban dari mulut mereka:
"Jakarta teguh beriman, Yogyakarya berhati nyaman
Solo berseri, Semarang kota atlas, Salatiga..."

Kafilah 190 juta
Betapa, O, betapa
Kafilah 190 juta cintaku
Bersepakat untuk menempuh
Perjalanan yang berjejal-jejal
Dan penuh sesak

Kulambaikan tanganku dan kutegur :
''Perjalanan macam apakah gerangan
yang kalian tempuh, saudara-saudaraku?"
Bergema jawaban dari seluruh barisan:
"Perjalanan jangka panjang!
Perjalanan bertahap-tahap!"

Kafilah 190 permata jiwaku
Bersepakat untuk mengubah
Perjalanan yang sendiri-sendiri
Menjadi perjalanan bersama-sama

Aku bisikkan ke telinga sebagian mereka:
"Bersama-sama duduk dan bersama-sama berdirikah
kalian dalam perjalanan bahagia ini?"
Dengan berbisik pula sebagian anggota rombongan itu
menjawab: "Sebagian dari kami berhak untuk duduk,
sebagian yang lain berkewajiban untuk berdiri"

Kafilah 190 juta
Berderap langkahnya
Berderak suara kakinya
Lagu-lagu kekompakan mereka bagai hujan
Nyanyian kebulatan tekad mereka bagai sejuta akar tunjang
menancapi tanah di hutan dan ladang-ladang

Tergiur hatiku hendak bernyanyi bersama mereka
Sehingga demi menyatukan nada dan irama, kupastikan
dulu aransemen dengan bertanya:
"Lagu apakah sebenarnya yang kalian dendangkan?"
Orang-orang itu menjawab dengan teguh dan tatapan
mantap ke depan: "Lagu persatuan dan kesatuan"
"Kenapa ada kudengar nada yang agak tidak sama
antara satu barisan dengan lainnya?" kataku
"Karena sebagian kami menyanyikannya dengan raing
gembira, sementara sebagian yang lain melagukannya
dengan tangis dan deraian air mata"

Kafilah 190 juta
Berjuta kaki berjalan
Berjuta kaki berduyun-duyun
Berjuta kaki berayun-ayun

Kepada kaki yang berjalan aku bertanya:
"Berapa tahap lagikah perjalananmu akan tiba?"
Dengan agak malu-malu kaki itu menjawab:
"Kami belum tiba pada jenis pertanyaan itu
Yang kami urus barulah bagaimana mengulur-ulur
perjalanan ini tidak dengan hutang demi hutang"

Kepada kaki-kaki yang berduyun-duyun aku kemukakan
rasa bangga: "Betapa nikmatnya manusia yang membangun!"
Tapi mereka menjawab: "Kami belum membangun, kami
sedang dibangun untuk dijadikan batu-bata pembangunan"

Kepada kaki yang berayun-ayun aku lontarkan rasa
cemburu: "Alangkah nyaman mengayunkan langkah
ke hari depan!"
Tapi yang ini pun menjawab: "Kaki kami terayun-ayun
loncat dari tanah, sawah dan kebun kami; sesudah
tiba-tiba saja hadir siluman yang membelinya dengan
paksa, dengan harga yang mereka sendiri pula yang
menentukannya"

kafilah 190 juta
Bergemuruh!
Bagai putaran baling-baling mesin kemajuan
Di tengah barisan demi barisan berderap
Di tengah 190 juta langkah berderak

Aku berteriak: "Wahai, betapa gegap gempita suara kalian!"
Aku mendengar jawaban: "Yang bersuara ini hati kami,
sedangkan mulut kami terbungkam!"
Aku berteriak: "Wahai, betapa riang gembira
perjalanan kalian!"
Aku mendengar jawaban: "Tentu saja, karena tangis
kesengsaraan sedalam apa pun harus kami ungkapkan
dengan penuh keriangan!"...

1993
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
Kerja dan fungsi memecah manusia
Sujud sembahyang mengutuhkannya
Ego dan nafsu menumpas kehidupan
Oleh cinta nyawa dikembalikan

Lengan tanganmu tanggal sebelah
Karena siang hari politik yang gerah
Deru mesin ekonomi membekukan tubuhmu
Cambuk impian membuat jiwamu jadi hantu

Suami dan istri tak saling mengabdi
Tak mengalahkan atau memenangi
Keduanya adalah sahabat bergandeng tangan
Bersama-sama mengarungi jejak Tuhan

Kalau berpacu mempersaingkan hari esok
Jangan lupakan cinta di kandungan cakrawala
Kalau cemas karena diiming-imingi tetangga
Berkacalah pada sunyi di gua garba rahasia

1997
(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)
Kita pasar riba
Medan perang keserakahan
Seperti ikan dalam air tenggelam

Tak bisa ambil jarak
Tak tahu langit
Ke kiri dosa ke kanan dusta

Bernapas air
Makan minum air
Darah riba mengalir

Kita masuki pasar riba
Menjual diri dan Tuhan
Untuk membeli hidup yang picisan

Telanjur jadi uang recehan
Dari putaran riba politik dan ekonomi
Sistem yang membunuh sebelum mati

Siapakah kita ?
Wajah tak menentu jenisnya
Tiap saat berganti nama

Tegantung kepentingannya apa
Tergantung rugi atu laba
Kita pilih kepada siapa tertawa


(Emha Ainun Najib/1987/PadhangmBulanNetDok)
Bagaimana seandainya tanggal 19 Mei 1998 pagi itu Jakarta menjadi jamur api raksasa? Umpamanya di 16 pom bensin di titik-titik strategis Jakarta dipasangi bom yang akan diledakkan atau tidak tergantung kepada gejala perilaku Pak Harto di Istana, yang sedang berunding dengan sembilan orang, antara lain Nurkhalis Madjid, Yusril, Gus Dur dan tokoh-tokoh lain yang diminta Pak Harto untuk hadir atas kesepakatan dengan Cak Nur.
Bagaimana kalau berbagai titik tertentu pada posisi jalan tol juga sudah dipasangi bom. Belum lagi umpamanya gedung Graha Purna Yudha yang peletakan bomnya diperhitungkan sedemikian rupa sehingga begitu ia roboh maka jalan Gatot Subroto akan terpotong dan mungkin gedung Polda Metro Jaya tertimpa. Bagaimana kalau umpamanya sekitar 6 kg supersalatin dijadikan bahan dasar untuk penyebaran sumber api dan ledakan itu, umpamanya?
Seandainya pagi hari 19 Mei 1998 pukul 10.00 pagi itu terjadi komposisi ledakan di Jakarta, tentu kasihan banyak orang yang menjadi korban, semua simpul kekuatan ibukota - politik, ekonomi, apa saja - menjadi lumpuh. Dan satu-satunya yang memiliki kekuatan dan maintenance untuk berkuasa adalah organisasi tentara.
Mungkin hari ini Republik Indonesia tidak berwajah seperti yang sekarang kita alami bersama. Reformasi pasti gagal dan kita tentu tidak bisa sebahagia seperti ketika alhamduluillah kita lantas dipresideni oleh Habibie, tidak bisa senikmat ketika dipresideni oleh Gus Dur, serta tidak semakmur dan seadil sebagaimana ketika sekarang kita dipresideni oleh Mbak Mega.
Saking senangnya saya pada kepemimpinan reformasi ini sehingga seandainya dulu saya dimintai oleh Gus Dur duit 6 trulyun dann sekarang oleh Mbak Mega uang sebesar 30 trilyunpun - untuk memungkinkan beliau tetap berkuasa - tentu saya akan usahakan meskipun pasti saya tidak mampu.

***
Kita kembali ke 19 Mei 1998. Jendral Hartono sekilas ikut menemui sembilan orang itu. Wiranto berwajah sangat tegang. Prabowo mondar-mandir tak menentu - menurut saya - tapi mungkin san gat tertentu menurut Prabowo sendiri.
Bagi siapapun dan bagi pihak manapun, sipil atau militer - tidak jelas apa yang mungkin terjadi sesudah pertemuan Pak Harto untuk merundingkan kelengserannya itu. Apakah akan ada ledakan lagi seperti tanggl 12, 13, 14 dan 15 Mei sebelumnya? Kekuasaan Pak Harto itu mutlak dan tidak seorangpun manusia Indonesia, termasuk jendral-jendral, yang waktu itu sanggup memikirkan atau membayangkan bahwa Indonesia ini akan berlangsung kehidupannya tanpa Pak Harto.
Jadi tema lengsernya Suharto adalah awan gelap, shock sangat berat bagi semua yang ikut berkuasa. Dan seandainya Anda adalah Panglima Angkatan Bersenjata, Anda harus berpikir keras untuk mengantisipasi segala kemungkinan. Bukan hanya memikirkan, tapi juga saat juga mewujudkan. Negara tidak boleh ada vacuum kepemimpinan satu detikpun. Lyndon B. Johnson dilantik di pesawat hanya beberapa menit sesudah John F Kennedy ditembak. Maka apapun yang terjadi dengan Pak Hartro pagi itu, Anda sebagai senopati kekuatan militer negara - harus menyiapkan segala sesuatunya untuk memastikan kekuasaan negara tetap tergenggam di tangan. Atau kalau organisasi militer Anda terpecah menjadi faksi-faksi, makna semua kelompok itu mau tidak mau pasti juga menyiapkan hal yang sama meski dalam bentukm yang berbeda.
Bagaimana seandainya berpuluh kamera sudah siap menyorot segala sudut tempat yang dipakai pertemuan Pak Harto dengan 9 orang serta sekitarnya. Bagaimana seandainya pandangan seluruh kamera itu dimonitor dari dalam sebuah Tank, yang misalnya di dalamnya ada seorang perwira komando dan seorang operator yang memegang remooth sebaran bom-bom yan saya sebut di atas.
Bagaimana seandainya perwira komando itu terus berkoordinasi dengan pimpinan yang juga ada di Istana untuk siap kapan saja meledakkan bom atau membatalkan ledakan. Kalau Pak Harto mengalami ketegangan psikologis karena dituntut turun dari kursi kepresidenannya sehingga beliau gagap atau membisu, kalau lebih dari dua menit kegagapan atau kebisuan itu berlangsung - dan itu be rarti otoritas puncak kekuasaan negara menjadi relatif dan bias disambar oleh kekuatan-kekuatan tertentu - maka remooth harus segera dipencet untuk menjamur-apikan Jakarta terutama wilayah yang mengelilingi Istana.
Kalau Pak Harto pingsan, tentu remote harus lebih cepat lagi dipencet. Apalagi kalau Pak Harto sendiri mengindikasikan perintah atau kode untuk meledakkan
Bagaimana seandainya itu semua benar-benar terjadi? Atau kapan-kapan dibikin benar-benar terjadi?
Siapa tidak tegang. Jangan-jangan Pak Harto ngamuk dalam pertemuan itu. Cak Nur dan teman-teman sudah merundingkan dengan Pak Amin Rais dan sepakat Pak Amin tidak ikut menemui Pak Harto. Sebab Pak Amin hebat dan sering tegas keras, ibarat macan yang sakti. Kalau macan sakti menemui Pak Harto, dikawatirkan Pak Harto yang mulai jadi manusia itu malah berubah menjadi macannya macan.
Tapi ternyata pertemuan Pak Harto dengan 9 orang itu tidak ada tegang-tegangnya sama sekali. Makin lama makin cair, penuh senyum dan akhirnya bahkan penuh gelak tawa
.Seandainya Anda adalah perwira komando atau operator bom yang dari dalam monitor tank menyaksikan situasi rileks di istana itu - pasti Anda jengkel dan sekaligus gembira. Jengkel karena situasi siaga puncak ternyata dihapus oleh gelak tawa. Gembira karena Jakarta tidak harus menjadi jamur api.
Ah, itu semua hanya seandainya.
Apa yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa reformasi 1998 itu belum terungkap secara jujur dan memang tidak ada kecenderungan dari pihak manapun untuk meneliti secara obyektif fakta-fakta yang sesungguhnya. Bahkan kaum intelektual di universitas-universitas juga tidak menunjukkan gejala bahwa mereka merasa perlu meneliti kenyataan sejarah itu.
Dulu Nambi dan Ronggolawe marah dan memisahkan diri dari kekuasaan Raden Wijaya di Majapahit karena setelah kekuasaan ditegakkan - pelaku perjuangan yang sesungguhnya justru dikhianati. Demikianlah juga lahirnya Kartosuwiryo atau Kahar Muzakkar yang naik gunung masuk hutan karena dikhianati - meskipun kita tidak sepakat pada metoda pemberontakan yang Daeng Kahar dan Kang Karto pilih.
Tapi memang 'manusiawi' kalau pejuang-pejuang sejati disingkirkan oleh teman-temannya sendiri yang di jaman penjajahan sebenarnya bersikap hipokrit. Maka reformasi sekarang sebenarnya juga sudah melahirkan Karto dan Kahar
.***
(Emha Ainun Nadjib/2002/PadhangmBulanNetDok)
Presiden Reformasi Indonesia bukan sembarang Presiden. Sejak bangkitnya bangsa Indonesia melalui Reformasi 1998, kalau ada seorang Presiden terpilih, jangan dipikir itu sekedar hasil Pilpres satu hari hari, melainkan ujung dari sebuah proses panjang. Itu puncak eskalasi struktural dari tingkat masyarakat RT hingga ke puncak kursi kenegaraan.

Bangsa Indonesia sudah memiliki pengalaman peradaban selama berpuluh-puluh abad untuk memilih pemimpinnya. Pemilihan Presiden di abad 21 ini jauh lebih sederhana karena sekedar melibatkan penduduk atau warganegara. Sedangkan pengalaman sejarah bangsa Indonesia pernah membawa mereka memilih pemimpin tertingginya dengan melibatkan Nyi Roro Kidul, Walisongo, ruh-ruh leluhur, pasukan lebah, lembu atau kerbau, bahkan untuk sebagian secara sembunyi-sembunyi juga melibatkan masyarakat rekanan hidup manusia yang dikenal dengan nama Jin.

Sejak Reformasi di akhir abad 20, bangsa Indonesia sudah benar-benar menjadi dewasa. Maka skala demokrasi modern mereka cukup hanya mengakomodasi hak warganegara yang berjenis makhluk manusia, sehingga mekanismenya jauh lebih simpel. Sedangkan makhluk-makhluk lain yang bukan manusia, dari Malaikat sampai hewan, tidak memiliki hak gugat terhadap keputusan demokrasi modern ummat manusia, karena Tuhan sudah memberi mandat penuh – ibarat Duta Besar Berkuasa Penuh – kepada manusia untuk menjadi khalifatullah fil-ardl, mandataris Tuhan di seluruh bumi.

Bahkan Iblis, makhluk sangat ganas dan sakti mandraguna yang bertugas menjadi antagonis moralnya ummat manusia, semacam ‘sandhi-yudha’ yang memiliki ketahanan luar biasa dalam tugasnya sebagai partner dialektika kehidupan manusia – juga tidak melakukan protes apa-apa terhadap demokrasi modern, terutama yang diselenggarakan di Indonesia.

***

Iblis pasti bukan tidak tahu bahwa Indonesia adalah negeri yang penduduknya paling memiliki kedekatan dengan Allah swt. Jumlah Hajinya terbanyak seluruh dunia. Sangat rajin bikin pengajian massal, majlis ta’lim, istighotsah, yasinan dan tahlilan, kursus shalat khusyu, biro pengelolaan kalbu, tafsir-tafsir aplikatif dari surah dan ayat-ayat quosi emosi dan spirit, dan berbagai aktivitas keagamaan lainnya yang Iblis ampun-ampun untuk berani menerobosnya.

Maka mekanisme demokrasi modern dijalankan di Indonesia jauh lebih mulus dibanding Negara manapun di dunia. Ditambah faktor plus yang mendasari kekokohannya sebagai sebuah sistem bernegara yang hampir bisa dikatakan tak mungkin bisa digoyahkan oleh apapun saja. Faktor plus itu misalnya tingkat kependidikan masyarakat Indonesia yang sudah jauh memadai sebagai prasyarat tumbuhnya kedewasaan demokrasi.

Matangnya kebudayaan bangsa Indonesia, sebagai individu manusia maupun sebagai kumpulan komunitas, menjadikan pelaksanaan demokrasi sedemikian gagahnya, penuh kemerdekaan dan kreativitas, penuh kelincahan dan keterampilan, namun tetap berada dalam kontrol bersama yang komprehensif di antara semua kelompok, segmen, strata dan kantung-kantung lain bangsa Indonesia.

***

Demokrasi di tangan bangsa Indonesia bagaikan bola di kaki Maradona, tongkat ganda di tangan Bruce Lee, bola basket di tangan Kareem Abdul Jabbar atau Michael Jordan, mobil Formula-1 di kendali Schumacher, Ayrton Senna atau Fernando Alonso. Kalau mau agak puitis, demokrasi bagi bangsa Indonesia itu bak gelombang di pangkuan samudera, bak panas di ujung lidah api, bak kokok di tenggorokan ayam, atau auman di mulut harimau.

Bangsa Indonesia memiliki susunan dan tata sosial yang solid namun dinamis sejak dari lingkar terkecil. Di dalam setiap keluarga selalu terdapat pembelajaran dialog-dialog alamiah tentang kepemimpinan dan siapa pemimpin. Aspirasi dari keluarga-keluarga kemudian dengan sendirinya menjadi muatan interaksi masyarakat se Rukun Tetangga. Kemudian fondasi aspirasi itu meningkat dan meluas hingga ke skala desa atau kelurahan. Demikian seterusnya sampai ke babak ‘semifinal’ dan ‘final’ di panggung puncak kepemimpinan Nasional.

Jadi kalau ada seseorang akhirnya terpilih menjadi Presiden, sesungguhnya itu hanya ujung dari suatu proses yang sangat panjang. Bangsa Indonesia sudah ‘memiliki’ Presiden sejak di rumahnya masing-masing. Kalau seorang Presiden sudah duduk di kursi kepresidenan, hari itu juga setiap warganegara sebenarnya sudah mengantongi nama presiden berikutnya. Seorang Presiden dalam peradaban bangsa Indonesia adalah seseorang yang sudah diuji oleh seluruh dan setiap rakyatnya sejak jauh-jauh hari sebelumnya, minimal sepuluh tahun. Sistem budaya masyarakat Indonesia sudah memiliki infrastruktur kualitatif dan mekanisme identifikasi yang berlangsung mendasar, permanen dan dinamis.

***

Hal yang sama juga berlangsung pada wakil-wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat. Siapa saja yang mengambil keputusan menjadi Caleg dan gambar wajah-wajah mereka bisa dijumpai di sepanjang jalan, adalah tokoh-tokoh yang bukan hanya sudah sangat dikenal oleh masyarakat infrastrukturalnya, lebih dari itu mereka sudah diuji moralnya, integritas sosialnya, kesungguhan pengabdiannya, keterampilan kerja dan profesionalismenya, termasuk luasnya wawasan dan tingginya keilmuannya.

Bahkan tatkala seorang Presiden memilih Menteri-Menterinya, dan para Menteri memilih bawahan-bawahannya, itu sama sekali bukan soal selera, bukan berdasarkan power-share atau pembagian kekuasaan, bukan berlatar belakang kepentingan golongan atau penyeimbangan perolehan antar kelompok. Pemilihan atasan ke bawahan itu juga diselenggarakan dengan terlebih dulu mempelajari data-data dan fakta-fakta dari lapangan paling bawah, yakni siapa yang benar-benar sudah lulus dari penyaringan sosial masyarakat.

Kadar keterujian pemimpin nasional dan wakil rakyat yang sedemikan ketat dan kualitatif oleh sistem sosial masyarakat Indonesia, membuat mustahil muncul pemimpin-pemimpin yang nyasar dan a-historis. Kepemimpinan nasional dan perwakilan rakyat di Indonesia tidak bisa sekedar ditentukan oleh eksistensi dan mekanisme partai-partai politik. Parpol hanyalah kendaraan di ujung jalan, hanya alat terakhir untuk secara formal meresmikan apa yang sudah diproses sangat matang dalam waktu yang juga sangat panjang. Semua aktivis parpol juga sangat memahami hal itu, sehingga mereka sangat bersikap rendah hati dan tidak merasa dirinya penentu utama kepemimpinan nasional.

***

Presiden Indonesia dan Wakil-wakil Rakyat adalah orang-orang yang memang harus mereka yang menjadi Presiden dan Wakil-wakil rakyat.

Vox populi vox dei. Demikianlah ‘sabda rakyat’ melalui mekanisme sistem yang mereka selenggarakan secara konsisten dan istiqamah dari tahun ke tahun, dari era ke era, bahkan dari zaman ke zaman. Presiden dan Wakil-wakil rakyat adalah tokoh-tokoh yang muncul ke singgasana berdasarkan ujian sejarah masyarakatnya sendiri. Dengan demikian bisa dipastikan merekalah memang yang paling layak kepribadiannya, paling bermutu kepemimpinannya, paling unggul ilmu dan wawasannya, paling kredibel kinerjanya, paling luas wawasannya, paling terampil kerjanya, bahkan paling diridhoi Tuhan dan direstui oleh semua makhluk-makhluk Allah non-manusia.

Sistem budaya dan mekanisme sosial bangsa Indonesia yang sudah matang sejak puluhan abad yang lalu, memastikan bahwa pemimpin-pemimpin nasional mereka yang lahir dari demokrasi Indonesia adalah putra-putri terbaik bangsanya. Harus mereka yang memimpin. Tak terbantahkan. Bisa jadi Tuhan sendiripun tak mungkin mengganti mereka, karena Ia mengikatkan diri pada kegembiraan dan kebanggaan menyaksikan tingkat kematangan budaya demokrasi bangsa dan Negara Indonesia.*****
(Emha Ainun Nadjib/Kompas/22 Mei 2009/PadhangmBulanNetDok)
Kiai Sudrun berkata kepada cucunya, seorang sarjana yang tadi siang diwisuda.

"Di zaman dahulu kala terdapatlah makhluk yang bernama Kebudayaan Barat.
Pada masa itu tak ada barang di muka bumi ini yang dikutuk orang melebihi kebudayaan barat sehingga ia dianggap sedikit saja lebih baik dari anjing kurap. Pada masa itu pula tak ada sesuatu pun dalam kehidupan yang dipuja orang melebihi kebudayaan barat sehingga terkadang ia melebihi Tuhan."

"Ini kisah aneh apa lagi?" bertanya sang cucu.

"Kaum Muslim pada waktu itu sedang mencapai puncak semangatnya untuk memperjuangkan agamanya, menemukan identitas dan bentukan kebudayaannya sendiri," si kakek melanjutkan, "Maka dipandanglah kebudayaan barat itu oleh mereka dengan penuh rasa najis, serta dipakailah barang-barang kebudayaan barat itu dengan penuh rasa sayang dan kebanggan."

"Lagi-lagi soal kemunafikan!"

"Tak penting benar soal kemunafikan itu dalam kisah ini," jawab Kiai Sudrun, "setidak-tidaknya engkah sudah paham persis masalah itu, dan lagi yang hendak aku ceritakan kepadamu adalah soal lain."

Sang cucu diam mendengarkan.

"Kaum Muslim pada waktu itu mempertentangkan Islam dengan kebudayaan barat seperti mempertentangkan cahaya dengan kegelapan atau malaikat dengan setan.
Padahal sampai batas tertentu, para pelaku kebudayaan barat itu sendirilah yang dengan ketekunan amat tinggi melaksanakan ajaran Islam."

"Kakek sembrono, ah."

"Tak ada yang melebihi mereka dalam melaksanakan kewajiban iqra', meskipun kemudian disusul oleh sebagian bangsa-bangsa tetangganya. Tak ada yang melebihi mereka dalam kesungguhan menggali rahasia ilmu dan mengungkap kemampuan-kemampuan alam. Mereka telah membawa seluruh umat manusia memasuki keajaiban demi keajaiban. Mereka mengantarkan manusia untuk mencapai jarak tertentu dalam waktu satu jam sesudah pada abad sebelumnya mereka memerlukan
perjalanan berbulan-bulan lamanya. Mereka mempersembahkan kepada telinga dan mata manusia berita dan pemandangan dari balik dunia yang berlangsung saat itu juga. Mereka telah memberi suluh kepada pengetahuan manusia untuk mengetahui yang lebih besar dari galaksi serta yang sejuta kali lebih lembut dari debu."

"Dimuliakan Allahlah mereka," sahut sang cucu.

"Benar," jawab kakeknya, "kalau saja mereka meletakkan hasil iqra' itu di dalam kerangka bismi rabbika-lladzi khalaq. Seandainya saja mereka mempersembahkan ilmu dan teknologi itu untuk menciptakan tata hidup yang menyembah Allah. Seandainya saja ereka merekayasa kedahsyatan itu tidak untuk penekanan dalam politik, pemerasan dalam ekonomi, sakit jiwa dalam kebudayaan, serta kemudian kebuntuan dan keterpencilan dalam peradaban."

"Apa rupanya yang mereka lakukan?"

"Memelihara peperangan, mendirikan berhala yang tak mereka ketahui sebagai berhala, menumpuk barang-barang yang sesungguhnya tak mereka perlukan, pura-pura menyembah tuhan dan bersenggama dengan binatang."

"Anjing kurap!" teriak sang cucu.

"Memang demikian sebagian dari Kaum Muslim, memaki-maki, tapi kebanyakan dari mereka bergabung menjadi pelaku dari pembangunan yang mengarah kepada kebudayaan yang semacam itu."

"Munafik!" sang cucu berteriak lagi.

"Menjadi seperti kau inilah sebagian dari Kaum Muslim di masa itu. Dari sekian cakrawala ilmu anugerah Allah mereka mengembangkan satu saja, yakni kemampuan untuk mengutuk dan menghardik. Tetapi kemudian karena tak ada sesuatu pun yang berubah oleh kutukan dan hardikan, maka mereka pun pergi memencilkan diri: melarikan diri ke dalam hutan sunyi, mendirikan
kampung-kampung sendiri - di pelosok belantara atau di dalam relung kejiwaan mereka sendiri. Mereka menjadi bala tentara yang lari terbirit-birit meninggalkan medan untuk menciptakan dunianya sendiri. Mereka ini mungkin kau sebut kerdil, tetapi sesungguhnya itu masih lebih baik dibandingkan
kebanyakan orang lain yang selalu berteriak sinis 'Kalian sok suci!' atau 'Kami tak mau munafik!' sementara yang mereka lakukan sungguh-sungguh adalah kekufuran perilaku dan pilihan. Namun demikian tetaplah Allah Mahabesar dan Mahaadil, karena tetap pula di antara kedua kaum itu dikehendakiNya hamba-hamba yang mencoba merintis perlawanan di tengah medan perang. Mereka
menatap ketertinggalan mereka dengan mata jernih. Mereka ber-iqra', membaca keadaan, menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan kesanggupan mengolah sejarah, sambil diletakkannya semua itu dalam bismi rabbi. Ilmu ditimba dengan kesadaran dan ketakjuban Ilahiah. Teknologi ditaruh sebagai batu-bata kebudayaan yang bersujud kepada Allah."

"Maka lahirlah makhluk baru di dalam diri Kaum Muslim," berkata Kiai Sudrun selanjutnya, "Gerakan intelektual. Orang dari luar menyebutnya intelektualisme-transendental atau intelektualisme-religius, meskipun Kaum Muslim sendiri menyebutnya gerakan intelektual - itu saja - sebab intelektualitas dan intelektualisme Islam pastilah religius dan transendental."

"Dongeng kakek menjadi kering ...," sahut sang cucu.

"Itu iqra' namanya. Gerakan iqra', yang ketiga sesudah yang dilakukan oleh Muhammad dan kemudian para ilmuwan Islam yang kau ketahui menjadi sumber pengembangan kebudayaan barat."

Sang cucu tak memrotes lagi.

"Akan tetapi mereka, Kaum Muslim itu, adalah - kata Tuhan - orang-orang yang berselimut. Mudatstsirun. Orang-orang yang hidupnya diselimuti oleh berbagai kekuatan tak bismi rabbi dari luar dan dari dalam diri mereka sendiri.
Selimut itu membuat tubuh mereka terbungkus dan tak leluasa, membuat kaki dan tangan mereka sukar bergerak, serta membuat hidung mereka tak bisa bernafas dengan lega."

Sang cucu tersenyum.

"Kepada manusia dalam keadaan terselimut itulah Allah berfirman qum!
Berdirilah. Tegaklah. Mandirilah. Lepaskan diri dari ketergantungan dan ketertindihan. Untuk tiba ke tahap mandiri, seseorang harus keluar terlebih dahulu dari selimut. Ia tak akan bisa berdiri sendiri bila terus saja membiarkan diri terbungkus kaki tangannya serta terbungkam mulutnya."

Sang cucu tersenyum lebih lebar.

"Firman berikutnya adalah fa-andzir! Berilah peringatan. Lontarkan kritik, teguran, saran, anjuran. Ciptakan kekuatan untuk mengontrol segala sesuatu yang wajib dikontrol." - Sampai di sini Kiai Sudrun tiba-tiba tertawa cekikikan - "Syarat untuk sanggup memberi peringatan ialah kemampuan untuk mandiri. Syarat untuk mandiri ialah terlebih dahulu keluar dari selimut.
Namun pada masa itu, cucuku, betapa banyak nenek moyangmu yang tak memperhatikan syarat ini. Mereka melawan kekuasaan padahal belum bisa berdiri tegak. Mereka mencoba berdiri padahal masih terbungkus dalam selimut... " - tertawa Kiai Sudrun makin menjadi-jadi.

Disusul kemudian oleh suara tertawa cucunya, "Kakek luar biasa!" katanya, "Kakek memang cerdas luar biasa!"

"Apa maksudmu?" bertanya Kiai Sudrun di tengah derai tawanya.

"Kakek menirukan hampir persis segala yang kuceritakan kepada kakek tadi malam dari buku-buku kuliahku."

Mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal.
1987
(Emha Ainun Nadjib/"Kiai Sudrun Gugat"/GraffitiPresss/PadhangmBulanNetDok)
Label: membaca
SELASA, 19 MEI 2009
Lawakan sahabat kita itu sebenarnya amat serius. Dengan gaya amat santai dia mengungkapkan secara jitu soal - soal politik dan kepemimpinan. Itu terjadi di sebuah acara di kota Bandung.
"Saudara - saudara sebangsa setanah air!" ucapnya, "kumpul kebo sungguh baik dan merupakan pilihan saya dalam pengelolaan tugas - tugas saya. Marilah kita selalu kumpul dengan kebo, baik kebodohan, kebohongan maupun kebobrokan..."

Acara itu menjadi amat semarak. Namun, pada hari - hari sesudah acara, saudara kita itu tidak nampak batang hidung maupun ekornya. Orang- orang mencari ke sana kemari, bahkan sampai ke kandang - kandang kebo, tak ketemu.

Saya sendiri menjadi sangat khawatir. Jangan jangan ia disruduk oleh seekor atau beberapa ekor kebo, atau setidaknya hidungnya dicocok seperti kebanyakan kebo.

Tak bisa saya berbuat apa - apa atas hilangnya sahabat kita itu. Akhirnya saya hanya berdoa semoga ia selamat dari kebonyokan- kebonyokan tertentu di wajahnya, semoga Allah melindunginya dari kebocoran - kebocoran di kepalanya, serta jangan sampai perut atau anggota - anggota tubuh yg lain menderita kebolongan kebolongan.

Sebab, 45 tahun yang lalu, Cak Durasim di Jombang, gara - gara berpantun, "Bekupon omahe doro, melok Nipon urip sengsoro..."-segera mengalami kebongkoan alias 'dut' alaias 'koid' oleh 'keboanjingan' serdadu Jepang.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan)
Apa alasanku untuk durhaka kepada-Mu, Allahku
Di malam dan siang telingaku mendengar desir lembut suara malaikat-Mu
yang mendendangkan nyanyian-Mu yang melezatkan jiwaku
Di siang dan malam mripatku menyaksikan rahmat-Mu
bertaburan dari langit beribu penjuru.

Jika Engkau bukan Sang Maha Tanpa Pamrih
pastilah bangkrut aku
Jika atas segala anugerah-Mu harus kupersembahkan balasan,
maka tiadalah yang akan mampu aku persiapkan.

Segala yang tergenggam di tanganku adalah milik-Mu,
bahkan tak juga kumiliki diriku sendiri,
karena Engkaulah Maha Empunya semuanya ini.

Maka jika kupasrahkan seluruh jiwa ragaku
bukanlah aku memberikan sesuatu kepada-Mu,
melainkan sekedar menyampaikan hak-Mu.
Dan jika aku memberikan sesuatu kepada keluargaku,
kepada para tetangga dan sekalian orang di dalam jangkauanku,
tak lain itu hanyalah menyalurkan milik-Mu,
agar sampai pada akhirnya ke haribaan-Mu.

Apa alasanku untuk durhaka kepada-Mu, Allahku
Engkau Maha Memberi, tanpa meminta:
aku lah yang membutuhkan penyerahan segala sesuatu ke hadapan-Mu.
(Emha Ainun Nadjib/"Syair-syair Asmaul Husna"/PadhangmBulanNetDok)
Aku melihatmu berdiri di tepi jalan raya
Tapi aku tahu sebenarnya engkau tak berdiri, engkau
adalah sehelai daun tua yang melayang-lauang
oleh hembusan angin besar
Engkau tercampak dari sudut ke sudut, dari parit
ke parit, dari kegalauan ke ketidakmenentuan
Caramu berdiri gamang, kerut merut wajahmu tak kuasa
menahan desakan-desakan jiwa tersembunyi, dan
sorot matamu memandang tak ke mana-mana selain
ke balik rahasia sajak dukamu sendiri
Dimanakah engkau bisa temukan hamparan tanah untuk
mendirikan rumah buat hati puisimu yang lunglai?
Pembangunan tak mendukung manusia, kantor dan toko-
toko tak menghendakinya, kendaran di jalanan
tak menghampirinya
Kekuasaan di tengkukmu tidak menyangga janji-janjinya
sendiri, kertas-kertas birokrasi memeras alam dan
darah berjuta saudara-saudarimu, untuk secara
sejarah menyelenggarakan bunuh diri
Aku melihatmu berdiri di tempat yang tak menghendakimu
berdiri, aku melihatmu berdiri di tempat yang
akan mengusirmu pergi
Aku melihatmu berdiri di tepi jalan raya, tetapi siapakah
engkau dan apakah jalan raya, lajur-
lajur, highway, derap pembangunan, mobilitas,
dan gegap gempita?
Adakah trotoar buat manusia, angkring kakilima untuk
puisi dan suara jiwa yang sejati?
Sajakmu tak kunjung lahir, sebab penggusuran kemanusiaan
tidaklah ke pulau seberang, melainkah jauh
ke ruang hampa batin rakyat yang kebingungan

18 Mei 1991
(Emha Ainun Najib/1991/PadhangmBulaNetDok)
Dzu Walayah lenyap dari rumah kediamannya tanpa seorang pun mengerti ke mana ia pergi, terkadang bahkan dalam waktu yang lama sekali.

Ia selalu berpamit kepada istrinya dengan kata-kata yang sukar dipahami, "Aku wajib meluangkan waktu untuk menemui saudara-saudaraku dalam sunyi!"

Orang-orang, karena amat sibuk oleh kerja, uang dan gengsi, tak pernah punya kesempatan untuk mengenali siapa sebenarnya ia.

Sebagian menyimpulkan ia gila, sebagian lain menyebutnya sebagai orang yang gemar mencari perkara, lainnya lagi beranggapan bahwa ia adalah lelaki yang suka berkhalwat dan bergaul dengan rasa derita.

Aku membuntuti Dzu Walayah di suatu siang yang amat terik, berjalan menyusuri jalanan, berpakaian kumuh, tak memakai alas kaki dan wajahnya bagai orang kesakitan.

Ini adalah zaman modern yang efisien dan efektif di mana setiap orang memusatkan diri pada pencarian kejayaan dan kemegahan: oleh karena itu terhadap perangai lelaki itu aku sungguh penasaran.

Di suatu lorong yang sepi tiba-tiba saja ia membalikkan badan dan memergokiku.

Tapi sebelum sempurna kuurus rasa kagetnya, terdengar ia berkata, "Mari, nak, berjalan saja bersamaku. Kalau dibuntuti, aku selalu merasa seperti seekor binatang berbuntut."

Hampir aku tertawa oleh kata-katanya, tapi karena aku salah tingkah, spontan kuikuti saja ia melangkah.

"Aku selalu mencari kesempatan untuk bertemu dengan anak-anak yatim," katanya tanpa kuminta.

"Kenapa tidak langsung ke rumah-rumah panti asuhan anak-anak yatim?" aku bertanya.

"Ke sanalah memang sebagian dari perjalananku. Kasihan anak-anak itu.
Tinggal di rumah yatim. Rumah yang selalu mengumumkan kepada orang banyak bahwa ia adalah tempat anak-anak yatim."

"Kenapa kasihan, wahai Dzu Walayah?"

"Karena dengan begitu anak-anak asuh itu tiap hari disuruh merasa yatim.
Disuruh merasa tak punya orangtua. Padahal tujuan panti asuhan adalah mengembangkan perasaan aman pada anak-anak itu agar mereka sama dengan anak-anak lain yang punya orangtua."

Ternyata apa yang terjadi pada lelaki ini adalah sesuatu yang sederhana saja.

"Jadi," kataku, "kalau soalnya hanya demikian saja, untuk apa Anda lara lapa berjalan kaki, berpakaian kumuh dan berlaku seperti ini?'

"Pertama karena aku ingin memasuki jiwa anak-anak itu. Kedua aku ingin merasakan keyatiman yang dahsyat: dengan penampilan seperti ini, bahkan anak-anak yatim pun tak menerimaku. Aku tak sanggup berbuat apa pun untuk menyantuni atau mengurangi jumlah anak-anak yatim. Oleh karena itu aku memohon kepada Allah hendaknya diperkenankan setidaknya menemani situasi
jiwa mereka."

"Di dunia ini," ia meneruskan, "Allah memuliakan sebagian dari hamba-hambanya dengan menakdirkan mereka menjadi anak-anak yatim. Setiap Muslim wajib menyantuni anak-anak yatim, baru kemudian orang miskin. Itulah tanda kemuliaan anak-anak yatim. Merekalah unsur penguji apakah kita mendustakan agama atau tidak."

"Anak-anak yatim adalah kendaraan utama yang bisa kita naiki untuk mencari keluhuran. Tetapi hanya Allah yang berhak meyatimkan seseorang, sebab tindakan peyatiman oleh Allah itu disertai dengan akal budi dan fasilitas yang diberikan kepada orang-orang lain untuk menyantuni anak-anak yatim."

"Adapun di dunia yang disebut maju dan modern ini, sebagian pekerjaan penting dari manusia adalah meyatimkan anak-anak, bahkan anak-anak mereka sendiri. Orang-orang modern di kota-kota amat sibuk bekerja sehingga anak-anak mereka teryatimkan. Kapan saja seorang anak tidak memperoleh
perhatian, cinta kasih dan santunan dari orangtuanya, pada jam-jam itu ia menjadi yatimm. Kalau bapaknya sibuk rapat dan ibunya sibuk arisan, kau bisa hitung sendiri berapa jam sehari anak itu menjadi yatim piatu. Anak-anak yang diyatimkan oleh orang-orangtuanya itu lantas mencari orangtua di dunia abstrak, mencari cinta kasih di tempat-tempat yang mmereka tak tahu bagaimana mencarinya. Mereka menjadi berandal di jalanan, tidak peka terhadap batas baik buruk, tidak terlatih bagaimana berlaku baik. Mereka tidak terdidik menghargai sesama manusia, karena bahkan oleh orangtua mereka sendiri mereka kurang dihargai sebagai manusia. Anak-anak yatim seperti itu,
yang kalau bertemu denganku selalu merasa jijik, memandang rendah, bahkan mungkin meludah. Tetapi ketahuilah bahwa tak ada orang yang lebih menanggung dosa perilaku dan sikap anak-anak itu selain orang-orangtua mereka sendiri."

Telah amat jauh kami berjalan, dan perutku sudah amat terasa kelaparan, tetapi Dzu Walayah terus menyerbuku dengan pernyataan-pernyataan -

"Adapun engkau pastilah anak yang berpikiran cerdas untuk mengetahui betapa banyak jenis keyatiman di dunia maju yang gegap gempita ini."

"Jika anak-anak tak memperoleh pendidikan seperti yang Allah memberinya hak dan kewajiban, yatimlah ia. Jika orangtua terlalu mendikte anaknya dan menjadikan anak itu hanya sebagai alat dari kemauannya, yatimlah ia. Jika suatu tata perekonomian memberi kemudahan yang berlebih kepada sebagian orang dan memberi kesulitan yang berlebih kepada sebagian lainnya, maka yatimlah orang yang disukarkan. Jika suatu tata politik tak menyediakan ruang bagi anak-anak negerinya untuk mengembangkan pikiran dan sumbangan jujur bagi kemajuan negerinya, maka yatimlah pura-putri negeri yang mulutnya dibungkam itu."

"Betapa melimpah anak-anak yatim di sekitarmu, Nak. Jika kau bisa ubah, ubahlah. Tapi setidaknya berdzikirlah untuk mengingat mereka, seperti yang kulakukan dengan caraku sendiri ini."
(Emha Ainun Nadjib/1987/PadhangmBulanNetDok)
Kalau Anda menggenggam sebutir telor, dan beberapa puluh detik kemudian telor itu menjadi matang...
Kalau Anda mengikat roda kereta api, dan tali pengikat itu Anda gigit kemudian roda itupun terangkat dan Anda ayun-ayunkan...
Kalau ayam Anda dicuri oleh maling, dan Anda nge-sot : "Kalau dalam waktu sehari semalam ayam tak dikembalikan, si maling akan lumpuh!" -- sehingga ia lumpuh benar-benar...
Kalau Anda mengisikan jarum, pisau atau keranjang ke dalam perut seseorang yang Anda benci atau cemburu...
Kalau Anda letakkan telapak tangan dua sentimeter di atas meja dan Anda angkat meja itu tanpa menyentuhnya...
Kalau anda memangkas nyala api dan membelah air...
Kalau Anda memimpin rapat penting semalam suntuk, dan pada saat yang sama Anda beredar bersama kelompok siskamling...
Kalau Anda mengucapkan Assalamu'alaikum kepada seekor anjing dan anjing itu menjawab dengan gerak tubuhnya, atau Anda ,menatap mata harimau sehingga ia berlari tunggang langgang...
Kalau anda tahu persis siapa tamu yang sejam lagi datang ke rumah Anda dan mengerti maksud buruk atau baik yang dibawanya...
Kalau Anda mengobrol dengan Ibunda yang bertempat tinggal 300 km dari rumah domisili Anda...
Kalau Anda menggerakkan pasukan lebah untuk menyerbu musuh yang hendak memasuki wilayah Anda...
Kalau Anda mengembara semalaman dengan Khidir penggembala utama para wali Allah yang selalu hidup tersembunyi...
Itu tidak aneh. Itu nyata dan tidak aneh.
Itu wajar dan rasional. Itu lumrah dan ilmiah, meskipun ilmu yang kita ketahui belum tentu mampu menerangkannya, meskipun pengetahuan yang kita kuasai belum tentu sanggup membeberkannya.

Manusia itu lebih tinggi kemampuannya dibanding alam. Manusia memiliki rahasia kemampuanyang mengatasi alam. Apabila hijab rahasia itu terbuka, maka manusia bukan saja menjadi transendental atau bebas dari kungkungan alam, tapi juga sekaligus berarti ia menapak ke maqam lebih tinggi yang semestinya memang ia tempuh.
Manusia bahkan adalah mahluk Allah yang lebih tinggi derajat kemakhlukannya dibanding para malaikat yang kita kenali sebahai gaib.

Tetapi, kalau kemampuan dan rahasia, difestivalkan, dilombakan: itulah yang aneh. Apa haknya untuk memamerkan barang yang bukan miliknya? di mana muka manusia ditaruh dihadapan Tuhannya ketika ia memamerkan dan mantakaurkan anuugrahNya?
Hanya siswa-siswi Taman Kanak-kanak yang masih pantas untuk pamer gaya dan suara.
Sesudah bernyanyi, semua teman-teman bertepuk tangan. Tetapi ketika berangkat dewasa, anak-anak itu belajar tahu bahwa suara itu bukan miliknya. Tak seorang manusia pun bisa menentukan atau memilih warna suaranya, bentuk tubuhnya, cakep-tidak wajahnya, dimana ia lahir, menjadi anak siapa atau putra daerah mana.
Allah yagn menentukan dan memilihkan.

Tetapi kita memang tanpa malu-malu, di dunia ini, menjual milik-milik Allah itu untuk kepentingan pribadi, dengan anggapan seolah-olah diri kita ini seluruhnya adalah hak milik kita.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)
Di dalam tasbihnya, para Malaikat Allah senantiasa mendendangkan rasa iba mereka kepada manusia:

"Ya Allah, jika mereka menjahati sesamanya karena kejahatan, perintahkanlah kami untuk mencuci jiwa mereka, karena untuk hati jahat kami tidak berani memohonkan ampunan bagi mereka kepada-Mu. Namun jika mereka mengingkari-Mu karena kebutaan dan kebodohan, turunkanlah ampunan-Mu yang berupa cambuk yang membangunkan akal mereka"
"Ya Allah selamatkanlah manusia dari ketidakmengertian mereka atas diri mereka sendiri serta dari ketidakpahaman pergaulan di antara sesama mereka, sehingga mereka saling menghisap dan menghardik, memukul serta menginjak satu sama lain"
Namun seringkali para Malaikat itu tersenyum sendiri dan bergumam:
"Ya Allah, apakah Engkau pernah memberi wewenang kepada sejumlah manusia untuk berperan sebagai Engkau, sehingga semua manusia lainnya hanya Engkau perkenankan untuk patuh kepada sejumlah orang itu, tidak Engkau izinkan untuk bertanya dan Engkau larang untuk membantah?"

Kemudian senyumnya hilang dan ia meratap:
"Ya Allah, manusia tidak akan pernah sanggup memahami keadilan-Mu dan tak bakalan mampu memaknai kehendak-Mu. Ya Allah, mereka tiap hari merenung dengan hati sedih: kenapa orang yang bagi mereka harus Engkau angkat naik ke derajat nikmat-Mu malah Engkau biarkan terkapar di kubangan, dan kenapa orang yang menurut mereka seharusnya segera Engkau hukum dan Engkau jatuhkan, malah Engkau pelihara dan manjakan?"
Ada kalanya terdengar oleh para Malaikat itu suara Allah:
"Siapa bilang ia belum jatuh? Sudah lama ia terjerembab dan hampir terkeping-keping di jurang kerendahan!
Siapa yang membuatnya percaya bahwa kiniia sedang duduk di kursi kejayaan, sedangkan kemenangan yang ia nikmati itu membuatnya hina sebagai manusia
Hamba-hambaku berdoa agar Aku tidak terlalu mengacuhkannya dengan membiarkannya merasa takut dan menyangka akan dilindas kehancuran sesaat lagi, padahal kehancuran telah menjadi pakaian kebesaran sehari-hari orang itu
Hambaku yang tetap buta sampai hari tuanya itu percaya bahwa singgasana yang tak tergoyahkan adalah kekokohan, padahal itu adalah kekalahan yang amat memalukan dalam pertarungan melawan hakikat hidupnya sendiri
Ia yakin bahwa segala yang ia miliki serta caranya menghisap dan menimbunnya dari tanah yang bukan miliknya itu adalah kecanggihan, padahal itulah kedunguan yang bersarang di otak manusia sejak zaman purba
Ia menikmati jari-jemarinya memainkan seribu wayang, ia gerakkan ke kiri dan ke kanan, ia angkat dan campakkan, ia gebug dan lemparkan. Ia menyangka sedang berpesta kekuasaan, kepandaian dan harta, sedangkan yang ia lakukan sebenarnya adalah membuang habis jatah hari depannya sendiri di dalam kehidupan sejati yang Aku sediakan

Ia merasa sedang membangun menara-menara, monumen-monumen dan makam keistanaan, sedangkan yang ia tumpuk sesungguhnya adalah batu-bata kerendahan, yang ia gali sesungguhnya adalah kubangan sejarah bagi nama buruknya sendiri yang kelak disebut-sebut oleh jutaan anak cucu dengan hati mengutuk"
Kemudian para Malaikat itu seolah-olah meneruskan sendiri kalimat-kalimat-Nya:
"Maka sambil kau impikan agar ia memulai bangkit dari kehancuran di kubangan itu, dengarkanlah kembali suara ruh-ruh dari gundukan-gundukan tanah di kuburan
bahwa jika seseorang tak bisa menghentikan dusta sampai di usia senjanya, ia akan kaget karena dibohongi oleh nasibnya sendiri
Bahwa kalau sekarang tak segera ia letakkan pisau penindasan itu, masa depan dan kematiannya akan berdarah-darah, kodrat dirinya akan diseret beribu orang di jalanan, dan namanya akan dijadikan tabung pembuangan ludah masa depan
Bahwa hari ini adalah hari puncak kegelapan
Bahwa gelap sedang menyempurnakan dirinya
Kemudian asap yang mengepul di depanmu itu akan segera menjelma api
Bahwa retak-retak gempa sejarah akan menggurat di wajahmu dan di bumi
Bahwa matahari akan segera selesai dipermandikan oleh putaran alam, untuk menghadirkan hari baru yang tak ia sangka-sangka"

1994
(Emha Ainun Nadjib/Doa Mohon Kutukan/Risalah Gusti/1995/PadhangmbulanNetDok)
Yang datang dengan ketulusan akan
bertatapan dengan wajahku yang sejati

Yang datang dengan kecurigaan akan
tersesat ke dalam semak-semak

Yang datang dengan kekeruhan Baginda Khidir
akan memain-mainkan kegelapan di matanya

Yang datang dengan kebencian Kanjeng Sunan Bonang
akan menggigilkan sukmanya

Yang datang dengan kebodohan yang
dieman-eman Pangeran Ali akan menyembunyikannya
di balik tembok

Yang datang dengan permusuhan malaikat
Syakhlatus-Syams akan mengikat tangannya

Tetapi yang datang dengan kemesraan akan
terangkut oleh gelombang lagu Daud

1994
(Emha Ainun Nadjib/Doa Mohon Kutukan/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
Label: yang datang
RABU, 06 MEI 2009
Yang bahaya dan ditakuti oleh penguasa bumi ini bukan Kaum Muslimin atau Ummat Islam. Yang kuat dan hebat juga bukan Ummat Islam. Tidak ada yang perlu ditakuti dari Ummat Islam. Biarpun Israel hanya sekabupaten yang bertetangga dengan sepropinsi negara-negara Islam, si kabupaten bisa berbuat apa saja.
Jangankan sekedar mengurung Yasser Arafat di dalam metoda Khondaq, jangankan sekedar mengancam dan mengebom Masjidil Aqsha, sedangkan kalaupun Ka’bah di Mekah dan Masjid Nabawi diduduki oleh kumpulan pasukan-pasukan penguasa dunia – akan tidak banyak yang bisa diperbuat oleh Ummat Islam.
Ummat Islam di timur tengah hidup dalam negara-negara suku yang secara ideologis dan sosiologis menyalahi prinsip universalisme-plural (rahmatan lil’alamin) yang merupakan inti ajaran Rasulullah Muhammad saaw. Ada kerajaan suku Arab Saudi, kerajaan suku Yordan, Kuwait, dlsb. Para khotib Jum’at selalu menyatakan rasa syukur “Kita panjatkan puja dan puji kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad saaw, yang telah membawa kita dari alam jahiliyah menuju alam nur yang terang benderang…”
Kalimat itu belum selesai, karena di ekornya masih ada anak kalimat “….kemudian sesudah Muhammad tiada, kita kembali ke dunia jahiliyah….”
Ummat Islam Indonesia yang jumlahnya terbesar di dunia juga terbagi dalam berbagai suku dengan fanatisme, kebanggaan dan egosentrismenya masing-masing. Ada suku NU, suku Muhammadiyah, suku darul Arqam, suku PKB dan sub-sukunya, suku PPP dan sub-sukunya, suku PBB, PK dan banyak lagi. Firman Allah “syu’ub wa qaba-il” itu bukan hanya bermakna genekologis atau antropologis – tetapi juga melebar ke berbagai segmentasi sosial yang jumlahnya tak terbilang. Bahkan di dalam suku-suku Ummat Islam terdapat pula sub-suku Yahudi, Nasrani, Sekuler, Kebatinan dan macam-macam lagi – sekurang-kurangnya dalam cara pandang dan pola sikap kesejarahannya.
Sungguh mengasyikkan isi dunia ini, dan Ummat Islam di muka bumi seluruhnya atau khusus di Indonesia, dengan modal dasar kebanggaan suku – tidaklah akan mampu berbuat banyak kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Jika kekuatan di luar mereka memusuhinya, Ummat Islam akan kalah, dan jika kekuatan di luar dirinya itu bersahabat dengannya – Ummat Islam akan lebih kalah lagi.
Dan kalau terhadap persepsi saya ini Ummat Islam marah, maka menjadi terbukti bahwa ternyata keadaan mental dan budaya Ummat Islam jauh lebih parah disbanding yang tergambar dalam uraian ini.
***
Yang ditakuti oleh dunia, sekali lagi, bukanlah Ummat Islam, melainkan kebenaran nilai-nilai Islam. Oleh karena itu nanti zaman demi zaman akan berlalu, dan jika Ummat Islam dimusuhi, lantas mereka ada yang melawan, ada yang tidak melawan dan bahkan banyak yang justru menjadi alat untuk memusuhi Islam sendiri meskipun si alat ini naik haji 19 kali dan dikenal sebagai tokoh Islam – maka para penguasa dunia itu tidak akan bisa dikalahkan oleh Ummat Islam, melainkan akan dieliminir dan ditaklukkan secara ridho oleh nilai-nilai Islam sendiri yang tumbuh diam-diam dari dalam diri mereka sendiri.
Anda tidak perlu percaya pada kata-kata saya ini tetapi juga sebaiknya tak usah tidak percaya, daripada kelak Anda mundur isin untuk mengakuinya. Sebagaimana kepada sorga dan neraka Anda tidak saya tuntut untuk percaya, tetapi sebaiknya juga tak usah repot-repot tak percaya – supaya kelak kalau ada sorga beneran Anda tidak malu-malu kucing untuk mendaftar masuk ke dalamnya.
Sekarang para penguasa dunia silahkan berbuat semaunya kepada Ummat Islam. Ummat Islam bisa dibunuh, ditembaki, dimusnahkan dengan tidak terlalu sukar karena dari segala segi maintenance peperangan, Ummat Islam kalah mutlak. Tetapi yang tak bisa diapa-apakan adalah nilai Islam. Sebab kandungan nilai Islam tidak bisa ditembak atau dibom. Nilai Islam terletak di lubuk hati setiap orang yang memusuhinya.
Jadi kalau, umpamanya, Anda ingin menangkap saya, memenjarakan saya, membunuh saya, memberangus pekerjaan sosial saya, mengucilkan saya, menghancurkan eksistensi saya, membuang saya, membakar nama saya, menginjak-injak harga diri saya, menendang kepala saya, bahkan melabuh abu bakaran mayat saya di pantai selatan – sedikitpun Anda tidak akan mendapatkan kesulitan. Sebab saya sangat lemah. Tetapi yang tidak akan terbunuh adalah keyakinan yang saya jalani, sebab keyakinan itu juga berdomisili di dalam diri Anda sendiri.
***
Nilai Islam sangat ditakuti eksistensinya oleh para penguasa dunia, tetapi Ummat Islam atau Kaum Muslimin amat diperlukan oleh mereka.
Para penguasa dunia sangat membutuhkan Ummat Islam, tidak akan membiarkan Ummat Islam kelaparan, tidak membiarkan Ummat Islam kehilangan tokoh serta penampilan formalnya. NU, Muhammadiyah, MUI atau apa saja, harus terus ada, jangan sampai tidak ada.
Kalau Ummat Islam sampai mengalami busung lapar dan musnah, itu akan merugikan para penguasa dunia, karena dengan demikian mereka tidak punya partner untuk menjalankan dialektika kekuasaan. Ummat Islam harus tetap eksis di muka bumi, sebab penguasa dunia membutuhkan budak dan orang-orang jajahan. Budak jangan sampai ndak makan dan loyo, sebab kalau loyo ndak bisa diperintah-perintah. Kalau kelaparan tidak enak ditempelengi.
Ummat Islam dibutuhkan keberadaannya oleh penguasa dunia, dan manfaat keberadaan Ummat Islam adalah untuk proses penghancuran dan pelenyapan nilai-nilai Islam itu sendiri. Ummat Islam dipelihara, digurui, diajari, dididik untuk memiliki cara berpikir, cara bersikap dan cara hidup yang menghancurkan nilai-nilai Islam. Dan itu gampang dilaksanakan: kiai-kiai, ulama-ulama, cendekiawan muslim, mahasiswa islam, jurnalis, budayawan seniman, warga ormas keislaman, anak-anak muda Islam dll – sangat gampang digiring menjadi pegawai penghancur nilai-nilai Islam.
Ummat Islam harus dipelihara keberadaannya, sebab mereka yang sangat effektif untuk mempermalukan nilai-nilai Islam. Kalau ada kelompok Muslimin yang membangun kesejukan, kebersamaan, demokratisasi, egaliterisasi, defeodalisasi, menegakkan cinta kasih social – jangan diberi ruang di pemberitaan media massa dan peta opinion making – sebab mereka ini kontra-produktif untuk proses mempermalukan nilai-nilai Islam.
Yang dibutuhkan oleh penguasa dunia adalah Muslim Ekstrem, radikal, ngamukan, berkepala batu, bodoh, terbelakang, suka mengancam, hobi mengasah pedang. Rumus baku di kampus, media massa dan internet adalah “Islam harus ekstrem”. Mosok Islam ndak ekstrem. Islam ekstrem adalah Islam ideal bagi para penguasa dunia, sebab memang itulah senjata bumerang paling ampuh untuk mengeliminir ketakutan mereka terhadap kebenaran nilai Islam.
Untuk menciptakan muslim ekstrem, maka harus dilaksanakan sejumlah kecurangan opini dan ketidakadilan di bidang-bidang politik, hukum, ekonomi dan kebudayaan. Kalau orang disakiti terus menerus, pasti lama-lama ia akan menjadi keras dan gampang dipancing untuk mengamuk.
Di setiap segmen social, di tempat kerja, di lingkungan birokrasi, di kampus, di kampung dan di manapun saja – harus terus menerus diciptakan pencitraan bahwa orang Islam itu suka menindas. Orang Islam itu mayoritas yang kejam. Meskipun kalangan Islam yang ditindas tapi opini yang dibangun harus sebaliknya.
Kalau ternyata dipancing-pancing dan dijelek-jelekkan kok orang-orang Islam itu masih saja bersabar, bersikap lembut dan merangkulkan kemesraan pluralisme – maka harus pada momentum-momentum yang berkala dan berirama harus diciptakan skenario seakan-akan ada tokoh ekstremis teroris – umpamanya Abu Bakar Baasyir -- yang diupayakan untuk dihardik terus menerus di media massa, dicari-carikan pasal untuk menangkap dan menghukumnya.*****
(Emha Ainun Nadjib/Jawa Pos/2002/PadhangmBulanNetDok)
karena mandul
diri serasa rasul
karena lemah
diri serasa allah

kubangun setinggi-tinggi gedung
sekadar untuk tumbang
segala ilmu berakhir ngungun
manusia terkucil di pengasingan

terima sajalah, jujunganku
hamba yang bidih dan dungu
sebab jika pintu tak kau buka
hendak cari tuhan ke mana

1986
(Emha Ainun Nadjib/"Cahaya Maha Cahaya"/Pustaka Firdaus/1996/PadhangmBulanNetDok)
Ada tiga model kebenaran yang bisa kita temukan. Pertama, model kebenaran yang dipakai sendiri: benarnya sendiri (benere dhewe). Kedua, kebenaran yang diakui banyak orang (benere wong akeh), dan, ketiga kebenaran hakiki (bener kang sejati).

Sejak mendidik bayi sampai menjalankan penyelenggaraan negara, manusia harus sangat peka dan waspada terhadap sangat berbahayanya jenis kebenaran yang pertama. Artinya, orang yang berlaku berdasarkan benarnya sendiri, pasti mengganggu orang lain, menyiksa lingkungannya, merusak tatanan hidup bersama, dan pada akhirnya pasti akan menghancurkan diri si pelakunya sendiri.

Benarnya sendiri ini berlaku dari soal-soal di rumah tangga, pergaulan di kampung, di pasar, kantor, sampai ke manifestasi-manifestasinya dalam skala sosial yang lebih luas berupa otoritarianisme, diktatorisme, anarkisme, bahkan pada banyak hal juga berlaku pada monarkisme atau teokrasi.
Benarnya sendiri melahirkan firaun-firaun besar dalam skala negara dan dunia, serta memproduk firaun-firaun kecil di rumah tangga, di lingkaran pergaulan, di organisasi, bahkan di warung dan gardu.

Tidak mengagetkan pula jika benarnya sendiri juga terjadi di kalangan yang yakin bahwa mereka sedang menjalankan demokrasi.
Ada seribu kejadian sejarah yang mencerminkan pandangan benarnya sendiri. Para pelaku demokrasi banyak menerapkan demokrasi berdasarkan paham benarnya sendiri tentang arti demokrasi itu. Orang yang selama berpuluh-puluh tahun diyakini sebagai seorang demokrat sejati, ditulis di koran-koran, buku-buku, digunjingkan di forum-forum nasional maupun internasional sebagai seorang demokrat teladan --ternyata pandangan-pandangan kolektif itu khilaf."
(Emha Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNet)
Dimensi ketercerahan jiwa manusia yang dimaksud oleh la yamassuhu illal muthahharun itu, kita misalkan ada tiga.
Pertama, ketercerahan spiritual. Kedua, ketercerahan mental.
Ketiga ketercerahan intelektual. Produknya adalah ketercerahan yang keempat, yakni ketercerahan moral.

Kita coba langsung saja ke empirisme sosial. Ada manusia atau pemimpin yang memperoleh pencerahan intelektual, pengetahuan dan ilmunya mumpuni, gelarnya sampai berderet-deret, aksesnya besar dan luas sebagai pelaku birokrasi sejarah kehidupan modern, maupun sekurang-kurangnya sebagai narasumber pengamatan. Akan tetapi effektivitas fungsinya bisa mandul, ternyata karena kecerahan intelektualnya tidak didukung oleh kecerahan spiritual dan mental.

Pintar, tapi mentalnya bobrok dan spiritualitasnya tak bercakrawala. Sehingga ilmunya berdiri sendiri. Perilakunya, habitatnya, keputusan-keputusan yang dibuatnya, tidak mencerminkan ketinggian dan kecanggihan ilmunya. Khalayak ramai akhirnya berkesimpulan bahwa semakin banyaknya orang pinter bukan hanya tidak kondusif untuk perbaikan negara dan bangsa, tetapi ada gejala malah memperburuknya. Dengan kata lain: produknya bukan moralitas kehidupan berbangsa yang baik.
Wallahua'lam.

Ada juga manusia atau pemimpin yang mentalnya bagus, teguh pendirian dan memiliki keberanian kejuangan. Kalau bicara tidak bohong, kalau janji ditepati, kalau dipercaya tidak berkhianat. Tetapi ia juga tidak banyak mampu berbuat apa-apa untuk menyembuhkan keadaan, ternyata sebab pengetahuannya terlalu elementer untuk meladeni kompleksitas keadaan.
Langkahnya keliru-keliru, sering naif, dan pada tingkat ketegasan tertentu ia malah tampak sebagai orang brutal, radikal, fundamentalis, ekstremis - justru karena terbiasa berpikir linier dan hitam-putih dalam memahami sesuatu.
Keadaan ini tidak ditolong pula oleh potensialitas keterbimbingan spiritual di dalam dirinya. Maka ia juga tidak banyak bisa menolong perbaikan moral bangsa.

Potensi yang ketiga adalah manusia atau pemimpin yang bisa dijamin kejujuran pribadinya, bisa diandalkan kesalihannya, kekhusyukan hidupnya, intensitas ibadatnya. Tetapi ia tidak bisa banyak berbuat untuk pertarungan-pertarungan sejarah yang luas. Ia seperti seorang eskapis yang duduk bersila dan berdzikir di gua persembunyiannya. Sebab ia tidak memiliki ketercerahan intelektual untuk memahami dunia yang dihadapinya, sehingga tidak pula bisa menerapkan kehebatan mentalitasnya, karena tidak ada agenda untuk menyalurkannya.
Hasil akhirnya, ia mandul terhadap perjuangan moral sosial.
Masing-masing dari yang saya uraikan di atas itulah manusia-sepertiga atau pemimpin-sepertiga. Cerah intelektual thok, cerah mental doang, cerah spiritual melulu. Bangsa kita memerlukan manusia pemimpin yang tidak sepertiga, tetapi utuh satu, meskipun mungkin saja kita harus melewati 'arisan kepemimpinan nasional', melewati satu dua pemimpin sepertiga lagi, yang harus dituruti karena masyarakat kita sedang shakao, dengan tagihan jenis narkoba kelompoknya masing-masing.

Yang pasti, dari manusia-sepertiga atau pemimpin-sepertiga, kita tidak bisa mengharapkan watak kearifan kemanusiaan, kenegarawanan, kematangan sosial, kecerdasan futurologis, serta kepekaan terhadap komprehensi kasih sayang dalam multi-dimensi kehidupan berbangsa.
(Emha Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNetDok)

Manusia belum tentu konstan berlaku sebagai manusia, bisa juga pada momentum tertentu, pada kondisi psikologis tertentu, pada situasi perhubungan sosial tertentu, pada peristiwa tertentu-- berlaku sebagai monster, kanibal, hewan, setan atau iblis.

Pemimpin belum tentu pemimpin, ia bisa seorang pemberang yang culas. Tokoh belum tentu tokoh, bisa juga ia seorang eksploitator yang penuh napsu. Panutan belum tentu panutan, ia bisa juga menjadi seorang penunggang dan kita kudanya.

Cendekiawan belum tentu cendekiawan, bisa juga ia manipulator logika dan kebenaran ilmu. Ulama belum tentu ulama, bisa juga ia tidak berbeda dengan blantik atau preman. Orang hidup musti sangat berhati-hati, penuh kewaspadaan pikiran dan kerendahan hati, supaya tidak terlalu sengsara dan luka parah.

Di dalam budaya Islam, bahkan orang yang menguasai ilmu agama Islam belum tentu seorang Muslim. Orang yang pintar mengaji belum tentu berkelakuan baik. Orang yang sedikit-sedikit beristighatsah dan bershalawat belum tentu gerakannya itu ada kaitan murni dan substansial dengan makna istighatsah dan shalawat. Orang pakai peci, surban, jilbab dan tasbih, belum tentu orang yang salih.

Ada yang namanya Islam-data. Khasanah ilmu dan wacana pengetahuan Islam dimasukkan ke dalam 'hard-disk' di otak seseorang sebagai directories of data. Seluruh isi Al-Qur'an, dengan software program yang sederhana, tidak memerlukan lebih dari 1-MB. Atau katakanlah bahwa seluruh ilmu dan pengetahuan yang menyangkut Islam - dari kandungan teologi, filosofi, ushulul-fiqh dan fiqh, semua hasil ijtihad dan apa saja --hanya memerlukan tidak lebih dari, sebutlah, 1 Giga-Byte.

Sedangkan otak manusia memiliki kelapangan memori dan kecanggihan operasional yang beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu persen melebihi kapasitas komputer yang paling mutakhir dengan segala jenis software-nya.

Seluruh data Islam di dalam diri seseorang bisa tersimpan begitu saja, dan tidak pasti loading pada operasional hati, batin, psikologi, kepribadian dan perilaku sosialnya. Singkat kata, orang yang sudah membaca syahadat belum tentu sudah 'bersyahadat'. Orang yang sudah mengucapkan sesuatu, tidak dijamin sudah melakukannya.

Kalau kita mengukur keislaman seseorang berdasarkan peta data simboliknya -katakanlah setiap data Islam di otak seseorang kita kasih extension " .isl " (dot isl), maka bisa saja pakaian sosial dan budaya seseorang penuh dengan dot isl, dot isl: tetapi itu tidak otomatis berarti ia seorang Muslim yang memberlakukan pada dirinya kesalihan atau kepemelukan empiris yang teguh di dalam kehidupan nyatanya.

Apalagi 'wajah' seorang tokoh bisa kita masukkan ke PhotoShop atau CorelPaint, kita manipulir melalui berbagai macam menu yang tersedia, maka nanti - melalui lalulintas pengolahan di RGV, Indexed Colour, CMYK, kita ciptakan layers, di mana wajahnya yang cacat bisa kita hapus, teksture-nya yang kasar bisa kita perhalus, ketersentuhannya dengan gambar kiri kanan yang 'tidak kondusif' bisa kita cropping. Kita bisa bikin image scenario dengan blur, distort, pengubahan pixel dsb.

Lantas kita print-out dan kita sebar ke masyarakat luas dan membuat khalayak terkagum-kagum.

Kalau yang kita sosialisasikan sekedar gambar, masih bisa diinvestigasi: apakah yang memangku dan dipangku itu orisinal ataukah animasi komputer. Tetapi kalau gambar yang kita maksud adalah citra sosial, dan software programnya adalah media opinion making, yang perekayasaannya canggih sedemikian rupa --maka duaratus juta rakyat suatu negeri bisa puluhan tahun tertipu olehnya.

Kemudian kita ribut dan bunuh-bunuhan. Dan tetap memelihara kebodohan untuk tidak belajar dari kebodohan.
(Emha Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNetDok)
Sesungguhnya yang disebut juara, atau eksistensi sebuah kemenangan -- itu hakekatnya tidak berlaku begitu sebuah pertandingan berakhir dan tanda kejuaraan disematkan kepada sang juara.
Sebuah tim olah raga atau seorang atlet memenangkan pertarungan melawan tim lainnya sehingga sesudah pertandingan ia dijunjung sebagai juara. Kalau sesusah penobatan gelar juara diselenggarakan lagi pertandingan antara kedua tim itu, maka tidak seorangpun bisa memastikan bahwa sang juara akan pasti menang lagi.
Di Manila tahun 1974 Joe Fraizer tidak sanggup bangkit dari kursinya untuk memasuki ronde ke-15 pertarungannya melawan Muhammad Ali, sehingga petinju Philadelphia ini dinyatakan kalah TKO dari Ali.
Yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa Muhammad Ali memiliki siasat dan kecerdasan yang Frazier tak punya. Keduanya sudah bertarung habis-habisan selama 14 ronde. Besoknya Frazier memuji – “Saya sudah timpakan kepada Ali ratusan pukulan saya yang biasanya merobohkan dinding, tetapi Ali tetap tegak…” – sehingga secara fisik maupun mental Frazier tidak lagi sanggup berdiri pada ronde ke-15.
Tetapi Ali masih punya sisa ruang berpikir. Secara fisik ia juga sudah lungkrah, bahkan mungkin lebih kecapekan dibanding Frazier. Tapi Ali punya kenakalan intelektual sehingga ia berkata kepada Tuhan : “Wahai Tuhan, tolong pinjamkan kepadaku sedikit saja tenaga yang Engkau jatahkan kepadaku untuk besok pagi, supaya aku bisa tampil di ronde terakhir ini dan besok aku tidur sepanjang hari…”
Maka ketika bel ronde ke-15 berdentang, Ali menggagah-gagahkan diri untuk berdiri dan berlagak seakan-akan ia fit dan siap berkelahi lagi – sementara Frazier terduduk lunglai dan tidak sanggup berdiri. Ali menang, tapi sesuai dengan janjinya pinjam tenaga kepada Allah – maka sesudah duel itu Ali terbaring di rumah sakit, sementara Frazier nyanyi-nyanyi dan berjoget di diskotek.
Jadi, kemenangan Ali itu relatif. Kalau sepuluh menit sesudah kemenangan Ali itu mereka diduelkan lagi, belum tentu Ali bisa menang. Kalau di piala dunia empat tahun lalu sepuluh menit sesudah Perancis menjadi juara lantas mereka dipertandingkan lagi, maka tak ada jaminan bahwa Perancis akan menang.
Lebih tidak bisa dijamin lagi jika waktu kemudian berlalu ke bulan dan tahun. Kemarin Anda menyaksikan meskipun Zidan dipaksakan main padahal masih belum OK benar keadaannya – terbukti kesebelasan Perancis hanya mampu tampil di ronde awal dan itupun secara sangat memalukan.
Jadi, sesungguhnya juara itu tidak ada.
Coa Anda pikirkan, apa logika kualitatifnya kalau kesebelasan produser total football Belanda tidak bisa ikut piala dunia sementara Arab Saudi saja bisa masuk meskipun dihajar Jerman dengan gol seperti pertandingan sepakbola kampung. Terus kesebelasan Italia? Betapa tidak konsistennya kekuatan dan kekuasan dalam kehidupan manusia di muka bumi ini.
Maka ketika kaya, sadarilah miskinmu. Tatkala menang, sadarilah kalahmu. Di waktu jaya, renungilah keterpurukanmu. Pada saat engkau hebat, ingat-ingatlah kemungkinan konyolmu….***
(Emha Ainun Nadjib/Jawa Pos/2002/PadhangmBulanNetDok)
Dalam terminologi yang sederhana, wacana utama kriteria kepemimpinan sekurang-kurangnya harus melingkupi tiga dimensi: kebersihan hati, kecerdasan pikiran, serta keberanian mental.

Jika pemimpin hanya memiliki kebersihan hati saja, misalnya, tanpa didukung kecerdasan intelektual dan keberanian, maka kepemimpinannya bisa gampang stagnan. Begitu pula sebaliknya.
Jika pemimpin hanya memiliki kecerdasan belaka tanpa didukung kebersihan hati dan keberanian, maka jadinya seperti di 'menara gading' alias monumen yang bukan hanya tanpa makna, tapi juga nggangguin kehidupan rakyatnya. Apalagi, jika pemimpin hanya memiliki keberanian saja tanpa kebersihan hati dan kecerdasan, maka akan menjadikan keadaan semakin kacau dan buruk.

Sebenarnya, kriteria kepemimpinan sama persis dengan kriteria manusia biasa atau orang kebanyakan, Kalau omong tentang pemimpin, sebaiknya jangan muluk-muluk. Berpikir sederhana saja. Misalnya. syarat menjadi suami. Pertama, harus manusia.
Kedua, harus laki-laki. Baru yang ketiga, keempat, dan seterusnya.

Syarat suami harus manusia itu banyak tak diperhatikan orang, padahal jelas banyak suami berlaku seperti ia bukan manusia.
Bertindak hewaniah kepada istrinya, juga kepada orang lain.
Bukankah menjadi manusia itu sendiri saja sudah sedemikian sukarnya? Kenapa kita punya spontanitas untuk mentertawakan dan meremehkan bahwa syarat menjadi suami itu harus manusia?

Jadi, syarat menjadi Presiden atau Lurah itu ya sedehana saja: harus manusia. Sebab ratusan juta rakyat di muka bumi sengsara dalam berbagai era sejarahnya, gara-gara pemimpin negaranya berlaku tidak sebagaimana manusia, padahal semua orang sudah menyepakati bahwa ia manusia. Bukankah perilaku kebinatangan itu sebenarnya peristiwa jamak dan 'rutin' dalam konstelasi perpolitikan dan kekuasaan? Juga persaingan ekonomi?

Dulu saya bangga hanya ada istilah political animal dan economic animal, tidak ada cultural animal. Saya bersombong yang punya kecenderungan kebinatangan hanya pelaku politik dan ekonomi, kebudayaan tidak. Tapi ternyata itu salah. Cultural animal juga bukan main banyaknya. Termasuk di bidang kesenian, hiburan, informatika dll. Mungkin sekali termasuk saya sendiri.

Kemudian syarat menjadi suami yang kedua adalah harus laki-laki. Ternyata banyak suami berlaku tidak laki-laki. Ia jantan ketika di ranjang, tapi tidak dalam mekanisme politik rumah tangga, tidak di dalam pergaulan. Betapa banyaknya lelaki yang ternyata betina, yang berlaku tidak fair, curang, culas, suka mengincar, menyuruh bikin kerusuhan supaya nanti dia yang jadi pahlawan, merancang membakar gedung parlemen supaya bisa bikin dekrit, dan lain sebagainya.

Meskipun, dari sudut ideologi pembelaan kaum perempuan, saya tidak mantap dengan etimologi dan filosofi kebahasaan kita.
Kenapa orang yang jujur kita sebut jantan, yang pengecut kita sebut betina atau perempuan. Bukankah kejantanan yang dimaksud di situ bisa juga dilakukan oleh wanita? Bisa saja ada lelaki betina dan perempuan jantan. Jadi yang dimaksud pemimpin harus laki-laki bukan dalam pengertian fisik, melainkan dalam pengertian kepribadian. Tolonglah ada gugatan kepada Pusat Bahasa.
(EMHA Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNetDok)
Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta disegala macam yang diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah Latif rnengajak para santri untuk sesering mungkin bershalat malam.
Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat "iyyaka na'budu..." Abah Latif biasanya lantas menangis tersedu-sedu bagai tak berpenghabisan.

Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan "wa iyyaka nasta'in..."
Banyak di antara jamah yang bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.

"Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar", berkata Abah Latif seusai wirid bersama, "Mengucapkan kata-kata itu dalam al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan. 'Harus' di situ titik beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah hakekat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain di dalam hakekat itu"'.
"Astaghfimllah, astaghfirullah", geremang turut menangis mulut parasantri.
"Jadi, anak-anakku", beliau melanjutkan, "apa akar dan pijakan kita dalam mengucapkan kepada Allah iyyaka na'budu?"
"Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan bimbingan Allah itu sendiri, Abah?", bertanya seorang santri.
"Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan kehidupan".
"Belum jelas benar bagiku, Abah".
"Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan kenyataan". "Astaghfirullah, astaghfirullah", geremang mulut para santri terhenti ucapannya, Dan Abah Latif meneruskan, "Sekarang ini kita mungkin sudah pantas mengucapkan iyyaka a'budu. Kepada-Mu aku menyembah. Tetapi Kaum Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepada-Mu kami menyembah, na'budu".
"Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita sebagai umatan wahidah. Ketika sampai di kalimat na'budu, tingkat yang harus kita capai telah lebih dari 'abdullah, yakni khalifatullah. Suatu maqam yang dipersyarati oleh kebersamaan Kaum Muslimin dalam menyembah Allah di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang kehidupan. Mengucapkan iyyaka na'budu dalam shalat mustilah memiliki akar dan pijakan di mana kita Kaum Muslimin telah membawa urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala urusan lain untuk menyembah hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku, betapa mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?"
"Astaghfirullah, astaghfirullah", geremang mulut para santri.
"Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi khalifatullah di dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan sungguh-sungguh tak berpenghabisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka nasta'in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada Allah, padahal dalam sangat banyak hal kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada hakekatnya melawan Allah".
"Astaghfirullah, astaghfirullah", gemeremang para santri.
"Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu. Kemudian peliharalah kepekaan dan kesanggupan untuk tetap bisa menangis. Karena alhamdulillah seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk menangis karena keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya".!

(Emha Ainun Nadjib/Panji Masyarakat/PadhangmBulanNetDok)
Negara menghendaki stabilitas.Masyarakat menghendaki ketertiban.
Sejarah menghendaki keamanan. Jiwa menghendaki ketenangan. Hati menghendaki keheningan. Mental menghendaki endapan. Dan seluruh kehidupan ini, di ujungnya nanti, menghendaki ketentraman, keheningnan, kemurnian.
Karena itu, agama menganjurkan kembali ke fithri.
Kita berdagang, berpolitik, berperang, bergulat, bekerja banting tulang,
bikin rumah, bersaing dengan tetangga. Yang tertinggi dari itu semua dan yang paling dirindukan olh jiwa, adalah "air bening hidup".
Hidup bagai gelombang samudera. Hidup bergolak. Segala pengalaman perjalanan Anda adalah arus air sungai yang mencari muaranya.
Masa muda melonjak-lonjak. Tapi masa muda berjalan menuju masa senja. Dan masa senja bukanlah lonjakan-lonjakan, melainkan ketenangnan dan kebeningan.
Maka, lewat naluri ataupun kesadaran, setiap manusia mengarungi waktu untuk pada akhirnya menemukan "air bening".
Ada orang yang dipilihkan oleh Tuhan atau memilih sendiri untuk mengembara langsung ke gunung-gunung dan menemukan sumber air murni. Orang lain menunggu saja saudaranya pulang dari gunung untuk dikasih secangkir kebeningan. Orang yang lain lagi menjumpai dunia adalah kotoran, maka ia ciptakan teknologi untuk menyaring kembali air itu dan menemukan kebeningannya.
Sementara ada orang yang hidupnya menyusur sungai, parit-parit kumuh, got-got, kubangan-kubangan. Sampai akhir hayatnya tak mungkin ia memilih sesuatu yang lain, karena mungkin tak punya kendaraan, tak punya kapal, bahkan tak punya sendal untuk melindungi kakinya dari kotoran-kotoran. Ketidakmungkinan itu mungkin karena
memang 'dipilihkan' oleh Yang Empunya Nasib, tapi mungkin juga didesak oleh kekuatan-keuatan zamn yang membuatnya senantiasa terdesak, terpinggir dan tercampak ke got-got.
Bagaimana cara orang terakhir ini menemukan air bening?
Di dalam sembahyangnya, permenungannya, penghayatannya, kecerdasannya serta kepekaan hatinya. Ia tahu tidak ada air yang tak bening.
Semua air itu bening. Tidak ada "air kotor", melainkan air bening yang dicampuri oleh kotoran.
Dengan menemukan jarak antara kotoran dengan air bening, tahulah ia dan ketemulah ia dengan sumber kebeningannya. Ia terus hidup di got-got, dan justru kotoran-kotoran itu makin menyadarkannya pada keberadaan air bening dalam got-got.
Adakah makna hal itu dalam kehidupan Anda?

(Emha Ainin Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/PadhangmBulanNetDok)
Siapakah yang memerintah jantungmu
Hingga berdenyut,
Atau tiba-tiba membeku
Di suatu sore yang kelabu ?

Siapakah yang sampai hari ini
Tak membiarkan darahmu berhenti
Atau mripatmu kelam dan telingamu tuli ?

Siapakah yang menghembuskan nafasmu
Memberi gerak bagi persendianmu
Untuk memungkinkanmu menapaki waktu ?

Siapakah yang menidurkanmu di malam sunyi
Sementara tak meneruskannya ke kekekalan abadi
Melainkan dibangunkannya engkau di fajar hari
Dan menyodorkan di hadapanmu
Rejeki yang tiada kunjung selesai
(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)
Sebab tergoda oleh betapa seru berita di koran serta oleh pengujian para tetangga, bertanyalah aku kepada penyairku, “Akir-akhir ini orang makin ribut tentang pelajaran dan mahasiswa kriminal. Aku bertanya benarkah puisimu tak membutuhkan tema semacam itu, atau tidakkah soal-soal seperti itu memerlukan puisi?”

“Aku tak paham apa yang aneh”, berkata penyairku, “Kalau mahasiswa mulai sanggup menjambret, kalau pelajar sudah berani mencuri odol, dan sikat gigi, kalau para calon pemimpin bangsa telah memiliki nyali untuk mencopet jam tangan dan mengutil sepatu: tak kumengerti apa yang perlu diherankan?”

Bukan. Bukan soal heran dan tak heran. Kami orang-orang awam terlalu sering dikagetkan oleh perkawinan antara dua hal yang semestinya jangan pernah bersentuhan.
Antara dunia penjambretan dengan dunia dunia keterpelajaran terbentang jarak yang bukan saja amat jauh, tapi juga bersungguh-sungguh. Kalau ada dua nilai yang saling bertentangan, namun berhasil dikawinkan secara damai oleh sejarah dan perilaku manusia: hanya penyair tuli yang tak tergoda untuk menuangkannya.

“Demi apa sehingga engkau menganjurkan puisi bergaul dengan hal-hal picisan?”, penyairku tertawa, “Para kaum terpelajar yang baru belajar menapakkan kaki, yang keterampilannya tanggung ? menggeledah tas teman kostnya, melarikan motor tetangganya, merencanakan penodongan,
perampokan, pembunuhan ? belum pantas dipuisikan.
Dunia kepenyairan tidak sedemikian rendah derajatnya.

Jagat kesenian memerlukan soal-soal besar, umpamanya kesepian hati atau kembang dan kupu-kupu di pagi hari.
Tapi baiklah. Kalau kaum terpelajar bersedia tak sedemikian tergesa-gesa. Kalau para pioneer sejarah
sanggup menahan emosi dan sedikit bersabar. Kalau para pemilik utama masa depan mau belajar baik-baik dan tunggu momentum yang tepat untuk kelak menjadi penjambret yang canggih tersenbunyi, tanpa orang tahu bahwa mereka adalah penjambret ? puisiku masih akan membukakan
pintunya untuk suatu tawar-menawar.”

Apa yang sesungguhnya hendak engkau ucapkan, penyairku?
Penyair amat berbakat merusak kehidupan karena begitu gampang menemukan kata-kata, bahkan pun untuk keadaan yang samar-samar baginya.

Malah mengeras tertawanya, “Samar-samar, katamu?”, ia mendongak, “Kalau mahasiswa mulai sanggup bertindak kriminal, apakah ia diajari oleh dirinya sendiri?
Ataukah ia dituntun oleh para pejambret yang mampu Melakukan penjambretan sedemikain rupa sehingga beribu-ribu orang tak merasa bahwa isi kantong kehidupan mereka terus dijambret dari hari ke hari?”

Kupikir itu bukan hanya sombong dan tergesa-gesa. Namun juga berangkat dari sangka buruk. Adakah kemampuan yang dahsyat dalam memotret sesuatu yang dimiliki penyair membuatnya tak membiasakan diri untuk bersabar, menyaring atau mengendapkan?

“Dengarlah”, ia mendongak lebih tinggi, “Kalau para kaum terpelajar mulai belajar mengerjakan kejahatan-kejahatan yang wantah, adakah engkau menyangka Tuhan memang mentakdirkan mereka demikian? Ataukah itu hasil godogan dari tata hubungan kehidupan yang menyediakan amat banyak lintah-lintah?
Dengarlah air mengalir tidak tiba-tiba sampai di muara.
Dan jika matamu memandang awan berarak, hendaklah engkau tatap juga samudera yang menghampar dan panas matahari yang memanggangnya. Mendung tidaklah mengepulkan dirinya sendiri dan kemudian hadir menyaput hari-harimu sebagai hantu yang tanpa asal-usul?”

“Kalau mahasiswa mulai sanggup menjambret di muka orang banyak,” ia tak memberiku kesempatan untuk menang-gapi, “Siapakah gurunya? Tangan siapakah yang melontarkan mata tombak kejahatan? Petani manakah yang menanamkan benihnya dan merabuki kesuburan tetumbuhan-nya? Kalau kaum terpelajar mulai sanggup melakukan tingkat kejahatan yang paling dangkal dan remeh,
Apakah karena mereka memang orang jahat?”

“Kebaikan dan keluhuran tidak diterjemahkan ke dalam buku-buku pelajaran. Gedung-gedun sekolah menyediakan laboratorium bagi anak-anak untuk menjadi pandai, dan tidak terutama untuk menjadi baik.
Mendaftarlah ke antrian kesempatan sekolah, tinggalkan anak-anak lain yang tolol dan tak punya biaya. Reguklah Tujuh samudera pengetahuan. Tapi untuk soal-soal bagaimana membangun kebajikan, sepenuhnya diserahkan kepadamu masing-masing ? apakah akan mencarinya di
balik tikar-tikar kumuh robek rumah-rumah ibadah, atau di pinggiran kaki lima-kaki lima kehidupan?”

“Kalau anakmu berangkat sekolah di pagi hari, mulutnya menganga untuk disuapi pengetahuan tentang kepandaian dan kemenangan, bukan kebijakan dan kebersamaan.
Anak-anakmu diajari berlari maju, melampaui dan meninggalkan anak-anak lain yang bersemayam di kesempitan-kesempitan hidup.
Anak-anakmu diajari untuk terampil memanjat melewati pundak teman-teman bermain mereka, beribu-ribu, berjuta-juta teman bermain mereka yang perjalanan hidupnya tercengkal.
Meninggalkan mereka semua yang mandeg di masa silam.
Pergi berlari, meniti daerah impian, menapaki tangga-tangga kehidupan yang lebih tinggi dan menjanjikan kemewahan.

Anak-anakmu diajari untuk mengalahkan yang lain.
Untuk melampaui dan meninggalkan sumber-sumber kesejarahan mereka sendiri, untuk meraih apa yang disebut derajat, kamukten dan kemenangan.
Anak-anakmu berbaris di halaman sekolah, berjajar di bangku-bangku kelas, punggung mereka dicambuk untuk berlatih menang ? dan jika kemenangan amat sukar diperoleh secara wajar ? sebab peluang untuk itu menjadi semakin sempit dan semakin sempit ? maka wajarlah jika mereka lantas menjegal siapa saja di sekitar mereka yang bisa dijegal: mencopet, menjambret, merampok,
di kampung, dijalanan”

“Adapun hal-hal yang menyangkut nasib orang lain, tenggang hati terhadap sesama, kesadaran utnuk meruwat keadilan dan kemuliaan ? tidak merupakan urusan utama di dalam butir-butir pelajaran dan baris-baris pengetahuan.

Adapun soal-soal yang berkenaan dengan tubuh besar kemanusiaan, keinsafan untuk nggemateni nilai dan keilahian ? hanyalah unsur pinggiran bagi pusat-pusat mimpi dan perjuangan untuk berlomba menang, kontes kemakmuran dan rekor-rekor kesejahteraan serta kemegahan”

“Anak-anakmu diajari untuk tidak mengerti apa-apa kecuali kepentingan diri sendiri. Tangan dan kaki anak-anakmu dilatih tidak untuk apa-apa kecuali untuk beringas memompa perut dan gengsinya sendiri.
Naluri anak-anak dididik untuk menindak dan memakan orang lain untuk cita-cita pribadi. Anak-anakmu dipacu untuk berpikir sebagai ego, di mana segala sesuatu di luar itu hanyalah amat bagi ego-ego.

Anak-anakmu dibikin tak paham kebersamaan. Anak-anakmu dididik untuk menjadi segumpal keasingan, tidak untuk menjadi seseorang di tengah berbagai orang.
Anak-anakmu dididik untuk menjadi pusat-pusat penghisap”

“Anak-anakmu diletakkan di dalam proses salah kaprah untuk berkembang menjadi penjambret-penjambret yang halus dan sophisticated Maka apabila ada di antara mereka yang kebelet melakukan
ketololan dengan menjambret di jalanan, itu hanyalah pertanda bahwa daerah-daerah untuk proyek penjambretan-penjambretan canggih sudah semakin menciut.
Anak-anakmu tidak terlalu siap untuk ragu-ragu terhadap kesempatan, untuk terlampau berjudi dengan hari depan yang samara-samar; sehingga hari ini juga mereka merasa harus memperoleh sesuatu, mendapatkan benda-benda, gengsi dan kenkmatan seperti yang dipunyai orang-orang lain”

“Gerbong-gerbong sekolah dengan sendirinya mengangkut mereka ke hari depan penjambretan struktural meskipun guru-guru mereka tak mengetahui hal itu.
Guru-guru mereka ? yang toh manusia sehingga tetap tersisa kemanusiaannya ? di luar paparan kurikulum, memberi nasihat bahwa penjambretan itu tidak baik. Tapi hendaklah kita catat bahwa di dalam negara dan perusahaan sekolah: penjambretan diajarkan, sedangkan kejujuran dan kebajikan hanya dianjurkan sesekali”

“Dan di manakah sejarah ini memiliki tempat bagi anak-anakmu dalam kehidupan?
Jika anak-anakmu berdiri memandang tanah menghampar, mereka membayangkan akan mendirikan rumah, garasi dan kolam renang. Jika di depan matanya tegak sebatang pohon, mereka berpikir untuk menebangnya. Anak-anakmu tidak dididik untuk menanam dan menumbuhkan, melainkan untuk
menguasai dan duduk di singgasana”

“Anak-anakmu bertengger di bawah batang timbangan yang timpang antara modal dan daya tawar menawar yang rendah dengan iming-iming hidup enak yang meneror mereka dari hari ke hari
Anak-anakmu dikepung oleh gegap gempita orang berebut kejayaan. Orang jegal-menjegal. Orang menyerimpung dan diserimpung. Anak-anakmu dikepung oleh uang dan kekuasaan yang menjadi bahasa utama dari yang mereka sangka kemajuan. Oleh pasal-pasal hokum yang diperjual belikan. Oleh ayat-ayat agama yang dijual eceran. Oleh tradisi penafsiran yang sepihak. Oleh pemaksaan yang damai, kemunafikan yang harmonis, manipulasi yang berwajah ramah, kepalsuan yang cerah dan penghisapan yang nikmat. Anak-anakmu makin tidak menemukan tempat untuk meneladani kejujuran. Anak-anakmu digiring memasuki komune tempat perzinaan missal dari sejarah yang
auratnya telanjang tapi wajahnya bertopeng”

Kutinggalkan penyairku. Tampaknya aku mulai memahami kepenyairan bukanlah sejenis bakat di mana kata-kata amat gampang ia temukan dan pilih. Kepenyairan adalah - hampir - ketidakmampuan menemukan kata. Sebab kata lebih sanggup mengaburkan kenyataan dibanding mewakilinya.
Dan penyairku, dengan ratusan kata-katanya itu, kukira telah berbuat curang terhadap realitas.

Tapi ia justru tertawa keras dan berkepanjangan ketika melepasku pergi, “Bagaimana engkau bias menjadi sedemikian tolol untuk menyangka bahwa urusan utama para penyair adalah kata-kata? Dengan kata-kataku itu aku tidaklah berkata-kata. Ini kehidupan”

1988.
(Emha Ainun Nadjib/"Sesobek Buku Harian Indonesia"/1993/Bentang Intervisi Utama/PadhangmBulanNetDok)
Nyenyak sekali tidur si calon Presiden kita itu. Markesot tersenyum-senyum sambil duduk menjagainya.
"Teruskan saja omong-omong kalian tadi", katanya.
Tetapi ndak bisa. Sudah terlanjur terpotong. Dan lagi mereka takut kalau si tamu nanti jadi terbangun oleh suara mereka. Sehingga akhirnya Markesot sendiri yang meneruskan omong. "Saya kebetulan tahu siapa dia", katanya.
"Orang gila dari mana?", tanya Markenyut.
"Bukan orang gila. Dia orang baik. Hatinya lembut. Selalu memikirkan keadaan masyarakat. Hatinya suka menangis menyaksikan orang yang menderita. Oleh karena itu tiap saat ia merasa dituntut untuk mengubah keadaan. Dan akhirnya dia mengambil kesimpulan bahwa cara yang paling praktis untuk mengubah keadaan adalah kalau dia menjadi Presiden..."
"Lho kok enak?", celonong Markembloh.
"Lho, jadi presiden kok enak gimana! ", jawab Markesot.
"Ya enak dong!"
"Enak dengkulmu! Jadi presiden itu susah. Ndak bisa hidup mbambung seperti kita. Mau tidur mlungker di trotoar depan toko seperti kita, ya mana mungkin. Dan lagi tanggungjawabnya terlalu besar, kalau salah sedikit saja dosanya bisa tak tertanggungkan. Lha wong mempertanggungjawabkan kepemimpinan atas diri sendiri saja susahnya kayak gini... Kalian merasakan sendiri betapa susahnya memimpin kepala, memimpin tangan, kaki, perut, syahwat...lha wong rambut saja sudah dipangkas-pangkas terus masih tidak kapok-kapok untuk tumbuh dan tumbuh lagl...”
"Tapi terus gimana cerita tentang Calpres Sunardi ini! ", desak Markedet.
"Ya pokoknya dia berkeinginan serius jadi presiden. Tujuannya untuk memperbaiki keadaan, menolong orang melarat, membela penduduk yang disalahi, pokoknya untuk mengerjakan segala sesuatu yang baik. Niat orang ini sangat murni. Tapi sayang sekali tidak diimbangi oleh pemahaman yang mencukupi tentang keadaan. Dia kan tahunya Presiden itu tertinggi pangkatnya, jadi dia yang paling pegang segala komando. Pokoknya kalau presiden bilang merah ya merah, biru ya biru. Dia tidak cukup waktu barangkali untuk mempelajari bahwa kehidupan ini tidak sederhana. Bahwa ada peta nilai yang ruwet. Ada konstelasi warna dan aliran. Ada pergulatan kekuasaan antara kelompok-kelompok yang tampak maupun yang siluman. Sebuah masyarakat, sebuah negara dan pergulatan-pergulatannya tidak sama dengan angon bebek di mana seorang penggembala cukup membutuhkan satu tongkat. Kesimpulannya, tamu kita ini terlalu simplifikatif dan pragmatis dalam melihat persoalan. Saya termasuk orang yang
tidak setuju kalau dia ini jadi Presiden..."
"Lho, kenapa?", tanya Markenyut.
"Karena caranya mengatasi keadaan, aneh..." "Aneh gimana?"
"Misalnya kalau lalulintas di Jakarta sangat macet di semakin banyak area, maka dia tinggal pasang papan pengumuman di setiap perempatan jalan yang bunyinya: 'Dilarang Macet!' Tertanda : Su...Presiden RI..."
"Apa ya setolol itu?"
"Mungkin tidak, tapi memang dia ini membayangkan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan bangsa dan negara ini berlangsung hanya dalam mekanisme instruksional. Maka dia …..
(Emha Ainun Nadjib/"Markesot Bertutur"/PadhangmBulanNetDok)
Siapakah orang Jawa pertama yang mendarat di bulan?
Slamet.
Lho?!
Iya. Bahkan Edwin Aldrin disebut belakangan dan Michell Collin tak seberuntung Slamet.
Dengarkan berita itu kembali dengan seksama:
"Niels Armstrong telah mendarat di bulan dengan Selamat..."
Tentulah ucapan bahasa Indonesia yang baik dan benar menyebut Slamet dengan selamat.
Makanya, aja dumeh. Jangan pernah remehkan kami orang Jawa. Bahkan, dulu, Nabi Nuh itu aslinya orang Jawa. Kalau tidak, bagaimana mungkin beliau bisa bikin perahu raksasa. Di Timur Tengah hanya ada padang pasir dan kegersangan.
Kemudian dari banjir bandang itu bangsa Jawa belajar bijak dan mengerti segala filsafat hidup yang baik. Maka Muhammad saw. diturunkan di Arab -- tempat kumpulan manusia paling berangasan.

Bangsa Jawa sendiri membangun aliran kepercayaannya sendiri diam-dian, kecuali yang tidak. Orang Jawa menjadi Raja di dalam dirinya sendiri. Mereka selalu unggul. Raja mereka mampu memangku jagat di pahanya, memaku bumi, bahkan Gunung Tidar itu tak hanya merupakan pusat pulau Jawa, melainkan pusat bumi ini.
Jangan lupa Prabu Puntadewa dikuburkan di Demak dan Pendeta Anoman hidup kekal di Pulau Jawa menjaga pasungan Rahwana.
Kami selalu menang. Setidaknya merasa menang. Kami selalu unggul dan tinggal landas.
Setidaknya merasa begitu.

Kami bisa kaya tanpa harta. Kami bisa mangan tanpa sega. Puasa tanpa puasa. Beramal tanpa amal....
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/Padhang-mBulanNetDok)
Kalian berdzikir "Subhanallah"
Maha Suci Allah, Maha Suci Allah
Apa benar kalian mensucikan Aku?
Apa benar kehidupan kalian mensucikan Aku?
Apa benar watak dan perilaku kalian, kebudayaan dan kemajuan bangsa kalian - mensucikan Aku?

Kalian berdzikir "Alhamdulillah"
Segala puji bagi Allah, Segala puji bagi Allah
Apa benar perekonomian kalian memuji Aku?
Apa benar gedung-gedung kalian, kantor-kantor kalian, pertimbangan dan keputusan kalian, kasih dan sepak terjang kalian - memuji Aku?

Kalian berdzikir "Wa lailaha illallah",
Tiada tuhan selain Allah
Hai hamba-Ku, apa benar Akulah yang kalian tuhankan?
Apa benar Aku faktor primer dalam bagan strategi sejarah kalian?
Apa benar Aku yang nomor satu di dalam kerangka akal dan susunan pikiran kalian
Apa benar cinta kalian mendasar kepadaKu?
Apa benar Aku sedang menarik hati kalian, dibanding uang, keuntungan dan kekuasaan dunia?

Kalau Aku ikut Kontes Idola, apakah kalian kirim sms untuk memenangkan Aku?
Kalian berdzikir "Allahu Akbar"
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
Wahai hamba-Ku, apa tanda kebesaranKu di negeri penyembah berhala yang kalian bangga-banggakan ini?
Di bagian mana dari kebudayaanmu,
Di sebelah mana dari langkah politikmu
Di sudut mana dari gedung-gedung megah industrimu
Yang mencerminkan keunggulanKu?

Kau lakukan kedhaliman di sana-sini
Merata di seantero negeri
Kedhaliman yang samar sampai yang transparan
Kedhaliman struktural, sistemik
Bahkan kedhaliman yang telanjang dan kasat mata
Kedhaliman bahkan kepada dzatKu
Kepada hakekat dan syariat eksistensiKu
Kemudian kalian ucapkan "Allahu Akbar"
Tanpa sedikitpun rasa malu

Bahkan masjid-masjidmu, yakni rumah-rumah suciKu
Kalian pakai untuk menendangku
Sebagian dari kalian membangun rumahKu dengan sisa-sisa uang perampokan struktural
Sebagian dari kalian menegakkan rumahKu dengan biaya hasil mengemis-ngemis di tengah jalan

Kalian mengemis atas namaKu,
Kalian melantikku sebagai Sang Maha Pengemis
Di masjid-masjid kalian tertulis : Allah yang Maha Fakir Miskin.
Oleh karena itu setiap orang perlu menaruh rasa belas kasihan kepadaKu
Dan jika datang seorang koruptor membereskan semua pembiayaan masjid itu,
dialah yang kau puji-puji dan kau sanjung-sanjung.

(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)
Kita mungkin tidak hidup langsung di `titik pusat', setiap kecenderungan akan menuju ke sana. Ke manapun pergi, akan kembali ke titik itu-tergantung kesabaran kita dalam memahaminya. Setiap penyakit akan mencari sendiri obatnya, lewat kita. Indonesia di tahun 60-70 an pernah mengalami kesenian yang melambung ke langit-absurd, penuh fatamorgana dan romantisme-romantisme abstrak, tapi dengan tenggang waktu ia kembali mencari `akar'-nya, mencenderungkan diri ke `titik pusat'.

Yang disebut `titik pusat' itu mengejawantahkan dirinya mungkin pada ekspresi verbal seni religius, atau tahap-tahap ketuhanan seperti seni dengan komitmen sosial. Gejala itu muncul dalam sastra, teater, seni rupa, bahkan juga tari dan musik.

Para pekerja seni itu seolah-olah menjalani proses pencarian akan Tuhan: semula mereka sangka Ia adalah sebuah materi. Tuhan yang nun jauh di sana, baru kemudian mereka mengembalikan diri ke `titik pusat' tempat persemayamannya. Gejala pengembaraan semacam ini juga paralel dengan apa yang dialami oleh peradaban masyarakat modern di Eropa Barat atau Amerika. Tanaman di kamar Anda mengarahkan tubuhnya ke jendela di mana cahaya matahari masuk.

Pernah saya mencemaskan anak-anak dusun saya yang perlahan-lahan menanggalkan mainan-mainan tradisi budaya desanya dan menggantinya dengan konsumerisme budaya kota. Tapi kemudian saya jumpai dua hal. Pertama, gejala itu temporer, dengan tak terlalu sukar mereka kembali ke mainan semula. Kedua, yang penting bukan apa bentuk permainan mereka, melainkan apakah mainan di tangan anak-anak dinilai oleh naluri mereka sebagai bisa `membudayakan' mereka atau tidak. Ditanggalkannya kembali mainan-mainan model kota bukan mencerminkan kemunduran atau konservatisme atau pembelaan budaya pribumi. Melainkan, setiap masyarakat manusia memiliki daya saring, daya nilai dan resistensi untuk mengahayati apakah suatu bentukan produk budaya tertentu berhasil memuaskan `rasa kebudayaan' mereka atau tidak. Setiap manusia dan masyarakat memiliki alam rasa dan kesadaran naluriah terhadap `titik pusat'.

Pernah juga saya melihat bahwa untuk masyarakat Indonesia, kebudayaan berfungsi ganda: sebagai alat pertahanan, sekaligus sebagai penghambat perkembangan.

Maksud yang pertama ialah dimilikinya suatu pola perilaku budaya oleh masyarakat kita, yang memungkinkan mereka memiliki ketahanan daya hidup dan `kebal'' terhadap berbagai kondisi. Yang kedua, sudah kita ketahui bersama, banyak sekali faktor-faktor kultural yang menjadi kendala kemajuan dalam birokrasi negara, profesionalisme, komunikasi, pengorganisasian masalah, pembinaan olah raga serta pengamalan ajaran agama.

Karena problem yang muncul pada setiap inisiatif perubahan ialah bagaimana dimensi-dimensi kebudayaan tertentu yang hendak `diberantas' demi `kemajuan', tidak `disembuhkan' dengan sekaligus melenyapkan fungsinya sebagai perangkat pertahanan, sebagai penumbuh daya survive-betapapun ia mungkin naif seperti yang selama ini kita mengerti dari etos pasrah, nrimo dan seterusnya.

Kemudian saya melihat fungsi pertahanan di atas dimungkinkan oleh suatu sikap budaya yang memakai pandangan bersahaja terhadap kesejahteraan, kebahagiaan atau kemakmuran-yang merupakan indikator dari `titik pusat'. Masyarakat `tradisional' kita menempuh jalan praktis yang menerobos secara lebih langsung ke `titik pusat'.

Berbeda dengan sikap budaya dunia modern yang lebih cenderung mementingkan keindahan `permukaan bumi', yang membeli kesejahteraan, kebahagiaan dan kemakmuran dengan harga ekonomi yang jauh lebih mahal. Kebudayaan modern bahkan dengan sadar menyelenggarakan `perceraian' dengan orientasi `titik pusat'. Oleh karena itu sikap budaya tradisi yang lebih `telanjang titik pusat' merupakan penghambat bagi dinamika kesibukan `permukaan bumi'. Dan karena kebudayaan modern merupakan pemimpin dan penguasa zaman, maka sikap budaya tradisi `dipaksa' untuk menanggalkan beberapa pokok sikap budayanya sambil belajar mengintegrasikan diri ke dalam cara-cara kontemporer untuk mengolah kesejahteraan dan mendatangi `titik pusat'. Seseorang tak bisa lagi bernikmat-nikmat dalam situasi kebudayaan santai, yang selama ini ia hidupi baik dengan alasan kelayakan ekonomi maupun tidak. Kini, untuk leha-leha, ia musti menjadi seorang yang produktif, merambahi karir sampai jenjang
tertentu-baru memperoleh keabsahan ekonomis dan sosial budaya untuk berleha-leha.

Tetapi saya tidak melihat bahwa kedua sikap budaya tersebut sedang bertentangan. Kalau mereka bertentangan, dan kita berpihak kepada yang `modern' saja, kita akan tak memperoleh pokok-pokok sikap budaya `tradisi' yang mustinya ditransformasikan: kita bisa kehilangan masa silam tanpa mendapatkan masa depan. Namun kalau kita juga hanya berpihak kepada yang `tradisi', itu tak lain adalah konservatisme yang lambat atau cepat akan terlindas.

Maka jalan yang paling rasional dari seluruh kenyataan dan kemungkinan di atas adalah bagaimana kita memproses modifikasi dengan modifikasi kebudayaan dalam standar kualitas yang memadai. Proses kebudayaan juga selalu merupakan irama kontinyuitas: segala yang a-historis akan lenyap dengan sendirinya. Modifikasi dan kontinyuitas itu merupakan keniscayaan sejarah yang semestinya kita terima dan selenggrakan tanpa kompleks-kompleks.

Romantisme salah kaprah tentang yang kita sangka orisinalitas, kepribumian, identitas dari dan apapun, bisa kita sembuhkan dengan menginsyafi bahwa di sekeliling kita dan di dalam diri kita ternyata justru begitu banyak lapis kebudayaan yang memang sebaiknya hilang. Ketakutan kita terhadap kemungkinan kepunahan apa yang kita sebut kebudayaan bangsa kita redam dengan penglihatan terhadap relativitas akar budaya, keharusan untuk kontinyu serta `kerelaan' modifikasi. Kita justru akan makin gagal untuk berbangga diri sebagai bangsa yang berkebudayaan tinggi ketika kita berjalan dengan dua wajah: gairah perubahan yang menggebu-gebu, dan sikap cemberut puritan dan konservatif.

Dan kalau kita kembali kepada awal tulisan ini kita bisa berkata: kenapa musti kita ciptakan Nyai Rara Kidul kalau bisa kita temukan samudera ilmu, kebenaran dan kebijakan dari `titik pusat' yang toh makin kita kenali gejala-gejalanya? Kenapa kita musti korupsi-kultural dengan men-Tera-kan Waitangkung?

Padahal tak ada dosa apapun dan tak ada kehilangan apapun. Kecuali kita kini masih seorang `purba' yang melarang anak-anak kita bermain sepak bola hanya karena permainan itu `milik' Belanda....
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)
Akar, Kontinyuitas, Modifikasi

Sudah tentu bisa kita bilang kita punya pecel dan rendang sementara orang Taiwan dan Eskimo tak punya. Tentu saja kita suka gengsot ndangdut dan India sendiri tak. Tentu saja kita memang punya sepakbola Indonesia yang disiplin `kehidupan sepakbola'-nya—karena latar kultur—sedikit atau banyak lebih mandul dibanding yang dipunyai Muangthai. Tentu saja kita punya sastra Indonesia yang gamblang berbeda dengan sastra Nepal serta teori sastra ala Indonesia yang tidak mempertimbangkan tipologi kultural masyarakat Ukrania. Kita juga mencari ilmu sosial Indonesia bukan saja karena bangsa Indonesia itu obyek ilmu yang tak bisa diparalelkan begitu saja dengan manusia Kenya, tapi juga karena proses keindonesiaan itu sendiri mengembriokan kerangka metodologi keilmuan sosial yang entah bagaimana tapi mestinya ada. Kita juga punya film yang Indonesia, yang menjadi tuan rumah di negeri sendiri, atau apapun.

Tapi dengan kreasi dan konsumsi pecel kita tidak selalu dijadikan `kebudayaan Indonesia'. Dengan gengsot ndangdut seorang pemuda Madura tidak sedang menyalahi kemaduraannya. Untuk mempertahankan kebudayaan Indonesia kita tidak harus memelihara kemandulan sepakbola. Sastrawan suku Sumba yang menulis dengan bahasa Melayu bukan pengingkar kedaerahannya. Kalau turunan Empu Gandring kini bersekolah dan jadi pakar ilmu sosial, ia tidak sedang memproses suatu kebudayaan lain yang melemparkannya dari identitas dirinya. Dan kalau kita terus-terusan berdukalara memburu film yang Indonesia hendaknya sambil diingat bahwa media film itu sendiri sebagai fenomena komunikasi bukanlah milik `kita'.

Selalu yang berlangsung pada kita adalah proses modifikasi. Demikianlah sejak zaman gelap kerajaan-kerajaan entah apa saja di masa lalu, kita terima tamu demi tamu: malaikat, Hindu, Budha, Islam, Cina, Belanda, berita Kristus, titisan Marx-Lenin serta entah siapa dan apa lagi—untuk kita jadikan apa yang kita percaya sebagai `diri sendiri'. Bahkan Tuhan pun datang dan bertamu dan "kita jadikan diri sendiri". Bahkan akan ternyata bahwa kita sendiri adalah tamu. Atau, pada akhirnya tersingkap bahwa tamu-tamu itu adalah kita sendiri, sedemikian rupa sehingga `diri sendiri' itu tahyul, dan identitas itu klenik yang amat temporer.

Sebab pada kenyataan seperti itu yang disebut akar kebudayaan ialah ekor yang tak terpegang ujungnya. Yang kita sepakati sebagai akar kemudian adalah penggalan suatu garis yang menyilang sulur sejarah. Seperti juga akar pepohonan yang hanya menjangkau beberapa puluh sentimeter di bawah permukaan bumi. Akar bukanlah titik pusat bumi: kebudayaan hanyalah gejala-gejala temporer dan relatif di sekitar permukaan tanah kehidupan. Sedikit lebih masuk, kita akan ketemu dan `sama' dengan beberapa kelompok masyarakat lain. Lebih masuk lagi kita berjumpa dengan seluruh manusia. Lebih masuk lagi kita ketemu dengan alam dan makhluk-makhluk lain. Dan ketika sampai di titik pusat, kita tak menjumpai beda antara manusia, alam dan Tuhan.

Hal-hal di atas mendorong kita untuk tidak usah terlalu terdramatisir oleh kecemasan akan kehilangan kebudayaan. Urusan kehilangan itu substansial merujuk kepada `titik pusat' yang tersebut di atas.

(selesai)

(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)
Selalu ada waktu untuk melakukan pekerjaan yang "benar" dan "baik".
Selalu tersedia waktu untuk melakukan "pekerjaan benar" dan "baik"
dengan cara yang benar dan baik pula.
Dan selalu disediakan kesempatan untuk membuat "kebijakan" bagi "kebajikan" untuk sesama makhluk dunia.

Kebijakan yang tidak membuahkan kebajikan adalah proses "disfungsi perangkat organik" dari "harkat kemuliaan" manusia.
Harkat adalah derajad sedang kemuliaan adalah potensi.
Potensi yang ditaburkan Tuhan ke dalam `hati´ manusia.
Manusia bukanlah `sosok makhluk mulia´, namun ia diberikan potensi kemuliaan. Ia akan menjadi makhluk mulia ketika potensi kemuliaannya difungsikan, sebaliknya ia dapat menjadi makhluk yang hina ketika potensi kemuliaannya diabaikan.

Hati adalah "perangkat -vital" organ kemanusiaan-manusia, dimana terdapat potensi kemuliaan yang tersimpan di dalamnya. Di dalam potensi kemuliaan terdapat kemampuan untuk berlaku `bijak (wise)´. Dan ketika perlakuan bijak dilaksanakan, maka `bajik (goodness)´ dapat dirasakan oleh orang-orang yang tersentuh oleh taburan kebijakan yang dibuatnya.

Kebijakan bukanlah policy, karena kebijakan dilaksanakan oleh perangkat vital manusia yang bernama hati, dimana ketulusan dan keikhlasan bersemayam. Policy adalah produk dari serangkaian olah pikir yang digerakkan oleh energi `ambisi´ dan dikemas dalam bentuk strategi.
Seperti yang pernah diajarkan, bahwa dalam kemasan "strategi (strategy)" terdapat siasat, yang di dalamnya juga ada kandungan "taktik (tactic)" dan di dalam taktik terkandung elemen "trik (trick)" atau bahasa awamnya pengelabuan.

Stategy orang yang berusaha tulus dan ikhlas adalah "Strategi untuk tidak berstrategi", karena dalam vibrasi keikhlasan tidak terkontaminasi oleh nada sumbang pengelabuan (tricky). Bagi pendidik yang ikhlas tidak perlu ada `strategi pendidikan´, karena mendidik adalah pekerjaan mulia yang memerlukan kelapangan dada. Bagi pemimpin yang ikhlas tidak perlu ada `strategi pembangunan´, kerena mensejahterakan rakyat adalah konsekwensi tanggung-jawab pengabdian diri sang pemimpin kepada TuhanNya.

Devolusi (devolution) adalah serangkaian proses degenerasi yang berlaku secara massal yang diawali oleh perubahan `kebiasaan mata (what I see)´, `kebiasaan mulut (what I say, what I eat and what I drink)´ dan `penerimaan telinga (what I hear)´ yang matang menjadi `persepsi (perception)´ hingga mampu merubah `perilaku (behavior)´ yang menyimpang dari hakekat, maksud dan fungsi penciptaan dirinya.

Jika burung beo, mampu mengucapkan selamat pagi atau good morning sebagaimana yang diajarkan tuannya itu namanya Evolusi..
Perilakunya berubah ketika menyapa siapa saja yang ada dihadapannya. Ketika masyarakat harimau tidak berebut daging yang diberikan tuannya dan tidak berebut wilayah serta bertarung untuk memperebutkan siapa yang berhak menjadi raja rimba, maka ia mampu berlaku `mirip´ sebagaimana hakekat penciptaan manusia. Kedua binatang ini lebih beradab daripada generasi sebelumnya.

Ketika dalam masyarakat manusia, ada tatanan yang mengatur perebutan kekuasaan dan kekuatan maka fenomena ini disebut devolusi. Hakekat peradaban masyarakat manusia bukanlah siapa yang berhak menjadi penguasa, melainkan siapa yang "layak" menjadi "pemimpin (leader)". Dalam tata nilai masyarakat manusia beradab, seseorang tidaklah perlu mengikuti ukuran siapa yang "kuat (powerful)", melainkan siapa yang mampu memberikan "manfaat (usefulness)"

Devolusi menghasilkan generasi yang derajatnya lebih rendah (down-grade generation) dari induknya. Devolution is not only biological fallacy, but is the process of the tenancy of humanimalization! Demikian kata Gregory R. Mendoza

Bijak, bajik, tulus, ikhlas, pemimpin dan manfaat atau policy, strategi, kekuasaan dan kekuatan serta ambisi semuanya benar. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang perlu disalahkan. Bukan saya benar, anda salah atau anda benar dan saya salah. Urusannya bukan terletak pada kecerdasan manusia atau kreatifitas dalam berbuat, melainkan pada tingkat kepekaan hati untuk merasakan koordinat posisi diri dan memahami ke-arah mana ia sedang menempuh jalan.

Tak layak melarang se-ekor katak untuk berhenti meloncat, karena sesungguhnya ia sedang berjalan. Tak layak melarang ayam untuk berkokok, karena sesungguhnya ia sedang menyapa dunia. Namun anda boleh tertawa ketika ada se-ekor Monyet yang sudah menggenggam pisang lalu dibuang karena menginginkan `banana´ yang dimakan se-ekor Monkey.

"Laku lampah tumapak ing sadengahing titah. Sitinggil tan keno rinekodoyo (perjalanan selalu berlaku pada setiap makhluk. Harkat-martabat tak dapat di rekayasa)"
"Kasus" Pancasila dan lubuk sikap budaya kemanusiaan menunjukkan bahwa sejarah kebudayaan selalu merupakan proses berbagi. Tema orisinalitas dan tanda identitas menjadi amat relatif. Dalam keadaan ini kita temukan seolah `yang paling kebudayaan' ialah dimensi-dimensi kedalaman. Tetapi `roh dalam' itu sendiri universal, bahkan berdimensi (dari dan menuju) transendental.

Kita mungkin akan menyebut masyarakat Baduwi atau Amish Society untuk `pemihakan' kepada keaslian kebudayaan. Padahal itu bukan `kasus kebudayaan' seperti yang dimaksud oleh standar pengertian kebudayaan yang biasa kita maksudkan, melainkan kasus dunia dalam: sikap rohani, prinsip religousitas, pola tertentu dari ketakwaan dan keimanan.

Kalau umpamanya kita ambil sudut pandang bahwa kebudayaan ialah `kepribadian masyarakat':
kita mengerti keduanya tidak lahir dan tumbuh secara ekslusif dan `otonom'. Kebudayaan selalu berupa hasil pergaulan, saling memberi dan meminta, antar individu, antar kelompok masyarakat. Kita tidak akan pernah bisa `menghentikan' individu sebagai individu itu sendiri sepenuhnya-apalagi kalau kita percaya `seseorang lahir dari dan karena orang lain', `engkau ada karena yang lain karena ada'. Demikian pula kedudukan setiap masyarakat-apabila kita bayangkan ia-sebagai individu. Kepribadian `individu masyarakat' terbentuk ketika dan karena pernah meminta dan memberi.

Proses saling berbagi itu berlangsung dalam berbagai konstelasi: masyarakat-masyarakat, individu-masyarakat, bahkan Tuhan-individu-masyarakat, dst. Di Indonesia struktur kekuasaan yang jelas berupa negara-masyarakat-individu. Urutan itu menunjukkan tingkat besarnya kekuasaan. Kekuasaan negara yang besar atas masyarakat dan individu mencerminkan-misalnya-sistem dan kultur politik di mana daya tawar-menawar masyarakat dan individu rendah. Meningkatnya daya tawar-menawar itu hanya dimungkinkan jika sebuah individu merangkak naik bergabung ke dalam `individu negara'. Meningkatnya daya kekuasaan masyarakat paralel dengan berlaku tidaknya mekanisme demokrasi.

Kekuasaan masyarakat atas individu muncul dalam kuatnya kontrol masyarakat atas individu. Batas antara lingkar urusan sosial dan urusan pribadi tak jelas. `Pribadi masyarakat' sangat ikut campur pada `individu pribadi'. Ketika kita pacaran dengan mahasiswi kost di kampung itu, kita berlaku sebagai `pribadi individu' yang melawan `pribadi masyarakat' yang mewajibkan kita pulang sebelum jam sepuluh malam dalam keadaan utuh. Ketika kita menjadi petugas Siskamling dan menangkap basah muda-mudi yang hampir berzina di paviliun sebelah itu, kita berlaku sebagai `pribadi masyarakat'. Atau bisa juga ketika menangkap itu sebenarnya kita berlaku sebagai `pribadi individu', ialah karena cewek itu sesungguhnya kita senangi tapi diambil pemuda yang lebih terpelajar dan dibekali Bapaknya, Jimmy yang masih kincling-kincling.

Individu dan masyarakat kita masih sedang belajar untuk berbagi. Individu menawarkan demokrasi dan mungkin liberalisme, masyarakat menyodorkan hukum moral, kesehatan akhlak, atau bukti kebutuhan individu terhadap pendidikan dan kontrol masyarakat.

Lha Baduwi dan Amish berbagi dengan siapa?

Mungkin dengan penghayatan mereka terhadap alam, Tuhan, individu dan masyarakat lingkar mereka sendiri. Mungkin mereka berkata: "Tuhan tidak bertanya kamu pakai baju apa, pernah bikin musik eksperimen atau tidak, tetapi apakah kami mendorong kehidupanmu kepada-Nya". Atau, "Tuhan bisa saja peduli kepada pesawat Columbiamu atau rekor-rekor internasionalmu, tetapi yang ditanyakan bukanlah kecanggihan teknologi dan prestasimu, melainkan nilai apa yang kau berikan kepada pekerjaan itu". Artinya, tak penting apapun saja model `kebudayaan' yang dibangun, tapi ia bermakna apa bagi kehidupan.

Yang manakah yang lebih kebudayaan: bangunan budayanya ataukah pemberian maknanya? Seorang Kiai akan bilang, "Terserah engkau akan berperilaku budaya seperti apapun atau berkarya budaya sedakik apapun, tetapi yang menjadi pokok kebudayaan manusia sebenarnya ialah apakah karya dan perilaku tersebut bisa menjadi perangkat dan penyemangat ketakwaanmu. Kalau engkau memandang karya sebagai karya itu sendiri, sebenarnya itu adalah kapasitas penyembahan berhala."

Jadi untunglah kita sudah senantiasa memaparkan bahwa syarat pertama untuk menjadi menteri, anggota DPR, padagang, tukang bakso, sinden maupun petinju, ialah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kalau pembicaraan mengenai kebudayaan pada akhirnya tak bisa mengelakkan diri dari dimensi-dimensi kedalaman, yang universal dan mungkin transendental, maka tampak betapa relatifnya standar-standar yang selalu kita pakai dalam membincangkan kebudayaan. Dengan penuh kekhusukan kita selalu merindukan `Film yang Indonesia', Kritik sastra yang Indonesia', Sistem ekonomi yang Indonesia', Ilmu Sosial yang Indonesia', bahkan `Sepakbola yang Indonesia'.
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)
Lubuk Sikap Budaya Kemanusiaan

Dengan ringan sering kita kemukakan Pancasila adalah endapan rumusan asli kebudayaan bangsa Indonesia—meskipun yang diambil ialah lapis filsafatnya. Kalau itu kita sepakati, berarti kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan kemanusiaan seluruh penduduk di muka bumi.
Pancasila bersifat universal dan kita bisa jumpai Pancasila di alam fikir dan alam rasa masyarakat manapun di dunia—termasuk kalangan masyarakat yang mungkin merasa tidak ber-'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Sebab apa yang disebut keadilan sosial, demokrasi, kebijaksanaan atau peradaban, sesungguhnya tak lain dari dimensi ketuhanan.

Seluruh penduduk bumi berkeberatan Pancasila dihilangkan. Tapi Pancasila bukan kebudayaan melainkan sebagian butir ayat Tuhan yang ditemukan oleh kreativitas manusia. Dengan keterbukaan Pancasila terhadap berbagai kemungkinan penerjemahan makna dan sistemisasi nilai-nilainya, kita bukan saja tidak akan memusnahkan `kebudayaan Indonesia', melainkan justru sedang mencarinya. Ini lepas dari kemungkinan bahwa Pancasila dimanipulir, diredusir atau dimonopoli oleh salah sebuah kekuasaan politik dan pemikiran—sehingga menjadi ekslusif dan menjadi alat kekuasaan.

Dengan demikian Pancasila tidak menyediakan jawaban bagi pertanyaan kebudayaan Indonesia. Ia justru menunggu jawaban itu: ia adalah ruh yang menunggu badannya tiba. Bahkan dengan jujur bisa kita kemukakan bahwa dari sejarah pra-Indonesia kita hampir tidak memiliki—substansial dan sistemik—pengalaman yang terkandung di dalamnya, seperti, kerakyatan, keadilan sosial, hikmat kebijaksanaan dan musyawarah dalam arti sebenar-benarnya. Kita lebih banyak punya kerajaan, kesepakatan semu, atau kebijaksanaan yang diungkapkan mewakili realitas yang bermakna sebaliknya.

Dengan fenomena Pancasila yang berposisi mirip `roh terbengkalai' kita justru dengan sadar sedang membuangi banyak hal yang selama ini kita kenali sebagai kebudayaan bangsa Indonesia. Dengan Pancasila seolah kita sedang berusaha berdoa semoga terjadi kehilangan-kehilangan tertentu dalam yang kita sebut kebudayaan Indonesia.

Ambil `perilaku sosial' umpamanya. Feodalisme adalah realitas kenegaraan dan kemasyarakatan yang—pasti—termasuk di antara yang kita maksudkan sebagai kebudayaan asli Indonesia. Feodalisme, pada masyarakat kita, sudah tidak harus langsung berkaitan dengan penguasaan tanah atau pola kekuatan lain: ia sudah bisa terjadi sebagai kebiasaan yang seolah tanpa `sebab'. Ia sudah suatu keniscayaan soial budaya. Semoga hilang, kan?

Kalau Camat makin cenderung menjadi Raja kecil, kalau seorang dosen makin malas dan gengsi untuk membawa tasnya sehingga menyuruh pegawai kantor fakultas untuk mengambilnya di mobil, kalau rumah-rumah menjadi potret kecil kerajaan kerucut-feodal, kalau sebuah perusahaan stagnan `profesionalisme'-nya berdasar hirarki usia sehingga untuk bisa maju musti nunggu Boss `modar mampus', kalau dosen-dosen agen modernitas berperilaku seperti Ibu-ibu kampung cari kutu sambil ngrasani dan nggosipkan urusan pribadi orang lain, kalau duren itu enak apa tidak terserah keputusan Bapak, kalau pelajar dan mahasiswa harus mengemis dan melayani para pegawai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kalau sang mahasiswi musti bersedia dipacari oleh Pak Dosen supaya lulus, kalau pemimpin agama dan tokoh partai boleh pesan cepat dapat ijazah sarjana dengan hanya kuliah setahun dua kali di universitas petualang, kalau dan kalau—maka tentulah semoga kebudayaan macam itu segera musnah.

Kalau hal-hal macam itu yang kita sebut kebudayaan Indonesia, maka benarlah kita yang terus berfikir untuk menemukan `kebudayaan lain.

Atau identitas materiil? Kita bisa melihat soal yang sederhana: mungkin kita bermaksud tidak mengganti batik dengan jeans atau bertahan pada tikar pandan dan menolak tikar plastik. Di mana kita berdiri? Lebih pada memandang pengusaha batik sebagai produser identitas budaya pribumi, atau pengusaha batik sebagai kelas ekonomi yang makin lemah? Memandang industriawan kecil tikar pandan sebagai pengabdi kebudayaan nasional atau sebagai teri yang ditindih oleh modal besar? Apakah kita akan berkata: "Biar saja dimelaratkan asal entah bagaimana bertahan pada pola budaya tradisi," ataukah: "Yang penting ialah meningkatkan daya negosiasi ekonomi, dan bukan mempertahankan sentimen budaya yang toh akan punah tergusur." Sesungguhnya pilihan aksentuasi perhatian kita berangkat dari lubuk sikap budaya kemanusiaan kita. Lubuk sikap itu lebih merupakan indikator kebudayaan dibanding apa yang telah muncul sebagai `fisik kebudayaan'.

Akan tetapi pandangan terakhir ini terelativisir apabila kita mengejarnya lebih dalam. Lubuk sikap budaya kemanusiaan itu disumberi mungkin oleh naluri nurani, mungkin juga oleh prinsip-prinsip agama. Sehingga di sini indikator identitas kebudayaan itu gugur.

(selesai)
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)
Alangkah `kekal' persoalan kebudayaan! Alangkah kongkret ia: menguras cinta, harga diri, tapi juga kecemasan. Dan, pada saat yang sama, alangkah abstrak! Teramat luas dan rumit pengertiannya, dengan ratusan definisi dan ribuan pemahaman.Tiap hari kita menggunakan kata kebudayaan, seolah-olah ia sedemikian jelas. Tiap hari pula kita memperdebatkannya, seolah-olah tak satu kalipun pernah kita genggam kejelasannya. Bagai sungai deras airnya, mengalir dan bergerak. Kita terpesona atau cemas. Kita ciduk segelas air darinya: air itu tetap air sungai itu, tapi juga sudah bukan air sungai itu, melainkan air gelas. Keduanya sangat berbeda. Seolah-olah kita harus menciduk bukan saja airnya, tapi juga geraknya, alirannya!
Kita bisa membedakan antara dua skala pengertian: seni-budaya dan kebudayaan. Seni-budaya itu sempit saja artinya. Yakni ekspresi estetis. Terserah apakah yang diekspresikan itu bersumber dari keseluruhan dimensi kehidupan manusia, ataukah bagian tertentu saja. Terserah apakah ia dibagi menjadi yang tradisional dan yang modern, ataukah dibagi berdasar pendekatan lain yang bermacam-macam. Juga terserah apakah ekspresi itu dirahimi oleh semangat estetika saja ataukah dibayitabungkan oleh ideologi, politik dan agama. Yang penting batasnya sebagai ekspresi estetika.

Adapun kebudayaan itu sedemikian luasnya sehingga mungkin saja tak pernah sungguh-sungguh bisa dimengerti. Disebut bahwa segala kecenderungan yang terjadi dalam politik, ekonomi, hukum, birokrasi atau ritus, adalah cermin dari bagaimana kebudayaan manusia mengolah sejarahnya. Agama, yang `tercampak' dari langit, di-'budaya'-kan oleh manusia. Dalam jumlah rentang waktu tertentu dari proses kreatif sejarah, kebudayaan disebut peradaban. Tetapi tradisi kebudayaan tertentu yang terjumpai secara `mikro' lewat perilaku-kecil seorang dusun, juga disebut peradaban. Yang jelas sikap dan gaya manusia dalam menghadapi kehidupan, persoalan, lombok, logam, cinta, langit, Tuhan dan gejala-gejala alam, mencerminkan apa yang disebut kebudayaan.

Misalnya Anda mungkin terlibat organisasi yang mengelola dan menyantuni kepentingan beberapa pihak: buruh, petani, nelayan, wanita, dan seniman-budayawan. Seni-budaya adalah bagian seperti wanita adalah juga bagian. Tapi kebudayaan, ialah inisiatif, landasan, iman atau apapun yang mendasar bagi kemanusiaan yang `mengilhami' dan memberi ruh kepada semua segi tersebut. Kalau kata `ruh' segera kita konotasikan kepada Agama, maka yang dimaksud tentulah Agama yang telah di-kebudayaan-kan.

Tetapi apakah sesungguhnya yang paling kebudayaan dari seluruh pengertian di atas?

Apa tanda-tanda yang dipersyaratkan bagi sebuah kebudayaan suatu kelompok masyarakat? Dengan logika bahwa jika tanda-tanda itu lenyap berarti lenyap pula kebudayaan masyarakat tersebut? Atau kebudayaan bukanlah tanda-tanda yang tampil, melainkan `rohani' di belakang tanda apapun?

Kalau orang Aceh nanti mengganti Randai dengan teater modern dan orang Jawa memproses Ketoprak menjadi bukan lagi ketoprak, apakah Aceh dan Jawa kehilangan kebudayaannya? Kalau anak Obahorok tak lagi pakai koteka, cucu Kromoembuh tak lagi pakai blangkon, apakah mereka meninggalkan kebudayaannya? Kalau Mukini dari Sumenep tak lagi memandang bahwa pohon di sudut desa itu angker, kalau penduduk Sulawesi Selatan menjadi anti-sirik, apakah mereka berubah kebudayaan? Kalau Jaka Kendhil kini tak lagi berklenik-klenik dan mengubah namanya menjadi Jack Kendall sambil suka memegang-megang jidatnya tanda sudah menjadi intelektual canggih, apakah ia Malin Kundang dari Ibu kebudayaannya? Kalau lingkungan yang semula penuh dupa menyan kini bersajadah, yang dulu pecandu tahayul berat kini rasional, dulu primitif kini pascaprimitif, dulu khusuk mengabdi ke atas kini kenal demokrasi—telah meninggalkan kebudayaannya?

Adakah modernisasi berjalan bertentangan dengan apa yang kita maksud dengan kebudayaan? Bagaimana menjelaskan bahwa sesungguhnya kita sedang mengkerjasamakan inisiatif modernisasi dengan pemeliharaan orisinalitas kebudayaan?

Alhasil, pada lapis dimensi mana tanda-tanda kebudayaan itu kita temukan? Perilaku sosial? Kecenderungan umum? Sikap kealamsemestaan? Warna sejarah? Karya seni? Ketakwaan dan kepercayaan? Cara memasak sayur? Gaya hidup? Atribut identitas material? Bahasa?

Secara khusus kita juga bertanya bagaimana bisa sekaligus kita berbincang tentang kebudayaan Indonesia yang belum jelas, `baru dicari' dan `belum ketemu', dengan tentang `kebudayaan Indonesia yang dikhawatirkan akan punah'? Apa saja yang sebenarnya kita khawatirkan akan punah?

(bersambung)------>
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)
Beragam tema dalam sedikit banyak tulisan saya seringkali merupakan `tangan panjang' dari sesambatan [pengaduan, keluh kesah] banyak orang yang disampaikan melalui saya. Baik yang datang langsung menemui saya maupun yang menumpahkannya secara tertulis di dalam surat-surat yang `pilu'. Keluhan dari—kebanyakan—wong cilik. Yang menderita karena nasib-nasib personalnya maupun karena `musibah' strukturalnya.

Tapi saya memperkirakan bahwa sisa usia saya di dunia ini akan lebih banyak diisi oleh kesedihan dibanding kegembiraan. Karena kebanyakan problem yang sampai pada saya itu tidak mampu saya carikan penyelesaiannya. Sebab saya sendiri juga tidak lebih dari wong cilik [rakyat kecil] juga, yang lemah dan tidak berdaya.

Saya selalu sangat sedih karena betapa banyak saudara-saudara saya yang saya tidak sanggup menolongnya, tidak mampu mengeluarkannya dari problem yang menimpa mereka. Jadi, kesedihan hati saya ini kesedihan sosial, bukan kesedihan pribadi. Kalau pribadi, saya sudah terlanjur mengusahakan diri untuk tidak sedih dan tidak gembira. Biasa-biasa saja. Meskipun saya diperlakukan seperti seorang pencopet yang diawasi setiap gerak-gerik saya. meskipun saya (pernah) diisukan pindah Agama, dituduh mengacau oleh para pengacau, meskipun ada selebaran gelap menyebut saya iblis atau dajjal, bahkan dengan begitu saya memperoleh tawaran kemuliaan, yakni dengan mendoakan ampunan Tuhan bagi mereka.

Dan saya jamin di dalam seluruh tabung kesedihan dan kegembiraan itu hanya saya muatkan rasa syukur yang mutlak kepada Tuhan. Ada juga sih rasa jengkel, mengkel [marah], gedeg, dan lain sebagainya, tapi selalu saya upayakan untuk saya tepis. Yakni pasti, harus tidak ada amarah atau rasa dendam, meskipun kepada orang yang menikam punggung saya ataupun menusuk hati saya.
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/PadhangmBulanNetDok)
Sedemikian tinggi dan mendalamkah seorang hamba Allah mesti terbang dan melayang ke semesta ilmu dan kemuliaan? Tidakkah manusia bisa bersikap wajar dan biasa-biasa saja? Ataukah itu alibi untuk memaafkan kelemahan diri, keterbatasan, dan kekurangannya dalam melakukan sesuatu?

Jangan dengarkan suaraku, karena suaraku buruk. Dengarkanlah suara Tuhan...

Kalau suaraku buruk, orang justru akan sangat mengingatnya karena tersiksa. Kalau suaraku agak bagus, orang mengingatnya, tapi dengan kadar yang lebih rendah dibanding ingatan terhadap suara buruk -- sebab kecengengan manusia terhadap penderitaan cenderung lebih besar dibanding rasa syukurnya terhadap kegembiraan.

Dengan ungkapan dan jawaban saya itu kenapa kau terpaku pada suaraku? Di situlah letak ketidakberhasilan yang saya maksud.
Orang menikmati terangnya lampu tanpa mengingat kabel listrik.
Orang menikmati makanan enak di warung dan tidak bertanya siapa nama orang yang memasaknya di dapur. Penyanyi, pembaca puisi, qari, pelukis, muballigh, penyampai ilmu, pembawa hikmah, atau fungsi-sungsi nilai apa pun, hanyalah 'kabel listrik'.

Tidaklah senonoh kita menuntut orang untuk mengagumi kita sebagai kabel listrik, sebab yang sampai ke mereka adalah cahaya. Tukang listrik jangan kasih dan taruh lilitan kabel-kabel ke wajah orang. Kita para seniman, ulama, pengurus negara, pekerja sosial, fungsionaris-fungsionaris sejarah, di wilayah mana pun dari kehidupan umat manusia -- wilayah mana pun dari kehidupan umat manusia -- hanyalah pengantar cahaya, bukan cahaya itu sendiri. Seperti rembulan, kita hanya memantulkan cahaya matahari agar menimpa bumi. Terkadang kita malah merekayasa berlangsungnya gerhana matahari untuk mengantarkan kegelapan, tetapi sambil memobilisasi orang untuk mengagumi kita.

Seandainya pun sebagai rembulan kita setia memantulkan rahmat Tuhan ke bumi kehidupan manusia, yang kita andalkan untuk mendapatkan nilai bukanlah cahaya itu sendiri, melainkan kadar
kesetiaan.
(Emha Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNetDok)

Kearifan atau kedalaman penghayatan atas hidup tidak hanya bisa datang dari para filsuf atau perenung yang "sudah terakreditasi" dari Socrates hingga Damardjati Supadjar, tapi bisa juga lahir dari orang-orang "biasa" yang seringkali tak terduga. Alur berpikirnya mungkin tak sesistematis para filsuf kondang, tapi ungkapannya boleh jadi tak kalah berbobot dengan mereka. Kadangkala apa yang dikatakannya tampak begitu sederhana meski bukan berarti bersifat menyederhanakan atau bahkan nggampangke.
Contoh tentang hal itu datang dari seseorang yang pernah saya temui di suatu sore di sebuah kampung di Yogyakarta yang dengan sangat dalam mengatakan pada saya bahwa sebenarnya
hidup itu isinya kan cuma dua hal. Apa itu? " Merem atau melek!" , jawabnya. "Ya, kalau pas melek kalau bisa ya berbuat baik!", tambahnya. Hidup yang begini silang sengkarut, ramai, riuh rendah dan penuh tetek bengek di matanya cukup berintikan dua fenomena saja: merem atau melek.
Dalam merem -tidur- tak banyak hal yang terjadi, paling jauh mimpi (baik basah maupun kering) atau molet alias menggeliat.
Intinya: hilangnya kesadaran dan tidak bekerjanya sebagian besar indra dan organ tubuh kita, sehingga sangat sedikit aktivitas yang bisa kita lakukan. Tapi dalam melek , banyak peristiwa kita saksikan, banyak suara-suara kita dengarkan, banyak makanan minuman kita telan, banyak kegiatan kita kerjakan. Sebab, dalam melek , tidak sebagaimana pada waktu merem , sebagian besar indra kita berada dalam keadaan aktif.
Nah, pencetus "merem atau melek" itu mewanti-wantikan agar dalam situasi melek kalau bisa kita berbuat baik. Dan, di situlah masalahnya: di tengah banyak indra kita yang aktif kita dituntut untuk mempunyai kontrol yang kuat untuk bisa mengendalikan organ dan indra dalam diri kita. Padahal, sadar atau tidak, dalam keadaan melek banyak hal yang bernilai kurang baik, entah haram atau syubhat, yang kita kerjakan.
Mungkin mata kita memandang apa yang seharusnya tidak kita pandang. Mungkin telinga kita mendengarkan apa yang sebaiknya tidak kita dengarkan. Mungkin pikiran ita habis untuk ngrasani
kejelekan orang lain atau merencanakan hal-hal yang makar kepada Allah. Dan seterusnya dan seterusnya.
Dalam konteks merem dan melek itulah, Maiyah -sebagai konsep maupun acara- pada hemat saya bisa kita pandang sebagai sejenis cara yang secara sadar ditujukan agar kita memiliki kemampuan dalam mengendalikan indra-indra kita pada saat melek. Maiyah bisa kita hayati sebagai sebuah pengkondisian yang memungkinkan kita untuk senantiasa terlibat dalam proses kebaikan sehingga melek yang kita alami benar-benar efektif dan tidak mubadzir dengan terserap kepada hal-hal yang
tidak-tidak. Ya, meskipun ketika bunyi-bunyian musik dan shalawat itu mengalun kita mengikutinya dengan merem. Atau, ketika menghadiri acara maiyah, mungkin kita mengikutinya dengan terkantuk-kantuk alias "merem" seraya, meminjam ungkapan Ustadz Wijayanto, memproduksi aqua alias ngeces. Wallahu a'lam.
(Emha Ainun Nadjib/2003/PadhangmBulanNetDok)
Teman kita satu ini sering kami juluki sebagai Umar bin Khattob. Bukan saja karena perangainya yang keras dan sikapnya yang tegas dalam menggenggam nilai kebenaran dan keadilan. Tapi terutama karena ia 'membuang' hampir 75% kekayaannya untuk orang banyak yang membutuhkan, sebagaimana Sayyidina Umar.

Macam-macam cara dia `beramal'. Misalnya ia menjadi "Bank Tanpa Bunga", meskipun omset kecil-kecilan, untuk para tetangga yang betul-betul membutuhkan. Terserah para tetangga sendiri mau janji gimana, mau nyicil per-berapa dan berapa bulan sekali. Sebenarnya sih uang itu mau dia kasihkan saja, tapi kalau metodenya demikian, akan tidak menguntungkan bagi pendidikan dan etos tanggungjawab bagi para peminjam.

Macam-macam pula orang datang kepadanya untuk minta bantuan. Uang untuk mengurangi keterjeratan dari rentenir. Uang untuk membeli tiket menemui Ibu jauh di seberang pulau. Uang untuk kepanitiaan ini itu. Uang untuk lara-lapa [bersusah payah, berusaha] mengembara mencari ilmu. Uang untuk menggali tokoh tersembunyi di daerah sana untuk diwawancari dan dijadikan buku. Uang untuk biaya rumah sakit. Uang untuk bikin master rekaman musik. Uang untuk tambahan biaya mau jadi sarjana utama. Uang untuk baca puisi keliling. Dan lain sebagainya.

Dan Umar kita ini tidak bisa tahu sebenarnya siapa saja yang datang kepadanya. Dia tidak mungkin ngetes [menguji] apakah ia jujur. Uang yang diterimanya nanti akan digunakan untuk apa. Juga dia tidak menyelidiki apakah orang yang minta bantuan itu sungguh-sungguh kepepet ataukah ngarang [merekayasa, fiktif] saja.

Sebab bagaimana akan tahu? Betapa tersiksanya untuk tidak percaya kepada sesama manusia? Untuk menanyakan punya KTP atau tidak, untuk menguji apakah benar ia sedang menderita. Begitu banyak orang yang datang, dan ia hanya bisa melakukan satu hal: mempercayai mereka dan mengungkapkan kasih sayang sosial sejauh yang ia mampu.

Suatu hari sesudah seorang Ibu datang kepadanya nangis-nangis menceritakan penderitaan hidupnya, lantas ia kasih uang—kawan-kawannya berkomentar, "He! Kau ditipu. Orang itu acting saja. Biasa modus operandi macam itu!"

Umar kita menjawab, "Kayaknya sejak awal saya sudah tahu bahwa Ibu itu menipu. Tapi keadaannya memang kongkret memerlukan bantuan. Bahwa untuk mendapatkan bantuan ia menggunakan cara menipu, itu urusan dia. Saya tidak punya posisi untuk menuding atau membuktikan bahwa ia menipu, tapi saya juga tidak bisa sekedar menganggapnya menipu sehingga tidak saya kasih bantuan. Jadi, biarlah dia menipu, biarlah dia puas bahwa saya seakan-akan percaya pada tangisnya. Kalau tidak salah, Tuhan sendiri tahu persis bahwa sangat banyak hamba-hamba-Nya menipu-Nya tiap hari. Mengingkari janji untuk patuh kepada-Nya, padahal ngapusi [bohong/dusta]. Tapi apakah dengan itu lantas Tuhan menghentikan terbitnya matahari, gara-gara Dia mangkel [sakit hati] ditipu manusia?"

Namun akhir-akhir ini si Umar tidak bisa lagi gemagah [merasa paling gagah] dan mbagusi [merasa paling bagus] dengan memamerkan kebesaran jiwa seperti itu. Karena perlahan-lahan muncul isyu dan bahkan selebaran gelap yang mendiskreditkan namanya. Misalnya, dikatakan bahwa amal-amal yang dilakukan itu sebenarnya sekedar untuk menutupi kenyataan bahwa ia mendapatkan biaya besar dari suatu pihak yang rahasia untuk menciptakan gerakan-gerakan subversif. Selebaran dan telepon-telepon gelap lainnya menyatakan bahwa ia membiayai X dan Y untuk pergi ke suatu tempat membeli sejumlah bahan peledak.

Ketika saya konfirmasikan kepadanya ia menjawab, "Saya hanya didatangi macam-macam orang yang minta tolong kepada saya. Kalau saya tidak ngasih, nanti mereka marah. Kalau saya kasih, mungkin saja pemberian saya itu mereka pakai untuk sesuatu yang tidak saya tahu.

Sekarang saya jadi ingat, terkadang satu dua orang datang mengatasnamakan kelompok yang memerlukan dana: sesudah saya kasih tahu bahwa tidak semua yang saya berikan itu disampaikan kepada kelompok. Diunthit [dikorupsi] sebagian untuk pribadi mereka..."

"Lantas bagaimana?" tanya saya lebih lanjut.

"Saya jusru ingin minta bantuan nasihat kepada Ente," katanya, "Mungkin kalau orang datang minta sesuatu kepada saya, hanya saya kasih bantuan kalau ia membawa surat dari pihak yang berwajib yang melegitimasikan permainannya itu. Juga dalam serah terima bantuan itu harus melalui surat hitam di atas putih yang jelas. Lucu ya?"
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/PadhangmBulanNetDok)
Dalam kehidupan politik dan kebudayaan di Indonesia sering disebut-nyebut kata iblis, sebagaimana sering juga disebut-sebut kata setan, malaikat, tuhan atau Tuhan, fir’aun, dajjal, atau hantu, monster, gendruwo, dlsb.
Orang menyebut iblis atau setan biasanya tidak untuk menuding iblis atau setan itu sendiri, melainkan untuk memberi gelar kepada sesama manusia.
Misalnya ada lima kategori manusia. Kategorisasi ini memakai idiom fiqih Agama, tapi tidak dimaksudkan debagai prinsip hukum, melainkan budaya.
Ada ‘manusia wajib’, artinya orang yang orang lain tak mau kehilangan dia, karena dia baik dan dicintai. Ada ‘manusia sunat’, di mana orang merasa eman kalau nggak ada dia, meskipun tidak menggebu-gebu mempertahankannya. Ada ‘manusia mubah’ atau ‘manusia halal’, yakni yang wujuduhu ka’adamihi, ada dia kita nggak untung, nggak ada dia kita nggak rugi. Ada ‘manusia makruh’, di mana orang merasa lebih baik nggak ada dia daripada direpoti olehnya.
Terakhir yang paling gawat: ‘manusia haram’. Orang bersikeras agar dia tak ada, agar dia dijatuhkan dari kursinya, agar ia diadili dan dihukum, bahkan didoakan agar segera mati. Bahkan kalau ada orang mati, lainnya menyesal: “Kok bukan si Anu itu yang dipanggil Tuhan...”
Namun harus dicatat, ‘manusia wajib’ di mata manusia, belum tentu sama di mata Allah. ‘Manusia haram’ di pandangan manusia, belum pasti Tuhan berpandangan demikian.

***
Seseorang, umpamanya Soeharto, yang dalam proses sejarah tiba pada posisi “diharamkan” oleh banyak orang, dalam berbagai ungkapan selalu digelari dengan idiom-idiom itu: iblis, setan, monster, dajjal, fir’aun. Bahkan tokoh Agama seperti Pak Amin Rais menyebutnya Fir’aun Jawa.
Pak Harto secara eksplisit mengeluh kepada saya tentang gelar dari Pak Amin itu. “Hati saya ngresulo”, katanya.
Saya coba menjawab seadil mungkin secara ilmu maupun empirik:
“Pak Amin tentu memiliki hujjah atau argumentasinya sendiri dengan penyebutan itu. Dan itu urusan Pak Amin dengan dirinya sendiri dan dengan Tuhan. Pada hakekatnya hanya luthf (kelembutan pandangan) Allah yang paling mampu dengan detail menakar berapa prosentase kefir’aunan hambaNya. Adapun manusia, sejauh-jauh prestasinya hanyalah perjuangan untuk berendah hati di dalam kesadaran bahwa setiap hamba Allah yang bernama manusia memiliki potensi kefir’aunan dan potensi ke-Musa-an atau ke-Muhammad-an di dalam dirinya masing-masing. Dengan kata lain, Fir’aun, Musa, Muhammad, Malaikat dll. bisa kita pahami sebagai potensialitas kejiwaan pada diri manusia, dan tidak harus merupakan oknum atau pribadi. Ketika Musa diperintahkan oleh Allah agar mendatangi Fir’aun untuk menanyakan apakah RajaLela itu mau membersihkan diri atau tidak -- bisa kita maknai bahwa potensi Musa kita mendatangi potensi Fir’aun kita sendiri untuk menyampaikan tawaran
gratis dari Allah itu. Jadi sekarang masalahnya kembali kepada Pak Harto sendiri. Seberapa serius Pak Harto menggali potensi dirinya sendiri dan mencoba mengukur berapa kadar kefir’aunan Pak Harto, dan sudah lahirkan Musa yang akan melawan kefir’aunan itu, meskipun dulu bayi Musa (bayi lelaki, alias kejantanan dan kehormatan rakyat) Pak Harto kejar-kejar untuk dibunuh sehingga sang bayi dihanyutkan ke sungai....tapi kemudian mencengkeramkan tangan kebenarannya ke leher Pak Harto”.
***
Saya dan kita semua bisa ikut menakar Soeharto: berapa benarnya, berapa salahnya, mana baiknya, mana buruknya. Di level mana saja benar salah baik buruknya itu: level moral, level hukum formal, level ilmiah, level kultural, atau apapun. Sambil wanti-wanti kepada diri sendiri melalui firmah Allah: “Janganlah kebencianmu kepada seseorang membuatmu bersikap tidak adil”.
Akan tetapi bisa jadi hasil penilaian kita tidak seratus persen sama dengan al-lathif, Yang Maha Lembut itu. Yang kita ketahui hanya satu, yang tak kita ketahui tak terhingga jumlahnya. The real judge adalah Allah swt. Kita mungkin tidak pernah siap untuk melihat dan menerima kenyataan bahwa seseorang yang ‘kita nikmati dalam kebencian’ dan kita sebut iblis, ternyata bisa juga ingin memperbaiki diri. Lebih tidak siap lagi membayangkan bahwa ia bertobat. Kita memerlukan orang jahat tetap sebagai orang jahat, demi kelegaan hati kita. Kita katakan kepada diri kita sendiri: “Pak Harto itu pengiiin banget lho masuk neraka! Sehingga dia terus mengincar untuk berkuasa, terus menggalakkan kerusuhan....”
***
Pokoknya Pak Harto harus kita pertahankan sebagai satu-satunya simbol iblis di Indonesia, sehingga kita yang dulu ikut aktif dalam sistem iblis itu selama berpuluh-puluh tahun bisa terbebas dari tudingan. Kita langgar persepsi ilmiah bahwa keiblisan Orde Baru itu kolektif, mustahil individual: kita pertahankan cara pandang ini dengan segala cara.
Tetapi tidak saya persoalkan apakah pemakaian kata-kata iblis dlsb. itu berangkat dari hubungan-kesadaran, sampai ke etimologi dan teologi, ataukah sekedar pinjam istilah. Sebagaimana Pancasila dan UUD-45 menyebut kata ‘Tuhan’ dan ‘Allah’ bisa jadi sekedar oper idiom, karena kemudian di dalam praksis kehidupan bernegara kita tidak lagi penting apakah Tuhan dan Allah dijadikan rujukan utama atau tidak bagi kemungkinan makhraj (solusi) dari masalah-masalah yang menimpa.
Sesungguhnya sangat menarik untuk membicarakan iblis, lengkap dari perspektif ilmu fisika, biologi, teologi dan budaya. Misalnya bahwa suku cadang kemakhlukan kita ini sama dengan iblis, setan, malaikat, batu, dan apapun saja makhluk Tuhan. Hanya saja speed molekular-nya berbeda, komposisi dan aransemen keatomannya berbeda, sehingga karakter chromosome-nya juga lain, termasuk hak dan kewajiban yang diberikan oleh Penciptanya juga tak sama -- sehingga habitat dan perilaku, alias kebudayaan dan peradabannyapun berbeda.
Yang paling menarik kali ini adalah bahwa ternyata kita di Indonesia sama sekali tidak butuh iblis....
***
Cobalah kita kuliti sejumlah perbedaan antara kita dengan iblis, umpamanya. Sebagaimana beda kita dengan binatang sangat jelas: kalau macan sudah makan kambing dan kenyang, maka ia bisa tidur damai dengan ratusan kambing, sampai ia lapar kembali dan memakan hanya seekor lagi seperti di-sunnah-kan olehNya.
Sementara kita, meskipun sudah punya lima proyek besar, masih terus sanggup menyikat puluhan proyek lain -- sehingga hancurlah Orde Baru. Manusia dipinjami kemerdekaan dan demokrasi, dan ia mengerjakannya belum tentu dengan kedewasaan dan nurani kemanusiaan, malah kebanyakan dengan nafsu dan unbounded posessiveness: rasa ingin memiliki yang tak ada batasnya.
Semoga rencana-rencana kekuasaan, melalui sekian banyak partai-partai politik, tidak bermuatan hal semacam itu. Kalau orang bertanya: partai politik itu ingin kebaikan atau kemenangan? Ataukah ingin kemenangan untuk memperjuangkan kebaikan? Kalau yang terasa dominan adalah napsu untuk menang, maka adanya muatan semacam itu sangat kita kawatirkan.
Semoga kemenangan PKB adalah kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Semoga kemenangan PDI Perjuangan, PAN, atau Golkar atau apapun, hanya punya satu arti: ialah kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Kalau kemenangan parpol adalah hanya kemenangan parpol itu sendiri, akan tetap celakalah nasib rakyat.
Keserakahan, nafsu, rasa serba tak cukup, watak api -- itu jelas watak utama iblis yang diajarkan kepada manusia. Dan ajaran itu tidak hanya bisa merasuk ke jiwa Soeharto, tapi juga bisa ke Wagimin, Megawati, Tukijo, Amin Rais, organisasi dan kumpulan-kumpulan, atau apapun. Bahkan niat baikpun bisa menjelma jadi napsu.
Cukup banyak bukti bahwa di negeri ini kita tak memerlukan ajaran iblis lagi untuk ‘sekedar’ berlaku rakus kepada dunia. Sehingga, sebagaimana Adam melorot derajatnya dari sorga ke bumi, kitapun melorot izzah (kehormatan) kebangsaan kita dari kemewahan ke krismon dan kristal (krisis total). Kita kutuk penjarahan oleh rakyat sesudah sekian puluh tahun kita ajari mereka menjarah. Kita laknat kerusuhan oleh rakyat sementara terus menerus kita rusuhi hati mereka, pikiran mereka, telinga mereka, dengan kerusuhan mulut dan sistem budaya kita.
***
Iblis tidak pernah merasa dirinya benar, dirinya baik, dirinya suci. Sementara kita memiliki kecenderungan yang sangat besar untuk merasa benar, merasa baik dan merasa suci -- sehingga orang lain yang kita tuduh harus bertobat -- itupun kita larang ia bertobat. Padahal kita ketakutan setengah mati kalau ia tidak bertobat sehingga mengamuk.
Dalam hal melarang manusia bertobat, kita sama dengan iblis. Tapi dalam hal memahami konsep tobat, iblis unggul dari kita. Kita tidak tahu bahwa pertobatan kepada Allah dipersyarati oleh keberesan masalah dengan sesama manusia. Artinya kalau punya hutang, harus bayar dulu; kalau bersalah, dihukum dulu oleh manusia, baru Allah membuka pintu ampunannya. Kita tidak tahu itu, sedang iblis tahu persis.
Iblis, sesudah menggoda manusia dan menjerumuskannya agar dibakar oleh kobaran api dari dalam napsunya sendiri, berkata kepada Tuhan: “Wahai Tuhan, sesungguhnya aku sendiri takut kepadaMu...”. Sementara pada kita sangat sedikit indikator bahwa kita takut kepada Tuhan. Kita berani mengabaikan pembelaan Tuhan atas rakyat kecil. Kita bisa mendustai mereka berpuluh tahun.
Kita bahkan sanggup menyalurkan bantuan makanan kepada rakyat sambil mencopetnya. Kita tega mengumum-umumkan obsesi pribadi kita akan kekuasaan di depan rakyat yang sangat mengalami kesulitan hidup. Kita bisa dengan ringan menutup telinga bahwa bagi rakyat hanya tiga hal yang prinsip: hidup aman, sembako murah, bisa menyekolahkan anak.
Tentang presidennya siapa, silahkan mau Kirun mau Timbul. Dalam hatinya rakyat berpedoman: yang penting bukan ‘siapa’nya, melainkan apa produk positifnya untuk kesejahteraan rakyat. Mohon bikin metodologi riset atau jajag pendapat yang bertanggung jawab terhadap kandungan substansial kemauan rakyat banyak, bukan hanya omongan beberapa puluh orang di sekitar kantor kita.

***
Iblis dan setan, sesombong-sombongnya mereka, setakabur-takaburnya mereka, seratus persen sadar bahwa mereka melakukan kejahatan dan perusakan. Mungkin karena itu tidak kepada iblis dan setan, melainkan kepada manusia, Tuhan memberi peringatan: “Janganlah engkau membuat kerusakan di muka bumi”, dan manusia menjawab dengan congkak: “O, tidak, yang kami lakukan ini adalah perbaikan...”
Kalau Tuhan menyebut “orang-orang yang membangun”, kita merasa itu pasti kita. Kalau Tuhan bilang “orang-orang yang merusak”, kita yakin merekalah yang dimaksud oleh Tuhan itu. Yang buruk pasti mereka, yang baik pasti kita.
Padahal manusia dijadikan mandataris kehidupan alam semesta dengan argumentasi bahwa manusia itu dholuman jahula. Lalim dan bodoh. Artinya, manusia sanggup menjadi pemimpin karena modal utamanya adalah rasa bersalah telah berbuat lalim, belum bisa menolong orang lain, sehingga ia senantiasa mendorong diri untuk berbuat sebaik-baiknya. Modal utamanya adalah sanggup merasa bodoh, tidak pinter, tidak unggul dari siapapun -- sehingga ia selalu berendah hati untuk belajar.
Last but not least, tidak ada ceritanya masyarakat iblis dan setan bertengkar satu sama lain, sebagaimana kita manusia selalu dan terus menerus bertengkar memperebutkan khayal masing-masing, mempertahankan benernya sendiri (kefir’aunan) terus menerus, memerlukan kehinaan saudaranya sendiri untuk mendapatkan kejayaan, membutuhkan kehancuran sesama manusia untuk memperoleh yang ia sangka kehormatan.
Walhasil Indonesia benar-benar tidak butuh iblis atau setan, sebab potensialitas keiblisan, kesetanan dan kefir’aunan kita, pada sejumlah hal, sudah melebihi setan, iblis dan fir’aun yang asli. Mudah-mudahan saya keliru.
(Emha Ainun Nadjib/1999/PadhangmBulanNetDok)
Perjalanan ulang alik Yoga-Jombang biasanya kami (saya dan saudara-saudari atau teman-teman) lakukan di paruh malam yang kedua.
Naik bis yang kecepatannya supir ngedap-ngedapi selama 4-5 jam, subuh menyongsong kami di tempat tujuan. Terkadang malah hanya tiga setengah jam, atau malah hanya beberapa kejapan saja - karena kami 'tewas' sepanjang perjalanan.
Tak pernah terlintas ide di benak saya unuk mencoba menerapkan mekanisme demokrasi di bis : misalnya, semua unsur merundingkan berapa kecepatan bis sebaiknya. Saya biasanya pasrah saja. Tak pernah melontarkan kritik kepada bagaimana sopir menjalankan roda pemerintahannya. Tak perlu mengonrol. Paling hanya evaluasi, yng toh saya 'peti-es' kan sendiri, tidak saya 'press release' kan.
demikianlah, malam itu, kami menunggu bis ke Solo atauYogya di perempatan njomplangan atau teteg sepur deka stasiun Jombang. Becak berderet di sana, menunggu semacam janji hari depan, tanpa batasan siang atau malam.
Kami menunggu bis favori kami. api karena malam, tak bisa langsung tampak bis apa yang akan lewat. Jadi satu-satunya jalan ialah menjalankan semacam taktik atau srategi atau penipuan.
Semua bis kami stop. Kalau bis ternyata ke Kediri atau Ponorogo, kami jujur bilang "Ke Yogya" Kalau yang lewat adalah bis ke Yogya tapi bukan favorit kami, kami berbohong "Ke Ponorogo!"
Demikian berlangsung berulang-ulang. Para tukang becak guyup membantu kesibukan kami "memilih masa depan".
Salah seorang tukang becak bahkan berlaku seperti saudara kami sendiri: aktif menolong menyetopbis dan mengobrol di setiap 'pause'. Dan ketika kemudian hujan mendadak turun, ia mempersilakan kami berlindung di becaknya, sementara ia numpang di becak sisinya.
Hujan berkepanjangan. Tiba-tiba tukang becak itu nyeletuk: "Ya inilah hukuman bagi orang yang berbohong!"
Kami terkesiap. Tak tahu mau berkata apa-apa.
"Tapi memang kalau meningkatkan taraf hidup memang harus pandai bohong" - ia melanjutkan - "Kalau jujur saja nanti hanya dapat bis yang jelek dan lambat."
Dan ia terus melanjutkan - "Tapi ya untunglah Cak, Tuhan menghukum langsung, jadi nanti di akhirat lebih ringan. Untung juga Tuhan masih mau menghukum, itu namanya Dia tresno, kita tidak di-ujo saja..."
Kami benar-benar meenjadi bisu.
Sambil akhirnya bis favorit itu tiba, si tukang becak mempersilakan kami dan berkata - "Selamat tidur Cak! Mudah-mudahan sudah lunas hukumnya!"
Saya malah tak bisa tidur. Apa benar sudah lunas? Apalagi keadaan hidup sekarang ini membuat dosa tak terasa sebagai dosa.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)
Sudah kubuang-buang tuhan
Agar sampai ke yang tak terucapkan
Namun tak sekali ia sedia tak hadir
Terus mengada mengada bagai darah mengalir

Sajakku beranak-pinak
Dikungkung tuhan sendirian
Perih cintaku berteriak-teriak
Takut ditolak keabadian

Sudah kubuang-buang tuhan
Sudah kulupa-lupakan
Sampai ingat dan lupa
Lenyap jaraknya

Sampai tahu tak atau menjelma
Baginya tak beda
Sampai gugur mainan ada tiada
Yang menghimpitku di tengahnya

Sudah kubuang-buang
Sudah kubuang-buang
Ia makin saja tuhan
Makin saja Tuhan

1996

(Emha Ainun Nadjib/"Kumpulan Sajak Cahaya Maha Cahaya"/Salman/PadhangmBulanNetDok)
Tulisan ini saya bikin dengan asumsi dasar bahwa para pembaca percaya ada Allah dengan kekuasaan-Nya. Di salah satu tayangan televisi, muncul seorang kiai dengan nasihat sangat bijak, kurang-lebih begini: "Jangan minta kepada Ponari, Ponari itu makhluk. Jangan minta kepada batu, batu itu makhluk. Jangan berlaku syirik sehingga menjadi manusia musyrik. Mintalah Khaliq, Allah Swt...."

Sangat pendek tapi cespleng. Media massa sangat mengerti kecerdasan masyarakat, sehingga cukup pendek saja. Setiap yang mendengarkan fatwa itu meneruskan sendiri dalam hati dengan logikanya: "Jangan minta kesembuhan kepada dokter, dokter itu makhluk. Jangan minta kepada pil dan obat-obatan, pil dan obat-obatan itu makhluk. Jangan berlaku syirik, sehingga menjadi manusia musyrik."

Ya Allah ya Rabbi ya Karim, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air. Kalau Nabi Musa pegang tongkat, bersama pasukannya dikejar tentara Firaun, mendapat perintah dari Allah, "Pukulkan tongkatmu ke air laut!" Lantas laut terbelah, pasukan memasuki belahannya, kemudian Firaun dan tentaranya mengejar ke belahan itu, namun tenggelam karena air menutup kembali, mohon dengan sangat jangan simpulkan bahwa yang dipegang Musa itu "tongkat sakti", sehingga Nabi Musa juga "Maha Dukun" yang sakti.

Mohon dengan sangat, jangan rumuskan bahwa tongkat Nabi Musa mampu membelah laut, mampu menerbitkan mata air dari batu kering, meskipun insya Allah bisa bikin pecah kepala kita. Apalagi lantas dengan metodologi ilmiah tertentu, para pakar meneliti tongkat itu mengandung zat dan energi apa sehingga air samudra terbelah olehnya. Kalau besok paginya Anda minta kepada Nabi Musa untuk membelah air laut lagi, percayalah air laut tak akan terbelah. Sebab, yang membuat laut terbelah bukanlah Musa atau tongkatnya, melainkan perintah atau perkenan Allah.

Lha Allah ini pemegang saham dan the only resources dari seluruh "alam semesta ini dengan segala ketentuan hukum dan perilakunya”. Hak absolut Allah untuk menyuruh orang membelah laut dengan tongkat atau dengan meludahinya. Kalau Musa pukulkan tongkat lagi ke laut tanpa perintah-Nya, dijamin tak terjadi apa-apa. Atau besoknya Tuhan suruh Musa "Berteriaklah keras-keras!", lantas tiba-tiba laut terbelah lagi ditambah gunung ambruk dan air sungai membalik arah arus airnya, itu sepenuhnya terserah-serah Tuhan.

Makhluk, juga dokter atau dukun, batasnya adalah mengobati atau menjadi sarana proses menuju kesembuhan. Tapi pengambil keputusan untuk sembuh atau hak dan kuasa untuk menyembuhkan ada pada Allah. Terserah Dia juga mau bikin sembuh orang sakit pakai cara bagaimana dan alat apa. Bisa tongkat, bisa batu, bisa air, bisa karena ditempeleng, bisa dengan apa pun saja semau-mau Tuhan. Yang diperintah oleh Tuhan untuk menjadi sarana penyembuhan terserah Dia juga. Mau kiai, pendeta, pastor, rabi, tukang sol sepatu, Ponijo, Rasul, Nabi, Markesot, atau siapa pun dan apa pun saja. Kalau Anda dan saya tidak setuju, Tuhan "tidak patheken" juga. Dia Maha Pemilik Saham segala sesuatu dalam kehidupan, Dia berhak ambil keputusan apa saja.

Kalau seorang suami pergi lama tugas ke kota yang jauh, sehingga bawa celana dalam istrinya, mohon jangan simpulkan bahwa dia penggemar celana dalam, kemudian Anda coba rebut celana dalam itu untuk Anda selidiki, bahwa dia mengandung zat-zat dan bebauan apa, sehingga seorang tokoh besar membawa-bawanya ke mana pun pergi. Kalau pas di kamar hotel sendirian suami itu mencium-ciumi celana dalam, mohon jangan dikonklusikan bahwa ternyata ia punya penyakit jiwa dan harus dibawa ke psikiater. Ya Allah ya Rabbi ya Karim, yang diciumi oleh suami itu bukan celana dalam, melainkan cintanya kepada sang istri dan komitmen kesetiaan di antara mereka.

Wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, kalau saudara-saudaramu naik haji dan berebut mencium Hajar Aswad, itu bukan karena mereka stone-mania atau ngefans sama batu. Mereka sedang meneguhkan kesadaran bahwa mereka sangat butuh Allah dalam hidupnya, maka mereka mengukuhkan cinta kepada makhluk yang paling dicintai Allah, yakni Rasulullah Muhammad Saw. Dan karena dulu Muhammad juga mencium batu hitam itu, padahal jelas beliau tidak punya hobi makan batu, maka mereka menyatakan di hadapan Allah cinta mereka kepada Muhammad. Mudah-mudahan dengan itu mereka kecipratan cinta Allah kepada Muhammad, sehingga Allah memperlakukannya sebagai bagian dari yang paling Ia cintai.

Kabarnya Nabi Musa ketika memimpin pasukan kejaran Firaun itu mendadak sakit perut di tengah lari-lari. Musa mengeluh kepada Allah, dan Allah memerintahkan agar Musa naik bukit ambil daun dari sebatang pohon untuk menyembuhkan sakit perutnya. Musa naik dan, sebelum menyentuh daun, perutnya sudah sembuh. Tolong jangan ambil konklusi "Itu daun mujarab banget, belum disentuh, perut udah sembuh". Musa balik ke pasukannya, mendadak sakit perut lagi. Ia langsung naik ke bukit, tapi sesudah makan sekian lembar daun perutnya tak sembuh-sembuh juga. Musa protes kepada Allah. Dalam logika saya, Allah menjawab dengan penuh kegelian: "Hei, Sa. Emang siapa yang bilang bahwa daun bisa menyembuhkan perutmu? Meskipun daun itu mengandung unsur-unsur yang secara ilmiah memang rasional bisa menyembuhkan perutmu, Aku bisa bikin tetap tidak menyembuhkan. Tadi waktu sakit perut yang pertama kau mengeluh kepadaku, tapi pada yang kedua kau tak mengeluh dan langsung saja lari ke
bukit ambil daun. Karena kamu salah cara berpikirmu. Salah pandangan ilmu dan cintamu kepada segala sesuatu. Kamu salah peradaban. Kamu pikir daun bisa menyembuhkan. Itu tergantung mau-Ku. Aku menyembuhkanmu bisa pakai daun, air putih, batu, lewat Gaza, Tursina, Jombang, atau mana pun semau-mau-Ku.... Berapa lama sebuah anugerah Kuberikan, itu rahasia-Ku, bisa sesaat, sebulan, setahun, terserah Aku."

"Datanglah ke dokter, minta obat, sebagaimana ratusan juta orang telah melakukannya. Datanglah ke kiai, bawa air putih. Atau datanglah ke mana pun kepada siapa pun. Asalkan kau tak posisikan mereka semua pada maqam-Ku. Engkau berlaku musyrik atau tidak, terletak tidak pada pil dan dokternya, tongkat dan Musa, air dan kiai, atau batu dan siapa pun yang kutitipi batu sejenak. Letak syirik ialah pada pola pandangmu, pada cara berpikirmu. Jangan percaya kepada Ponari, Dukun, Ponari atau Kiai, tapi hormatilah mereka, karena siapa tahu mereka adalah hamba-hamba-Ku yang Kutitipi sarana untuk kesembuhanmu. Minumlah pil dokter dan air batu Ponari dengan kesadaran memohon kepada-Ku...."

Tiba-tiba aku dibentak oleh sebuah suara: "Ngurusi Ponari aja nggak becus! Mau sok-sok berlagak mengurusi NKRI!" Terperangah aku. Terpaksa kupotong di sini tulisanku ini, sebab aslinya panjang sekali. Kucari siapa berani-berani membentakku. Tak ada siapa-siapa. Tapi malam di Kendari menjelang aku tidur kelelahan usai bersalaman dengan ribuan undangan pengantin anakku, bentakan itu datang lagi: "He! Perhatikan itu para ahli kubur dari Jombang!" Ahli kubur? Aku tak ngerti.

"Kemarin pandangan-pandangan dan anggapan-anggapan dalam hidupmu dikubur habis oleh mutilasi-mutilasi dari tangan seorang yang tersisih secara sosial, yang menderita secara kejiwaan, yang terasing secara politik dan sejarah. Sekarang kalian sedang dikubur oleh sebongkah batu yang nenek itu menyebutnya Watu Gludug, yang dititipkan beberapa waktu kepada anak SLB yang kesepian dan menderita tatkala dipindahkan ke SD. Pelajarilah hari-hari besok dengan meluangkan waktu memperhatikan siapa saja dari tempat itu yang tingkat ketersisihan dan keteraniayaannya lebih dahsyat...." Mendadak ada suara lain yang membungkam suara itu: "Husysy! Shut up!"
( Emha Ainun Nadjib/Koran Tempo/21 Februari 2009/PadhangmBulanNetDok)
Saat kita mulai rajin ikut sebuah kelompok pengajian (majelis taklim), jangan kaget bila suatu saat ada suara “Silahkan ikut pengajian, tapi jangan membentuk kelompok sendiri”. Itulah suara yang sepintas terkesan bijaksana, namun kenyataannya sering meruntuhkan niat seseorang, suara seperti itu sering membuat orang yang mulai rajin ikut pengajian jadi mundur, tidak jadi menuntut ilmu dan malas menambah wawasan. Seharusnya kita tetap istiqomah, sebelum berangkat tetapkan niat, “Bismillah, Ya Allah, sesungguhnya saya berniat baik, saya ingin menuntut ilmu….”. Langkahkan kaki dengan mantap. Insya Allah, selama perjalanan saja sudah merupakan syiar, dakwah, mengajak pada kebaikan, mengingatkan yang lalai, maka kalau sampai ada yang bisa membuat langkah kita surut, pulang ke rumah dan berhenti mengaji, urung menuntut ilmu, dan mandeg total, maka pastikan itu adalah ajakan syetan !.
Syetan akan senantiasa berdendang untuk melalaikan saat kita berusaha mendekat kepada Allah SWT. Dimana saja, kapan saja, kepada siapa saja.
Saat kita mulai belajar menyimak lantunan ayat-ayat Al Qur’an di rumah, baik lewat kaset/CD/VCD atau apa saja, jangan heran bila suatu saat ada yang bilang “Ah, kayak di masjid saja pakai ‘nyetel’ ayat suci segala”.
Saat kita mulai membiasakan memutar lagu-lagu islami, nasyid, qasidah atau sholawat, untuk membantu tercipta suasana islami di rumah. Jangan kaget bila tiba-tiba muncul komentar “Wah, lagi ada hajatan, nih ?”.

Saat kita berusaha selalu menyisihkan dana untuk infaq dan sedekah, jangan gusar bila tiba-tiba ada yang menyanyi “Ah, sok sosial amat sih ?!”.
Saat kita terbata-bata karena masih taraf belajar membaca Al Qur’an, tetaplah istiqomah bila tiba-tiba saja ada yang menukas “Ah, baca Qur’an saja masih kayak gitu, sudah gitu nggak enak lagi suaranya”.

Saat hati kita terketuk melihat penderitaan saudara-saudara muslim kita di daerah lain, atau di negara lain, sehingga muncul niat untuk membantu, jangan bingung bila tiba-tiba ada yang memberi ‘petuah’, “Ah, daerah/negara sendiri saja masih begini keadaannya, mengapa mesti mikiran yang jauh disana ?”.
Saat kita mulai belajar mendalami islam, jangan patah semangat bila tiba-tiba ada wejangan, “Mbok jangan fanatik begitu, biasa-biasa sajalah”.
Begitu banyak dan mudah contoh sehari-hari bisa ditemukan. Suatu kegiatan atau bahkan amalan yang sudah nyata-nyata kita pahami nilai kebaikannya, dan berpahala bila dikerjakan, akhirnya kita gugurkan begitu saja karena suara-suara yang menghembus-hembuskan keraguan dalam hati kita.

“Kita tidak bisa sesuci malaikat, sebenar malaikat, sebaik malaikat, tapi kita juga tak punya cita-cita untuk selaknat syetan, sedurhaka syetan dan segelap syetan. Malaikat itu makhluk statis, meskipun dia hadir atau diletakkan di tempat pelacuran, tempat perjudian, tempat minum-minum, tetap baik yang dia lakukan. Syetan juga makhluk statis, meskipun dia hadir di masjid, di kuil, di gereja, tetap jelek yang dia lakukan. Sementara kita di tengah-tengahnya.
Kita memiliki pilihan, dua kemungkinan untuk kita pilih. Menuju kebaikan atau menuju kebrengsekan”.
(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)

muhammadkan hamba ya rabbi
di setiap tarikan napas dan langkah kaki
tak ada dambaan yang lebih sempurna lagi
di ufuk jauh kerinduan hamba muhammad berdiri

muhammadkan ya rabbi hamba yang hina dina
seperti siang malammu yang patuh dan setia
seperti bumi dan matahari yang bekerja sama
menjalankan tugasnya dengan amat terpelihara

sebagai adam hamba lahir dari gua garba ibunda
engkau tuturkan pengetahuan tentang benda-benda
hamba meniti alif-ba-ta makrifat pertama
mengawali perjuangan untuk menjadi mulia

ya rabbi engkau tiupkan ruh ke dalam nuh hamba
dengan perahu di padang pasir yang mensamudera
hamba menangis oleh pengingkaran amat dahsyatnya
dan bersujud di bawah bukti kebenaranmu yang nyata

sesudah berulangkali bangun dan terbanting
merenungi dan mencarilah hamba sebagai ibrahim
menatapi laut, bulan, bintang dan matahari
sampai gamblang bagi hamba allah yang sejati

jadilah hamba pemuda pengangkat kapak
menghancurkan berhala sampai luluh lantak
hamba lawan jika pun fir'aun sepuluh jumlahnya
karena api sejuk membungkus badan hamba

kemudian ya rabbi engkau ajarkan hal kedewasaan
yakni penyembelihan dan kurban, pasrah dan keikhlasan
tatkala dengan hati pedih pedang hamba ayunkan
sukma hamba memasuki ismail yang menelentang

ismail hamba membisikkan firmanmu ya rabbi
bahwa dewasa tidaklah ditandai kegagahan diri
melainkan rela menyaring dan menyeleksi
agar secara jernih berkenalan dengan yang inti

di saat meng-ismail itu betapa jiwa hamba gemetar
ego pribadi adalah musuh yang teramat tegar
jika di hadapanmu masih ada sejumput saja pamrih
maka leher hamba sendiri yang bakal tersembelih

dan memang kepala hamba tanggal berulangkali
di medan peperangan modern ini ya rabbi
hambalah kambing di jalanan peradaban ini
darah mengucur, daging hamba dijadikan kenduri

tulus hati dan istiqamah ismail ya rabbi
betapa sering lenyap dari gairah perjuangan ini
keberanian untuk bersetia kepada kehendakmu
di hadapan musuh gugur satu demi satu

maka hambamu yang dungu belajar menjadi musa
meniti kembali setiap hakikat alif-ba-ta
belajar berkata-kata, belajar merumuskan cara
harun hamba membantu mengungkapkannya

musa hamba membukakan universitas cakrawala
setiap gejala dan segala warna zaman hamba baca
dengan seribu buku dan seribu perdebatan
hamba tuntaskan makna kebangkitan

tongkat hamba angkat dan tegakkan ya rabbi
memusnahkan iklan-iklan takhayul fir'aun yang keji
ular klenik pembangunan, sihir gaya kebudayaan
karena telah hamba genggam yang bernama kebenaran

ya rabbi alangkah agung segala ciptaan ini
kebenaran belaka membuat hidup kering dan sepi
maka engkau jadikan hamba isa yang lembut wajahnya
dengan mata sayu namun bercahaya, mengajarkan cinta

isa hamba sedemikian runduknya kepada dunia
segala tutur kata dan perilakunya kelembutan belaka
sehingga murid-murid hamba dan anak turunnya terkesima
tenggelam mesra dalam isa hamba yang disangka tuhannya

ya rabbi haruslah berlangsung keseimbangan
antara cinta dengan kebenaran
haruslah ada tuntunan pengelolaan
atas segala ilmu dan nilai yang engkau anugerahkan

karena itu muhammadkan hamba ya rabbi
bukakan pintu kesempurnaan yang sejati
pamungkas segala pengetahuan hidup dan hati suci
perangkum bangunan keselamatan para rasul dan nambi

muhammadkan hamba ya rabbi muhammadkan
agar tak menangis dalam keyatimpiatuan
agar tak mengutuk meski batu dan benci ditimpakan
agar sesudah hijrah hamba memperoleh kemenangan

muhammadkan hamba ya rabbi muhammadkan hamba
agar kehidupan hamba jauh melampaui usia hamba
agar kematian tak menghentikan perjuangan
agar setiap langkah mengantarkan rahmat bagi alam

muhammadkan hamba ya rabbi muhammadkan
di rumah, di tempat kerja serta di perjalanan
agar setiap ucapan, keputusan dan gerakan
menjadi ayatmu yang indah dan menaburkan keindahan

takkan ada lagi sosok pribadi seanggun ia
dipahami ataupun disalahpahami oleh manusia
kalau tak sanggup kaki hamba menapaki jejaknya
penyesalan hamba akan tak terbandingkan oleh apa pun saja

para malaikat sedemikian hormat dan segan kepadanya
bagai dedaunan yang menunduk kepada keluasan semesta
para nabi berbaris menegakkan sembahyang
engkau perkenankan ia berdiri menjadi imam

ya rabbi muhammadkan hamba, muhammadkan hamba
perdengarkan tangis bayi padang pasir di kelahiran hamba
alirkan darah al-amin di sekujur badan hamba
sarungkan tameng al-ma'shum di gerak perjuangan hamba

kalungkan kebenjian abu jahal di leher hamba
sandingkan keteduhan abu thalib di kaki dukalara hamba
payungkan awan cintamu di bawah terik politik durjana
usapkan tangan sejuk khadijah pada kening derita hamba

kirimlah jibril mencuci hati muhammad hamba
lahirkan kembali wahyumu di detak gemetar jantung hamba
dan kucuran darah luka muhammad oleh pedang kaum pendusta
hadiahkan kepada hamba rasa sakitnya

ya rabbi ya rabbi muhammadkan hamba
bersujud dan tafakkur di gua hira' jiwa hamba
berkeliling ke rumah tetangga, negeri dan dunia
menjajakan cahaya

1988.
Emha Ainun Nadjib

0 komentar:

Posting Komentar