Pages

Sabtu, 15 Desember 2012

Kumpulan Emha 2


Kalau Anda sering bergaul dengan orang Luar Negeri, terutama auslander yang tergolong 'modern'dan 'rasional' -- mungkin saja sering Anda sampai pada kesimpulan begini : "Panas dulu kita bangsa Jawa ini gampang dijajah. Lha wong kita ini terlalu baik".
Terlalu 'baikan' sama orang. Sangat menyambut. Akomodatif. Suka menyuguh dan memberikan apa saja yang kita bisa kepada para tamu. Itu namanya "jowo". Kalau pelit, itu "ora jowo". Tentulah. Karena kita semua memang pengagum Tuhan, dan berusaha meniru sifat-sifatNya. Bukankah Tuhan Maha Jowo?
Bayangkanlah kalau Allah mengurangi jowoNya, misalnya pagi ini kurangi anugerah Nya kepada Anda dengan mengambil mata atau telinga yang nempel di tubuh kita dan disimpan kembali di gudang Nya.

Lha, ya begitulah, beberapa lama ini saya menemani tamu monco saya. Tak habis-habisnya saya nraktir, membelikan lurik, batik, berbagai sovenir, T-shirt, dan lain-lain. Sampai pada suatu hari, saya berdebat dengannya menemukannya sebagai seorang materialis sejati.
Materialis itu bukan dalam arti gila materi, tapi ia melihat seluruh kehidupan ini hanya sebagai materi. Ia menertawakan filsafat, tak percaya kepada jiwa dan mengenali nilai-nilai hanya sejauh menyangkut struktur keberadaan materi. Maka manusia dilihatnya hanya sebagai perut, dan segala uurusan politik hanyalah berkisar pada distribusi nasi. Maka ia fanatik kepada orang miskin dan 'sentimen' kepada orang kaya.
Saya mencoba berontak dengan menunjukkan kepadanya bahwa saya ini lebih melarat dibanding dia yang punya gaji tetap dan besar dan bisa sering tamasya ke luar negeri dan bisa pelit.
Maka kalau saya mentraktirnya ini itu, semata-mata karena filsafat hidup saya, kerena rasa sosial (bukan solidaritas rasional) dan karena nilai cinta kemanusiaan.
Nilai-nilai itu ternyata tak ada maknanya bagi materialisme yang menjadi tulangg punggung kehidupannya. Saya jadi anyel.
Saya katakan kepadanya bahwa rakyat Indonesia bisa bertahan hidup karena filsafat, karena ketahanan moral dan nilai-nilai kejiwaan. Kalau tak punya itu, dengan takaran materi yang amat rendah, mereka sudah hancur hidupnya. Dengan nilai-nilai itu mereka tetap sanggup memanusiakkan dirinya di tengah derita kemelaratan.
Karena si monco ono memang tak tahu banyak tentang manusia Indonesia, maka dia tak mampu membantah argumentasi saya. Saya lantas merasa iba, kasihan, dan segera saya traktir lagi.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi jon Pakir"/Mizan/1995/PadhangmBulanNetDok)
Saridin bukan tidak sadar dan bukan tanpa perhitungan kenapa dia memilih nyantri ke pondoknya Sunan Kudus. Saridin itu tipe seorang murid yang cerdas dan mengerti apa yang dilakukannya.
Harap dimengerti murid itu bukan padanan kata dari siswa atau student, sebagaimana manusia zaman modern memaknainya secara tolol. Memang manusia dalam kebudayaan dan peradaban modern kerjanya selalu melawak. Mereka lucu, dan bahkan sangat lucu karena mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka lucu.
Coba lihat saja. Di dunia modern ada yang namanya universitas . Wah gagahnya bukan main lembaga pendidikan tertinggi ini.
Penuh gengsi dan keangkuhan. Kalau sudah lulus darinya, orang di sebut "sarjana"
Padahal sesungguhnya Saridin membuktikan sendiri bahwa para pelaku lembaga pendidikan dunia modern ini ndagel atawa melawak. Mereka pura-pura bikin universitas adalah manusia universal .
Padahal nanti para sarjana keluaran universitas itu kualitas dan cakrawala pandangnya tak lebih dari manusia fakultif .
Anak-anak didik usianya sudah dewasa ini tetap saja kanak-kanak sampai tua, karena sudah bertahun-tahun di universitas masih saja terbuntu di kualitas fakultif atau bahkan jurusan.
Apa begitu itu namanya, kata Saridin, kalau bukan ndagel.
Kalau remaja-remaja itu berangkat ke universitas, ngakunya pergi kuliah. Istilah itu dari bahasa Arab: kulliyah. Artinya, suatu keberangkatan intelektual, mental, spiritual dan moral menuju taraf kosmopolitanisme.
Segi lawakannya menurut Saridin terletak pada kenyataan bahwa sebenarnya mereka bukan berangkat kuliah, melainkan berangkat juz'iyyah. Ya yang diterangkan di atas tadi: juz'iyyah itu artinya berangkat memahami sesuatu secara sektoral, secara fakultatif dan parsial.
Seandainya mereka bukan pelawak, tentu setiap keberangkatan juz'iyyah akan selalu pada akhirnya diorientasikan atau dikembalikan lagi ke spektrum kulliyah atau universalitas.
Tapi karena tradisi demikian tidak menjadi habitat utama budaya pendidikan manusia modern, maka hasilnya adalah kesempitan.
Umpamanya kalau mereka disodori pakaian oleh Saridin dan tanyakan kepada mereka "apa ini?" mereka paling menjawab "ini baju, " atau ini celana," ini cawet." Atau ini dasi."
Mereka tidak pernah menjawab-ini kain, ini benang," ini kapas" ini serat-serat," atau mungkin ini kerjasama antara alam ciptaan Tuhan dengan teknologi ciptaan manusia."
Pendeknya pada kesimpulan Saridin, jangkauan ilmu mereka atau dangkalnya kedalaman pengetahuan mereka itu hanya bisa diterangkan melalui dua kemungkinan acuan. Kalau tidak bodoh, ya itu: ndagel .
Kalau pembicaraan kita sampai pada soal "dasi" atau "sepatu" , yang merupakan ciri-ciri terpenting dari eksistensi manusia modern, lebih terasa lagi lawakannya. Kalau sudah mengingat itu, Saridin tersengguk-sengguk karena tawa dantangisnya menjadi satu keluar dari mulut dan matanya.
Dasi itu menurut pemahaman Saridin adalah benda yang benar-benar tidak bisa dipahami apa kegunaannya, kecuali untuk siap-siap kalau sewaktu-waktu pemakainya ingin kendat atau bunuh diri dengan carta menggantung diri atau menjerat leher.
Kebudayaan manusia modern selalu menjelaskan dasi dalam konteks sopan santun, kepribadian dikaitkan atau apalagi ditententukan oleh seutas kain yang dikaitkan menggelilingi leher.
Benar-benar sangat lucu. Saridin khawatir Tuhan sendiri bisa geleng-gelng kepala karena kelucuan dasi ini tingkatnya benar-benar rendah. Kepribadian itu maslah software, soal batin, mutu nilai yang rohaniah sifatnya. Kok dilawakkan melalui seutas dasi. Alangkah tidak bermutunya lawakan manusia modern.
Apalagi masalah sepatu. Pakailah sepatu, kata Saridin menirukan seseorang yang pernah didengarnya di abad 20, agar kakimu terlindung dari duri atau kerikil tajam."
Padahal para pemakai sepatu justru cenderung menolak untuk berjalan di jalanan. Mereka justru lebih sering melangkahkan kaki kelantai yang dipakai karpet tebal dan empuk.
Lantas seseorang melanjutkan, tapi sebelum pakai sepatu, pakailah dulu kaos kaki, untuk melindungi kakimu dari sepatu, agar tidak mlicet."
Di sinilah, menurut studi Saridin , puncak lawakannya. Orang yang disuruh pakai sepatu dan kaos kaki pasti
kebingungan, jadi sebenarnya sepatu ini melindungi kaki ataukah mengancam kaki, sehingga kaki harus dilapisi dengan kaos kaki?"

***
Oleh karena itu,sejak abad 16 Saridin sudah sadar untuk tak mau di ranjau oleh kebodohan yang canggih atau kepandaian yang ndagel versi kebudayaan modern. Maka ia mateg aji menjadi murid.
"Murid" itu kata subyek yang berasal dari kata kerja arada, yuridu, muridan. Artinya: seseorang yang berkendak. Ingat kata iradat Tuhan? Artinya kendak Tuhan.
Saridin menjdai muridnya Sunan Kudus karena ia sendiri yang berkehendak untuk itu. Juga ia sendiri yang berkehendak, atau menjadi subyek yang menghendaki segala macam yang menyangkut ilmu dan pengalaman hidup yang akan dialaminya dari Sang Sunan.
Dengan kata lain, sesungguhnya Saridin sendiri yang menyusun kurikulum kesantriannya. Itu namanya murid. Kalau seseorang datang ke pesantren atau sekolah lantas pasrah bongkokan dan mulutnya mengangga melulu menunggu apa saja terapan kurikulum yang telah disediakan, itu namanya murad . Artinya, orang yang kehendaki.
Memang sih pesantrennya Sunan Kudus sudah memiliki kuyrikulum, sistem pendidikan dan metoda pengajaran tersendiri. Tetapi itu sekedar bahan dan masukan bagi Saridin. Tetapi si Saridin sendiri yang kemudian mengatur dan menguasai kurikulum itu di dalam dirinya sendiri.
Jadi pada hakekatnya pesantren Saridin terletak di dalam otaknya Saridin itu sendiri. Sekolah Saridin berdiri di dalam hitungan akal sehat Saridin sendiri. Universitas Saridin berlangsung di dalam metoda dan proses belajar atau kaifiyah intelektual-spiritual Saridin sendiri.
Itulah sebabnya ia sungguh-sungguh seorang murid.
***
Menurut pandangan Saridin, sikap menjadi murid adalah perwujudan demokrasi pendidikan. Kalau ia hanya murad, berarti ia menyediakan diri untuk ditindas. Padahal Saridin tahu, di dalam Islam, orang dilarang menindas, dan lebih dilarang lagi untuk bersedia ditindas.
Tapi jangan lupa pengetahuan tentang demokrasi itu pasti Saridin ambil dari dunia modern juga. Jadi jangan seratus persen percaya kalau Saridin begitu mbagusi ketika mentertawakan kebudayaan modern. Sebab sesungguhnya ia juga banyak belajar kepada segala sesuatu mengenai modernitas dan modernisme.
Bahkan ada bulan-bulan di mana ia salah menerapkan prinsip demokrasi ketika mengikuti pengajaran dan pendidikan yang diselenggarakan oleh Sunan Kudus.
Ketika Sang Sunan meminta Saridin membuktikan hapalan Qur'annya, satu juz saja, di depan para santri lainnya-dengan mantap ia menjawab: "Sunan, adalah hak asasi saya untuk memilih apakah saya perlu menghapalkan Qur'an atau tidak."
Demokrasi bagi Saridin ketika itu, bertitik berat pada prinsip hak asasi manusia.
Ketika ia diminta mempraktekkan jurus jalan panjang ketika dilatih silat, Saridin juga menjawab: "Saya sendirilah yang berwenang untuk mempraktekkan jurus itu sekarang . Tidak seorangpun bisa memaksa saya" ."
Tapi sebelum selesai kalimatnya, Sunan Kudus mendadak menghampirinya dan menyerbunya dengan berbagai jurus. Saridin kepontal-pontal, pontang-panting, terjatuh-jatuh, terluka dan keseleo.
"Kalau kamu tidak sanggup menjadi pendekar, jangan bersembunyi di balik kata demokrasi!" kata Sunan Kudus sambil mencengkeram leher Saridin yang terengah-engah.
(Emha Ainun Nadjib/Demokrasi tolol versi saridin/Zaituna/1998/PadhangmBulaNetDok)

Waktu yang diminta oleh Saridin untuk mempersiapkan diri telah dipenuhi. Dan kini ia harus membuktikan diri. Semua santri, tentu saja juga Sunan Kudus, berkumpul di halaman masjid.
Dalam hati para santri sebenarnya Saridin setengah diremehkan. Tapi setengah yang lain memendam kekhawatiran dan rasa penasaran jangan-jangan Saridin ternyata memang hebat.
Sebenarnya soalnya di sekitar suara, kefasihan dan kemampuan berlagu. Kaum santri berlomba-lomba melaksankan anjuran Allah Zayyinul Qur’ana bi ashwatikum---hiasilah quran dengan suaramu. Membaca syahadat pun mestiseindah mungkin.
Di pesantren Sunan Kudus hal ini termasuk diprioritaskan. Soalnya, ini manusia Jawa Tengah : lidah mereka Jawa medhok dan susah di bongkar. Kalau orang Jawa timur lebih luwes. Terutama orang Madura atau Bugis, kalau menyesuaikan diri dengan Qur’an, lidah mereka lincah banget.
Lha, siapa tahu Saridin ini malah melagukan syahadat dengan laras slendro atau pelog jawa.
Tapi semuanya kemudian ternyata berlangsung di luar dugaan semua yang hadir, Tentu saja kecuali Sunan Kudus, yang menyaksikan semua kejadian dengan senyum-senyum ditahan.
Ketika tiba saatnya Saridin harus menjalani tes baca syahadat, ia berdiri tegap. Berkonsentrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. Matanya menatap ke depan. Ia menarik nafas sangat panjang beberapa kali. Bibirnya umik-umik [komat-kamit] entah membaca aji-aji apa, atau itu mungkin latihan terakhir baca syahadat.
Kemudian semua santri terhenyak. Saridin melepas kedua tangannya. Mendadak ia berlari kencang. Menuju salah satu pohon kelapa, dan dipilih yang paling tinggi. Ia meloncat. Memanjat keatas dengan cepat, dengan kedua tangan dan kedua kakinya, tanpa perut atau dadanya menyentuh batang kelapa.
Para santri masih terkesima sampai ketika akhirnya Saridin tiba di bawah blarak-blarak [daun-daun kelapa kering] di puncak batang kelapa. Ia menyibak lebih naik lagi. Melewati gerumbulan bebuahan. Ia terus naik dan menginjakkan kaki ke tempat teratas. Kemudian tak disangka-sangka Saridin berteriakdan melompat tinggi melampaui pucuk kelapa , kemudian badannya terjatuh sangat cepat ke bumi.
Semua yang hadir berteriak. Banyak diantara mereka yang memalingkan muka, atau setidaknya menutupi wajah mereka dengan kedua telapak tangan.
Badan Saridin menimpa bumi. Ia terkapar. Tapi anehnya tidak ada bunyi gemuruduk sebagai seharusnya benda padat sebesar itu menimpa tanah. Sebagian santri spontan berlari menghampiri badan Saridin yang tergeletak. Mencoba menolongnya. Tapi ternyata itu tidak perlu.
Saridin membuka matanya. Wajahnya tetap kosong seperti tidak apa-apa. Dan akhirnya ia bangkit berdiri. Berjalan pelan-pelan ke arah Sunan Kudus. Membungkuk di hadapan beliau. Tak lazim mengucapkan sami’na wa atha’na---aku telah mendengarkan, dan aku telah mematuhi.
Gemparlah seluruh pesantren. Bahkan para penduduk disekitar datang berduyun-duyun. Berkumpul dalam ketidakmengertian dan kekaguman. Mereka saling bertanya dan bergumam satu sama lain, namun tidak menghasilkan pengertian apapun.
Akhirnya Sunan Kudus masuk masjid dan mengumpulkan seluruh santri, termasuk para penduduk yang datang, untuk berkumpul. Saridin didudukan di sisi Sunan. Saridin tidak menunjukkan gelagat apa-apa. Ia datar-datar aja.
“Apakah sukar bagi kalian memahami hal ini?” Sunan Kudus membuka pembicaraan sambil tetap tersenyum. “Saridin telah bersyahadat. Ia bukan membaca syahadat, melainkan bersyahadat. Kalau membaca syahadat, bisa dilakukan oleh bayi umur satu setengah tahun. Tapi bersyahadat hanya bisa dilakukan oleh manusia dewasa yang matang dan siap menjdai pejuang dari nilai-nilai yang diikrarkannya.”
Para santri mulai sedikit ngeh, tapi belum sadar benar.
“Membaca syahadat adalah mengatur dan mengendalikan lidah untuk mengeluarkan suara dan sejumlah kata-kata. Bersyahadat adalah keberanian membuktikan bahwa ia benar-benar meyakini apa yang disyahadatkan. Dan Saridin memilih salah satu jenis keberanian untuk mati demi menunjukkan keyakinannya, yaitu menjatuhkan diri dari puncak pohon kelapa.”
Di hadapan para santri, Sunan Kudus kemudian mewawancarai Saridin: “Katamu tidak takut badanmu hancur, sakit parah atau mati karena perbuatanmu itu?”
“Takut sekali, Sunan.”
“Kenapa kamu melakukannya?”
“Karena syahadat adalah mempersembahkan seluruh diri dan hidupku.”
“Kamu tidak menggunkan otakmu bahwa dengan menjatuhkan diri dari puncak pohon kelapa itu kamu bisa cacat atau meninggal?”
“Aku tahu persis itu, Sunan.”
“Kenapa kau langgar akal sehatmu?”
“Karena aku patuh kepada akal sehat yang lebih tinggi. Yakni bahwa aku mati atau tetap hidup itu semata-mata karena Allah menghendaki demikian, bukan karena aku jatuh dari pohon kelapa atau karena aku sedang tidur. Kalau Allah menghendaki aku mati, sekarang inipun tanpa sebab apa-apa yang nalar, aku bisa mendadak mati.”
“Bagaimana kalau sekarang aku beri kau minum jamu air gamping yang panas dan membakar tenggorokan dan perutmu?”
“Aku akan meminumnya demi kepatuhanku kepada guru yang aku percaya. Tapi kalau kemudian aku mati, itu bukan karena air gamping, melainkan karena Allah memang menghendaki aku mati.”
Sunan Kudus melanjutkan: Bagaimana kalau aku mengatakan bahwa tindakan yang kau pilih itu memang tidak membahayakan dirimu, insya Allah, tetapi bisa membahayakan orang lain?”
“Maksud Sunan?”
“Bagaimana kalau karena kagum kepadamu lantas kelak banyak santri menirumu dengan melakukan tarekat terjun bebas semacam yang kau lakukan?”
Kalau itu terjadi, yang membahaya-kan bukanlah aku, Sunan, melainkan kebodohan para peniru itu sendiri, “jawab Saridin, “setiap manusia memiliki latar belakang, sejarah, kondisi, situasi, irama dan metabolismenya sendiri-sendiri. Maka Tuhan melarang taqlid, peniruan yang buta. Setiap orang harus mandiri untuk memperhitungkan kalkulasi antara kondisi badannya dengan mentalnnya, dengan keyakinannya, dengan tempat ia berpijak, serta berbagai kemungkinan sunnatullah atau hukum alam permanen. Kadal jangan meniru kodok, gajah jangan memperkembangkan diri seperti ular, dan ikan tak usah ikut balapan kuda.”
“Orang memang tak akan menyebut-mu kadal, kuda atau kodok, melainkan bunglon. Apa katamu?”
“Kalau syarat untuk terhindar dari mati atau kelaparan bagi mereka adalah dengan menyebutku bunglon, aku mengikhlaskannya. Bahkan kalau Allah memang memerintahkanku agar menjadi bunglon, aku rela. Sebab diriku bukanlah bunglon, diriku adalah kepatuhanku kepada-Nya.
(Emha Ainun Nadjib/"Folklore Madura"/Progress/PadhangmBulanNetDok)



Saya sangat serius bahwa saya berani bertaruh soal yang akan saya sebutkan berikut ini. Tapi untuk bertaruh, kita mesti minta izin dulu kepada yang berwenang, sebab bertaruh itu termasuk perjudian, dan caranya hanya satu: yang berwenang harus mengizinkan dulu.
Saya berani bertaruh bahwa humor orisinal dari kehidupan kongkrit sehari-hari adalah bahasa atau ungkapan budaya yang paling canggih dalam menggambarkan inti realitas zaman.
Kalau tulisan atau buku-buku ilmiah, harus berputar-putar dulu kalau hendak membawa kita ke realitas. Musti melalui jalan metodologi dan terminologi yang ruwet, yang hanya bisa dijangkau oleh hanya sebagaian orang yang punya biaya untuk bersekolah.
Tidak sedikit jumlah ilmuwan atau akademisi yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menjelaskan sesuatu. Hasilnya adalah: yang mendengarkan semakin tidak paham, sementara si ilmuwan sendiri mendadak menjumpai dirinya setelah berdiri jauh dari tempat kebenaran dan kenyataan yang coba ia terangkan.
Kalau kesenian, puisi atau teater umpamanya, meminta ongkos kecanggihan akal budi dan cita rasa, baru kita diantarkannya ke pusat keadaan yang dimaksudkannya. Jadi, ilmu di kampus-kampus dan kesenian di panggung-panggung itu mewah dan mahal tapi tidak efektif.
Sementara sepotong cerita humor langsung saja membenturkan kita ke inti kenyataan. Humor adalah sinar laser yang amat tajam, yang mengirimkan kita secara sangat pragmatis untuk ngeh terhadap sesuatu hal.
Silahkan pilih contoh-contohnya.
Humor bijak rakyat Ethiopia yang kondang, yang sering saya kutip, misalnya: "Kalau Sang Raja lewat, bungkukkan badanmu serendah-rendahnya, kemudian kentutlah sekeras-kerasnya!"
Tidak diragukan lagi maknanya, kan? Tapi sebentar dulu: supaya tidak melanggar kesopanan, kata 'kentut' itu bagaimana kalau kita ganti 'kentup' saja.
Ilmuwan memerlukan beribu-ribu kata yang kering-kering dan serakan buku-buku di sekitar mesin ketiknya, untuk menjelaskan kandungan artinya. Dan penyair perlu topo kungkum di sungai sehari semalam agar memperoleh ilham untuk mampu menggambarkan keadaan itu secara literer.
Teaterawan mungkin lebih gampang: lansung saja pentasakan adegan itu. Cukup satu pemeran Raja, tiga pengawal, dan lima rakyat. Tanpa kata, tanpa dialog verbal, cukup bunyi kentut saja pada klimaksnya. Biar saja running time drama itu hanya dua menit.
Kalau ada penonton yang protes karena bayar mahal-mahal hanya disuguhi pertunjukkan drama sesaat, katakan bahwa yang sesaat itu jauh lebih bermakna dibanding lakon-lakon berkepanjangan yang penuh dialog bertele-tele, sok heroik, bergaya seperti Nabi Musa, logatnya direndra-rendrakan, padahal ujungnya ketidakmengertian besar.
Atau Nasrudin Hoja yang mengantarkan seorang konglomerat berburu ke hutan. Terpeleset beliau di telaga yang dalam, padahal tidak bisa berenang. Para pengawalnya setengah mati menolong dengan mengeluarkan tangan dan berteriak: "Tuan! Cepat kasih tangan Tuan! Cepat!"--namun sang beliau tidak bersedia menjelurkan tangannya meskipun sudah lima liter air sudah masuk ke tenggorokannya.
Nasrudin yang ahli psikologi, sosiologi dan antropologi sekaligus, segera ambil peranan. Ia ulurkan tangan dan berkata kalem: "Tuan, cepat ambil tangan saya! Ayo, Tuan, ambil!"
Kalau sebagai mahasiswa kita harus bikin paper tentang itu, kita harus cari buku-buku loakan tentang menalitas kapitalisme klasik. Tentang akulturasi dan ekonomisme yang membuat manusia tidak sadar menomorduakan nyawa dan kehidupannya sendiri demi suatu etos profit. Atau setidaknya tentang psikologi kelas-kelas manusia.
Adapun penyair, akan mengalami kesulitan untuk menemukan kosa kata. Dan kalau ia mencoba mempuisikan adegan itu, biasanya akan menjadi bernuansa tragika melankolik dan dilebih-lebihkan, serta tak menemukan humornya. Padahal humor adalah salah satu metoda untuk mengeliminir tradika.
Apalagi konglomerat yang satu itu, beliau berperahu-perahu ria di hari week end di lepas pantai pulau seribu. Terjatuh beliau ke laut, megap-megap. Istri beliau segera berteriak memanggil nelayan yang kebetulan sedang mencari ikan tak jauh dari tempat jatuhnya beliau.
Si nelayan bilang: "Soal nolong itu gampang, Bu! Tapi mosok hanya nolong? Kecut, dong!"
"Oke, oke! Mau berapa?"
"Sepuluh ribu rupiah!"
"Oke-oke! Tapi cepat tolong suami saya!"
Tiba-tiba sebelum si nelayan terjun untuk menolong, sang konglomerat sambil heap-heap berteriak kepada istrinya: "Maaa! Ditawar dong, Ma! Seribu limaratus saja....!"
Atau mari kita stel kembali rekaman humor yang paling klasik dan populer dari Madura. Terjadi dijaman penjajahan Belanda. Yakni tentang seorang penonton layar tancap yang kesakitan karena kakinya terinjak sepatu orang yang berdiri di sebalahnya.
Anda sudah tahu bagaimana adegan-nya. Si terinjak malah minta maaf dan berkata amat sopan kepada si penginjak: "Maaf, Pak..."
"Ada apa?" Si penginjak ganti tanya.
"Ini maaf lho, pak...?"
"Iya, iya, ada apa?"
"Bapak 'dak marah?"
"Lho, gimana, sih?"
"Bener 'dak marah kalau saya tanya?"
"Iya, iya, ada apa!" Si pengijak mulai hilang kesabaran.
Dengan terbata-bata dan wajah pucat di terinjak memberanikan diri dan bertanya: "Apa Bapak ini morsase?"
"Bukan, bukan!" Jawab si penginjak.
"Anak morsase?"
"Bukan."
"Punya keluarga morsase atau serdadu lain? Famili, keponakan, besan, tetangga, atau pokoknya ada kenalan serdadu?"
"Tidak! Ah, saudara ini aneh-aneh saja..."
Belum selesai si pengijak dengan kalimatnya, mendadak si terinjak meledakkan suaranya: "Kalau bukan marsose atau serdadu, kenapa kamu injak kaki saya?!"
Ah, sepotong humor, namun betapa tajam!
Para pakar ilmu, Pak Bill Liddle, Pak Daniel Lev, Pak Faith, sudah capek-capek berbulan-bulan menulis buku tentang masalah yang sama, namun tak pernah sanggup membuat kita merasa terinjak seperti sesudah mendengar singkat angin Madura itu.
(Emha Ainun Nadjib/Folklore Madura/Progress/PadhangmBulanNetDok)
Di dalam kehidupan sehari-hari di muka bumi, Allah kita akui adaNya, namun belum tentu kita posisikan sebagai Pihak Pertama dalam konsentrasi dan kesadaran hidup kita. Allah belum kita jadikan Pembimbing Utama hidup kita. Allah belum kita jadikan Panglima Agung yang setiap instruksiNya kita patuhi dan setiap laranganNya kita jauhi. Allah masih belum kita letakkan di tempat utama dalam urusan-urusan kita, firman atau ayat-ayatNya belum kita jadikan wacana utama dalam menjalani kehidupan. Mungkin karena kita masih belum bisa berpikir rasional, atau mungkin kita belum memperoleh informasi yang cukup untuk membawa kita kepada betapa pentingnya Ia, atau justru karena kita sudah merasa pandai dengan kesarjanaan kehidupan kita.

Pada umumnya Allah masih kita letakkan sebagai Pihak Ketiga yang kita sebut 'Dia' dan sesekali saja kita sebut, utamanya ketika sedang susah dan kepepet oleh suatu masalah.

Jangankan lagi untuk mencapai kesadaran ke-Isa-an di mana pada konsentrasi batiniah terdalam kita menyadari bahwa pada hakekatnya kita ini tidak ada dan semata-mata hanya 'di-ada-kan' olehNya. Sehingga pada konsentrasi yang demikian kita melebur dan lenyap, sampai akhirnya yang benar-benar ada, yang sejati ada, hanya Allah. Dan pada saat itu Allah adalah 'Aku', karena 'aku' yang makhluk ini sudah lenyap sirna bagaikan laron yang terbakar oleh dahsyatnya sinar matahari.

Adapun di dalam Ikrar Husnul Khatimah itu kita memposisikan Allah sebagai 'Engkau'. Kita sadar bahwa kehidupan kita ini berada di hadapanNya. Allah bukan 'di samping' kita atau 'di sana', melainkan tepat di depan kita.

Sesungguhnya kesadaran meng-Engkau-kan Allah merupakan milik sehari-hari setiap Muslim yang Mu'min. Di manapun kita berada, apapun yang kita lakukan, Allah tidak pernah berada 'di sana', melainkan senantiasa berada di hadapan kita.

Bukankah jika melakukan shalat kita berupaya untuk menyadari seolah-olah kita sedang melihatNya di hadapan kita, dan kalau kita tidak mampu melihatnya maka Ia yang melihat kita dari hadapan kita sendiri? Dengan demikian Ikrar Husnul Khatimah adalah suatu peristiwa kesadaran di mana Allah bukan sekedar 'Ia' yang 'di sana' yang berposisi sebagai pelengkap penderita dari program-program karir sejarah kita. Melainkan di hadapan kita, dan merupakan konsern utama kehidupan kita.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (215)/1999/PadhangmBulanNetDok)

Bisakah luka yang teramat dalam ini akan sembuh? Mungkinkah kekecewaan, bahkan keputusaan yang mengiris-iris hati berpuluh-puluh juta saudara-saudara kita akan pada suatu hari kikis?

Kapankah kita akan bisa merangkak naik ke bumi, dari jurang yang sedemikian curam dan dalam?

Benar tahukah kita apa yang sesungguhnya kita alami? Sungguh pahamkah kita apa yang sesungguhnya kita sedang kerjakan? Mengertikah kita ke cakrawala mana sebenarnya kaki kita sedang melangkah?
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (216)/1999/PadhangmBulanNetDok)

Benarkah yang salah selalu adalah ia dan mereka? Sementara yang benar pasti kita dan saya?

Benarkah yang harus direformasi selalu adalah yang di situ dan di sana, dan bukan yang di dalam diri kita sendiri?

Mungkinkah reformasi eksternal dikerjakan tanpa berakar pada reformasi internal?

Apakah sesungguhnya yang sedang berlangsung di dalam syaraf-syaraf hati kita serta sel-sel otak kita?

Sistem nilai apakah yang sesungguhnya kita pilih untuk mengerjakan gegap gempita yang kita sebut reformasi ini? Demokrasi, sosialisme, Jawaisme, Islam, Protestanisme, Yahudisme, serabutanisme, kebencian, dendam, atau apa?
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (217)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Selicin apapun jalan reformasi ini, engkau harus jalani.... Selicin apapun pohon pohon tinggi reformasi ini sang Bocah Angon harus memanjatnya. Harus dipanjat sampai selamat memperoleh buahnya, bukan ditebang, dirobohkan dan diperebutkan.

Air saripati blimbing lima gigir itu diperlukan oleh bangsa ini untuk mencuci pakaian nasionalnya. Konsep lima itulah sistem nilai yang menjadi wacana utama gerakan reformasi, kalau kita ingin menata semuanya ke arah yang jelas, kalau kita mau memahami segala tumpukan masalah ini dalam komprehensi konteks-konteks: kemanusiaan, kebudayaan, politik, rohani, hukum, ekonomi, sampai apapun.

Bukankah reformasi selama ini kita selenggarakan sekedar dengan acuan nafsu reformasi' itu sendiri, tanpa bimbingan ilmu atau spiritualitas dan profesionalitas rasional apapun?
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (218)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Ilmu orang tua adalah pengetahuan akal dan kesadaran batin bahwa ia akan mati, dan itu bisa berlaku tidak 30 tahun yang akan datang, melainkan bisa juga besok pagi-pagi menjelang seseorang masuk kantor. Orang tua yang berpikir efisien tidak menghabiskan tenaga dan waktunya untuk kesementaran, melainkan untuk keabadian. Tidak menumpahkan profesionalisme untuk menggapai sesuatu yang toh tidak akan menyertainya selama-lamanya.

Ilmu orang tua adalah kesanggupan memilih satu dua yang abadi di antara seribu dua ribu yang temporer. Memilih satu dua yang sejati di tengah seribu dua ribu hal-hal, barang-barang, pekerjaan-pekerjaan, target-target yang palsu. Manusia yang paling profesional adalah yang memiliki akar pengetahuan dan daya terapan untuk bersegera menggunakan ilmu orang tua tanpa menunggu usianya menjadi tua.

Manusia yang paling cerdas dan peka adalah yang mengerti bahwa segala sesuatu dalam kehidupannya harus diperbaiki sekarang juga, tidak besok atau lusa, karena bisa keburu mati. Bahwa apapun saja harus segera di-husnul-khatimah-i dan menghindarkan diri dari kemubaziran-kemubaziran mengurusi hal-hal yang semu, palsu dan temporer.

Bahwa hutang harus segera dibayar. Bahwa kesalahan harus segera dihapuskan dengan meminta maaf kepada sesama manusia yang disalahi dan memohon ampun kepada Tuhan.

Bahwa omset ekonomi berapapun tidak menolong seseorang di garis kematiannya. Bahwa jabatan setinggi apapun tidak menambahi keberuntungan apapun di hadapan mautnya. Bahwa kejayaan, kemegahan dan kegagahan macam apapun tidak akan sanggup mengurusi nasibnya di depan sakaratul maut, yang akan muncul mendadak dan tiba-tiba.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (206)/1999/PadhangmBulanNetDok)

Sakaratul maut itu sedemikian dahsyatnya, sampai Rasulullah Saw menyebutnya sebagai kiamat kecil. Peristiwa sakaratul maut yang dialami manusia secara individual itu digambarkan secara dramatis oleh Nabi Saw dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami, "Sesungguhnya seorang hamba akan mengalami derita pedihnya kematian. Di kala itu masing-masing ruas badannya saling mengucapkan selamat berpisah dengan ucapan 'alaikas-salam', kita akan berpisah sampai datangnya hari kiamat".

Dalam beberapa hadits digambarkan bahwa saat seseorang menghadapi sakaratul maut, kepadanya diberitahukan apakah Allah swt. meridhainya atau mengazabnya dan diperlihatkan pula tempat kembalinya, yaitu sorga atau neraka. Maka orang beriman yang memenuhi hidupnya dengan kebaikan, akan menghadapi kematian dengan ketenangan dan hatinya ridha serta mengingat Allah Swt. Sebaliknya, orang yang memenuhi hidupnya dengan keburukan, akan menghadapi kematian dengan kegelisahan yang memuncak, sampai lupa diri, dan melupakan Allah Swt.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (207)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Akan tetapi tidak jarang terjadi orang yang pada mulanya ingat kepada Allah Swt tiba-tiba menjadi lupa kepada-Nya karena dahsyat dan pedihnya sakaratul maut. Oleh karena itu Rasulullah Saw sendiri pun ketika ajalnya telah dekat memohon kepada Allah agar dimudahkan dalam menghadapi sakaratul maut, "Allahumma hawwin 'alaina fi sakarat al-maut".

Dan kepada ummatnya, beliau mengajarkan sebuah doa "Allahumma inna nas-aluka salamatan fid-din, wa 'afiatan fil-jasad, wa ziyadatan fil-ilmi, wa barakatan fir-rizqi, wa taubatan qablal maut, wa rahmatan 'indal maut, wa maghfiratan ba'dal maut, hawwin 'alaina fi sakaratil-maut, wan-najata minan-nar, wal'afwa 'indal hisab".

Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa apabila seseorang di akhir hayatnya mengingat Allah, itulah husnul khatimah. Sebaliknya yang melupakan Allah, itulah su'ul khatimah. Oleh karena itu Rasulullah menyuruh menalqin (mengajari) orang yang mendekati ajal dengan kalimat la ilaha illa Allah.

Setiap muslim pasti menginginkan akhir hayatnya husnul khatimah. Tapi tidak seorang pun dapat menjamin dan memastikan. Akhir hayat setiap manusia adalah rahasia Allah. Dalam hal ini Rasul bersabda. Dicuplik dari sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas
d, Rasulullah bersabda (diterjemahkan secara bebas kurang lebih): "Demi Allah yang tiada sesembahan selain Ia, bahwa seseorang dari kalian sungguh telah melakukan amal kebajikan sehingga membawanya sehasta lagi masuk ke sorga, tapi kemudian ia berbuat kejahatan dan menjerumuskannya ke neraka. Dan bahwa seseorang dari kalian sungguh telah melakukan perbuatan jahat sehingga membawanya sehasta lagi masuk ke neraka, tapi keburu ia melakukan amal kebajikan dan membawanya masuk ke sorga".
(Seri PadangBulan (208)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Secara harfiah, husnul khatimah berarti akhir atau kesudahan yang baik. Dalam istilah agama Islam berarti akhir hayat (kehidupan) yang baik. Kebalikannya adalah su'ul khatimah, artinya akhir hayat yang buruk. Akhir kehidupan yang dialami oleh manusia itu sering disebut sakaratul maut.

Apakah kita akan mati? Apakah kita akan segera sampai ke garis sakaratul maut ?

Lebih rasional kalau pertanyaannya kita balik: apakah kita akan tidak mati? Siapakah yang bisa memastikan bahwa nanti sore atau besok pagi, atau bahkan lima menit yang akan datang, ia pasti akan masih hidup? Puncak ilmu orang hidup adalah mengenai maut. Yang paling masuk akal bagi segala perjalanan ilmu manusia adalah kesadaran bahwa sewaktu-waktu akan mati. Pengetahuan yang paling substansial dan primer adalah bahwa sekarang juga setiap manusia harus siap untuk berakhir hidupnya. Bahwa jisim (badan) manusia tidak hidup abadi.

Seorang pengusaha bisa menuliskan rancangan-rancangan bisnisnya pada skala jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang, bahkan diproyeksikan sampai 50 tahun ke depan. Akan tetapi kalimat awal dari teks rancangannya sesungguhnya berisi kalimat: Dengan catatan bahwa selama jangka waktu tersebut ia belum meninggal dunia.

Seorang politisi sepenuhnya berhak mentargetkan keinginannya untuk duduk di kursi kepresidenan. Seorang sarjana mutlak diperbolehkan meniti karirnya sampai sejauh-jauhnya dan setinggi-tingginya. Tetapi semua itu dengan catatan bahwa berlakunya hanya kalau mereka pasti masih hidup. Itu namanya ilmu orang tua.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (205)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Kalau aku pernah menyakiti hatimu dan belum meminta maaf kepadamu sehingga engkaupun belum memaafkanku
Kalau aku pernah mencuri hak-mu dan diam-diam masih kugenggam di tanganku karena engkau tidak menyadari hakmu itu
Kalau aku pernah memakan nasi rangsummu dan menjadi darah dagingku sehingga aku berhutang perpanjangan nyawa darimu
Kalau aku pernah menindasmu sehingga sejarahmu terjegal dan aku berpura-pura melupakan hal itu dalam sujud-sujud sembahyangku
Kalau aku pernah mengurungmu di dalam penjara untuk sesuatu yang engkau tak bersalah sehingga engkau kehilangan sekian ribu matahari
Kalau aku pernah menghirup udara yang merupakan jatah Allah bagi eksistenmu dan
kubangun kemegahan hidupku dengan landasan deritamu
Maka hidupku belum halal bagimu
Maka perolehan hidupku adalah kehinaan diri, yang haram disentuh oleh kasih sayang Allah Yang maha Suci

Emha Ainun Nadjib
12 Ramadlan 1419 H
(Seri PadangBulan (195)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Label: halal
Telah fitrikah kita, kalau puasa belum merohanikan kehidupan kita
Telah fitrikah kita, kalau badan, harta dan kuasa dunia masih menjadi muatan utama kalbu kita
Telah fitrikah kita, kalau keberpihakan kita belum kepada orisinalitas diri dan keabadian
Telah fitrikah kita, kalau masih tumpah ruah cinta kita kepada segala yang tak terbawa ketika maut tiba
Telah fitrikah kita, kalau kepentingan dunia belum kita khatamkan, kalau untuk kehilangan yang selain Allah kita masih eman
Telah fitrikah kita, kalau kasih sayang dan ridha Allah masih belum kita temukan sebagai satu-satunya hakekat kebutuhan

Ya Allah, jangan biarkan Ramadlan meninggalkan jiwa kami
Ya Allah, jangan perkenankan langkah kami menjauh dari kemuliaan berpuasa
Ya Allah, halangilah kami dari napsu melampiaskan, serta peliharalah kami dari disiplin untuk mengendalikan
Ya Allah, peliharalah Ramadlan dalam kesadaran kami
Ramadlan sepanjang jaman
Ramadlan sejauh kehidupan
Ramadlan sampai ufuk keabadian

Emha Ainun Nadjib
12 Ramadlan 1419 H
(Seri PadangBulan (196)/1999/PadhangmBulanNetDok)

Yang kita lakukan ini adalah dialog dari hati ke hati. Cara hati mengungkapkan dan mendengarkan sesuatu itu macam-macam. Terkadang menggunakan mulut dan memakai kata-kata, di saat lain cukup dengan raut muka dan sorot mata, atau bahkan ungkapan hati cukup dengan bisu dan sunyi: hati lain sudah langsung menangkapnya.

Ungkapan hati yang sunyi di antara kita tidak bisa dihalangi oleh apapun. Ungkapan melalui sorot mata dan raut muka memerlukan pertemuan langsung atau melalui kamera. Tapi yang punya kamera tidak mungkin menyorot tampang saya kalau hanya membisu dan bengong. Jadi harus menggunakan mulut dan kata-kata. Tapi penggunaan mulut dan kata-kata bisa terhalang oleh tembok teknologi, tembok finansial, tembok rasa takut, dan terutama tembok kekuasaan.

Jadi kalau ungkapan hati saya tidak bisa sampai kepada Anda melalui kamera dan kata-kata, saya yakin hati Anda yang bisu sesungguhnya tetap bertegur sapa dengan ungkapan hati saya melalui kesunyian yang tanpa kamera dan media apapun.

(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (197)/1999/PadhangmBulanNetDok)


BAU DEMOKRASI

Bau yang keluar dari mulut saya ini, kata-kata yang terungkap dari bibir saya ini, ungkapan yang nongol dari cocor saya ini, terkadang busuk terkadang wangi. Itu karena yang keluar memang asli busuk atau asli wangi. Atau terkadang tergantung kondisi mulut saya sendiri. Mungkin kata-kata saya busuk, tapi karena mulut saya wangi, maka keluarnya wangi. Atau kata-kata saya wangi, namun karena mulut saya busuk, maka produknya busuk juga.

Nah, tolong jangan lupa di saat lain wangi busuknya segala yang keluar dari mulut saya tergantung pada situasi hidung Anda. Mungkin yang ungkapkan busuk, tapi karena lubang hidung Anda ada parfumnya, maka terasa wangi. Atau sebaliknya, yang saya ungkapkan wangi, tapi karena hidung Anda ketempelan bau busuk -- misalnya karena Anda selalu sibuk mengurusi ayam-ayam di kandang --
maka kata-kata saya menjadi terasa busuk pula.

Tapi itulah resiko demokrasi. Itulah kemungkinan-kemungkinan bau demokrasi.

(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (189)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Saya dipercayai oleh kumpulan koperasi orang sedesa untuk memutar atau meniagakan uang yang mereka kumpulkan, agar menghasilkan laba yang bisa menambah daya ekonomi para warga koperasi dan seluruh penduduk desa. Tapi setelah sekian lama managemennya saya pegang, ternyata akhirnya bangkrut, sehingga kami semua dililit hutang dan terpaksa mengemis-ngemis lagi cari utangan yang baru. Saya ingin bersikap jantan, tapi saya bingung yang bagaimana yang disebut jantan.

Apakah saya harus berkata: "Para anggota koperasi dan warga desa sekalian, kalau saya melepaskan hak atas managemen ini gara-gara bangkrut, berarti saya tinggal gelanggang colong playu, alias saya lari dari tanggung jawab". Ataukah saya harus berkata: "Saudara-saudara sekalian, sebagai bentuk tanggung jawab saya atas kebangkrutan kita, maka dengan ini saya mengundurkan diri, mengembalikan hak yang saudara-saudara amanatkan, dan sekarang saya pasrah mau diapakan saja oleh saudara-saudara..."

(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (188)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Kepada seorang Ibu sederhana di sebuah dusun, yang pekerjaannya mencintai dan menemani wong cilik di desanya sepanjang hidup, saya mengajukan pertanyaan yang agak muluk: "Bu, siapakah pahlawan sejati?"

Ia menjawab: "Pahlawan sejati ialah orang yang berani omong tentang perjuangan sosial dan membela rakyat hanya sesudah ia sendiri sanggup bertanggung jawab secara mandiri atas perutnya sendiri. Pahlawan sejati ialah orang yang membela rakyat dengan kekuatan dan uang pribadinya, bukan dengan dana dari luar yang apalagi ia sendiri diupah untuk apa yang diperjuangkannya. Tapi yang terpenting adalah bahwa pahlawan sejati tidak pernah sempat menganggap dirinya pahlawan bahkan tidak punya waktu untuk mengingat kata pahlawan".

Saya bereaksi: "Waduh, Bu, kok berat dan muluk sekali syarat untuk menjadi pahlawan sejati?" Ibu itu menjawab lagi: "Memang berat dan muluk. Maka tidak akan berminat. Maka tidak populer dan tidak dipakai. Kalau ada yang memakainya, mungkin malah dikutuk, dirasani dan difitnah di mana-mana..."

(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (187)/PadhangmBulanNetDok)
Kalau kita sudah berada di pinggir sungai, atau apalagi sudah terlanjur memasukkan kaki ke tepiannya, kayaknya harus kita perjelas apa niat kita yang sebenarnya. Apakah kita memang akan menyeberangi sungai, ataukah sekedar mau bermain-main air di tepian sungai. Kalau mau menyeberangi sungai, sebaiknya kita pilih apakah akan kita gunakan perahu, jembatan, gethek, ataukah kita akan melompat untuk sampai ke seberang sungai. Kita juga harus perhitungkan berapa lebar dan berapa dalam sungai, apa kendala dan tantangan ketika menyeberangi sungai, dan seterusnya.

Kalau ketentuan dan pilihan itu tidak kita lakukan, sebaiknya kita niati saja bermain-main air, sekedar untuk belajar berenang dan mengendalikan perahu. Jangan sampai orang-orang di sekitar sungai menyangka kita akan benar-benar menyeberang dan menanti-nanti kapan kita benar-benar tiba di seberang sungai. Orang-orang itu bertempat tinggal di kampung kekecewaan, di RW kesedihan, dan mungkin juga di RT kebuntuan. Kalau bisa jangan lagi kita tambahi KTP mereka dengan Rumah Keputusasaan.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (185)/1999/PadhangmBulanNetDok)

Ada tiga metoda dasar untuk menjadi pahlawan. Pertama, ungkapkan sesuatu yang kritis namun tidak sampai ke tingkat berbahaya, sehingga bisa dimuat di koran. Kedua, kurangi kadar kesaktianmu di dalam melakukan gerakan-gerakan sosial, sehingga engkau bisa ditangkap atau ditabrak oleh kekuasaan. Ketiga, dekatkan dirimu kepada jaringan hero maker, alias lembaga pencipta pahlawan.

Kalau kau omong apa adanya, media tidak akan memuatnya, sehingga semua orang menganggapmu tidak berani omong apa-apa. Kalau gerakan sosialmu tidak tersentuh, engkau tidak akan terdaftar sebagai orang yang ditindas, sehingga tidak akan dibela oleh siapapun.

Tetapi yang alhamdulillah adalah kalau engkau tidak ingin menjadi pahlawan dan eksistensimu tidak bergantung pada apapun. Harkat kemanusiaan dan harga dirimu hanya ditentukan oleh tingkat manfaat kemanusiaanmu, baik diketahui oleh manusia ataupun tidak, baik diungkapkan atau tersembunyi.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (186)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Gugur gunung itu artinya bersama-sama orang sekampung bekerja bareng-bareng untuk memperbaiki segala yang perlu diperbaiki di kampung. Dari merapikan pagar sampai menata kembali parit-parit saluran air dan lain sebagainya.

Hari-hari ini kampung saya sedang mbembet, saluran air mampet-mampet, distribusi kesejahteraan nggak karu-karuan, lumbung kami kosong, kebun-kebun kami terbakar, sawah-sawah kami terbengkalai, lumbung kami kosong mlompong, hutang kami numpuk menyaingi tingginya gunung.

Ada pemimpin idola kami yang mencoba mengatasi itu semua, namun anehnya beliau tidak keliling kampung untuk mengajak sebanyak mungkin penduduk kampung untuk memperbaikinya. Beliau hanya menyapa beberapa penduduk yang tergolong terhormat dan priyayi.

Kami-kami yang kurang terhormat dan bukan priyayi tidak diajak memperbaiki saluran parit, padahal tangan kami sudah pegal-pegal untuk ikut memperbaiki kampung.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (184)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Tidak ada kebahagiaan dan kekayaan yang melebihi saat-saat kita mencium tangan Ibunda kita dan menangis tersengguk-sengguk di pangkuan beliau.

Mudik adalah juga peristiwa tangis gembira di pangkuan Ibunda sejarah hidup kita, yakni kampung halaman dan sanak keluarga.

Kemudian kampung dan keluarga paling dini dan sejati dari kehidupan kita adalah hakekat dan kehendak penciptaan Allah atas seluruh alam, atas kita semua makhluk hidup, serta atas firman-firmanNya. Maka kalau puasa Ramadhan memang telah kita lalui sebagai perjalanan badan, perjalanan batin, perjalanan mental dan moral vertikal -- insyaallah kehadiran kita pada hari idul fitri adalah peristiwa menguakkan pintu rohani di dinding rumah Allah itu sendiri.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (181)/PadhangmBulanNetDok)
Saya bersama teman-teman menyimpulkan bahwa yang dimaksud pekerjaan Agama bukan hanya sembahyang, puasa, zakat dan haji, melainkan juga mandi, makan yang tepat , berangkat ke tempat kerja mencari nafkah untuk anak istri, menolong siapa saja yang perlu ditolong, bikin koperasi partikelir, menghimpun tukang-tukang ojek dan pedagang kakilima, dan seterusnya.

Itu semua adalah pekerjaan Agama, alias menjalankan perintah Tuhan. Termasuk juga menyelenggarakan perkumpulan bulanan bersama puluhan ribu sahabat-sahabat sebangsa untuk saling mensinergikan kemampuan ekonomi, mencerahkan hati, menata pikiran, memperluas wawasan nasional, serta mengungkapkan apa adanya apa kandungan hati kami tentang kepemimpinan nasional yang berjasa menciptakan kegelisahan-kegelisahan. Itu semua adalah pekerjaan Agama.

Dan karena pekerjaan Agama, maka teman-teman saya yang lain, yaitu para pejuang sosial modern di kota-kota, menganggapnya tidak progresif, tidak kritis, tidak ada hubungannya dengan demokrasi. Maka hanya kami sendiri yang menikmati manfaatnya, padahal kehidupan kami tidaklah untuk kami sendiri, melainkan untuk saudara-saudara sebangsa dan setanah air.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (182)/1999/PadhangmBulanNetDok)

Hampir tiap hari saya pergi dari desa ke desa, dari kota ke kota, dari lapangan ke lapangan, dari orang sedikit ke orang banyak, dari orang banyak ke orang sangat banyak, dari orang kota ke orang dusun, dari wong cilik ke wong tidak gedhe, pokoknya ke mana saja semampu-mampu saya, dari Tinambung ke Grobogan, dari Lowokwaru ke Sidayu, dari masyarakat cliwik ke masyarakat santri. Kami selalu saling bertanya dan saling mengungkap secara terang-terangan di tempat terbuka apa keresahan kami, apa pendapat kami tentang presiden, menteri, ekonomi dan politik nasional, pokoknya tentang apa saja tanpa tedheng aling-aling.

Namun itu semua baru memberi barokah bagi pendidikan politik kami sendiri, itu semua baru menciptakan manfaat bagi pencerahan hati dan perjuangan sosial kami sendiri -- dan belum bermanfaat secara lebih luas bagi masyarakat Indonesia. Sebab batu-bata dan gergajian kayu-kayu yang kami bikin dan persiapkan untuk pembangunan rumah baru nasional itu dinilai kurang bermutu oleh para arsitek dan pemimpin alternatif yang sekarang mulai memimpin sejarah kita bersama.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (183)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Kerinduan untuk pulang ke kampung halaman dan bersilaturahmi dengan sanak famili, sesungguhnya adalah episode awal dari teater kebutuhan batin manusia untuk kembali ke asal usulnya.

Mudik Lebaran itu episode pulang secara geografis dan kultural. Dari alam nasional, global, universal dan liar, manusia beramai-ramai balik ke lingkungan primordial.

Kampung halaman adalah tanah air konkret. Tanah dan air sejarah kelahiran mereka. Sehingga mudik episode kedua adalah kesadaran atau ikrar kembali bahwa diri manusia berasal dari tanah dan air yang akan kembali ke tanah dan air.

Episode mudik yang ketiga adalah kesadaran tentang Ibu Pertiwi dalam pengertian yang lebih batiniah. Yakni kekhusyukan menginsafi kasih sayang Ibunda, kandungan dan rahim Ibunda.

Betapa di puncak kepusingan hidup ini kita terkadang ingin kembali masuk ke gua garba Ibunda. Episode mudik berikutnya adalah kembalinya kita semua ke pencipta tanah air, ke sumber dan asal usul. Jadi, senantiasa siap kembali kepada Allah adalah puncak mudik, adalah mudik sejati.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (180)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Diam-diam Allah menganugerahkan anjuran agar manusia tidak mengumbar dan menghabis-habiskan kegembiraan dan pesta pora sesuai bulan Ramadhan.

Mungkin agar tabungan kebahagiaan kita di sorga bisa bertumpuk sebanyak-banyaknya.

Makan jangan terlalu banyak. Kita dididik untuk belajar ngincipi sejumput makanan, dan selebihnya kita nikmati dengan cara memandanginya saja, untuk kita investasikan untuk kegembiraan yang lebih tinggi kelak. Justru itulah nikmatnya berpuasa. Menahan diri di depan makanan dan kenikmatan.

Bukankah sehari sesudah Idul Fitri, justru tatkala kita sedang berada di puncak kemenangan dan pesta -- Allah malah men-sunnat-kan kita untuk melakukan puasa Syawal, yang produk pahala, kemuliaan dan kenikmatannya berlipat-lipat?

(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (179)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Seorang istri, yang bermurah hati untuk tersenyum tatkala menyambut suaminya datang, menurut Rasulullah akan diganjar kemuliaan oleh Allah setingkat pahala orang melakukan shalat tarawih. Tentu saja itu bukan anjuran agar para istri sebaiknya tak usah bertarawih, asalkan ia selalu tersenyum kepada suaminya.

Sesungguhnya kalau kita murah senyum, pergaulan akan lebih indah, hangat dan segar. Namun demikian atas seulas senyum, sahabat-sahabat kita bisa selalu tanpa sadar menyiapkan seribu penafsiran. Kalau sambil jalan di trotoar kita senyum terus, orang bisa menyangka kita sinting. Kalau dalam situasi berdesakan di bis kota kita tersenyum dan pandangan mata kita mengarah ke seseorang yang hatinya sedang gundah, kita bisa ditonjok karena dia tersinggung atau merasa diejek.

Atau kalau sebagai wanita cantik Anda tersenyum kepada saya, lantas ternyata saya GR dan diam-diam menafsirkan bahwa senyuman Anda itu bermakna cinta atau naksir - misalnya -- lantas ternyata tidak ada kelanjutan tindakan dari Anda sesuai dengan logika harapan saya; bisa jadi Anda lantas saya tuduh telah menipu sesudah memberi saya harapan.

Tapi insyaallah saya tidak akan mencelakakan umpamanya dengan mengumum-umumkan tuduhan saya itu ke seantero negeri.

(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (178)/1999/PadhangmBulanNetDok)
Agama, karena di dalamnya terkandung ilmu dan potensialitas budaya, bisa menjadi cermin yang jernih dan bening. Termasuk bulan Ramadhan, di mana tradisi puasa dihiasi dengan berbagi bentuk kultur.
Yang terpantul dari cermin bening Ramadhan bukan hanya kadar kesalehan kita, mutu iman kita, atau kualitas cinta kita kepada Allah -- tetapi bisa juga tercermin kelemahan kita, kekurangan kita, bahkan kemunafikan kita.

Misalnya, sebagai masyarakat modern kita sangat sayaaaaaang banget terhadap budaya mode. Sehingga kecenderungan dan muatan mode juga sangat memenuhi perilaku budaya Agama kita, termasuk Ramadhan.
Kita sering terjebak untuk memperagakan barang tertentu yang dalam kehidupan nyata tak pernah kita pakai. Kita mengiklankan, mempromosikan dan mensosialisasikan sesuatu yang kita tak perlu setia kepadanya.

Sungguh sangat menakutkan kalau puasa, Ramadhan dan Agama kita jebak juga menjadi semacam mode yang kita peragakan -- meskipun tak berarti sepenuhnya kehadiran kita itu acting belaka.

(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (177)/1998/PadhangmBulanNetDok)
Besar dan kecil. Besar kecil.
permainan apa sesungguhnya itu, Bu?
Ibu mengerjakan besar dan kecil hanya berlaku bagi kedudukan antara Tuhan dan manusia. Selebihnya kata besar dan kecil kita pakai hanya sebagai bahasa, tidak sebagai hakekat.
Namun anak-anakmu meniup balonbalon besar untuk menyembunyikan kekecilannya—tidak di hadapan Allah --melainkan di hadapan manusia atau sesuatu lainnya. Anak-anakmu belum memerdekakan dirinya dari struktur kasta besar kecil yang menapasi hampir semua segi perhubungan antara manusia.
Sungguh, di hadapan Ibu anakmu harus bertanya dengan perasaan mendalam, kenapa belum bisa dihindarkan berlangsungnya tatanan yang demikian keras membedakan antara yang kecil dengan yang besar?
Orang derajat kecil orang derajat besar?
Ekonomi kecil ekonomi besar? Kesudraan sosial kecil kepriyaian sosial besar? Serdadu ilmu kecil dan ksatriya ilmu besar? Rendah diri dan besar kepala?
Pertanyaan itu harus dipelihara seperti menjaga mutiara hati kecil yang tak pernah terlihatdan amat jarang
disadari. Pertanyaan itu menyimpan cita-cita yang tidak masuk akal, namun lebih tak masuk akal lagi apabila kita membatalkannya sebagai cita-cita.
Pertanyaan itu harus disirami kesuburannya, seperti kita diam-diam tak pernah melepaskan nurani yang teramat lembut, meskipun ia menjadi bahan tertawaan di tengah kesibukan pasar, di riuh lalulintas yang pusing kepala. ‘


kita tidak perlu menjadi nabi untuk menanganpanjangi keterangan Allah yang selama ini diremehkan orang. “Siapa bersyukur akan kutambahkan rahmat- Ku, siapa ingkar akan kusiksa sedahsyat-dahsyatnya.“ Kita tidak harus beridentitas Rasul untuk mengabarkan rasa takut kepada- Nya yang menegaskan “Afahasibtum
annama khalaqnakum ‘‘abatsa.“ (kalian pikir Kuciptakan semua ini untuk iseng-iseng?). (EAN)

(Emha Ainun Nadjib/"Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu-Sekelumit Catatan
Harian"/2000/Zaituna/PadhangmBulanNetDok)

0 komentar:

Posting Komentar