Pages

Sabtu, 15 Desember 2012

Kumpulan tulisan emha 4


Ibu, engkau duduk di hadapanku.
Ibu jadilah hakim yang syadid, yang besi, bagi anak-anakmu.
Jika kutulis ini sebagai buku netral, pengadilan akan empuk. Setiap kata dari beribu bahasa bisa dipakai untuk mementaskan kepalsuan. seratus ahli penyusun kalimat bisa memproduksi puluhan atau ratusan ribu rangkaian kata yang bebas dari kenyataan dan dari diri penyusunnya sendiri.
Kebebasan itu bisa sekedar berupa keterlepasan kicauan intelektual dari dunia empiris, tapi bisa juga merupakan kesenjangan antara semangat ilmu—yang di antara keduanya membentang kemunafikan, inkonsistensi atau bentuk-bentuk kelamisan lainnya.
Syair tidak bertanya kepada penyairnya.
Ilmu tidak menguak ilmiawannya.
Pembicaraan tidak menuntut pembicaranya.
Tulisan tidak meminta bukti hidup penulisnya.
Ide tidak kembali kepada para pelontarnya.

Ibu yang duduk di hadapanku, ini adalah kritik anak-anakmu sendiri.
Allah melaknat orang yang mencari ilmu untuk ilmu. Al-‘ilmu lil-‘ilmi.
Ilmu menjadi batu, dan para pencari ilmu menyembah bau-batu, berhala berhala yang membeku di perpustakaan dan pusat-pusat dokumentasi serta informasi.
Betapa penting dokumentasi, tetapi ilmu tidak dipersembahkan kepada museum apapun, melainkan kepada apa yang bisa dikerjakan hari ini oleh para penulis di lapangan, bukan di kahyangan.

Ibu, tamparlah mulut anak-anakmu.
Orang yang bertahun-tahun mempelajari mana yang benar dan mana yang salah dalam kehidupan, tidak dijamin memiliki kebenaran mental untuk mengemukakan sesuatu hal itu benar dan sesuatu hal itu salah. Tinggi dan luasnya Ilmu pengetahuan seorang cendekiawan tidak menjanjikan jaminan moral. Artinya, dari kenyataan itu tercermin ketidaktahuan kemanusiaan.
Di dalam diri seseorang tidak terdapat keterkaitan positif antara, pengetahuan, ilmu, mentalitas dan moralitas.

(Emha Ainun Nadjib/Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu - Sekelumit Catatan Harian/Zaituna/2000/PadhangmBulanNetDok)
Beberapa bulan sebelum Indonesia masuk 2009, orang saling bertanya: ”Siapa ya, sebaiknya presiden kita nanti?” Kemudian mereka menyebut sejumlah nama, membandingkannya, memperdebatkannya, atau membiarkan nama- nama itu berlalu dalam dialog yang tak selesai.

Atmosfer dialog tentang calon presiden diwarnai oleh berjenis-jenis nuansa, latar belakang ilmu dan pengetahuan, kecenderungan budaya, fanatisme golongan, pandangan kebatinan, juga berbagai wawasan yang resmi maupun serabutan. Namun, semuanya memiliki kesamaan: perhatian yang mendalam kepada kepemimpinan nasional dan cinta kasih yang tak pernah luntur terhadap bangsa, tanah air, dan negara.

Itu berlangsung ya di warung-warung, bengkel-bengkel motor, serambi masjid, gardu ronda, juga di semua lapisan: kantor-kantor profesional, ruangan-ruangan kaum cendekiawan, istana-istana kaum pengusaha, termasuk di sekitar meja- meja pemerintahan sendiri. Ketika saatnya tiba, mereka memilih: ada yang berdiam diri bergeming dari posisinya sekarang bersama pemerintahan presiden yang sedang berkuasa. Ada yang menoleh ke kemungkinan mendulang harapan ke pemimpin tradisional. Ada yang merapat ke pemimpin yang pernah memimpin dan kembali mencalonkan diri. Atau kepada kemungkinan lain: pergerakan terjadi ke berbagai arah, lama maupun baru. Dan, semuanya selalu sangat menggairahkan.

Memiliki pola kearifan

Rakyat Indonesia, entah apa asal-usul genealogis dan peradabannya dahulu kala, memiliki pola kearifan, empati dan toleransi, serta semacam sopan santun yang khas dan luar biasa. Bagi rakyat, Ibu Pertiwi itu semacam Ibunya, Negara (KRI) itu semacam Bapaknya, dan pemerintah itu kekasihnya. Kekasih yang selalu disayang, dimaklumi, dimaafkan. Suatu saat rakyat bisa sangat marah kepada pemerintah, tetapi cintanya tetap lebih besar dari kemarahannya sehingga ujung kemarahannya tetap saja menyayangi kembali, memaklumi, dan memaafkan.

Rakyat Indonesia sangat tangguh sehingga posisinya bukan menuntut, menyalahkan, dan menghukum pemerintahnya, melainkan menerima, memafhumi kekurangan, dan sangat mudah memaafkan kesalahan pemerintahnya. Bahkan, rakyat begitu sabar, tahan dan arifnya tatkala sering kali mereka yang dituntut, dipersalahkan, dan dihukum oleh pemerintahnya. Itulah kekasih sejati.

Kekasih sejati memiliki keluasan jiwa, kelonggaran mental, dan kecerdasan pikiran untuk selalu melihat sisi baik dari kepribadian dan perilaku kekasihnya. Prasangka baik dan kesiagaan bersyukur selalu menjadi kuda-kuda utama penyikapannya terhadap pihak yang dikasihinya. Kekasih sejati tidak memelihara kesenangan untuk menemukan kesalahan kekasihnya, apalagi memperkatakannya. Kegagalan kekasihnya selalu dimafhuminya, kesalahan kekasihnya selalu pada akhirnya ia maafkan.

Puncak kekuatan dan cinta rakyat Indonesia, si kekasih sejati, kepada pemerintahnya, adalah menumbuhkan rasa percaya diri kekasihnya, menjaga jangan sampai kekasihnya merasa tak dibutuhkan. Rakyat Indonesia selalu memelihara suasana hubungan yang membuat pemerintah merasa mantap bahwa ia sungguh-sungguh diperlukan oleh rakyatnya. Rakyat Indonesia selalu bersikap seolah-olah ia membutuhkan pemerintahnya, presidennya, beserta seluruh jajaran birokrasi tugas dan kewajibannya. Bahkan, rakyat mampu menyembunyikan rasa sakit hatinya agar si pemerintah kekasihnya tidak terpuruk hatinya dan merasa gagal.

Lebih dari itu, meski sering kali rakyat merasa bahwa keberadaan pemerintahnya sebenarnya lebih banyak mengganggu daripada membantu, lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, atau lebih banyak mengisruhkan daripada menenangkan, rakyat tak akan pernah mengungkapkan kandungan hatinya itu, demi kelanggengan percintaannya dengan pemerintah si kekasih.

Rakyat sangat menjaga diri untuk tidak mengungkapkan bahwa siapa pun presiden yang terpilih nanti tak akan benar-benar mampu menyelesaikan komplikasi masalah yang mengerikan yang mereka derita. Rakyat tidak akan pernah secara transparan menyatakan bahwa seorang presiden saja, siapa pun dia, takkan sanggup berbuat setingkat dengan tuntutan dan kebutuhan obyektif rakyatnya meski disertai kabinet yang dipilih tanpa beban pembagian kekuasaan dan berbagai macam bentuk kolusi, resmi maupun tak resmi.

Begitu banyak yang mencalonkan diri jadi presiden dan situasi itu ditelan oleh rakyat dengan keluasan cinta. Rakyat melakukan dua hal yang sangat mulia. Pertama, menyimpan rahasia pengetahuan bahwa di dalam nurani dan estetika peradaban mereka: pemimpin yang tidak menonjolkan diri dan tidak merasa dirinya adalah pemimpin sehingga ia tidak mencalonkan diri menjadi pemimpin, sesungguhnya lebih memberi rasa aman dan lebih menumbuhkan kepercayaan dibandingkan pemimpin lain yang merasa dirinya layak jadi pemimpin sehingga mencalonkan diri jadi pemimpin.

Kemuliaan kedua yang dilakukan rakyat adalah jika pemilu tiba, mereka tetap memilih salah seorang calon pemimpin karena berani menanggung risiko hidup yang tidak aman. Keberaniannya menanggung risiko itu mencerminkan kekuatan hidupnya, yang sudah terbukti berpuluh-puluh tahun di rumah negaranya.
(Emha Ainun Nadjib/Kompas, 6 Januari 2009/PadhangmBulanNetDok)



Mau ke mana kamu
Kiri kanan tembok
Ke belakang ada jurang
Ke depan dikejar hutang

Pergi ke masa depan yang mana kamu
Perjalananmu dipimpin perampok
Di depan sana kamu ditunggu berbagai kelompok
Yang masing-masing siap menjadi perampok

Kamu dihadang oleh daftar kesengsaraan baru
Orang yang mewakilimu menjualmu
Orang yang kamu percaya mengkhianati cintamu
Karena kamu tak mau belajar apa yang sebenarnya kamu tunggu

Perampok-perampok bergilir memperkosamu
Janji mereka kamu bayar dengan darah bahkan mautmu
Kemudian tetap kamu junjung-junjung di pundakmu
Bahkan terus saja kamu bersujud bersimpuh dengan dungu

Perampok-perampok berbaju malaikat
Perampok-perampok berludah ayat-ayat
Perampok-perampok mencuri jubah kebesaran Tuhan
Yang lain berbaris jadi pengemis dan pekatik

Perampok-perampok berwajah demokrasi
Berkaki kepentingan, bertangan keserakahan
Perampok-perampok mengelus rambutmu dengan cinta
Kemudian menikam punggungmu dengan dengki dan santet

Delapan tahun silam kubilang perahu sudah retak
Lima tahun kemudian kelasi diganti
Perahu retak perahu oleng perahu bocor
Dan setiap kelasi yang baru berlomba menambah bocoran-bocoran

Politik hanya kepentingan
Demokrasi adalah persepsi atas dasar kebencian
Pemilu adalah perebutan buah kuldi
Yang memelorotkan derajat Adam dari sorga ke kehinaan dunia

Mau ke mana kamu
Berpikir untuk juga menjadi perampok
Mengacau negeri ini agar secepatnya membusuk
Atau menguasainya, atau meninggalkannya

Mau ke mana kamu
Di mana gerangan harapan kini bersemayam
Kalau yang sesungguhnya engkau lawan
Adalah kotoran di dalam dirimu sendiri

Tokoh-tokoh yang kau benci
Sebenarnya mainstream dari arus napsumu sendiri
Sementara tokoh-tokoh yang engkau cintai
Kamu perbudak agar membukakan lapangan kerakusanmu

Jadi, berhati-hatilah, jangan percaya kepadaku
Waspadalah kepada setiap yang kukatakan kepadamu
Tak semua diriku bisa kuperkenalkan melalui kata-kata
Sebab beo, komputer dan tape recorder pun gampang membohongimu

Kuajak kamu melingkar, bernyanyi,
Menata hati, menjernihkan pikiran
Belajar dewasa dalam perbedaan
Belajar arif dalam lingkaran keberagaman

Berlatih memohon agar Tuhan menjadi penghuni utama hati
Menjadikan seluruh rakyat sebagai subyek utama dari fungsi akal
Latihan bergembira, latihan tenteram, latihan tak berputus asa
Kita bangun negeri akal, negeri orang dewasa, negeri nurani

Menemukan Indonesia yang sejati
Dan jika yang bernama Indonesia ini tak menerimanya
Tetap cintailah ia. Buka hati dan kesabaranmu
Untuk memaafkannya dan mendengarkan keluhannya

Jogja 17 Juli 2002
(Emha Ainun Nadjib/"Mocopat Syafaat 17 Juli 2002"/PadhangmBulanNetDok)
Jangankan menjadi Nabi: jadi manusia saja, siapa yang benar-benar lulus? Alangkah mengagumkan sahabat-sahabat yang gagah menyertakan kata Ulama, Kiai, Ustadz, Syekh, Maulana, di depan namanya. Yang tanpa hati ragu memakai surban di kepalanya,

mengenakan jubah semampir pundaknya, terlebih lagi rangkaian butir tasbih di jari-jemarinya. Apakah beliau sangat meyakini diri, ataukah setiap kali perlu meyakin-yakinkan diri.

Adapun ilmuwan, cendekiawan, seniman, budayawan, Begawan, Undagi, Ulil Abshar, Ulil Albab, Ulin Nuha, terlebih lagi wadag-wadag seperti Profesor, Doktor, Profesional, Pejabat, Presiden: di satu sisi itu adalah perjalanan kebenaran dan kemuliaan, di sisi lain itu adalah "mata'ul ghurur", perhiasan dunia, serta "la'ibun wa lahwun", permainan dan senda gurau.

Pakai common sense saja: adakah kaki telah melangkah sebagaimana yang dimaksudkan dulu oleh Peciptanya. Adakah tangan telah mengerjakan mendekati gagasan Pembikinnya. Adakah mata telah melihat, telinga telah mendengar, akal telah mengolah ilmu dan wacana, mulut telah memakan segala sesuatu yang dulu merupakan visi missi Pihak yang merancangnya. Kata Islam, seseorang adalah Nabi karena nubuwah. Adalah Rasul karena risalah. Adalah Wali karena walayah. Dan adalah manusia karena khilafah. Keempat 'ah' itu milik Allah, dilimpahkan alias diamanahkan kepada makhluk dengan strata dan kualitas yang Ia bikin berbeda, dengan Ia siapkan tingkat 'human and social penetration'yang juga bertingkat-tingkat.

Khilafah itu titipan atau pelimpahan bagi semua dan setiap manusia: tidak relevan, tidak rasional dan tidak realistis dan a-historis untuk diambil sebagai 'icon' suatu golongan. Begitu engkau bukan dimaksudkan Tuhan sebagai Malaikat, Iblis, Jin, hewan atau alam, maka engkaulah Khalifah yang menyandang khilafah. Secara simbolik-dinamik sering saya memakai idiom persuami-istrian. Sebagaimana Allah 'memperistri' makhluk-makhlukNya, lelaki 'memperistri' perempuan dan Pemerintah 'dipersuamikan' oleh rakyat -- maka ummat manusia dinobatkan menjadi 'suami' bagi alam semesta. Tugasnya adalah menghimpun ilmu, melakukan pemetaan, menyusun disain dan methodologi, menggambar dan mensimulasikan sistem dan managemen untuk memproduksi "rahmatan lil'alamin".

Sejarah ummat manusia di muka bumi telah mencatat peradaban-peradaban para suami istri itu dengan penumpahan darah yang terlalu banyak, dusta dan peperangan yang selalu berlebihan, hipokrisi dan kepalsuan yang bertele-tele, kebodohan ilmu dan kemandegan akal yang amat memalukan, serta kekerdilan mental dan kebutaan spiritual yang senantiasa ditutup-tutupi dengan berbagai mode kesombangan yang mewah namun menggelikan dan menjijikkan. Manusia tidak bisa disebut pernah sungguh-sungguh, konstan dan konsisten mempelajari Tuhan, setan, demokrasi, nafsu, kebenaran, kemuliaan, dan terutama mempelajari dirinya sendiri. Manusia melangkah serabutan, berpikir sepenggal, bertindak instan, menimbang dengan menipu timbangan, tetapi Tuhan sendiri memang 'terlibat' dalam hal ini: "Inna khalaqnal insana fil'ajal": sesungguhnya Aku ciptakan manusia cenderung bersikap tergesa-gesa....

Sejarah sekolah dan universitas tidak pernah benar-benar menyiapkan perjalanan tafakkur dan ijtihad ummat manusia melalui tahap-tahap pola berpikir linier, zigzag, spiral hingga thawaf siklikal. Universitas hanya mewisuda Sarjana Fakultatif meskipun kampusnya bernama universitas. Belum tuntas kaum muda menjadi murid (murid: orang yang menghendaki ilmu), dipaksakan naik ke bangku keangkuhan dengan menggelari diri maha-siswa. Para pembelajar dan pencari ilmu bersemayam di 'koma' -- begitu dia maha, finallah dan titiklah sudah perjalanan ilmiahnya.

Di manakah pintu ilmu, babul 'ilmi? Di manakah kota raya ilmu, madinatul 'ilmi? Siapa kaum terpelajar yang tertarik pada idiom itu, apalagi menjelajahinya? Bagi kaum muda Indonesia, cukuplah Thukul bagi mereka. Sambil tiba-tiba menaiki 'maha'-kendaraan yang bernama demokrasi, world class society, pilkada pemilu pildacil, public figure, album 'religi', Majlis Ulama, clean government, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang semakin tak pantas menyandang nama itu, di tengah lautan meluap, gunung meletus, bumi bergoyang-goyang sampai ke urat syaraf otak manusianya.

Padahal kapasitas sistem syaraf otak manusia itu takkan pernah sanggup dirumuskan atau dikuasai oleh si manusia sendiri. Padahal pendaran-pendaran elektromagnetik 'nur' Allah yang bertebaran bertaburan keseluruh permukaan bumi, memusat menggumpal di seputar bagian atas ubun-ubun kepala setiap manusia.

Abracadabra! Siapakah yang tak sesat di antara kita? Makan saja sesat sampai ke propinsi kolesterol, asam urat, jantungan, gagal ginjal, ganti hati dan stroke. Kehidupan berbangsa dan bernegara kita adalah festival demi festival kesesatan nasional. Pemilu salah pilih wakil dan pemimpin. 220 juta manusia tersesat ke satu lorong cita-cita: mau kaya, eksis dan berkuasa.

Jalannya beribu-ribu, profesinya berbagai-bagai, icon-nya berjenis-jenis, namun menuju satu lorong itu juga.

Kesesatan sistem. Kesesatan moral. Kesesatan budaya. Kesesatan ilmu. Kesesatan bermacam-macam kesesatan, dengan kadar yang juga berbeda-beda. Sesat moral atau akhlak. Sesat fiqih atau hukum. Sesat sosial. Setiap keputusan ekonomi yang menjerumuskan orang banyak, policy politik yang kontraproduktif terhadap keharusan kemajuan dan pembangunan, adalah - pinjam bahasa Tuhan - "dhulmun 'adhim", kesesatan yang nyata.

Sesat di segala wilayah: perda, perpres, perdes, di rumah tangga, perusahaan, di jalanan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis membentur-benturkan kepala ke lantai, bersujud mohon ampun kepada Allah, 'hanya' karena seekor onta terpeleset di jalan di wilayah pemerintahannya. Sementara dalam kehidupan kita jumlah penganggur bertambah puluhan juta tak ada yang merasa bersalah, dilemma kesengsaraan ribuan penduduk bawah jalan tol belum beres, pemimpinnya tega nampang mencalonkan diri akan jadi Presiden.

Dan sama sekali tak bisa kita simpulkan bahwa berbagai macam kesesatan yang sedang kita alami atau sedang menimpa mayoritas bangsa kita kalah berbahaya dibanding yang kita ributkan dengan kesesatan AlQiyadah.

Hanya saja AlQiyadah menyentuh wilayah 'pamali', 'sirik', 'wadi', 'jimat' hatinya ratusan ribu orang. Yakni aqidah. Teologi. Wacana sangat privat yang sudah lebih mendalam di lubuk jiwa -- meskipun mungkin karena saking mendalamnya maka susah diaplikasikan keluar diri manusia untuk menjadi kebaikan sosial bersama. Andaikan AlQiyadah mengajak korupsi, ia pasti terpuji dan ke mana-mana pasti banyak kawan. Andaikan AlQiyadah memakai tabir Parpol, segera para pencoleng akan berkumpul mengerumuninya. Sebab bagi cara berpikir keagamaan umum: parpol, uang, korupsi, keculasan -- itu tidak sealamat dengan Allah dan Nabi Muhammad.

Diam-diam saya pribadi menemukan bahwa alhamdulillah kesesatan-kesesatan hidup saya tidak diketahui umum atau pihak yang berwajib. Saya mohon dengan sangat bagi teman-teman yang tahu bahwa selama ini saya mendayung perahu hidup saya di aliran-aliran sesat karena tidak umum dan bukan mainstream: hendaklah tak usah melaporkan kepada MUI dan Pemerintah.

Itu semua karena sampai usia menjelang 60 th Allah memperkenankan saya menjadi penduduk yang tak diperhatikan, tak didengarkan, tak dianggep, selalu diletakkan di luar garis-garis pemetaan dlam hal apapun saja. Segala yang saya dan kami lakukan, rekor apapun yang pernah kami capai, ke benua dan kota-kota besar dunia belahan manapun kami mengibarkan Merah Putih, dengan berapa ribu dan puluh ribu massapun saya bercengkerama, prestasi dan kualitas apapun yang kami gapai: saya dan kami tetap di luar peta.

Bahkan rasa syukur tertinggi saya adalah jika kelak saya masuk sorga - sesudah lewat neraka: orang tetap tidak percaya bahwa saya masuk sorga. Itulah sebabnya pembicaraan di setiap forum selalu saya awali dengan kalimat "Jangan percaya pada saya, percayalah sama Allah dan Muhammad". Saya merasa bodoh kalau saya membaiat orang, karena dengan begitu aku yang melegitimasi kedudukanny, sehingga aku akan harus turut bertanggujng jawab atas apa yang dilakukan oleh orang yang saya baiat. Sedangkan di hadapan peradilan Tuhan, tidak logis kalau aku bisa menolong anakku atau aku bisa ditolong istriku. Tidak ada orang disumpah atau disyahadati, yang ada adalah orang bersumpah atau bersyahadat dengan dirinya sendiri.

Saya tidak pernah mengakui diri saya sendiri, karena yang substansial adalah pengakuan Allah atasku, jika hal itu sekarang atau kelak mungkin terjadi. Saya tidak tega dan geli kalau orang menjadikan saya sebagai panutan, menyebut saya Ustadz, Kiai, bahkan ada spanduk berbunyi "Selamat Datang KH Emha Ainun Nadjib". Ya Allah lucunya.

Maka tak pernah ada keberanian pada diri saya untuk mengajak orang lain, apalagi untuk meyakini apa yang saya yakini, untuk berpikir seperti saya berpikir, untuk menganut apa yang saya anut. Setiap orang jangan memandang saya. Pandanglah Allah, Muhammad, Yesus, Budha, Sang Hyang Widhi: take it or leave it. Atau tak usah memandang siapapun kecuali dirimu sendiri, kepentinganmu sendiri, sebagaimana Firaun. Engkau merdeka bahkan untuk menjadi Firaun. Itu urusanmu dengan Tuhan dan dirimu sendiri, bukan dengan saya.

Semua Nabi dan Rasul, umpamanya Adam atau Yunus, hanya berani menyebut dirinya dholim, "Robbana dholamna anfusana", "Inni kuntu minadh-dholimin". Maka siapakah aku, sehingga mantap untuk tak melihat diriku tersesat? Kesesatan adalah milikku sehari-hari. Oleh karena itu mengaku diri manusiapun rasa belum pantas. Andaikanpun aku ini Ahlul Bait keturunan Rasulullah SAW gabung dengan darah Brawijaya, pasti kututupi sebagaimana kurahasiakan auratku.

Akan tetapi apakah saya menolak keseyogyaan dakwah? O tidak. Saya seorang Da'i pelaku dakwah. Da'wah artinya panggilan, yad'u artinya memanggil, pelakunya Da'i. Menyapa. Memanusiakan. Meneguhkan bahwa yang selain saya itu benar-benar ada. Da'wah itu panggilan pada skala horisontal dengan sesama makhluk. Kalau vertikal, dari kata yang sama menjadi du'a, bahasa Indonesianya: doa, kata kerjanya juga yad'u, subyeknya juga Da'i. Berdoa adalah menyapa Allah.

Kalau kita tiap saat minta-minta terus kepada Tuhan, menurut suatu logika berpikir: tak akan lebih dikasihi oleh Allah dibanding kalau kita rajin menyapaNya, rajin 'gaul' sama Dia, 'mentuhankan' Tuhan sebagaimana memanusiakan manusia. Tetangga lebih simpatik kepada kita yang suka menyapanya dibanding yang sering meminta-minta -- meskipun menurut pemahaman lain Tuhan tidaklah sama dengan tetangga.

Pinjam puisinya Chairil Anwar: bukan kesesatan benar menusuk kalbu, keridhaanmu menerima segala tiba, tak setinggi itu atas debu, dan duka maha tuan bertahta....

Allah sendiri, Masya Allah memang Maha Menyesatkan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah tak ada yang bisa menyesatkannya, dan barang siapa disesatkan olehNya tak seorangpun bisa memberinya petunjuk.

Aku yang kedua, Insya Allah Anda yang pertama. ***
(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)
Penyairpun bukan
Aku hanya tukang
Mengembarai hutan
Menggergaji kayu
Bikin ragangan
Mainan pesanan Tuhan

Penyairpun bukan
Aku hanya pelayan
Meladeni cara
Meracik kata
Mengais rahasia
Agar tak mati fana

Penyairpun bukan
Aku hanya penyelam
Menukiki samudera
Pulang ke permukaan
Membawa batu purba
Untuk melempari cakrawala

1986

(Emha Ainun Nadjib/"Cahaya Maha Cahaya"/Pustaka Firdaus/Jakarta/1993/PadhangmBulanNetDok)
Pada setiap raka'at sembahyang yang tanpa duduk tahiyat, Anda memerlukan tahap transisi ruku' dari qiyam menuju posisi sujud. Tapi kemudian dari posisi sujud ke qiyam, Anda melakukannya langsung tanpa ruku'.

Ini acuan pertama.
Acuan kedua adalah pertemuan Anda dalam shalat dengan beberapa karakter atau sifat Allah swt. Ini berdasarkan kalimat-kalimat yang Anda ucapkan selama melakukan shalat.
Pertama, tentu saja Allah yang akbar. Lantas ia bagai rabbun. Selanjutnya, rahmân dan rahîm. Kemudian hakekat kedudukannya sebagai mâlik. Dan akhirnya Allah yang `adhîm dan a`lâ.
***
Kedudukan Allah sebagai akbar atau Yang Maha Lebih besar (Ia senantiasa terasa lebih besar, dinamika, tak terhingga, seiring dengan pemuaian kesadaran dan penemuan kita)—kita ucapkan untuk mengawali shalat serta untuk menandai pergantian tahap ke tahap berikutnya dalam shalat.
Artinya, setiap langkah kesadaran dan laku kita letakkan di dalam penghayatan tentang ketidakterhinggaan kebesaran-Nya, melainkan mengasah kita melalui fungsi-Nya sebagai rabbun.
Sebagai Yang maha Mengasuh, Ia bersifat penuh kasih dan penuh sayang, Rahmân dan Rahîm. Penuh cinta dalam konteks hubungan individual Ia dengan Anda, maupun dalam hubungan yang lebih `heterogen' antara ia dengan komprehensi kebersamaan kemanusiaan dan alam semesta.
***
Tapi jangan lupa Ia adalah Raja Diraja, Ia Mâlik, hakim agung di hari perhitungan. Ia sekaligus Maha Legislatif, Maha Eksekutif dan Maha Yudikatif.
Dan memang hanya Ia yang berhak penuh merangkum seluruh kehidupan itu hanya dengan diri-Nya yang sendiri, tanpa kita khawatirkan terjadi ketidakadilan dan ketidakjujuran—yang pada budaya kekuasaan antara manusia dua faktor itu membuat mereka menciptakan perimbangan sistem trias politica.
Kemudian karakter dan kedudukan-Nya sebagai `Adhîm dan A`lâ, Yang Maha besar (horisontal) dan Maha tinggi (vertikal).
***
Yang ingin saya kemukakan kepada Anda adalah bahwa kita menyadari-Nya sebagai A`lâ, Yang Maha Tinggi itu tatkala dalam shalat kita berposisi dan bersikap sebagai binatang. Artinya, ketika kita menyadari kebinatangan kita, yakni dalam keadaan bersujud: badan kita menelungkup bak binatang berkaki empat.
Ketika kita beroperasi setengah binatang, waktu ruku' bagaikan monyet yang seolah berdiri penuh seperti manusia namun tangannya berposisi sekaligus sebagai kaki—yang kita sadari adalah Allah sebagai `Adhîm.
Dan ketika kita berdiri (qiyâm), Allah yang kita hadapi adalah Allah Rahmân, Rahîm, dan Mâlik. Binatang yang ruku' dan sujud' tidak memiliki tradisi intelek dan kesadaran ontologis, sehingga tidak terlibat dalam urusan dengan mâliki yaumiddîn. Raja Hakim hari perhitungan. Kadal dan monyet, termasuk juga virus HIV, tidak diadili, tidak masuk sorga atau neraka.
Ketika kita menjadi binatang atau menyadari potensi kebinatangan diri saat sujud dan ruku', kedudukan subyek kita waktu itu adalah aku. Maka kita ucapkan subhâna rabbiya...., bukan subhâna rabbinâ....
Subyek `aku', dengan aksentuasi egoisme, individualisme, egosentrisme, dst. lebih dekat ke kebintangan, dan itu yang harus kita sujudkan kehadapan Allah swt.
Adapun ketika kita berdiri `qiyâm', kita menjadi manusia kembali. Dan subyek kita ketika itu bukan lagi menjadi `aku' melainkan `kami'. Artinya, tanda-tanda eksistensi kemanusiaan adalah pada kadar sosialitasnya, kebersamaannya, integritas kiri-kanannya. Kalau binatang, secara naluriyah ia bermasyarakat, tapi oleh Allah tidak dituntut atau ditagih tanggung jawab kemasyarakatannya. Tuntutan dan tagihan itulah yang membedakan antara binatang dan manusia, itu pulalah yang menghinakan manusia, atau justru memuliakannya.
***
Mungkin itulah sebabnya maka sesudah kita ber-takbiratul ikhram dan berdiri `sebagai manusia', Allah menyuruh kita untuk terlebih dahulu menyadari potensi kebinatangan kita dalam sujud, melalui transisi ruku'. Nanti sesudah sujudnya penuh, silakan langsung berdiri kembali sebagai manusia.
Nanti menjelang Pemilu, pesta demokrasi yang urusannya bergelimang kekuatan dan kekuasaan di antara sesama manusia—ada baiknya semua pihak memperbanyak sujud. Agar supaya kebinatangan diminimalisir.
Dan semoga jangan banyak-banyak yang bersikap sebagaimana iblis, yang menolak bersujud, karena merasa lebih tinggi, lebih benar, lebih takabur.
Ah, nanti panjang sekali kalau saya teruskan....[]
(Emha Ainun Nadjib/"Keranjang Sampah"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)
Sehabis sesiangan beker­ja di sawah-sawah serta disegala macam yang diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah Latif rnenga­jak para santri untuk sesering mungkin bershalat malam.
Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat "iyyaka na'budu..." Abah Latif biasanya lantas menangis tersedu-sedu bagai tak perpenghabisan.
Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat un­tuk melampaui kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan "wa iyyaka nasta'in..."
Banyak di antara jamah yang bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.
"Hidup manusia harus ber­pijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar", ber­kata Abah Latif seusai wirid bersama, "Mengucapkan kata-kata itu dalam al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan. 'Harus' di situ titik beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah hakekat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain di dalam hakekat itu"'.
"Astaghfimllah, astaghfirullah", geremang turut menangis mulut para­santri.
"Jadi, anak-anakku", beliau melanjutkan, "apa akar dan pijakan kita dalam mengucapkan kepada Allah iyyaka na'budu?"
"Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan bimbingan Allah itu sendiri, Abah?", bertanya seorang santri.
"Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan kehidupan".
"Belum jelas benar bagiku, Abah".
"Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan kenyataan". "Astaghfirullah, astaghfirullah", geremang mulut para santri terhenti ucapannya, Dan Abah Latif meneruskan, "Sekarang ini kita mungkin sudah pantas mengucapkan iyyaka a'budu. Kepada-Mu aku menyembah. Tetapi Kaum Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepada-Mu kami menyembah, na'budu".
"Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita seba­gai umatan wahidah. Ketika sampai di kalimat na'budu, tingkat yang harus kita capai telah lebih dari 'abdullah, yakni khalifatullah. Suatu maqam yang dipersyarati oleh kebersamaan Kaum Muslimin dalam menyembah Allah di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang kehidupan. Mengucapkan iyyaka na'budu dalam shalat mustilah memiliki akar dan pijakan di mana kita Kaum Muslimin telah membawa urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala urusan lain untuk menyembah hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku, betapa mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?"
"Astaghfirullah, astaghfirullah", geremang mulut para santri.
"Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi khalifatullah di dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan sungguh-sungguh tak berpeng­habisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka nasta'in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada Allah, padahal dalam sangat banyak hal kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada hakekatnya melawan Allah".
"Astaghfirullah, astaghfirullah", gemeremang para santri.
"Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu. Kemudian peliharalah kepekaan dan kesang­gupan untuk tetap bisa menangis. Karena alhamdulillah seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk menangis karena keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya".!

(Emha Ainun Nadjib/Panji Masyarakat/2005/PadhangmBulanNetDok)
Untuk Dr. HC-nya Gus Mus

Di usia sepuhnya, Gus Mus makin gantheng wajahnya dan makin bening cahaya yang memancar dari wajah itu. Bahkan kulit beliau yang aslinya coklat kini menjadi cenderung kuning-putih. Itu bukan wajah Gus Mus yang kita kenal dalam kebudayaan di bumi. Itu langit.

Sungguh bikin cemburu. Bagaimana hamba Allah satu ini, semua manusia dari Sabang hingga Merauke diam-diam pada bingung, ambruk, kuyu, frustrasi dan putus asa, meskipun ditutup-tutupi ? dia malah makin sumringah hidupnya, wajahnya tersenyum, seluruh wajahnya tersenyum, bukan hanya bibir beliau: benar-benar seluruh wajah beliau, lagak-laku dan output karakter beliau adalah senyuman.

Tiba-tiba muncul makhluk yang bernama Doctor Honoris Causa. Menghampirinya. ‘Ngenger’ kepadanya. Melamarnya untuk menjadi sandangannya. Sudah pasti beliau tersenyum, mengulurkan tangan dan dengan penuh kasih sayang. Menunjukkan sikap menerima, menampungnya, mengakomodasikannya, menggendongnya, mengelus-elusnya.

Jauh di dalam kalbunya Gus Mus mengerti betapa inginnya si Doctor Honoris Causa itu diperkenankan untuk menjadi bagian dari kehidupan Gus Mus. Dan ‘Ma abasa wa ma tawalla, an ja-ahul a’ma…. tak mungkin beliau berpaling, meremehkan dan mengabaikan pengemis yang hina dina sekalipun.

Padahal di dalam doa-doanya, Gus Mus selalu meletakkan semua makhluk lemah itu di shaf terdepan dari aspirasinya. Bahkan jenis hati beliau tidak puas untuk memohon “Ya Allah, sayangilah para pengemis, mudahkanlah kehidupan mereka, limpahilah dengan rizqi-Mu yang luasnya tak terhingga kali seluruh jagat raya”. Bunyi perasaan terdalam beliau agak lebih radikal: “Alangkah mudahnya bagi-Mu ya Allah untuk sejak awal menciptakan pagar-pagar qadla dan qadar agar dalam peradaban ummat manusia tak usah ada pengemis, tak usah ada hamba-hamba yang selemah itu, apalagi sampai dilemahkan, di-pengemis-kan”.

Memang di dalam salah satu cara berpikir tasawuf para pemberi membutuhkan mereka yang diberi. Orang kaya membutuhkan orang miskin, sebab orang miskin adalah jalan memperbanyak pemberian, infaq dan shadaqah. Orang miskin adalah lahan subur untuk menanam kasih sayang. Gus Mus setahu saya tidak turut menikmati bermain logika dan simulasi sosial sufisme. Beliau transenden dari pola-pola adegan itu dengan mempertapakan dambaan cinta alangkah indahnya kehidupan tanpa orang-orang miskin yang meruntuhkan hati dan memeras airmata.

Bahasa gamblangnya: Gus Mus pada dasarnya tidak merasa krasan juga Doctor Honoris Causa melamar-lamar dirinya. Dan lebih sangat “haram mu’aqqad” lagi kalau sampai ada bagian dari kehidupan ini di mana Gus Mus yang melamar gelar Doktor, mendambakannya, mengambisiinya, merakusinya, merindukannya, apalagi sampai menyiapkan uang dalam jumlah sangat besar dalam rangka memperhinakan dirinya.

Lho, apakah gelar Doktor itu hina? O tidak lah yaoo… Ini hanya pernyataan ta’aqqud dan tafaqquh bahwa yang selain Tuhan selalu menjadi jatuh hina jika diperlakukan sebagaimana Tuhan. Hanya Allah yang memiliki maqam untuk didambakan untuk diraih, diserakahi untuk ‘dimiliki’, digadang-gadang serta dicita-citakan untuk bersanding. Selain Allah, bahkanpun Rasulullah, juga seluruh manusia dan alam semesta, cocoknya dicintai, disayang.

Gus Mus menyayangi gelar Doktor beliau, tapi insyaallah tak sampai mencintai. Disayang karena mereka yang memberinya gelar itu juga sangat sayang kepada Gus Mus. Namun tidak sampai mencintai, karena beliau bukan orang bodoh.

Gelar Doktor mencerminkan pencapaian ilmu maksimal pada ukuran mesin berpikir manusia. Tidak sempurna dan belum puncak, dalam arti potensialitas yang dianugerahkan Allah atas daya akal manusia masih menyediakan cakrawala luas dan langit tinggi yang masih amat jauh di luar jangkauan pencapaian peradaban berpikir ummat manusia sampai sekian puluh abad. Sedangkan gelar Proffesor menggambarkan kelulusan komitmen terhadap dunia ilmu dan kesetiaan terhadap tradisi kemuliaan pemeliharan dan penyebaran ilmu. Tafaqquh ‘ilmi wan-tisyaruh.

Itu idiomatik dan simbol dari dunia persekolahan di mana pencarian ilmu di-institusionalisasi-kan, dengan ‘syubhan’ politik dan perdagangan ? tetapi yang terakhir ini tidak menjadi perhatian dalam tulisan ini. Di luar sekolah, masyarakat (Indonesia, Jawa) membangun sendiri idiomatic dan simbol-simbolnya untuk mengukuhkan pencapaian manusia di antara mereka: Kiai, Panembahan, Ki, Begawan, Pendekar, Pandito. Pada tataran yang lebih popular dan sehari-hari muncul symbol: Mbah, Lurah, Danyang, mBahurekso, dst, yang semuanya menggambarkan pengakuan umum atas pencapaian tertentu dari seseorang.

Kalau memang ‘terpaksa’, KH. Mustafa Bisri kita lengkapi saja atributnya: Mbah Lurah Danyang mBahurekso Pandito Begawan Panembahan Ki Kiai Profesor Doktor Mustafa Bisri, dan saya urun nambahi satu tapi tanpa upacara: Karromallohu wajhah…. Karena insyaallah beliau karib dan sehabitat dengan Sayyidina Ali ibn Abi Thalib dalam sejumlah konteks, utamanya ta’aqqudul iman, tafaqquhul ‘ilmi wa ni’matul ma’rifah serta thariqat ‘suwung’, fana’.

Doktor itu kedewasaan ilmu, namun tidak menjamin kematangan mentalitas dan spiritualitas. Bahkan tidak menjanjikan kedewasaan sosial dan kultural. Sedangkan Gus Mus mohon maaf: memiliki semua itu.

Tak akan didengarkan orang kalau ada seorang Doktor berfatwa, sebagaimana kalau KH Mustafa Bisri (andaikan beliau mau) berfatwa. Sebab ‘fatwa’ arti telanjang epistemologisnya adalah kedewasaan yang ‘jangkep’. Doktor masih kedewasaan parsial dan ‘githang’.

Fatwa bukan produk dari rapat sekian ratus Ulama yang naik pesawat dari berbagai propinsi untuk mengacungkan tangan dan meneriakkan “Setuju!” dalam sebuah rapat yang berprosedur demokrasi, penjajagan pendapat untuk mencapai kesepakatan. Atau lebih rendah lagi: pendapat sudah disediakan, dan ratusan Ulama bersegera menyetujuinya karena hal itu merupakan ujung dari suatu eskalasi politik, mobilisasi berpikir dan honorarium. Untuk Indonesia, tradisi semacam itu sudah ma’ruf wa mafhum, dan semua tinggal meng-amin-i.

Sesungguhnya Gus Mus adalah seorang Al-Mufti. Hanya saja beliau terlalu rendah hati. Sekurang-kurangnya Al-Mufti adalah kwalitas dan maqam beliau. Dan kalau beliau hampir tidak pernah menduduki kursi itu dan tidak ‘nyuwuk’ fatwa apa-apa kepada bangsa dan ummat yang tidak mengerti kegelapan (apalagi cahaya) ini, kita orang dusun tahunya barangkali memang beliau tidak memperoleh ‘wangsit’ untuk berfatwa. Allah sendiri menerapkan sifat As-Shobur kepada bangsa Indonesia, Gus Mus nginthil di belakang-Nya.

Dan sungguh saya selalu merasa gatal untuk menggoda Gus Mus, di tengah perjalanan hidup ‘asyik ma’syuk di tengah hutan belantara penuh comberan ini.

Maka sengaja tulisan menyambut penggelaran Doctor Honoris Causa untuk Gus Mus ini saya bikin berlama-lama dan terlambat-lambat. Memang sih ada sejumlah kesibukan, tapi alasan utama saya bukan itu. Motif saya yang sesungguhnya adalah: saya sangat bernafsu menyiksa Gus Mus, saya sangat cemburu pada beliau, dan saya berkhayal berlari kencang mendahului Gus Mus.

Saya buka rahasia pribadi: saya ini seorang penakut bin pengecut. Hidup saya tanpa kekuasaan, baik sebagai warga masyarakat, sebagai suami, sebagai bapak, sebagai lelaki atau sebagai apapun. Itu gara-gara saya tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk menyentuh orang lain dengan kehendak saya. Tidak sedikitpun saya berani menyiksa siapapun, baik menyiksa dengan kejahatan maupun dengan kemuliaan, dengan keburukan atau kebaikan, dengan kesalahan maupun kebenaran.

Jangankan menjadi pemimpin Negara atau wakil rakyat, sedangkan menjadi kepala rumahtangga saja saya memilih untuk tidak berkuasa. Saya hanya bagian dari keluarga, bagian dari masyarakat dan Negara. Padahal aslinya di dalam diri saya terdapat nafsu kekuasaan yang meluap-luap, bahkan ada semacam potensi kekejaman yang selama ini saya sembunyikan dengan sangat rapi. Nah, terhadap Gus Mus: saya menemukan peluang sangat besar dan melimpah untuk berkhayal punya kekuasaan dan menyelenggarakan penyiksaan-penyiksaan semaksimal mungkin.

Sebab saya tahu dan yakin bahwa beliau tak akan marah. Gus Mus tidak memiliki hubungan genetik, kefamilian atau keterkaitan sosial dengan kemarahan. Satu point ini saja sungguh seribu kali lebih penting dan lebih tinggi mencapaian mental maupun ilmiahnya -- dibanding seribu gelar doktor kepada beliau. Kalau ada orang marah, itu pasti bukan Gus Mus. Dan kalau para saintis tidak mampu menemukan keterkaitan dialektis antara fenomena marah dengan kosmos ilmu, maka tidak perlu ada Sekolahan, Universitas ataupun Pesantren.

Tapi ya siksaan saya kepada Gus Mus sekedar terbatas pada ulur-ulur waktu jadinya tulisan ini. Celakanya beliau sama sekali tidak marah. Tersiksa sedikitpun tidak. Padahal kalau sampai beliau tersiksa, betapa indah puisi-puisi yang terungkap dari ketersiksaan itu. Gus Mus adalah pendekar kehidupan yang bukan sekedar sanggup menemukan ketenteraman dalam kecemasan, menggali kebahagiaan dari jurang derita, atau menikmati kekayaan di dalam kemiskinan. Lebih dari itu Gus Mus bahkan mampu membuat kegelapan itu tak ada, karena yang ada pada beliau, dan bahkan beliaunya itu sendiri: adalah cahaya.

Kemudian hal cemburu: beliau ini dikejar-kejar dilamar-lamar oleh Doctor Honoris Causa. Sementara saya orang tua sampai hampir batas jatah usia hari ini tak pernah dinantikan orang, apalagi dikejar. Tak menggembirakan orang hadirku dan tak ditangisi orang hilangku. Tak dirindukan oleh siapapun saja kecuali oleh istri dan anak-anakku.

Maka saya dendam kepada Gus Mus. Dan dengan melambat-lambatkan tulisan ini saya bisa membangun khayalan bahwa saya bukan hanya juga berposisi dikejar-kejar, tapi juga ‘GR’ bahwa yang mengejar-ngejar saya adalah orang besar bernama KH Mustafa Bisri. Dan karena saya dikejar oleh Gus Mus, sedangkan Doctor Honoris Causa mengejar Gus Mus, maka saya berada dua langkah di depan Doctor Honoris Causa. Dengan demikian tak mungkin Doctor Honoris Causa akan pernah mampu mencapai lari kencang saya.

Bagi siapapun yang kebetulan membaca tulisan ini, mudah-mudahan menjadi paham kenapa sampai setua ini saya tidak pernah “dadi wong”, tak pernah mencapai apa-apa dan tak pernah menjadi siapa-siapa. Jawabannya sangat gamblang dengan alinea-alinea di atas: saya sudah sangat bergembira cukup bermodalkan khayalan-khayalan semacam itu. Puji Tuhan ada kesempatan untuk membuka rahasia itu, karena hanya Gus Mus yang memiliki keluasan untuk men-senyum-i khayalan-khayalan saya, sementara lainnya selama ini hanya mencibir dan meremehkan saya.

Maka di luar itu semua tentulah saya turut mengucapkan ‘mabruk’ atas penganugerahan gelar Dr. HC kepada Gus Mus, tanpa mempersoalan bahwa - ibarat baju, gelar itu terlalu kecil atau ‘cekak’ untuk Gus Mus. Atau dengan kata lain beliau ? dengan segala kwalitas dan bukti-bukti kesalehan dan kreativitas puluhan tahun hidupnya ? terlalu besar untuk hanya digelari Dr. HC.

Sebenarnya saya sudah menantikan penganugerahan ini 30-40 tahun silam. Atau mungkin malah diperlukan ijtihad untuk mendirikan lembaga gelar yang lebih tinggi derajat mutunya, lebih meluas cerminan jangkauan manfaatnya serta lebih mendalam kasunyatan kekhusyukan komitmennya. Terserah apapun saja nama gelar khusus itu yang kita gunakan untuk menunjukkan kesadaran kita dalam mengapresiasi “Manusia Thawaf” dari Rembang ini.

Tetapi omong-omong qulil haqqa walau kana murran KH Mustafa Bisri sebenarnya juga sama sekali tidak cocok hidup di zaman di mana beliau hidup sekarang ini, di Negeri ajaib yang Gus Mus menangisinya berurai-urai airmata di hadapan Allah sambil hati beliau geli setengah mati dan tertawa terpingkal-pingkal.

Minimal ada satu syarat mendasar yang Gus Mus tidak miliki secuilpun untuk ‘relevan’ hidup di zamannya: tidak punya ambisi, tidak memiliki ‘ananiyah’, tidak punya kesanggupan mental untuk membuang rasa malu, serta terlalu rewel terhadap martabat dan harga diri ke-insan-an beliau. Sistem nilai yang berlaku komprehensif dewasa ini akan tiba pada suatu perkenan sosial dan permisivisme budaya terhadap siapapun untuk bukan hanya memasang gambar wajahnya di jalanan-jalanan atas niat dan inisiatifnya sendiri, melainkan pelan-pelan kelaminnya juga sudah siap untuk diiklankan.

Cocoknya Gus Mus ada di antara para sahabat Rasulullah Muhammad SAW: dolan mengobrol ke kampung-kampung bersama Abu Dzar Al-Ghifari, malamnya majlisan dengan Babul-‘Ilmi, pintu ilmu pngetahuan: Sayyidina Gagah Ganteng Brillian Ali ibn Abi Thalib karromallohu wajhah.

Maka atmosfir peristiwa penggelaran Dr.HC untuk Gus Mus ini saya masuki dengan kegembiraan sebagaimana memasuki pesta setengah “majdzub”. Saya ikut minum anggur rasa syukur yang menggelegak tanpa alasan apapun kecuali menikmati kekayaan “qudroh”nya Allah SWT. Saya melintas ke sana kemari menyapa semua sahabat keindahan dan mengobrol dengan para “mab’utsin” kebenaran dan kebajikan.

Siapa saja yang tak tahan bersegeralah pergi menjauh dari saya. Sebab saya melayang-layang surving diving sampai terkadang terpikir di benak saya NU itu sebaiknya dibagi dua: ada firqoh Nahdloh dan firqoh Ulama. Ketua golongan Nahdloh bolehlah KH Hasyim Muzadi, tapi Ketua Ulamanya harus KH Mustafa Bisri.

Gus Mus memimpin gairah ta’limul ardl wa ma’rifatussama, yang lain silahkan memanfaatkan pengetahuan dan legitimasi langit untuk pengetahuan dan kepentingan di bumi. Harus Gus Mus yang memimpin. Kok harus? Siapa yang mengharuskan? Ya saya sendiri, lha wong ini tulisan saya sendiri. Terwujud dan terjadinya Gus Mus jadi Ketua NU ya cukup dalam diri saya sendiri, karena kalau di kasunyatan NU saya bukan sekedar tidak punya hak apa, tapi juga tidak ada.

Ini tulisan-tulisan saya sendiri, dan yang saya tulis adalah jenis orang yang tidak akan marah atau berbuat apapun meskipun saya tulis bagaimanapun. Jadi saya Ketua-NU-kan dia, kalau perlu seumur hidup. SEUMUR HIDUP.

Dan ini sama sekali bukan soal ambisi atau kerakusan, melainkan berdasar feeling saya dalam hal niteni tradisi sunnah-nya Allah. Manusia dengan kaliber dan kwalitas macam Rasulullah Muhammad SAW oleh Tuhan diselenggarakan atau dilahirkan hanya satu kali selama ada kehidupan. Kalau taruhan tidak haram, saya berani taruhan soal ini.

Jenis Ibrahim AS dan Musa AS bolehlah lima abad sekali. Atau kalaupun saya sebut 10-20 abad juga tak akan pernah ada kemampuan penelitian ilmu manusia untuk membenarkannya atau menyalahkannya. Salahnya sendiri banyak sekolahan ummat manusia berlagak-lagak pinter tapi tidak ada peneliti hal-hal beginian, mana mungkin akan pernah mengenal clue ‘perilaku’ Allah ini.

Lha makhluk yang berperan sebagai Mustafa sesudah Bisri sesudah Mustafa sesudah Bisri entah yang keberapa ini, yang khalayak umum, kelas menengah intelektual sampai institusi Negara menyangka ia adalah Ulama dan Seniman ? tinggal Anda perkirakan maqamnya, keistimewaannya, spesifikasinya, genekologinya, koordinat kosmologisnya. Dilahirkan 75 tahun sekali? 102 tahun sekali? 309 tahun sekali?

Saya tidak mau terjebak oleh adagium “La ya’riful Waly illal Waly”: tak ngerti Wali kecuali Wali. Anda jangan percaya pada rumus yang membuat Anda tersesat menyangka saya mengerti Gus Mus karena saya sekwalitas dan semaqam dengan beliau. Jangan coba-coba memompa kepala saya menjadi besar, sebab saya sudah sangat pusing oleh besar kepala saya.

Rumus lebih tepat untuk ini adalah “hanya kekecilan semut yang mampu mengagumi kebesaran gajah”.
(Muhammad Ainun Nadjib/2009/PadhangmBulanNetDok)
Sepakbola, sebagai olahraga utama rakyat Indonesia, tergolong komponen garda depan pembangunan yang – mestinya – merupakan pelopor globalisasi. Saya tidak main-main. Sepakbola melibatkan uang milyaran rupiah, jutaan konsumen, fasilitas teknologi tinggi, halaman-halaman khusus media massa, lapangan kerja, pola kreasi dan rekreasi khas masyarakat industrial, bahkan inherent dengan faktor-faktor industrial lainnya seperti transportasi stage and lighting system, dokter dan psikolog, hizib para kiai, jopa-japi para dukun, dan seribu satu faktor lagi yang tidak bisa disebut satu per satu.

Kalau anda bicara globalisasi berarti memperbincangkan peralihan budaya masyarakat dari pola budaya tradisional–agraris menuju pola modern–industrial. Itulah substansi utama globalisasi. Apakah anda menemukan perbedaan antara sepakbola agraris dengan sepakbola industrial?
Kita selalu menyebut bahwa sepakbola adalah olahraga rakyat. Itu artinya bahwa sepakbola adalah bagian integral dari kebudayaan masyarakat. Dalam sepakbola tradisional–agraris, para pemain mengandalkan bakat alam, intuisi, instink dalam dimensinya yang paling natural. Cara pengelolaan persepakbolaan juga lebih berupa paguyuban, kurang mengenal managemen keorganisasian modern–profesional, tak ada division of labour yang ketat, belum bussiness oriented. Target-target persepakbolaannya juga tidak nomer satu prestasi, melainkan fungsi partisipatorisnya dalam kehidupan masyarakat: persahabatan, keakraban, meskipun terkadang diungkapkan dalam bentuk tawuran.
Kita sebut saja ia sepakbola cultural. Seolah-olah “kesenian hidup” yang diasyiki seperti ludruk, ketoprak, terbangan, hadrah, dan – pada sebagian masyarakat – juga teplek dan dadu.

Kemudian Anda tidak bisa mempertahankan pola itu ketika secara serentak kita bersepakat untuk berangkat modern. Tatanan masyarakat telah berubah. Perhatian manusia juga lebih ekonomistik. Ketrampilan kaki seorang pemain bola adalah faktor produtif dan dunia sepakbola itu sendiri adalah pasar dan lahan konglomerasi. Jutaan pecandu sepakbola harus juga menyadari – dan membeli tiket – bahwa sepakbola itu posisi industrialnya paralel dengan musik rock dan dangdut atau bentuk showbiz yang lain.
Dengan kata lain, pada masyarakat tradisional–agraris substansi persepakbolaan adalah nilai budaya. Sedangkan pada masyarakat modern–industrial substansinya adalah nilai ekonomi.
Akan tetapi masyarakat kontemporer Indonesia adalah masyarakat transisional. Masyarakat yang sedang beralih: sebelah kakinya mulai berpijak di “masa kini” sementara kakinya yang lain masih mengasyiki “masa silam”. Dan berhubung proses transformasi persepakbolaan kita tampaknya tidak sungguh-sungguh disadari, maka konsep berpijaknya juga masih rancu. Overlap disana-sini.
Modernisasi dan profesionalisasi sepakbola Indonesia tidak sejak semula diberangkatkan dari konsepsi yang ilmiah dan matang. Itu menyangkut faktor internal dari kegamangan ilmu persepakbolaannya itu sendiri, managemen dan organisasi globalnya, sampai puritanisme dan ketertutupan kita dari – misalnya – tansfer pemain asing. Itu, sebenarnya, tindakan anti-globalisasi.
Juga faktor eksternalnya. Anda tahu Galatama, pola persepakbolaan profesional-industrial sudah lama berlangsung. Tetapi secara kualitatif ia tak mampu menunjukkan kelebihan kualitatifnya dibanding perserikatan. Bukankah perserikatan sesungguhnya puncak bentuk dari sepakbola paguyuban atau sepakbola kultural, yang sangat mengandalkan primordialisme kedaerahan? Bahkan kita mengalami bersama bahwa landasan eksistensi klub-klub Galatama masih juga berkutat pada unsur emosi kultural. ‘Mobilisasi massa’ yang dilakukan untuk mendukung klub Galatama selama ini masih sangat mengandalkan faktor-faktor primordialisme yang sebenarnya bukan merupakan ciri-ciri mekanisme industrial.
Coba anda potret lebih close-up: industrialisasi di Indonesia secara resmi digerakkan oleh kekuatan-kekuatan politik negara. Kepemimpinan kultural yang terdapat pada masyarakat tradisional digantikan oleh kepemimpinan institusional dan birokratik. Faktor “negara” ini menggenggam dan merasuk ke dalam hampir seluruh urusan masyarakat, termasuk sepakbola. Indikator utamanya: pimpinan tertinggi organisasi olahraga adalah para menteri atau setidaknya tokoh dari lingkaran birokrasi.
Indikator lainnya terdapat pada makin merambahnya gejala deswastanisasi atau dekulturalisasi mekanisme berolahraga. Olahraga mungkin masih ‘milik masyarakat’, tapi sudah sangat diurus oleh kepentingan ekonomi dan oleh tangan birokrasi. Sekarang ini mungkin Anda tidak gampang lagi menyelenggarakan kompetisi sepakbola antar-dusun: panitia Anda harus anggota PSSI, harus minta ijin aparat keamanan, harus ini harus itu.
Kultur sepakbola pada kehidupan rakyat makin menipis karena dua hal. Pertama, rakyat makin terserap oleh hiburan yang diproduk oleh ‘pusat-pusat globalisasi’. Kedua, setiap aktivitas rakyat, juga sepakbola, didekati oleh birokrasi dengan security approach, pendekatan keamanan. Sepakbola kita, dalam kehidupan rakyat umum, berjalan hanya sejauh memenuhi konsep tekno-birokratik.

Dengan kata lain sepakbola makin tidak lagi merupakan olahraga rakyat. Di desa saya anak-nak muda hampir sama sekali berhenti mempergaulkan sepakbola dengan desa-desa lain karena kesulitan birokratis. Tidak bisa lagi dengan santai mengundang teman-teman dari desa lain untuk memperebutkan kambing cup, karena jika terpeleset ke lorong birokrasi bisa membuat kita tiba-tiba dapat gelar ‘merongrong keamanan’.
Apalagi Jombang, daerah saya, dewasa ini tampaknya dianggap bukan lahan bibit sepakbola yang subur, melainkan tenis. Lapangan tenis dibangun di banyak tempat. Stadion sepakbola kabupatenpun kini dibagi dua sehingga fungsinya untuk sepakbola berkurang. “Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat”, untuk Jombang, agaknya diaksentuasikan ke cabang tenis – entah ada hubungannya dengan sukses Yayuk Basuki atau tidak. Kami di desa-desa sedang menunggu keputusan Pak Bupati untuk mendirikan lapangan tenis di setiap desa. Tenis, untuk Jombang, sudah dan akan tidak merupakan olahraga mahal: semua rakyat bisa menikmatinya. Jadi kalau untuk sepakbola, kami dari Jombang mohon maaf tidak merintis infra-struktur teknokratis untuk menyumbangkan pemain-pemain nasional yang andal.

Sebenarnya di negara-negara industri maju seperti Jerman dan Belandapun sepakbola bukan lagi olahraga rakyat. Sepakbola adalah urusan sejumlah pekerja bola yang menjalankan urusan sepakbola dalam konteks profesional: ia sebuah perusahaan. Hanya saja bedanya, pengolahan sepakbolanya ilmiah dan profesionalisme mereka prima, sementara yang kita jalani masih tanggung. Kepemimpinan nasional sepakbola kita seringkali masih belum berpikir modern, ilmiah, obyektif dan dengan sasaran-sasaran profesional-industrial yang akurat. Mereka bahkan masih kental dengan kecenderungan ‘kulturalistik’ dan agraris.

Pada tingkat lokal, regional dan apalagi nasional, sungguh kita memerlukan perundingan menyeluruh tentang rasionalisasi dunia persepakbolaan. Kita butuh menterjemahkan konteks globalisasi, pengilmiahan, industrialisasi dan profesionalisasi sepakbola. Kita sudah terlanjur meninggalkan fase ‘sepakbola kultural’. Kalau tak kita capai fase ‘sepakbola industrial’ secara ilmiah dan mendasar, mungkin keadaan kita akan seperti ‘melepas ayam di tangan, tak tergapai burung di angkasa’.****

(Emha Ainun Nadjib/2004/PadhangmbulanNetDok)
Sejauh saya mengerti, yang menjadi pokok soal dalam Islam ialah bagaimana kekayaan diperoleh dan bagaimana derita kemiskinan sampai diperoleh. Yang diajarkan oleh Islam bukanlah 'kaya' atau 'miskin', melainkan sikap terhadap kekayaan dan kemiskinan.
Termasuk juga sikap terhadap kemunkaran sistem yang mengatur adil tidaknya harta a-lam ini dibagi kepada manusia.
Sikap tersebut tak lain adalah bagian dari spiritualitas. Bagian lain dari spiritualitas ialah panggraita, meraba lebih dalam terhadap ada tidaknya nasib.
Lihatlah kartu domino. Kartu-kartu sudah tertentu. Berbagai kernungkinan permainan juga bisa dipelajari. Namun persoalan pembagian kartu, kapasitas manusia hanya mengocoknya. Silahkan lakukan seratus atau seribu kocokan, tapi Anda tidak bisa menentukan apa dan bagaimana kartu Anda. Anda tidak bisa menjamin bahwa Anda akan bebas clan balak-6.
Ada faktor X, peranan lain di Mar diri manusia yang dikandung oleh permainan domino.
Atau sepakbola. Silahkan bikin coaching yang canggili. Dad ketrampilan individu sampai pola permaman. Namun coba gambarlah garis larinya bola selama 90 menit. Anda sama sekali tidak akan pemah bisa merancang bagaimana gambar itu. Di saat lain Anda hanya
bilang 'bola itu bundar".
Ada faktor X, peranan lain di luar diri manusia yang dikandung oleh permainan sepakbola.
Tentu saja tidak analog bahwa sistem perekonomian yang kita anut dewasa ini sama dengan kocokan domino. Namun yang penting peranan manusia itu terbatas sampai titik tertentu.
Kita tidak bisa menjamin 100% bahwa besok pagi kita masih hidup. Sekian persen jaminan itu tidak berada ditangan kita. Kita hanya bisa mengusahakan kesehatan dan ketertiban hidup, namun bukan penolakan atas maut seperti yang kita rindukan setiap hari.
Di sisi kita, Allah berbagi. Allah menentukan batas fungsiNya sendiri dalam kehidupan manusia. Kehidupan jangan diserahkan 100% kepadaNya, jangan pula 100% pada diri kita sendiri. Namun itu persoalannya yang bikin hidup kita mudah karib dengan tuyul.

(selesai)

Yogya. 28 Oktober 1989
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)

Saya tidak sungguh-sungguh mengenal – apalagi menguasai seluk beiuk – dunia sepakbola. Saya sekedar menyukainya.
Pengetahuan saya mengenai tehnik persepakbolaan, sejarahnya, petanya di negeri ini dan di dunia, siapa saja nama pemain-pemainnya – amat sangat terbatas dan sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan pengetahuan Anda. Indikator bahwa di dalam hidup saya ada sepakbola hanyalah bahwa di kedua kaki saya terdapat banyak bekas luka karena main sepakbola ndeso di masa kanak-kanak dan masa muda saya. Selebihnya, saya juga bukan penonton setia pertandingan-pertandingan sepakbola di level manapun. Bukan pula pemerhati perkembangan dunia sepakbola. Bahasa jelasnya: dalam soal persepakbolaan, saya sama sekali seorang awam. Seorang penggembira yang mensyukuri bahwa pernah ada seseorang, suatu kelompok atau sebuah masyarakat yang kreatif menemukan kenikmatan ‘budaya’ yanq disebut sepakbola.

Adapun kalau sesekali saya menulis di media massa tentang sepakbola, ada sejumlah sebab. Menulis di koran hanyalah perpanjangan tangan dari obrolan sehari-­hari. Puluhan juta orang mernperbincangkan sepakbola: beda antara saya dengan mereka hanyalah bahwa obrolan saya terkadang memakai modus ekspresi yang lain serta dengan daya jangkau yang agak lebih luas. Sebagaimana berpuluh-puluh juta orang tersebut berhak membicarakan apa saja – dari presiden, Tuhan, sambal, hingga sepakbola – maka sayapun merasa tidak ada salahnya omong sepakbola. Negara, menteri-menteri, harga lombok, adalah 'milik' kami yang berhak kami perbincangkan kapanpun saja.
Sebab yang kedua, teman-teman media massa sukanya minta sih agar terkadang saya menulis olahraga, terutama kalau pas ada peristiwa-peristiwa olahraga penting. Saya orangnya amat susah menolak. Permintaan itu terkadang saya penuhi, dengan persyaratan hendaknya mereka memahami dan mengizinkan bahwa posisi saya bukanlah sebagai – semacam – kolumnis olahraga. Melainkan sekedar sebagai seseorang biasa yang kebetulan mencoba menuliskan hal-hal yang sebenarnya memang merupakan bahan obrolan sehari-hari siapa saja. Termasuk dengan tingkat – mutu obrolan sehari-hari pula.
***
Akan tetapi di luar itu, mungkin memang ada hal-hal yang agak sedikit lebih penting. Misalnya, bahwa gejala – sebagaimana segumpal batu, se-uleg-an sambal atau sebuah revolusi sosial – sepakbola adalah cermin sejarah. Di dalam sepakbola saya bisa menemukan hampir apa saja yang juga saya temukan di luar lapangan bola, bahkan di wilayah-wilayah yang lebih serius dibanding sepakbola.
Di dalam sepakbola saya berjumpa dengan gejala sosial. Dengan manusia. Dengan wataknya. Kualitas kepribadiannya. Kecerdasan atau kedunguan otaknya. Kepekaan dan spontanitasnya. Refleksi-refleksi dari dunia pendidikan, kebudayaan, keluarga, nilai-nilai, bahkan juga tercermin akibat-akibat kesekian dari mekanisme politik, industrialisasi, modernisme, atau apa saja. Lebih dari itu saya bisa yakinkan bahwa dengan Tuhan, filsafat dan imanpun saya bertegur sapa di dalam sepakbola.
***
Pada suatu hari Anda menyaksikan pertandingan sepakbola nasional kita, atau pertandingan-pertandingan elite dunia yang bagaikan 'magic’. Lantas barangkali Anda teringat dahulu kala tatkala Anda bermain sepakbola di kampung: memakai buah jeruk sebagai bola. Atau kulit luar pohon pisang kering yang Anda bikin sampai menjadi bulatan bola. Atau bola-bola karet dan plastik biasa yang Anda dapatkan di Pasar Kecamatan. Sesekali, mungkin bersama Santri-santri dari Pesantren sebelah Anda mencoba bermain dengan bola api.
Ingatan masa silam Anda itu bukan hanya bermakna sebagai nostalgia yang romantik. Lebih dari itu, Anda mungkin memperoleh pelajaran tentang mekanisme transformasi. Transformasi budaya. Transformasi sejarah. Transformasi manusia. Outline-nya: transformasi budaya manusia dalarn sejarah.

Menjadi pemain sepakbola di tahun 1960an sangat berbeda dengan menjadi pemain sepakbola tahun 1990an. Menjadi pemain sepakbola di kampung yang bersenang-senang pada kompetisi 17-an sambil sesekali pukul-pukulan, berbeda dengan ketika ikut Pelatnas atau berlaga melawan klub-klub sepakbola profesional­-industrial. Menjadi pemain sepakbola dengan kaki telanjang atau saat mulai belajar pakai sepatu sehingga rasa berlari kita seperti bandit yang kakinya dirantai dan digandholi beban bulatan besi, berbeda dengan menjadi pemain sepakbola sebagai suatu pekerjaan dari 'ideologi' modernisme. Menjadi pemain sepakbola nostatgia bersama para Jago Kapuk alias veteran berbeda dengan tatkala kaki kita siap patah menyangga misi nasionalisme olahraga, nama baik bangsa atau memperjuangkan nafkah anak istri melalui tentangan bola.
Anda nyeletuk: "Ya mesti saja! Wak Jan juga tahu kalau itu berbeda!"
Saya memaksudkan perbedaan itu lebih – atau sekurang-kurangnya berbeda – dengan yang barangkali Anda bayangkan.
Perbedaan pertama mungkin sederhana saja, ialah pada perasaan yang bergolak. Di kampung, selama main bola hati kita berbunga-bunga menikmati sepakbola as a fun and enjoyment. Tapi tatkala Anda berdiri di lapangan dan di seberang Anda adalah Fandy Achmad dari tim nasional Singapura atau apalagi (hiii) Franco Baressi pendekar AC­ Milan: gelombang perasaan kita pasti lebih komplit. Bermain tetap sebagai hiburan dan kenikmatan juga barangkali, tetapi kuda-kuda mental kita harus lebih dari itu.
Di dalam nasionalisme sepakbola, di dalam profesionalisme sepakbola, di dalam industrialisme sepakbola: kita haruslah merupakan seorang manusia modern. Seorang pemain 'sepakbola modern’. Seorang modernis dalam sepakbola. Cara berpikir kita, sikap mental kita, wawasan dan pengetahuan kita, pola determinasi budaya kita, setiap kuda-kuda kita, segala sepakterjang kita, haruslah merupakan endapan atau perasan dari kuda-kuda modernisme.
Bagi kebudayaan sepakbola modern internasional saja antara sepakbola sebagai kenikmatan (baca: sebagai kesenian, estetika) masih relatif berpolarisasi dengan sepakbola sebagai 'mesin' profesi (baca: teknologi). Bukankah polarisasi itu pula yang selama dua dekada terakhir ini menjadi substansi nuansa antara persepakbolaan Eropa dengan Amerika Latin? Bukankah tim raksasa seperti Brazil saja selama putaran piala dunia tiga kali berturut-turut masih dihinggapi splits atau semacam kegamangan antara estetika dengan teknologi sepakbola?

Dalam bahasa populer, polarisasi itu terungkap misalnya lewat perdebatan para pelatih. Yang satu bilang: "Ini sepakbola manusia, bukan onderdil mesin. Sepakbola manusia adalah keindahan". Lainnya menyindir: "Indah atau tidak indah itu memang penting. Tapi yang lebih penting adalah terciptanya gol". Sementara lainnya lagi berkomentar: "Keindahan dan terciptanya gol sama pentingnya".
Atau dalam bahasa sehari-hari, kita membedakan antara sepakbola tradisional dengan sepakbola modern dengan istilah sepakbola alamiah yang mengandalkan naluri dengan sepakbola rasional yang mengandalkan ilmu dan kecerdasan akal.
Bahasa jelasnya: manusia sepakbola di jaman kontemporer ini belum selesai dengan proses transformasinya. Masih terus berjuang memproses instalasi yang yang terbaik bagi budaya sepakbolanya. Masih belum menemukan keutuhan antara 'alam'nya dengan 'modernisme'nya. Sejarah sepakbola masih terus bergolak secara amat dinamis. la masih akan tiba pada inovasi-inovasi, bahkan mungkin juga invensi.

Bagi kita-kita di Negara Berkembang, seringkali terjumpai: seorang pemain yang tampak amat berbakat secara alam, namun menjadi bengong ketika memasuki arena modern persepakbolaan. Tiba-tiba kakinya gagu, tampak tidak memiliki kecerdasan, sejumlah ketrampilannya mendadak lenyap entah ditelah oleh apa. Kesimpulannya, di dalam budaya sepakbolapun ternyata harus ditemukan metoda transformasi yang tepat, yang mempeluangi setiap pemain untuk mengubah dirinya menuju pemenuhan tuntutan-tuntutan sepakbola modern tanpa kehilangan potensi alamiahnya. Kalau tidak, Galatama menjadi tidak laris, PSSI kalah terus, dan kita capek menangis. Apalagi kalau organisasi PSSI lebih merupakan ajang dari persaingan dan perbenturan kepentingan yang sebenarnya bersifat non-sepakbola. Mampuslah kita para penggembira sepakbola nasional.
(Emha Ainun Nadjib/2004/PadhangmBulanNetDok)

Saya jadi teringat sebuah diskusi serius di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu. Soal-soal politik, pembangunan, kebudayaan, sistem-sistem rekayasa kesejarahan, serta berbagai hal 'maha' besar lainnya - diringkas dalam suatu kecamuk perbincangan yang penuh semangat, penuh protes dan intelectual acrobat maupun political erection. Serta kemudian rasa letih.
Segala sesuatunya bermuara pada kesimpulan yang pe-nuh keyakinan bahwa sistem yang mengatur segala sesuatu di negeri ini musti dirombak. Kesimpulan itu akhimya diburnbui dengan semacam fatwa kepada masyarakat umum yang dianggap suka berpikir irrasional
dan bersikap konservatif dalam banyak hal. Fatwa itu sederhana namun mendasar. Yakni, "Saudara-saudara! Ingin saga tegaskan bahwa yang disebut nasib itu sesungguhnya tidak ada. Yang ada ialah sistem, yang merancang dan mengatur jalannya roda kehidupan,
yang membikin tetangga Anda naik mobil dan Anda sendiri naik bus kota ...."
Forum lantas menggeremang bagaikan tawon modal (lebah yang tengah keluar dari sarangnya). Para tawon pulang ke rumah masing-masing membawa keremangannya masing-masing.
Sudah tentu : "sistem harus dirombak" adalah sesuatu hal dan "nasib itu tak ada" adalah sesuatu hal yang lain.
Seseorang bersikap santai :Terserah nasib itu ada atau tak ada, yang penting sistem harus dirombak.
Yang lain keberatan : kepercayaan masyarakat bahwa nasib itu ada merupakan faktor tidak kecil yang menjadi kendala bagi proses-proses ke arah perombakan sistem.
Ada yang menamhahkan : sikap terhadap ada tidaknya nasib itu sangat mendasar bukan karena menghambat atau mendorong proses perombakan sistem, melainkan karena akan menentukan arah dan model dad sistem yang kelak dikandidatkan untuk mengganti yang
sekarang berlaku.
Namun di antara semua itu ada satu hal yang klise : tak pernah dicari orang jawabannya tentang bagairnana sebaiknya perombakan itu dimulai, apa skala prioritasnya, bagian-bagian mana dari tubuh sejarah yang pertama musti digoyang, bagaimana proses politiknya, apa mungkin dilakukan rintisan garis-balik sosial ekonomi untuk menempuh hal itu sebelum sistem globalnya dibikin ambrol sedemikian rupa. Juga tidak seorangpun merasa bertanggungjawab menjawab siapa saja yang musti memulai, apa yang harus diberikan dan dilepaskan oleh manusia ini kelompok sosial itu ; atau juga dalam mengarsiteki suatu gelombang baru, apa saja yang wajib, apa yang sunnah, yang mubah, yang makruh dan yang haram. Dan akhimya kepada siapa atau apa terletak kunci tanggungjawab utama suatu usaha perubahan. Soalnya : setiap orang menyalahkan orang lain dan menganjurkan orang lain.
Jadi mengapa masalah-masalah ini relevan terhadap soal tuyul atau spiritual?
Karena tidak jelasnya letak kunci tanggungjawab itu mencerminkan kebiasaan kita bahwa dalam membicarakan perubahan-perubahan keadaan : kita kurang mempersoalkan tanggungjawab manusia. Kurang memperdulikan moral individual atau kelompok kecuali kita sebut-sebut sebagai akibat dari mekanisme sistem. Kurang memperhatikan, bahkan kurang mempercayai bahwa hakekat manusia pada mulanya adalah subyek dari moralitas sendiri.
Dengan kata lain kita tidak mengandalkan kualitas manusia. Mentalitas manusia. Spiritual manusia.
Saya kira pada titik inilah Islam tidak bisa tidak beranjak lebih kreatif dari 'sekedar' pandangan-pandangan yang melihat manusia tak lebih sebagai 'kambing-kambing gembalaan sistem pengendali sejarah'. Tentu saja ada beribu-ribu bukti nyata betapa manusia dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan sistemik yang mengatasinya. Tetapi manusia yang ta fa kka ruu 'anil khalq - demi kian Islam setahu saya mengajarkan - tidak bakalan memberontak terhadap kendali-kendali itu untuk menyerahkan din kepada ideal-ideal lain, yang tampak manis, tapi juga telah bersiap dengan kendali-kendali baru serta dengan ketidakpercayaan terhadap hakekat manusia.

(bersambung)=====>>>>

(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Kalau orang sampai mikir tema spiritualitas pembangunan, itu tak lain karena yang mengerjakan pembangunan itu memang manusia.
Mungkin saja dibantu dengan jin, dukun, iblis, setan atau bahkan maiaikat, tapi khalifah utamanya manusia.
Yang membuat jembatan adalah manusia. Yang bikin jalan tol juga manusia. Yang membeli ratusan hektar tanah dengan sertifikat in absentia ya manusia. Yang semakin terang-terangan minta sogokan untuk setiap langkah untuk membikin surat resmi ya manusia juga. Yang dagang kambing ya manusia. Bahkan yang dagang orang ya manusia.
Ada yang usil "Spiritualitas pembangunan itu apa bisa disebutjuga tuyul pembangunan?". Jawablah why not? Etos tuyul bukan saja merasuk ke dalam mentalitas para manusia pembangunan, ia bahkan juga mempola di dalam sistem-sistem pembangunan. Hal seperti ini tak perlu lagi diterang-jelaskan karena sudah menjadi pengetahuan bersama, bahkan mungkin sudah menjadi pengalaman kita bersama, dalam frekwensi masing-masing.
Kalau tuyulisme memiliki.peranan tak kecil dalam proses pembangunan, maka biarlah kita pakai saja kerangka berpikir 'kampung' untuk melihat tuyul itu keponakan siapa. Kita sudah kenal Dajjal dan barangkali sudah lama karib dengan syaitan, gendruwo maupun druhun atau apapun dalam 'zat' dan 'bentuk'nya yang silahkan diperdebatkan. Tapi jadinya kita juga mengingat citra Allah, kapasitas kemalaikatan atau apapun didalam din kita.
Cari gendruwo jangan ke kuburan. Cari kemamang jangan ke sawah sepi, Cari banaspati jangan ke rerimbunan pohon. Cukup menjumpai mereka dengan membalikkan arah pandang mata : dari luar ke dalam. Tuyul bahkan bergerombol-gerombol di ujung jari jemari kita.
Jadi kalau tiba-tiba saja kita mentertawakan tema spiritualitas pembangunan, tiba-tiba juga kita tonton bahwa yang tertawa itu ternyata Oom Tuyul, yang tinggai begitu krasan di dalam lendir keringat kita yang kumuh.
Kenyataan seperti itu gamblang dan rasional.
Dajjal ditugasi merangkumi sejarah, syaitan dipekerjakan di langkah manusia, tuyul diberi peran-peran dalam mesin dan birokrasi.
Seperti juga Allah mempekerjakan diriNya, Allah menugasi diriNya, Allah menentukan fungsi-fungsiNya, dalam konteks dan batasan-batasan yang ia tentukan sendiri. Mau apa, memang yang bikin seluruh makhluk ini memang Ia sendiri.
(bersambung)====>>

(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Semua itu adalah petunjuk bagi kita untuk merevaluasi berbagai gagasan dan anggapan, sangkaan kita tentang pengalaman sehari-hari, namun sekaligus bisa juga membimbing kita di dalam menilai kembali konsep-konsep masyarakat kita tentang kemajuan, kemakmuran, perkembangan, pembangunan, dan seterusnya.
Kontekstual dengan itu, adalah metafora Allah tentang 'absurditas' watak manusia ketika Ia menceritakan Bani Israil dan Isa as. dalam hal perintah mencari dan menyembelih sapi. Tergambar di situ betapa manusia memiliki kecenderungan untuk menciptakan kesukaran dan problemnya sendiri. Manusia, masyarakat dan kebudayaannya seringkali gagal memilahkan antara butuh dan mau. Kebutuhan dan kemauan. Kalau diterobos lagi : antara keperluan yang murni dengan nafsu. Baik yang tercermin secara individual maupun yang terkandung dalam gagasan-gagasan suatu sisitim bersama, dalam keputusan politik, kebijakan ekonomi, atau pemilihan pola kebudayaan.
Maka pentingnya mempertanyakan kembali anggapan-anggapan, sangkaan-sangkaan tentang kemajuan, modernitas, sukses dan peningkatan. Kita lihat misalnya menyangkut etos innovasi : gairah terhadap sesuatu yang baru dan terus baru lagi. Suatu denyut hidup di mana seseorang atau suatu masyarakat senantiasa memperbaharui diri, senantiasa 'lahir kembali', senantiasa yughoyyiru maa bianfusihim, untuk mengarah ke 'kiblat', yakni baitullah dalam arti yang kualitatif-essensial. Jadi usaha innovasi itu suatu mekanisme taqorrub. Cuma taqorrub ke mana dan ke apa, itu yang menjadi soal. Selama ini yang kita bisa saksikan dalam dunia ilmu pengetahuan, kesenian, serta berbagai kegiatan adab-budaya masyarakat, kita dipimpin oleh suatu 'penguasa sejarah' untuk mentaqorrub tidak ke Allah. Kita, seperti Bard Israil, cenderung menciptakan problemproblem kita sendiri, mengotak-atik suatu gagasan yang kita sangka itu suatu innovasi padahal semu dan mubadzir.
Sementara itu, tidak seperti Bani Israil, sesudah bertanya tentang sapi apa wamanya apa, hakekatnya bagaimana : kita tidak lantas sungguh-sungguh mencarinya, untuk kita sembelih.
Di Surat Al-Baqoroh sapi betina itu adalah lambang subordinasi manusia terhadap kebendaan. Allah memerintahkan untuk menyembelihnya. Sedangkan kita, kalau tak salah lihat, cenderung semakin memelihara sapi itu, 'sapi-sapi modern', untuk kita sembah, meskipun mulut kita mengaku bahwa hanya Allah satu-satunya sesembahan kita.
Dalam persoalan ini, Al-Baqoroh telah jauh-jauh hari memberi kita alarm.
Demikianlah, tentu dengan rasa was-was, sesungguhnya apa yang telah saya paparkan ini sekadar menjilat rasa asin samudera. Sungguh Maha Kaya Allah, yang ilmuNya hanya bisa saya cicipi amat sedikit namun yang amat sedikit itu pun sudah sangat menguras keringat jiwa dan raga, serta mampu merenggut seluruh energi kebahagiaan kita. Ayat terakhir Al-Baqoroh menuntun kita :
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. Ia memperoleh pahala dari kebajikan yang diperjuangkan serta dari keburukan yang dikerjakannya. Mereka berdoa : Wahai Tuhanku, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah. Wahai Tuhan kami janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami sesuatu yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap orang-orang yang ingkar".
Yogya, 17 Maret 1984
(selesai)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongosng Masa Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Ketika di ayat-ayat awal Allah berfirman dan memberikan gambaran tentang golongan mu'minin, nafiqiin, musyrikiin dan kaafiriin : kita begitu karib dengan deskripsi. Rasanya yang digambarkan Allah itu baru berlangsung tadi pagi, tujuh abad sesudah ayat itu diturunkan, dan di suatu tempat dan lingkup yang kita kenal sebagai 'dunia modern'.

Membaca Al-Baqoroh ayat 11, tidaklah tertera di kesadaran kita hipokrisi politik dewasa ini dengan segala anasir dan variabeinya? Itu siapa tahu barang kali juga menyangkut sebagian pemimpin Kaum Muslimin sendiri, atau justru kita sendiri yang sedikit banyak juga memiliki saham di dalam 'dosa bersama' penumbuhan 'kemunafikan struktural' meskipun mungkin kita tidak menyadarinya, seperti yang disebut oleh ayat 12?

Pernah kita memiliki sahabat-sahabat, kenalan-kenalan, gagasan-gagasan yang kita jumpai di mass media, di forum-forum diskusi, seminar, pidato-pidato, puisi-puisi, atau dalam obrolan-obrolan lepas sehari-hari, yang sesungguhnya dideskripsikan Allah melalui Al-Baqoroh ayat 13? Tidakkah getaran kenyataan yang diungkapkan Allah tersebut kita rasakan kemarin, hari ini, di lingkungan yang karib dengan kesibukan kita, bahkan juga justru di dalam diri kita sendiri? Kemudian kita sendiri jugakah, atau handai tolan kita, atau pemikiran-pemikiran lingkungan yang sering kita dengar, kita baca, kita jumpai, yang sesungguhnya dimaksud oleh ayat 18?
Apakah kita takut mati? Artinya mungkin juga takut pada 'kematian kecil'? Takut kelaparan? Takut soal jaminan hari depan, sehingga lebih mempercayakannya kepada 'buah-buah khuldi' yang dilarang Allah, dibanding mempercayakannya kepada kesetiaan terhadap hukum-hukumNya? Apa gerangan konsep kita tentang kematian? Etos mati yang bagaimana yang hidup dan kita imani selama ini?

Sesuaikah ia atau bertentangankah ia dengan tuntunan Allah di ayat 94 umpamanya?
Apakah kita merasa kecut karena "tidak mungkin melawan arus"? Apakah kita 'terpaksa' menjadi munafiq kemudian setengah mati berusaha menyembunyikan kemunafikan itu dengan menyodor-nyodorkan alasanalasan apologetik dan artifisial untuk dijadikan topeng yang kita pakai di panggung pementasan yang sarat hipokrisi ini? Apa artinya gerangan resiko miskin, kelaparan, sedikit takut, dikucilkan, 'buntu masa depan'?

Apa gerangan makna'kesengajaan cobaan' Allah itu, kemudian isyarat bahagia bagi mereka yang terus setia bersabar, seperti yang diungkapkan oleh ayat 155? Apa pula arti bimbingan Allah agar kita mengucapkan "Sesungguhnya segala sesuatu adalah milikNya dan akan kembali kepadaNya" (ayat 156) apabila kita menerima musibah-musibah apa pun, tidak hanya 'kematian' ? Dan jika selama ini kita memakai tradisi mengucapkan "Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'uun" setiap kali ada ikhwan kita yang meninggal dunia, marilah kita pertanyakan kembali sesuai dengan konsep Allah kah pengertian kita tentang 'musibah' dan'mati'.

Jangan-jangan apa yang biasanya kita anggap musibah sesunggahnya justru bukan musibah menurut pengertian Allah yang mestinya wajib kita tiru. Jangan-jangan apa yang kita takutkan dari kematian bukanlah sesuatu yang selayaknya kita takutkan berdasarkan konsep Allah. Ayat 216 memperingatkan kita akan hal ini. Mengapa, dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak 'mendialektikkan' pengalaman-pengalaman kita dengan rahasia ayat ini. Bahkan di dalam surat lain Allah mengemukakan bahwa 'keburukan maupun 'kebaikan' yang menimpa kita dariNya, kedua-duanya adalah cobaan.

(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Kita memang seringkali bersikap konsumtif terhadap jaminan-jaminan Allah. Padahal jaminan itu memerlukan kreativitas kita : artinya kita harus mengasah radar rokhani kita dengan menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya, baru kemudian berjanji Allah itu pantas untuk kita kenyam.
Sikap konsumtif itu nampakjuga pada kebiasaan banyak Muslim yang karena berbagai konditioning lingkungan ia tidak meletakkan Al Qur'an sebagai buku pokok atau literatur utama di tengah tumpukan buku-buku bantu yang bisa diperoleh di toko-toko buku atau di Universitas dan Sekolah. Ibarat batu permata rokhaninya kurang digosok sehingga tidak cukup mengkilat untuk mampu memantulkan cahaya Allah.
Ayat 1 Al-Baqoroh, adalah suatu isyarat. Alf Laam Miim. Para Ulama menyerahkan artinya kepada Allah, sementara Ulama lainnya mencoba menafsirkannya. Ada yang menyebut itu adalah nama Surat, yang lainnya berpendapat itu semacam atraksi untuk menarik perhatian pembacanya, lainnya lagi menganggap itu suatu petunjuk bahwa bukan tidak ada maksud Allah untuk menurunkan Al Qur'an dalam Bahasa Arab, bukan Bahasa Jawa.
Tentu saja allohu a'lamu bishshowaab. Namun yang jelas : ia adalah suatu misteri, suatu rahasia. Tidak jelas rahasia macam apa, tapi jelas bahwa rahasia tersebut adalah rahasia. Mengapa ia suatu isyarat? Karena jika sebuah rahasia terang-terangan dijadikan intro (ayat pertama) dari Surat terpanjang ini, tentulah itu suatu tuntunan implisit bahwa memang demikian banyak rahasia yang sebaiknya kita'survey' di dalam ayat-ayat AlQur'an. Kita tidak paham apa Alif Laam Miim, tetapi kata ayat 2 : Tak ada keragu-raguan padanya, ia adalah petunjuk bagi orang-orang bertaqwa.
Adakah kita diberi petunjuk melalui rahasia? Ya, kata ayat 3, apabila kita adalah benar-benar orang-orang yang beriman kepada ghoib, yang mendirikan sembahyang serta menafkahkan sebagian rejeki. Dan kita tahu, yang ghoib, yang menurut para ahli Islam adalah segala sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh pancaindera, temyata bukan hanya para Malaikat, hari Akhirat dan lain-lain. Kita bisa membaca dan menuliskan Alif Laam Miim, namun ghoiblah yang dikandungnya. Maka sungguh mengherankan mengapa kita amat rajin menelusuri rahasia Al Qur'an. Maka sesungguhnya justru rahasia Alif Laam Miim itulah yang merangsang gairah, semangat dan tenaga setiap Muslim untuk dengan penuh sukacita dan rasa cinta meneruskan membaca ayat-ayat selanjutnya dan seterusnya, agar ia bisa bergabung dengan rahasianya.
Di bagian atas telah saya sebutkan tentang tidak ada satu gejala kehidupan pun yang tidak terangkum dalam Al Qur'an, kemudian diperingatkannya dan diberinya tuntunan. Artinya ayat-ayat Al Qur'an itu selalu aktual. Meskipun ia dulu memang diturunkan berdasarkan suatu proses kesejarahan tertentu, konteks sosiologis dan asbabun-nuzul tertentu, tetapi bukan Al Qur'anlah namanya apabila sesudah lewat suatu era sejarah tertentu lantas ia pun ikut lewat dan kehilangan aktualitas. Membaca dan menerapkan (dalam rasa dan pikiran) ayat demi ayat Al-Baqoroh umpamanya, kita segera akan bertemu dengan berbagai potret kehidupan masa kini yang sering kita alami, kita libati, dan kita amati.
(bersambung)====>>>>
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Lihat dan bacalah AlQur'an yang amat luar biasa itu, yang terbagi menjadi bagian-bagian, tetapi antara bagian-bagiannya itu saling merangkum, bagian yang satu merangkum bagian yang lain, bagian yang lain merangkum bagian yang satunya, bagian yang ini
mengandung bagian yang itu, demikian pula sebaliknya. Bagian-bagian yang tidak parsial, tidak sektoral. Bagiannya mengandung keseluruhannya, keseluruhannya mengandung bagian-bagiannya. Bagian-bagiannya adalah keseluruhannya, kemenyeluruhannya adalah bagian-bagiannya. Sungguh Allah tidak menggertak-sambal ketika ia menantang kaum Musyrikin, jika mereka ragu akan Al Qur'an (juga mungkin menantang keraguan yang kita Kaum Muslimin alarm sendiri), untuk membuat satu ayat saja yang semisal Al Qur'an.
Lihat dan bacalah Al Qur'an yang tiada suatu gejala kehidupan dan gejala sejarah pun yang tidak disebutnya, diperingatinya, serta dituntutnya untuk selamat. Ia sedemikian menyeluruh. Jadi sesungguhnya apa yang saya tulis ini sekedar, dengan segala keterbatasan, semacam menjilat amat sedikit rasa asin dari samudera.
Surat Al-Baqoroh biasa juga disebut sebagai Fusthaathul-Qur'an, puncak Bacaan Agung, karena secara eksplisit pokok tuntutan syariat : yakni perintah-perintah yang menyangkut rukun Islam, Qishash, furgon yang memilahkan hal-hal yang halal dan haram, aturan-aturan tertentu dalam perhubungan ekonomi, perkawinan dan kekeluargaan, bukan sampai soal anak yatim, perang dan sihir.
Tuntunan tersurat ini menjadi alasan yang membuat 'Sapi Betina' ini menjadi puncak Al Qur'an, dan dalam pandangan kita sering dikatakan bahwa surat-surat lain tak mengandungnya. Apa yang terjadi sesungguhnya ialah bahwa Al-Bagoroh menyodorkan kepada kita paket-paket hukum tertentu, sedangkan dalam surat-surat lain banyak bisa dijumpai filsafat dan hakekatnya. jika kita bersedia melihat tuntunan-tuntunan itu tidak terutama sebagai dogma, melainkan sebagai anugerah Allah yang tetap mengandung rahasia, maka latar filsafat dan hakekat di balik setiap aturan tersebut juga selalu bisa kita temui tidak usah di surat lain. Umpamanya pada ayat 276 Allah menjamin akan memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dewasa ini watak perekonomian di sekitar kita penuh nilai riba dan kita mungkin saja secara sistemik memiliki keterlibatan di dalamnya. Seringkali kita lantas menyaksikan pemandangan ekonomi yang membikin kita sedikit patah hati terhadap jaminan Allah itu,
dan barangkali diam-diam kita tengah menuju kearah berkurangnya keyakinan kita terhadap statemen Allah. Dalam situasi seperti ini kita harus tetap berikhtiar menguak rahasia pemyataan Allah itu.
Sebutlah barangkali kita-kita yang belum menyesuaikan diri dengan konsep Allah tentang kesuburan sehubungan dengan Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Kite 'bingung' berada di tengah kehidupan mana "yang tak jujur makmur, yang jujur terkubur". Dalam fase proses 'kebingungan' itu Allah langsung menyodorkan ayat berikutnya (277): bahwa yang (benar-benar) beriman, beramal sholeh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, akan mendapat pahala di sisi Tuhannya. Langsung pula Allah melipur
hati kita: Tak ada kekhawatiran kepada mereka dan tak pula mereka bersedih hati. Artinya, jika masih juga bingung dan nelangsa, hendaknya ia mempertanyakan kembali imannya, amal-sholehnya,sembahyang dan zakatnya. Yakni kesetiaan dan stamina intensitas amal-amal baiknya itu.(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/SIPRESS/1995/PadhangmBulanNetDok)

Salah satu 'ijaz Al Qur'an ialah bahwa sistematikanya tidak dapat dirumuskan. Kita bisa misalnya, menyusun klasifikasi per-disiplin : ada ayat hukum, ayat ekonomi, ayat moralitas, ayat astronomi atau biologi. Ibarat samudra, kita ambil satu ember airnya untuk kita masukkan ke dalam tabung yang berbeda-beda sesuai dengan approach yang kita gunakan. Besok pagi kita akan menemukan suatu kenyataan bahwa pengisian tabung itu bisa kita tukar dan balik atau kita campurkan sekaligus.
Kita mungkin akan mengatakan bahwa Al Qur'an adalah suatu dimensi petunjuk yang multikompleks, kamil, paripurna namun sesungguhnya lebih dari itu. Al Qur'an itu tiada 'jarak'nya dengan Allah : dan kita menyebut Allahu Akbar. Akbar bukan Kabiir. Bukan saja Maha Besar, melainkan lebih dari Maha Besar. Jika kita mampu membayangkan yang lebih besar lagi dari batas besar yang bisa kita capai, maka Ia lebih besar. Jika Maha Besar itu seolah-olah bisa kita 'fahami' dengan rasa-pengertian kita, maka Ia lebih lagi. Kata Maha itu, meskipun tidak terbayangkan, namun ia memberi kesan statis, tetap, atau berhenti. Tetapi Lebih Besar, memberi kesan dinamis, hidup, bergerak. Suatu keterus-menerusan dan ketiada-terbatasan. Dengan permenungan tertentu kita barangkali mampu
menggapai taraf demi taraf kebesaran, tetapi kita akan 'lenyap' di satu level tertentu, sebab kita tidak akan bakal mencapai ruang dan tak akan dipeluangi waktu untuk mengejar yang lebih Besar dan terus Lebih Besar.
Maka demikianlah, karena laa roiba fiihi ( (Al-Baqoroh 2) AlQur'an adalah wahyu Allah, kita tak perlu 'heran' apabila ia senantiasa lebih dari segala yang pernah kita tafsirkan, kita mafhumi, kita simpulkan atau kita duga-duga. Allah menganugerahkan kita pamungkas dari segala kitabullah ini kepada kita, suatu jenis makhluk yang ahsani taqwiim (At-Tien 4), yang dulu diprotes penciptanya oleh para Malaikat karena "akan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah (Al-Baqoroh.30). Terhadap hal tersebut sejak semula jelas pernyataan Allah tentang keterbatasan kita. JawabNya atas protes itu : "Sesungguhnya Aku. mengetahui apa yang engkau tidak ketahui" (Al-Baqoroh 30).
Malaikat, yang ghoib, dan wajib kita percayai bahwa ia ghoib, sama sekali tak mengetahui apa yang Allah ketahui. Maka kita, jenis makhluk yang berdaging tulang ini, sekurang-kurangnya tak lebih dari itu.
Maka demikian pula terhadap Al Qur'an : tetap berlaku keterbatasan kita. Dengan demikian sesungguhnya alangkah menggairahkan untuk menjadi seorang mu'min : betapa melimpah rahasia Allah yang bisa kita dambakan dan kita yakini. Ayat-ayatNya yang di suatu hari terasa seperti gamblang, temyata mengandung keghoiban, sedemikian rupa sehingga kita akhimya mengalami bahwa itulah satusatunya ruang untuk berislam, sumeleh, pasrah dalam arti yang seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, yang multi kompleks, yang gamblang namun tetap ghoib dan menyimpan misteri, yang ghoib namun juga bisa gamblang. ========>(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/PadhangmBulanNetDok)
Aku ini kere yang sering memperoleh kesempatan untuk munggah mbale. Maksudku, karena dari hari ke hari hidupku hampir selalu di perjalanan dan berpindah-pindah tempat untuk memenuhi undangan-undangan – baik dari orang-orang yang benar-benar mempercayaiku, maupun dari orang-orang yang sekedar membutuhkanku namun diam-diam ngedumel di dalam hati mereka – maka terkadang aku diinapkan di hotel-hotel.
Sesekali di hotel berbintang banyak. Saat lain di hotel sedengan. Terkadang di losmen, di mess, atau di rumah kosong yang tak ditempati karena si empunya tidak mungkin membagi punggungnya ditugel-tugel jadi banyak agar bisa menempati banyak rumahnya. Yang aku selalu merasa terancam adalah kalau ditidurkan di rumah orang, artinya di rumah yang dihuni oleh sebuah rumah tangga. Soalnya pasti tuan rumahku orang baik, selalu menjamu dan menghormati secara maksimal, menyediakan makan minum dan tempat tidur yang lebih dari layak. Kemudian kami harus dayoh-dayoh-an penuh sopan santun dan wajib penuh basa basi. Lantas sekitar jam 23.00 aku dipersilahkan tidur – dan inilah puncak ancaman bagiku. Mana mungkin aku tidur jam segitu sampai pagi. Aku tidak mampu menikmati tidur sebagai acara tidur. Maksudku, aku harus selalu bekerja keras sampai badanku tidak kuat dan lantas secara alamiah aku tidur. Aku tidak pernah akrab dengan ranjang dan kasur, sebab aku
mendatanginya hanya ketika aku sudah sangat mengantuk dan kesadaranku tinggal lima watt. Tak mungkin aku bergaul intensif dengan siapapun dan dengan apapun hanya dengan bekal kesadaran lima watt.
Bukannya aku meremehkan tidur. Tidur itu sangat penting. Tetapi bagiku tidur itu bukan terutama merupakan mekanisme budaya atau kegiatan budaya dalam hidupmu. Tidur itu kegiatan alam. Pekerjaan natural. Itu keharusan atau sunnah dari Allah pada momentum tertentu setiap hari. Oleh karena itu sering aku heran kepada orang-orang yang begitu sibuk mengurusi ranjang, membeli kasur dengan segala keindahannya. Padahal kasur itu urusannya orang tidur. Dan tidur itu urusannya orang mengantuk. Dan kalau orang sudah dalam keadaan sangat mengantuk, ia hampir tidak perduli apakah yang di depannya itu kasur ataukah tikar. Oleh karena itu bagiku, tidur tidak perlu aku programkan dalam kebudayaan. Ia alamiah.
*****
Pertanyaan yang ingin kuajukan dalam tulisan hari ini adalah: apakah kesadaran dan pergaulan kita dengan Al1ah itu merupakan sesuatu yang engkau biarkan berlangsung alamiah, ataukah perlu engkau terjemahkan ke dalam rancangan-rancangan budaya? Termasuk di sini, berapa watt-kah kapasitas kesadaran dan pergaulan kita dengan Allah swt.?
Itulah sebabnya di awal tulisan ini aku bercerita tentang hotel-hotel. Pada suatu senja bersama sejumlah kawan aku mencari mushallah di sebuah hotel besar internasional di Jakarta. Kami hendak maghriban bareng menjelang menghadiri pembukaan Pameran Lukisan Kaligrafi di hotel tsb.
Kami berjalan menerobos bagian-bagian bawah dari hotel itu. Kami melewati lorong-lorong panjang dan berliku-liku. Akhirnya tiba di mushallah yang terletak sangat di pojok dan tersembunyi. Kalau sendiri, tak bisa kujamin aku akan bisa menemukannya.
Seusai shalat, aku hendak berdoa macam-macam, yang mendadak yang bersuara dalam hatiku adalah keluhan, dan kuucapkan itu perlahan-lahan. "Ya Al1ah Kekasihku, apakah Engkau merasa sepi? Engkau di sembunyikan di sini, di pojok bawah. Engkau bukan sesuatu yang penting bagi rancangan dan konsep hotel yang mewah ini. Engkau tidak primer. Engkau tidak nomer satu. Engkau tidak disediakan tempat di etalase terpenting dari performance hotel ini. Ketika para arsi-tek membangun tempat ini, tak ada alokasi atau ingatan tentangMu, barangkali. Rumah atau mushallaMu ini tampaknya juga tidak sejak semula dibangun sebagai mushalla. RumahMu ini sekedar sebuah ruangan yang dipaksakan untuk dipakai sebagai tempat shalat, karena kebetulan banyak karyawan hotel ini yang beragama Islam. Ya Al1ah, apakah Engkau merasa kesepian? Tidak. Aku tahu Engkau tidak kesepian. Engkau tidak bersemayam hanya di mushalla ini. Engkau bisa aku jumpai di manapun. Aku bisa menghadapMu di bagian
manapun dari hotel ini. Tetapi yang kutangiskan adalah kenapa Engkau begitu tidak dianggap penting, bahkan mungkin dianggap tidak ada, oleh mereka yang membangun dan menikmati gedung-gedung di muka bumiMu. Padahal tanah ini tanahMu. Material apapun yang dipakai untuk membangun hotel ini adalah milikMu. Juga semuanya, apa saja dan siapa saja yang menghuni dan lalu lalang di gedung ini, adalah sematamata Engkau yang menciptakan dan Engkau yang menganugerahkan kepada mereka segala jenis rizqi dan kekayaanMu..."
Itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Seusai shalat aku berlari mencari telpon dan kuhubungi saudara-saudaraku di Jombang. Spontan aku katakan: "Ma1am ini juga cari empat orang yang sangat miskin tapi yang akhlaqnya baik. Kasih tahukan dan pandulah mereka untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk naik haji. Uang ONH saya kirim besok pagi".
*****
Mungkin aku agak sentimental dengan keluhan semacam ini. Semestinya aku juga bisa berpikir bahwa kultur hotel-hotel yang berlaku adalah memang produk dari peradaban sekular abad 20. Tetapi aku tidak juga bisa menganggap bahwa budaya hotel dari kosmos industri dan kapitalisme sekular ini tidak memiliki sentuhan religius, karena hampir selalu bisa kujumpai The Holly Bible di laci meja kamar-kamarnya.
Harus kita akui bahwa juga ada hotel-hotel yang menyediakan Kitab A1-Quran serta tulisan petunjuk kiblat di atap kamar. Bahkan kini sudah pula berdiri beberapa hotel yang segala sesuatunya dirancang untuk suatu mekanisme kehidupan yang Islami. Segala sesuatu dalam kebudayaan ummat manusia memang terus berkembang ke berbagai arah. Semuanya sedang terus melakukan tawar-menawar dengan ragam nilai-nilai.
Di atas semua itu aku tetap bersyukur. Meskipun di berbagai hotel berbintang engkau jumpai mushalla hanya bersifat darurat di pojok-pojok, di basement, bahkan di ruang-ruang bawah tanah di mana kalau kita shalat di atas kita terdapat slang-slang AC bersilang-silang, sehingga terasa Allah sebegitu dimarginalisir – kuanjurkan engkau tetap bersyukur. Karena hikmah, karomah dan mashlahah disediakan olehNya di segala macam tempat.
Jum'at kemarin aku tinggal di sebuah hotel milik seorang menteri yang namanya memakai idiom dari Quran, yang rekruitmen karyawan-karyawannya juga mengutamakan yang beragama Islam. Tapi tempat jum'atannya adalah di pojok tempat parkir, yang ruangnya sangat sempit, sehingga para jamaah tumpah keluar, dan kami mendengarkan khutbah campur mobil yang berseliweran. Ketika naik ke kamar, kubuka laci, kujumpai Bible, dan aku bergumam: "Ka1au memang yang dimaksud kebudayaan modern adalah aktualisasi demokrasi, mestinya tidak banyak biaya untuk juga membeli Qur'an, Bagavadgita, syukur kitab asli Zabur, Taurat dan Injil.****
(Emha Ainun Nadjib/JawaPos/2005/PadhangmbulanNetDok)

Aku ini kere yang sering memperoleh kesempatan untuk munggah mbale. Maksudku, karena dari hari ke hari hidupku hampir selalu di perjalanan dan berpindah-pindah tempat untuk memenuhi undangan-undangan – baik dari orang-orang yang benar-benar mempercayaiku, maupun dari orang-orang yang sekedar membutuhkanku namun diam-diam ngedumel di dalam hati mereka – maka terkadang aku diinapkan di hotel-hotel.
Sesekali di hotel berbintang banyak. Saat lain di hotel sedengan. Terkadang di losmen, di mess, atau di rumah kosong yang tak ditempati karena si empunya tidak mungkin membagi punggungnya ditugel-tugel jadi banyak agar bisa menempati banyak rumahnya. Yang aku selalu merasa terancam adalah kalau ditidurkan di rumah orang, artinya di rumah yang dihuni oleh sebuah rumah tangga. Soalnya pasti tuan rumahku orang baik, selalu menjamu dan menghormati secara maksimal, menyediakan makan minum dan tempat tidur yang lebih dari layak. Kemudian kami harus dayoh-dayoh-an penuh sopan santun dan wajib penuh basa basi. Lantas sekitar jam 23.00 aku dipersilahkan tidur – dan inilah puncak ancaman bagiku. Mana mungkin aku tidur jam segitu sampai pagi. Aku tidak mampu menikmati tidur sebagai acara tidur. Maksudku, aku harus selalu bekerja keras sampai badanku tidak kuat dan lantas secara alamiah aku tidur. Aku tidak pernah akrab dengan ranjang dan kasur, sebab aku
mendatanginya hanya ketika aku sudah sangat mengantuk dan kesadaranku tinggal lima watt. Tak mungkin aku bergaul intensif dengan siapapun dan dengan apapun hanya dengan bekal kesadaran lima watt.
Bukannya aku meremehkan tidur. Tidur itu sangat penting. Tetapi bagiku tidur itu bukan terutama merupakan mekanisme budaya atau kegiatan budaya dalam hidupmu. Tidur itu kegiatan alam. Pekerjaan natural. Itu keharusan atau sunnah dari Allah pada momentum tertentu setiap hari. Oleh karena itu sering aku heran kepada orang-orang yang begitu sibuk mengurusi ranjang, membeli kasur dengan segala keindahannya. Padahal kasur itu urusannya orang tidur. Dan tidur itu urusannya orang mengantuk. Dan kalau orang sudah dalam keadaan sangat mengantuk, ia hampir tidak perduli apakah yang di depannya itu kasur ataukah tikar. Oleh karena itu bagiku, tidur tidak perlu aku programkan dalam kebudayaan. Ia alamiah.
*****
Pertanyaan yang ingin kuajukan dalam tulisan hari ini adalah: apakah kesadaran dan pergaulan kita dengan Al1ah itu merupakan sesuatu yang engkau biarkan berlangsung alamiah, ataukah perlu engkau terjemahkan ke dalam rancangan-rancangan budaya? Termasuk di sini, berapa watt-kah kapasitas kesadaran dan pergaulan kita dengan Allah swt.?
Itulah sebabnya di awal tulisan ini aku bercerita tentang hotel-hotel. Pada suatu senja bersama sejumlah kawan aku mencari mushallah di sebuah hotel besar internasional di Jakarta. Kami hendak maghriban bareng menjelang menghadiri pembukaan Pameran Lukisan Kaligrafi di hotel tsb.
Kami berjalan menerobos bagian-bagian bawah dari hotel itu. Kami melewati lorong-lorong panjang dan berliku-liku. Akhirnya tiba di mushallah yang terletak sangat di pojok dan tersembunyi. Kalau sendiri, tak bisa kujamin aku akan bisa menemukannya.
Seusai shalat, aku hendak berdoa macam-macam, yang mendadak yang bersuara dalam hatiku adalah keluhan, dan kuucapkan itu perlahan-lahan. "Ya Al1ah Kekasihku, apakah Engkau merasa sepi? Engkau di sembunyikan di sini, di pojok bawah. Engkau bukan sesuatu yang penting bagi rancangan dan konsep hotel yang mewah ini. Engkau tidak primer. Engkau tidak nomer satu. Engkau tidak disediakan tempat di etalase terpenting dari performance hotel ini. Ketika para arsi-tek membangun tempat ini, tak ada alokasi atau ingatan tentangMu, barangkali. Rumah atau mushallaMu ini tampaknya juga tidak sejak semula dibangun sebagai mushalla. RumahMu ini sekedar sebuah ruangan yang dipaksakan untuk dipakai sebagai tempat shalat, karena kebetulan banyak karyawan hotel ini yang beragama Islam. Ya Al1ah, apakah Engkau merasa kesepian? Tidak. Aku tahu Engkau tidak kesepian. Engkau tidak bersemayam hanya di mushalla ini. Engkau bisa aku jumpai di manapun. Aku bisa menghadapMu di bagian
manapun dari hotel ini. Tetapi yang kutangiskan adalah kenapa Engkau begitu tidak dianggap penting, bahkan mungkin dianggap tidak ada, oleh mereka yang membangun dan menikmati gedung-gedung di muka bumiMu. Padahal tanah ini tanahMu. Material apapun yang dipakai untuk membangun hotel ini adalah milikMu. Juga semuanya, apa saja dan siapa saja yang menghuni dan lalu lalang di gedung ini, adalah sematamata Engkau yang menciptakan dan Engkau yang menganugerahkan kepada mereka segala jenis rizqi dan kekayaanMu..."
Itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Seusai shalat aku berlari mencari telpon dan kuhubungi saudara-saudaraku di Jombang. Spontan aku katakan: "Ma1am ini juga cari empat orang yang sangat miskin tapi yang akhlaqnya baik. Kasih tahukan dan pandulah mereka untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk naik haji. Uang ONH saya kirim besok pagi".
*****
Mungkin aku agak sentimental dengan keluhan semacam ini. Semestinya aku juga bisa berpikir bahwa kultur hotel-hotel yang berlaku adalah memang produk dari peradaban sekular abad 20. Tetapi aku tidak juga bisa menganggap bahwa budaya hotel dari kosmos industri dan kapitalisme sekular ini tidak memiliki sentuhan religius, karena hampir selalu bisa kujumpai The Holly Bible di laci meja kamar-kamarnya.
Harus kita akui bahwa juga ada hotel-hotel yang menyediakan Kitab A1-Quran serta tulisan petunjuk kiblat di atap kamar. Bahkan kini sudah pula berdiri beberapa hotel yang segala sesuatunya dirancang untuk suatu mekanisme kehidupan yang Islami. Segala sesuatu dalam kebudayaan ummat manusia memang terus berkembang ke berbagai arah. Semuanya sedang terus melakukan tawar-menawar dengan ragam nilai-nilai.
Di atas semua itu aku tetap bersyukur. Meskipun di berbagai hotel berbintang engkau jumpai mushalla hanya bersifat darurat di pojok-pojok, di basement, bahkan di ruang-ruang bawah tanah di mana kalau kita shalat di atas kita terdapat slang-slang AC bersilang-silang, sehingga terasa Allah sebegitu dimarginalisir – kuanjurkan engkau tetap bersyukur. Karena hikmah, karomah dan mashlahah disediakan olehNya di segala macam tempat.
Jum'at kemarin aku tinggal di sebuah hotel milik seorang menteri yang namanya memakai idiom dari Quran, yang rekruitmen karyawan-karyawannya juga mengutamakan yang beragama Islam. Tapi tempat jum'atannya adalah di pojok tempat parkir, yang ruangnya sangat sempit, sehingga para jamaah tumpah keluar, dan kami mendengarkan khutbah campur mobil yang berseliweran. Ketika naik ke kamar, kubuka laci, kujumpai Bible, dan aku bergumam: "Ka1au memang yang dimaksud kebudayaan modern adalah aktualisasi demokrasi, mestinya tidak banyak biaya untuk juga membeli Qur'an, Bagavadgita, syukur kitab asli Zabur, Taurat dan Injil.****
(Emha Ainun Nadjib/JawaPos/2005/PadhangmbulanNetDok)
Puisi ini oleh penyairnya sengaja agak digelap-gelapkan, dengan alasan yang sangat gampang dipahami: yakni karena temanya adalah harimau, dan harimau itu di era sejarah kapan pun insya Allah selalu menakutkan
Kalau kepergok harimau, manusia selalu bersegera lari dan melingkar-lingkar mencari keselamatan. Maka demikian pulalah puisi ini. Untunglah menurut para Suhu, lari ketika ada musuh adalah jurus kependekaran yang tertinggi
Apalagi penyair puisi ini juga tahu persis bahwa akhir-akhir ini setiap orang diam-diam merasakan dalam kegelapan batinnya bahwa harimau bukan saja menakutkan: lebih dari itu perilakunya sudah sampai pada taraf mengerikan
Terutama karena di zaman kemajuan ini harimau memiliki kecanggihan bukan saja dalam memegang pentungan atau menembakkan senapan, tapi juga piawai mengoperasikan washing machine di mana jutaan gumpalan otak manusia dijejal-jejalkan di dalamnya
Akan tetapi penyair kita ini tetap dengan penuh kesadaran menggelapkan puisi ini, sebab meskipun harimau itu tuli telinganya, tapi matanya sedemikian tajam melebihi ketajaman mata setan yang menginteli kegiatan para malaikat. Dan berkat kekalahan tajamnya mata itulah maka masyarakat setan sekarang kehilangan reputasi, bahkan kehabisan lahan untuk peran-perannya yang kini telah digantikan dan dimonopoli
Penyair kita memohon agar kita membawa pulang puisinya secara diam-diam dan menyembunyikannya di balik jaket, kemudian ia menyarankan agar kita upayakan aroma puisi itu jangan sampai tercium oleh indra hidung harimau yang kepekaannya sudah termasyhur di seantero nusantara. Sebab kalau tidak, jaket dan badan kita akan dirobek-robek oleh kukunya, minimal dilarang untuk kita pakai, kecuali jika kita bersedia menyediakan prosentase saham untuk memperdagangkan aroma itu
Namun dengan semua ini jangan menyangka bahwa penyair itu maupun kita semua merupakan musuh harimau, sebab telah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa harimau adalah sahabat kita, yang membuatkan kita jembatan dan memperbaiki jalan, bahwa harimau itu berasal dari kita dan untuk kita, bahwa harimau itu telah manunggal dengan kita semua
Hanya saja ・ini penyair kita selalu terbodoh-bodoh untuk bisa mengerti ・persahabatan dan permusuhan yang dimaksudkan oleh harimau berbeda dengan yang digagas oleh penyair. Penyair umumnya romantis dan cengeng. Ia memandang persahabatan secara sentimentil dan selalu melebih-lebihkan permusuhan. bagi sang harimau, penyair itu anak kecil yang belum memahami hal-hal yang paling remeh pun dari kehidupan. Sehingga kaau sedikit saja si penyair atau kita semua berpikiran atau apalagi berperilaku tidak sesuai dengan kehendak sang harimau, maka wajib dididik, misalnya dengan cara menempelkan plaster di multunya atau satu tendangan ringan di pantatnya
Memang dulu kita ambil anak harimau itu dari tengah hutan lebat, kita gendong, kita sayang-sayang, kita kasih makan dan minum, kita bikinkan kandang, kita suburkan badannya dan kita panjangkan kuku-kukunya, dengan biaya yang sangat mahal dan kesantunan yangtinggi derajatnya. Tujuan kita adalah agar ia menjaga kita, memelihara ketenteraman hati dan keamanan rumah kita, dari ancaman-ancaman yang misalnya datang dari tetangga, dari masyarakat Jin atau Iblis
Harimau itu bertumbuh menjadi makhluk yang sakti dalam hal pengamanan, serta canggih dalam hal mengatasi ancaman. Sedemikian rupa sehingga ia tidak memiliki pengetahuan lain kecuali yang menyangkut keamanan. Dan karena kemudian ternyata dari tetangga maupun dari masyarakat Jin dan Iblis tidak ada ancaman apa pun yangdatang, maka perlahan-lahan si penyair dan kita semualah yang dianggap merupakan ancaman
Sebabnya adalah bahwa harimau akan kehilangan peran dan lapangan pekerjaan jika tidak ada ancaman, dan akibatnya adalah si penyair dan kita semua yang akhirnya dimasukkan ke dalam kandang

1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
Sebuah tenaga asing bersarang di telapak tangaku
Aku tahu kamu! Alam sedang hamil
Semesta terkatung-katung di lorong buntu
Api zaman menggeliat, menyongsong
hari-hari terakhir pingitannya

Tenaga asing, aku bertanya kepadamu
kenapa musti datang dengan tekateki
Kamu fosil kapak Ibrahim yang
akan memancing api kemudian memadamkannya
Kamu kerak tongkat Musa yang membelah samudera dan
mengantarkan mereka ke zaman di seberang
Kamu terompah Muhammad yang
berderak kembali dari pengasingan
Kamu gigir pedang Ali yang bercabang

Tenaga asing aku tahu siapa kirim kamu ke aku
Tapi sebutkan berapa era kegelapan lagi harus kunantikan
Berapa dekade kesabaran lagi harus
orang-orang malang itu bayarkan
Berapa kurun kearifan lagi harus dipamerkan oleh
siapa pun yang berputus asa

Ke arah mana tenagamu ini harus kulemparkan
Cambuk punggungku sekarang. Bentak telingaku.
Tarik busurmu

1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)
Tujuh Wali Kekasih Tuhan, yang terdiri dari Empat Wali materi dan Tiga Wali Rohani, memutuskan untuk minggat selama-lamanya dari permukaan bumi
Mereka melarikan diri dengan tujuan hendak langsung menemui Tuhan di pesanggrahan-Nya, untuk mengadakan semacam unjuk rasa dan melontarkan sejumlah protes keras
Mereka adalah Wali Penjaga Tanah, Wali Penggembala Api, Wali Pemelihara Air, Wali Penunggu Logam, Wali Penabur Cahaya, Wali Penegak Akal, serta Wali Pembersih Nurani
Oleh ketujuh Kekasih Allah itu disepakati tiga alasan pokok yang menyebabkan mereka minggat
Pertama, di wilayah tugas mereka jumlah dusta alias kebohongan sudah hampir tak terhingga, sampai tak tertampung kapasitas komputer dengan mega-harddisk berukuran 1,3 trilyun giga byte
Kedua, para pemimpin dan anggota kelompok-kelompok yang memotori proyek-proyek ketidakadilan, yang mempercanggih manipulasi-manipulasi atas undang-undang, yang mensistematisasi birokrasi pemiskinan merasa sangat yakin bahwa justru merekalah calon-calon utama penghuni surga
Dan ketiga, problem-problem yang ditanam sebagai pohon yang terlalu dalam akarnya di wilayah itu, sudah tak mungkin ditumbangkan oleh kerjasama Lembaga-Lembaga Bantuan Perjuangan, oleh Pusat-Pusat Penelitian dan Pengembangan Keselamatan, oleh Komite Nasional Hak Makhluk Hidup, serta oleh Yayasan-Yayasan Penunda Hari Kiamat
Juga tak bisa dijamin akan bisa diatasi jikapun mereka dibantu oleh Badan-Badan Strategi Pengobatan Penyakit Zaman, oleh Forum Impian Nirwana, oleh Front Pemberantasan Rasa Takut, oleh Organisasi Penyadaran dari Situasi Pingsan Struktural, oleh Nahdlatul Bingung, maupun oleh Pementasan Aktor-Aktor Pengigau dan Sinetron-Sinetron Perajut Mimpi
Persoalan-persoalan itu, pada tingkat yang sungguh-sungguh, bahkan sudah tidak bisa disembuhkan oleh pihak-pihak yang menciptakannya itu sendiri. Bahkan tidak oleh kekuasaan tak terbatas yang berada di genggaman tangan Bapak Stagnasi Nasional, meskipun kalau beliau batuk pada suatu pagi, ratusan gunung bisa terguncang-guncang
Jika diibaratkan, persoalan-persoalan itu bagaikan sebuah kota besar, yang meskipun teguh beriman namun terlalu riuh rendah dan penuh gemerlap sementara jalanan-jalanannya selalu macet dan yang bisa dilakukan oleh kumpulan semua kekuatan sejarah itu paling jauh hanyalah memasang papan-papan pengumuman di sepanjang jalan dan di setiap perempatan yang berbunyi: "Dilarang Macet!"
Tujuh Walu Tuhan itu pergi secara diam-diam tanpa pamit atau minta izin kepada saya
Tetapi itu tidak mengagetkan karena saya memang tidak memiliki hak untuk mereka mintai izin, sebab yang menggaji mereka bukan saya, melainkan Tuhan sendiri
Sedangkan makhluk-makhluk lain yang makan minum dan kesejahteraannya berasal dari pajak saya saja pun tidak pernah berunding dengan saya ketika menelurkan setiap keputusan
Malah saya yang diperbolehkan ada hanya kalau memiliki Sertifikat Kelakuan Baik, yang dirilis oleh kelompok yang tidak dijamin berkelakuan baik
Malah saya yang setiap kali hendak bersin harus terlebih dulu meminta izin, karena saya adalah warga negeri asing yang harus dihadapi dengan praduga bersalah
Akan tetapi ketika Tujuh Wali itu tiba di gerbang Arasy, malaikat Syakhlatusy-Syams mencegat mereka dan langsung menuding mereka dengan kata-kata paling purba:
"Kalian tidak akan tiba di pesanggrahan Tuhan, melainkan akan terpeleset ke negeri setan. Karena siapa pun yang berputus asa mitra politiknya, koalisi kulturalnya serta mazhab teologisnya adalah setan
Kalian membuntuti jejak Yunus yang meratap dan bingung. Kalian akan kalah dalam undian dekade-dekade maupun kuis era-era. Kalian akan dipojokkan olehsejarah untuk terpaksa terjun ke laut, kemudian disongsongdan dijadikan makanan oleh seekor ikan raksasa abad XXI
Kalian sudah tahu bagaimana cara membuat perut ikan abad XXI itu menjadi panas, sehingga kalian dimuntahkan kembali dan terdampar di pantai masa depan untuk memulai sebuah orde yang baru. Tetapi melihat wajah dan sorot mata kalian, tampaknya kalian sudah sangat kecapekan untuk sanggup bertarung sampai ke ronde sejarah yang sejauh itu"
Tujuh Wali itu terhenti perjalanannya, tidak mampu menembus tembok telapak tangan malaikat Syakhlatusy-Syams, karena makhluk pengendali matahari ini memiliki kekuatan yang tak terkirakan dan belum mampu dihitung oleh seribu laboratorium ikatan cendekiawan
Yang terjadi kemudian adalah sebuah interogasi dan hampir sebuah perdebatan. Syakhlatusy-Syams bertanya kepada tujuh Wali Tuhan ini satu per satu, tentang landasan pemikiran mereka, studi fisibilitasnya, aksi lokal dan wawasan globalnya, target jangka pendek dan jangka panjangnya, bahkan diselidiki juga berapa milyar per tahun mereka memperoleh pendanaan dari negeri-negeri tetangga
Wali Penjaga Tanah menjawab: "Telah berlangsung perampokan ganda atas tanah-tanah di dunia. Terlalu banyak tanah yang dicerabut begitu saja dari tangan para pemilik tradisionalnya tanpa sopan santun dan tawar menawar yang mencerminkan bahwa mereka adalah makhluk yang bernama manusia. Tetapi terdapat juga perampokan yang selama ini tersembunyi: Tuhan hanya memberikan kepada manusia "hak pakai" bukan "hak milik" atas tanah yang Ia ciptakan ini, tetapi manusia menciptakan hukum yang tidak masuk akal dan merampk otoritas Tuhan, dengan menciptakan sertifikat hak milik atas tanah-tanah itu. Padahal terbukti mereka tidak pernah menciptakan tanah, tidak pernah memproduksi tanah, melainkan tiba-tiba saja menemukan tanah di bawah kakinya. Manusia adalah peminjam paksa, manusia adalah fakir miskin yang tak tahu diri, manusia adalah Columbus-Columbus sakit saraf yang merasa yakin bahwa mereka menemukan sebuah pulau dan memilikinya, seolah-olah tanah itu nongol
begitu saja dari jidatnya. Manusia adalah raja-raja yang mengkhianati logika historisitas. Manusia adalah makhluk sakit otak yang mencuri hak Tuhan secara semena-mena
Untunglah Tuhan bukan pendendam dan cenderung bersikap santai. Sehingga meskipun tiap saat milik-Nya diklaim oleh makhluk-makhluk-Nya, tetap saja Ia setia menerbitkan matahari, memelihara fasilitas alam dan mengedarkan rezeki-rezeki misterius di antara manusia
Akan tetapi, terus terang saja, kesantunan Tuhan yang berlebihan itulah yang aku tidak mengerti!"
Wali Penegak Akal tiba-tiba saja nyelonong meneruskan laporan WaliPenjaga Tanah:
"Manusia-manusia itu antre di pom bensin tidak dengan membawa konsep tanggung jawab bahkan sekadar terhadap setetes minyak bakar. Mereka mengucurkan begitu saja sebanyak-banyaknya benda cair yang langka itu dalam tangki mobil dan motornya masing-masing, tanpa laporan pertanggungan jawab kepada produser bensin apa ia sungguh-sungguh memerlukan bensin sebanyak itu, akan digunakan untuk ke mana dan untuk apa ia berkendaraan. Seolah-olah mereka pernah punya ilmu dan teknologi untuk memperoduksi minyak sendiri. Seolah-olah minyak adalah hasil produksi sejarah mereka
Kemudian mereka bahkan menciptakan kecurangan-kecurangan politik internasional demi pencurian minyak, menyelenggarakan dusta-dusta sejarah di seantero bumi yang disusun di kantor polisi dunia demi memonopoli minyak
Akui tidak bisa tahan lagi. Wahai Syakhlatusy-Syams! Aku ingin Tuhan mulai bersikap agak sedikit radikal! Aku yakin Tuhan bukan anggota Musytasyar dari sebuah Nahdlah besar yang terlalu sabar karena takut dituduh makar, sehingga akhirnya jenggotnya sendiri pada terbakar!"
Wali Penggembala Api menyahut dengan suara yang berat besar:
"Aku menyaksikan api dicuri dari rumahnya dan ditaburkan ke pasar-pasar!"
Syakhlatusy-Syams bertanya: "Kau menyalahi asas praduga tak bersalah. Apa mencipratnya api itu bukan karena tingkat kemarau yang kurang ajar?"
Wali Penggembala Api menjawab: "Tuan boleh ucapkan itu kepada punggawa-punggawa lembaga bantuan hukum, tapi jangan kepada murid Ibrahim dan Khidlir. Apakah Tuan akan menangkap Ibrahim dan memasukkannya ke dalam sel tahanan dengan tuduhan bahwa ia telah melakukan usaha percobaan pembunuhan atas Ismail putranya sendiri? Ditambah dakwaan bahwa Ismail membuat berita acara kerelaan untuk disembelih itu karena paksaan Bapaknya?
Apakah Tuan akan meyeret Khidlir ke pengadilan dengan tuduhan bahwa ia melakukan tindak kriminal katika mencekik seorang anak di tengah jalan, membocorkan dinding kapal serta ikut campur terhadap kondisi pagar seseorang di sebuah kampung?"
Syakhlatus-Syams tersenyum: "Jadi rupanya Khidlirlah backing kalian?"
Wali Penggembala Api menjawab: "Terserah pasal berapa yang Tuan kenakan atasku, tetapi terhadap semua ini aku memutuskan untuk angkat tangan dan menyerah. Kasrena api telah membakar dunia dan peradaban manusia. Kekuasaan dan politik telah mendayagunakan api di laras-laras senapan untuk menghanguskan hak-hak masyarakat manusia. Industri dan modal telah memompakan api konsumtivisme massal sebagai satu-satunya kenyataan hidup di abad ini tanpa peluang untuk kemungkinan yang lain. Para pejuan yang mengasah kapak-kapak itu dalam proposal dan praksis perjuangan mereka karena sebagai Ibrahim-Ibrahim abad XX, mereka tak memiliki kekuatan dan ketahanan untuk melawan bara api Fir'aun yang siap membakar mereka setiap saat sesudah upaya penghancuran berhala!"
Syakhlatusy-Syams tertawa kecil: "Kamu terlalu tegang. Belajarlah kepada Tuhan bagaimana bermain dalam kesungguhan dan bersungguh-sungguh dalam permainan. Mintalah petunjuk kepada Tuhan bagaimana bersenda gurau yang serius dalam menggembalakan dunia dan alam semesta"
Wali Penggembala Api memotong: "Justru itu yang kami protes! Manusia terlalu menganggap serius terhadap dunia ini. Manusia terlalu bersungguh-sungguh terhadap materi. Sehingga bumi mereka gali sumber dayanya dan diboroskan habis-habisan. Sehingga hutan-hutan mereka patok dan mereka tebangi. Sehingga tanah mereka pagari tanpa moral jual beli, dan mereka dirikan gedung-gedung yang tidak jelas hubungannya dengan kesejahteraan manusia yang hakiki
Manusia terlalu tegang kepada benda-benda dan uang, sehingga mereka perebutkan dengan segala cara. Mereka menyangka materi adalah jalan menuju rohani, dan menjelang ajal baru mereka mengerti bahwa mereka sesungguhnya adalah makhluk rohani. Sekarang kami sudah tidak diperlukan lagi di muka bumi, karena tidak ada suara yang bisa berguna bagi telinga yang tuli!"
Kemudian berturut-turut terdengar suara Wali Pemelihara Air dan Wali Penunggu Logam:
"Jangankan suara kami para Wali petugas alam yang hina dina, sedangkan suara Tuhan sendiri pun sudah jarang didengar oleh hampir semua telinga!
Tuhan bukan lagi subyek utama kehidupan ini. Sejauh-jauh posisi Tuhan hanyalah pihak keempat: pihak pertama adalah pemilik modal dan kekuasaan, pihak kedua adalah sumber daya alam, pihak ketiga adalah massa pasar dan Tuhan adalah pihak keempat yang sesekali disebut untuk tiga macam keperluan. Pertama untuk legitimasi proyek. Kedua untuk keabsahan keputusan kekuasaan. Dan ketiga untuk mengeluh bagi mereka-mereka yang kepepet
Kami tidak lagi bermimpi bahwa telinga para penggusur bisa mendengarkan suara tangis orang-orang yang rumah dan tanahnya digusur, sedangkan deru mesin buldozer yang sebegitu bergemuruh saja pun tidak sanggup menyentuh gendang telinga mereka. Mereka hanya mampu mendengarkan suara mereka sendiri di Karaoke!
Air telah sirna dari sungai-sungai. Yang tinggal adalah kotoran yang bercampur sedikit air. Kebersihan telah dicerabut dari air, karena proses pembersihan air adalah pasar-pasar perusahaan yang memaksa harga setetes air lebih mahal dibanding setetes minyak!
Manusia-manusia yang cerdik pandai itu berlagak tidak tahu bahwa hanya beberapa puluh tahun ke depan Pulau Madura, Sulawesi Selatan dan Jakartaakan mendapat giliran pertama untuk tenggelam di bawah permukaan laut!
Para cendekiawan yang mewah itu tidak memberitahukan kepada saudara-saudaranya berapa tingkat kenaikan suhu udara per tahun, sehingga anak cucu mereka akan menegakkan dendam sejarah di masa depan
Para kaum terpelajar itutidak melaporkan kepada rakyatnya tingkat penyempitan pulau Jawa setiap tahun.Juga tidak dikemukakan jaminan bahwa bangsa mereka pada saatnya akan sanggup membayar hutang yang tanpa kendali!"
"Kami telah memutuskan untuk pergi tanpa pamit dari dunia perjalanan dusta semacam itu," berkata Wali Penegak Akal yang kemudian disusul oleh Wali Penabur Cahaya dan Wali Pembersih Nurani:
"Akalku sendiri minta ampun. Aku menyaksikan Rahwana-Rahwana yang berwajah sepuluh bukan hanya merebut kata-kata yang semestinya diucapkan oleh Rama dan Hanuman, tetapi bahkan Rahwana-Rahwana itu merasa yakin seyakin-yakinnya bahwa mereka adalah Rama yang suci, adalah Hanuman yang tulus, adalah Lesmana yang waskita. Dan mereka membawa keyakinan diri yang tidak masuk akal itu ke dalam sujud-sujud mereka yang khusyu', bahkan sampai ke tanah suci!
Betapa gampang menghadapi pendusta yang memang pendusta dan mengerti bahwa ia pendusta. Tetapi betapa mustahil dan ruwetnya melayani pendusta yang merasa dirinya paling mulia justru di antara orang-orang yang tidak berdusta. Betapa pening akalku menyaksikan para pendusta melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya diucapkan oleh alim ulama"
"Sebagai Wali Penabur Cahaya terus terang aku bingung karena hampir tidak ada satu kata pun yang terang. Tidak lagi bisa dibedakan antara kata penerangan dan penggelapan, atau antara keterangan dan kegelapan sehingga para petugas penerangan sebelum melangkah selalu memohon petunjuk, baik petunjuk teknik maupun petunjuk pelaksanaan
Akalku sudah terpingsan-pingsan penyaksikan tidak jelasnya perbedaan antara gelap dengan terang. Karena setiap kali ada mulut yang mengusahakan pembebasan manusia dari kegelapan, yang diterima oleh mulut itu adalah pemberedelan, dan pemberedelan itu dilakukan oleh tangan yang merasa sangat bahwa yang ia lakukan adalah penerangan"
"Sebagai Wali Pembersih Nurani terus terang juga aku merasa sudah tidak punya lagi tugas dan kewajiban, terutama karena nurani adalah barang rongsokan yang sudah dibuang, dan seandainya ada yang mengambilnya sebagai barang antik ia tidak akan lolos untuk didaftarkan ke lembaga pelelangan
Hanya orang dungu yang membayangkan akan bisa menjumpai kata nurani terdaftar di lembaran-lembaran buku ekonomi, perusahaan, supermarket dan konglomerasi. Hanya pemimpi yang over-optimistik yang memimpikan bahwa nurani merupakan asas utama sebuah kekuasaan..."
Tiba-tiba terdengar petir menggelegar. Terompet melengking-lengking. Seluruh penghuni langit meraung-raung, melolong-lolong. Seribu gunung terbatuk-batuk, air tujuh samudera meluap, seribu gelombang menggelegak. Tapi sesaat kemudian mendadak seluruhnya itu seperti tidak pernah terjadi. Alam sunyi. Alam senyap
Tujuh Wali Tuhan itu merasakan tatkala mereka menyadari dirinya, tiba-tiba mereka sudah terjerembab kembali berada di tempat tugasnya semula. Di hadapan mata mereka kembali terhampar dunia yang setiap pagi dan setiap menjelang tidur menggoda mereka untuk berputus asa

Karena gejolak perasaan di dalam dada para Wali itu, rasanya mereka hendak memekik, tapi kemudian terdengar suara entah suara Jibril atau suara Tuhan sendiri: "hi hi hi ..."

1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)

0 komentar:

Posting Komentar