Pages

Sabtu, 15 Desember 2012

Kumpulan Tulisan Emha 3


Aku mengalami kehidupan yang remeh yang dihuni oleh penduduk kerdil.
Aku warga dari suatu negara yang sangat penuh berisi segala sesuatu yang remeh-remeh, dengan para penghuni yang sangat mengagumi kekerdilan.
Aku rakyat dari suatu pemerintahan kerdil yang menjalankan periode-periode remeh.
Aku bagian dari perjalanan sejarah suatu mesyarakat kerdil yang sangat sibuk menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang remeh.
Aku dilingkupi oleh kebudayaan kerdil dengan perilaku-perilaku yang remeh.
Oleh ilmu-ilmu remeh yang disangka kehebatan oleh para pemuja kekerdilan.
Oleh pembangunan remeh yang menghasilkan bangunan-bangunan kekerdilan.
Oleh pertimbangan-pertimbangan peradaban yang remeh untuk berpanjang lebar memperjuangkan monumen-monumen kekerdilan.
Oleh ideologi-ideologi besar yang semakin diterapkan semakin memperjelas keremehan dan kekerdilan pelakunya.
Oleh karya-karya remeh yang penciptanya merasa besar sehingga kerdil.
Oleh tayangan-tayangan remeh yang pembuatnya sangat membangggakannya dan memerlukan puluhan tahun serta penderitaan di akhir kehidupan untuk memahami yang mereka lakukan adalah kekerdilan.
Oleh remehnya kekerdilan kepemimpinan.
Oleh kerdilnya organisasi dan institusi remeh.
Oleh produksi kerdil dan konsumsi remeh.
Oleh sekolahan kerdil dan gelar-gelar remeh.
Oleh diskusi kerdil dan ceramah remeh.
Oleh cita-cita hidup yang remeh yang disangka kehebatan sehingga satu persatu kaki kekerdilannya tersandung batu zaman.
Bahkan oleh perilaku ibadah dengan penghayatan kerdil an perjuangan yang pijakannya adalah keremehan sehingga goalnya hanya dua: kekerdilan atau keremehan.
Oleh suatu bangsa yang sangat bergembira dan menikmati segala yang remeh-remeh. Dan yang paling remeh dari segala yang remeh itu adalah bahwa kami semua sama sekali tidak mengerti bahwa itu semua adalah remeh.
Lebih remeh lagi karena kami marah kalau ada yang menyebut kehidupan kami sangat bergelimang keremehan-keremehan...

(Emha Ainun Nadjib/"Isteriku Seribu"/PROGRESS/2007/PadhangmBulanNetDok)

Ibumu adalah Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi jimat bagi rizki dan kebahagiaanmu
Tanah air adalah Ibunda alammu
Lepaskan alas kaki keangkuhanmu
Agar setiap pori-pori kulitmu menghirup zat kimia kasih sayangnya
Sentuhkan keningmu pada hamparan debu
Reguklah air murni dari kandungan kalbunya
Karena Ibunda tanah airmu itulah pasal pertama setiap kata ilmu dan lembar pembangunan hidupmu

Rakyat adalah Ibunda sejarahmu
Rakyat bukan bawahanmu, melainkan atasanmu
Jangan kau tengok mereka ke bawah kakimu, karena justru engkau adalah alas kaki mereka yang bertugas melindungi kaki mereka dari luka-luka
Rakyat bukan anak buahmu yang engkau berhak menyuruh-nyuruh dan mengawasi
Rakyat adalah Tuanmu, yang di genggaman tangannya terletak hitam putih nasibmu
di hadapan mata Tuhan

Rakyat adalah Ibunda yang menyayangimu
Takutlah kepada air matanya, karena jika Ibunda menangis karena engkau
tusuk perasaannya, Tuhan akan mengubah peranNya dari Sang Penabur Kasih Sayang
menjadi Sang Pengancam, Sang Penyiksa yang maha dahsyat

Ibunda darahmu
Ibunda tanah airmu
Ibunda rakyatmu
Adalah sumber nafkahmu, kunci kesejahteraanmu serta mata air kebahagiaan hidupmu
Pejamkanlah mata, rasakan kedekatan cintanya
Sebab ketika itu Tuhan sendiri yang mengalir dalam kehangatan darahnya
Kalau Ibunda membelai rambutmu
Kalau Ibunda mengusap keningmu, memijiti kakimu
Nikmatilah dengan syukur dan batin yang bersujud
Karena sesungguhnya Allah sendiri yang hadir dan maujud
Kalau dari tempat yang jauh engkau kangen kepada ibunda
Kalau dari tempat yang jauh ibunda kangen kepada engkau, dendangkanlah nyanyian puji-puji untuk Tuhanmu
Karena setiap bunyi kerinduan hatimu adalah
Sebaris lagu cinta Allah kepada segala ciptaanNya
Kalau engkau menangis Ibundamu yang meneteskan air mata
Dan Tuhan yang akan mengusapnya
Kalau engkau bersedih Ibundamu yang kesakitan
Dan Tuhan yang menyiapkan hiburan-hiburan
Menangislah banyak-banyak untuk Ibundamu
Dan jangan bikin satu kalipun Ibumu menangis karenamu
Kecuali engkau punya keberanian untuk membuat Tuhan naik pitam kepada hidupmu
kalau ibundamu menangis, para Malaikat menjelma jadi butiranbutiran air matanya
Dan cahaya yang memancar dari airmata ibunda membuat para malaikat itu silau
dan marah kepadamu
Dan kemarahan para malaikat adalah kemarahan suci sehingga Allah tidak melarang mereka tatkala menutup pintu sorga bagimu
Ibu kandungmu adalah ibunda kehidupanmu
Jangan sakiti hatinya, karena ibundamu akan senantiasa memaafkanmu
Tetapi setiap permaafan ibundamu atas setiap kesalahanmu akan digenggam erat-erat oleh para malaikat untuk mereka usulkan kepada Tuhan agar dijadikan kayu bakar nerakamu
Rakyat negerimu adalah ibunda sejarahmu
Demi nasibmu sendiri jangan pernah injak kepala mereka
Demi keselamatanmu sendiri jangan curi makanan mereka
Demi kemashlahatan anak cucumu sendiri jangan pernah hisap darah
mereka
Jangan pernah rampok tanah mereka
Sebab engkau tidak bisa menang atas Ibundamu sendiri
Dan ibundamu tidak pernah ingin mengalahkanmu
Sebab pemerintahmu tidak akan bisa menang atas rakyatmu
Sebab rakyatmulah ibunda yang melahirkanmu
Serta ia pulalah yang nanti akan menguburkanmu sambil menangis, karena ia tidak menjadi bahagia oleh deritamu, karena ibu sejarahmu itu tidak bergembira oleh kejatuhanmu
Ibundamu, tanah airmu, rakyatmu
Tak akan pernah bisa engkau kalahkan
Engkau merasa menang sehari semalam
Esok pagi engkau tumbang
Sementara Ibundamu, tanah airmu, rakyatmu
Tetap tegak di singgasana kemuliaan

Senin, 15.12.1992
(Emha Ainun Nadjib/"Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu-Sekelumit Catatan Harian"/2000/Zaituna/PadhangmBulanNetDok)

Ibu, anakmu bukan berpejam mata terhadap betapa penting perkembangan pemikiran-pemikiran.
Anakmu belum segila itu.
Tapi ia merasa terlibat di dalam belum berhasilnya manusia memfungsikan ilmu pengetahuan untuk berpacu melawan laju kebobrokan.
Anakmu memusatkan omongannya ini pada ironi yang anakmu sandang sendiri. Ibu, kami sibuk merumus-rumuskan keadaan, meniti dan menggambar peta masalah, mengucapkan dan mengumumkannya.
Pengumuman itu mandeg sebagai pengumuman. tulisan mengabdi kepada dirinya sendiri.
Sedangkan Ibu, hampir tanpa kata, berada di dalam peta itu, menjawabnya dengan tangan, kaki dan keringat.
Kami menghabiskan hari demi hari untuk mengeja gejala, dengan susah payah berusaha menjelaskan kepada diri sendiri, sampai akhirnya kelelahan, lungkrah dan ngantuk—Ibu pula yang dengan tekun memijiti tubuh kami.
Ibu tak kehabisan tenaga. Apakah Ibu menyewanya langsung dari Tuhan?
Ya, Bu. Bekerja itu memproduksi tenaga. Berpikir, yang hanya berpikir, selalu menciptakan keletihan, yang belum tentu ada gunanya.
Manusia hendaknya tahu diri, belajar bertawadlu’ dan mencoba mengenali rahasia-rahasia firman-Nya, atau yang alau memakai bahasa keduniaan manusia; mengenali retorika dan diplomasi-Nya. Jangan sekali-kali kita terjebak dalam kandungan dan membayangkan Allah memiliki kepentingan atas kehidupan dan segala pekerjaan kita.

(Emha Ainun Nadjib/"Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu-Sekelumit Catatan
Harian"/2000/Zaituna/PadhangmBulanNetDok)




SEMUA orang mempunyai pengetahuan tentang hidup. Tapi yang paling tahu hanya tiga, yakni Tuhan, malaikat dan wartawan.

Tuhan dan malaikat, mau apa saja biarkan. Tapi para wartawan, sesekali bolehlah kita perbincangkan. Supaya imbang. Jangan mereka saja yang tiap hari mempergunjingkan dan menggosipkan orang.

Tetapi perbincangan kita tentang wartawan akan saya bikin sedemikian rupa sehingga timbul kesan bahwa wartawan itu baik, jujur dan pekerja keras. Soalnya saya sendiri seorang wartawan. Kalau ditengah perbincangan nanti ada perkembangan yang bisa merugikan wartawan, tentu akan saya coba belokkan, atau bahkan saya stop sama sekali. Hanya orang tolol yang memamerkan boroknya sendiri. Hanya manusia dungu yang membuka-buka auratnya di depan orang lain.

Tuhan mengetahui apa saja, malaikat mencatat segala peristiwa, dan wartawan bukan hanya sekedar tahu ada peristiwa pengguntingan pita. Wartawan bukan hanya sekedar mengerti teknik wawancara yang terencana. Lebih dari itu, wartawan tahu persis jumlah korupsi seorang pejabat. Wartawan tahu tanah yang dikosongkan penduduk itu akan dikapling untuk proyek apa. Wartawan tahu berapa korban yang sebenarnya dalam sebuah letusan peristiwa. Wartawan tahu skenario-skenario apa saja yang disembunyikan dari mata masyarakat. Wartawan tahu berapa lama lagi akan terjadi devaluasi atau kapan persisnya seorang raja akan turun takhta. Dan yang terpenting dari semua itu, wartawan tahu secara mendetail setiap pori tubuh bintang-bintang film tertentu, saya ulangi --bintang-bintang film tertentu-- dalam keadaan sangat jujur dan penuh keterbukaan. Foto-foto tubuh yang innocent, tanpa tedeng aling-aling. Baik yang diambil di lokasi alam, di ranjang kamar, di atas wastafel, atau
sedang bercengkerama dengan kuda.

Saya buka rahasia yang sebenarnya bukan rahasia ini dengan maksud agar para bintang film lain yang serius berpikir untuk membersihkan citra korps bintang film dari ideologi buka aurat yang makin merajalela.

Kalau kelak tak ada lagi wanita yang bersedia difoto dengan pose penuh kejujuran tubuh, terus terang mata pencarian saya akan jauh berkurang. Tidak apa-apa. Demi masyarakat kita yang beradab, saya rela berkorban. Jer basuki mawa bea.Toh saya sudah punya banyak koleksi foto-foto jujur.

Dan lagi aslinya saya bukanlah wartawan porno. Saya ini wartawan politik. Dulunya, waktu belajar, saya ini wartawan kesenian. Itu paling gampang. Kemudian saya beralih menjadi wartawan bidang kriminal dan hukum. Ada tahun-tahun saya mengkhususkan diri sebagai wartawan KB dan kelompencapir, namun kemudian saya memilih jadi wartawan politik saja.

Kenapa? Karena dunia politik selalau amat penuh kesopanan dan tata krama. Sangat menyenangkan. Sopan, artinya politik selalu berpakaian rapih, pakai parfum, dan segala macam kosmetik. Kalau mulut bau karena jarang sikatan bisa pakai alat tertentu sehingga mulut jadi harum. Kalau tubuh berpanu atau berkadas, bisa dilulur sedemikian rupa sehingga kulit menjadi semulus kulit Meryl Streep atau Ida Iasha. Pokoknya segala cacat bisa ditutupi. Bau mulut politik, bibir politik, telah ditampilkan dengan berbagai macam parfum dan kosmetika politik sehingga lebih indah dari warna aslinya.

Kalau pada suatu hari ada bisul yang meletus, wartawan akan diberi tugas lewat telepon untuk menutupi bisul itu dengan blok tinta hitam. Kalau tidak, saya akan kehilangan eksistensi sebagai wartawan, dan sekian ribu karyawan perusahaan kami juga kehilangan kekaryawanannya. Dan anehnya, kalau kita kehilangan pekerjaan, asap dapur kita jadi terancam. Mbok ya kalau tidak kerja itu tetap punya duit gitu lho…!

Ternyata saya ini pada haikatnya memang kurang sanggup menghargai kesopanan. Oleh semua itu saya tidak krasan. Saya ingin menjelalajahi dunia yang penuh dengan kejujuran, keterbukaan tanpa tabir, tanpa tedeng aling-aling. Dan itu saya jumpai dalam dunia glamor sebagaian artis-artis. Sebagian lho, sebagaian. Dunia dimana kain menjadi sangat mahal, sehingga ada bintang yang hanya mampu membeli celana dalam dan bra atau bahkan ada yang tidak bisa membeli apa-apa sama sekali.

Memang di negeri yang ber-Ke Tuhanan Yang Maha Esa ini kita tak mungkin menerbitkan majalah macam Penthouse atau Playboy. Tapi dalang tak pernah kekurangan lakon. Kita tahu bagaimana mem -playboy- kan media massa dengan cara yang lebih canggih. Cover tak usah telanjang betul, asal merangsang, langsung kita bikin judul yang mlayboy , bukan panjang pendeknya tapi teknik mainnya.

Ternyata, masyarakat umum juga amat mendambakan keterbukaan. Masyarakat benci kemunafikan. Maka media massa yang penuh rahasia-rahasia, laku keras. Ditambah dengan makin bodohnya masyarakat modern, buku dan majalahpun harus mengajari mereka bagaimana cara bersenggama yang baik, bagaimana caranya supaya tidak kecelakaan, bagaimana melakukan penyelewengan secara canggih dan terjaga efek-efeknya, atau memberi keyakinan kepada pemuda-pemudi bahwa keperawanan bukanlah sesuatu yang mutlak. Dalam hal ini saya telah mewawancarai sejumlah dokter, psikiater, pedagogi, pastor dan kiai. Orang bahkan penasaran terhadap suatu teori yang menyarankan agar lelaki jangan tergantung pada orgasme. Seorang pakar memberi contoh ada seorang nabi yang sanggup melakukan dua belas kali persenggamaan secara runtut tanpa mengalami orgasme. Teori ini mengatakan bahwa lelaki harus menang melawan kebutuhan orgasme, lelaki bisa lebih besar dibandingkan dengan orgasme.

Akan tetapi di hari-hari terakhir ini saya di bikin pusing oleh sesuatu hal. Liputan-liputan gaya playboy melayu sudah hampir mencapai titik jenuh pasar. Maka pemimpin redaksi saya memberi instruksi agar saya melakukan wawancara langsung dengan makhluk yang bernama seks. Ya, seks itu sendiri. Bukan seorang lelaki bukan seorang wanita.

Kalau mewawancarai presiden atau gubernur, jelas birokrasinya. Tapi mewawancarai seks? Dimana gerangan seks berada?

Sudah tiga bulan terus menerus saya melacaknya. Saya sudah capek, sehingga tinggal sisa tenaga sedikit saja untuk melaporkan kepada Anda.

Seks itu makhluk ciptaan Tuhan. Sudah pasti, tapi apakah untuk mengetahui seks, saya mesti mempelajari filsafat seks atau seks filosofi? Saya tidak mau dibikin puyeng oleh agama seks atau seks yang religius. Tapi kata para wali dulu, seks itu memang religius, karena merupakan sendi utama regenerasi sejarah, merupakan manifestasi dari kerinduan Tuhan itu sendiri. Tuhan menciptakan manusia agar dipandang, didekati dan dicintai oleh manusia ciptaan-Nya. Seks yang tidak religius hanya terjadi pada manusia yang melakukan seks hanya demi dan untuk kepuasan hewaninya belaka.

Itu betul semua.Tapi mana ada koran bisa laku kalau isinya filsafat dan agama? tidak. Saya tak bakalan mewawancarai seorang filsuf atau pakar agama. Saya, dalam rangka melacak seks, langsung saja berangkat ke lokasi pelacuran. Bursa seks.

Namun, ketika saya tanya tentang seks, pelacur itu menjawab, “Wah, saya tidak tahu Mas. Disini saya mencari makan." Dan para lelaki hidung belang itupun menjawab secara kurang memuaskan. "Saya memang mencarinya terus dengan jalan bersenggama disini hampir tiap hari. Tapi yang saya jumpai hanya orgasme. Hanya ekstase. Kalau saya ketemu sama seks, untuk apa saya terus-terusan ke pelacur begini..!!�

Kemudian di losmen-losmen penyelewengan alias wisma skandal, dimana mahasiswa-mahasiswi atau pegawai pria dan wanita berseragam suka menyewa kamar satu dua jam, saya juga memperoleh jawaban yang mengecewakan,"Gini lho, Mas. Kalau saya sedang sendiri, saya begitu tergoda oleh seks. Tapi kalau sudah berdua di kamar, paling jauh yang saya jumpai adalah diri kami sendiri yang berubah menjelma menjadi kuda atau kera yang bergumul telanjang. Selebihnya, rasa dosa yang kami simpan diam-diam.“

Akhirnya saya pulang dengan putus asa. Saya katakan kepada pemred saya, "Pak, jawaban mereka sangat lucu. Mereka bersenggama, tapi mengaku tak tahu seks. Lha apa beda antara bersenggama dengan seks?"

"Lho sangat berbeda," kata pemred saya.
"Persenggamaan itu sekedar alat, atau cara, atau tarekat, untuk mencari dan menemukan seks. Seks itu suci. Seks itu tinggi derajatnya. Dan derajat kesucian seks tidak mungkin kamu jumpai di kopel-kopel pelacuran, di losmen penyelewengan atau wisma skandal, juga tidak di kamar-kamar kost kumpul kebo."

"Ruwet, Pak!� kata saya
"Karena kamu sukanya bersenggama, tapi salah paham terhadaps seks. Kamu menyamakan persenggamaan dengan seks seperti menyamakan sembahyang dengan Tuhan, atau perkawinan dengan kebahagian, atau nasi dengan rasa kenyang. Kalau kamu sudah tiba di kebahagiaan, perkawinan tak dibutuhkan. Kalau kamu sudah tinggal di Tuhan, kendaraan sembahyang tak diperlukan. Kalau kamu sudah bersemayam di dalam seks, persenggamaan tak dibutuhkan.�
"Kalau begitu," kata saya jengkel,"biarlah saya tak pernah tiba pada seks...! []
(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)
Rencananya, sesudah diskusi ulang tahun ke-52 Lembaga Administrasi Nasional, 4 Agustus pagi itu, saya janji langsung ke Rumah Sakit Mitra Keluarga untuk turut mengantarkan Rendra pulang ke rumah Clara Shinta, putrinya, di Pesona Khayangan, Depok. Namun, tiba-tiba Mbah Surip dipanggil Tuhan sehingga seusai diskusi, saya dengan beberapa teman Kenduri Cinta langsung menuju rumah Mamiek Slamet di Kampung Makassar, tempat pertama jenazah beliau disemayamkan.

Memasuki kampung padat gang sempit penuh orang dan wartawan, tiba juga kami di depan rumah Mamiek. Pintu ditutup rapat. Manohara barusan masuk. Kami tidak punya "kompetensi" untuk berjuang agar bisa dibukakan pintu sebab kami tidak tahu posisi kami dalam dunia Mbah Surip: apakah kami termasuk di lingkaran primer sahabatnya, atau lingkungan sekunder, ataukah fans belaka sebagai ratusan khalayak yang memadati tempat itu.

Bersama Dr Nursamad Kamba, aktivis Thariqat Naqshabandy Mesir, kami mengaji dan berdoa di sebuah pojok, kemudian berniat langsung saja ke Cipayung, tempat Mbah Surip akan disemayamkan. Jalan kami terdesak-desak oleh arus massa yang berlomba mengerumuni dan menciumi tangan Manohara, tetapi syukur bisa lolos juga dan langsung menuju kompleks Bengkel Teater Rendra di Cipayung.

Sesampai di sana kami terbentur problem "kompetensi etis" lagi sehingga hanya berkumpul di sebuah rumah tetangga Rendra untuk berdoa dan shalat gaib bersama. Kami menyepakati agar Noe "Letto" dan satu dua teman yang masuk ke tempat jenazah Mbah Surip disemayamkan.

Pukul 20.00, kami cabut menuju Pesona Khayangan Kav-5 untuk menemani Rendra yang terbaring sakit. Problem jantung dan ginjal beliau semakin mereda sesudah berpindah tiga rumah sakit, tetapi lalu tiba-tiba terserang demam berdarah sehingga rencana untuk keluar dari RS Mitra tertunda menunggu trombositnya naik. Syukur beliau akhirnya diizinkan pulang dan mulai ditangani oleh sebuah klinik herbal di Jakarta Barat.

"Menonton" Mbah Surip

Rendra telentang, rambutnya dipotong pendek sejak seminggu sebelumnya, tubuhnya masih kuyu, tetapi wajahnya mulai bersinar.

"Hatinya lebih tenteram di sini, Mas?" saya menyapa sambil memegangi tangannya. Rendra tersenyum, menganggukkan kepala, dan memancarkan sorot mata optimisme. Rendra bukan orang yang pernah suka menyembunyikan isi hatinya sehingga kalau hatinya tidak benar-benar lebih tenteram, ia pasti menjawab dengan keras dan tegas, "Ora!"

Kami berbisik-bisik mengobrol pendek-pendek, tentang kelegaannya ditangani dengan metode yang lebih natural, tetapi menyepakati kesiapan seluruh segi untuk sewaktu-waktu berpindah ke rumah sakit di Singapura, yang memang sudah kami runding sejak dua minggu sebelumnya.

Ken Zuraida, istri beliau, dan Meme, putri mereka, lalu lalang menyiapkan ini itu yang diperlukan. A´u alias Clara Shinta, putri Rendra dari istri pertamanya, Sunarti, tak pernah diperbolehkan papanya lepas beberapa meter saja pun darinya, siang dan malam. Juga Arifin, semacam asisten pribadi Rendra yang senantiasa siap ceplas-ceplos bergurau menyegarkan jiwa Rendra, tidak pernah bisa beranjak dari seputar Rendra. Jika beranjak akan terdengar suara berat memanggil-manggilnya, "Fiiin! Fiiin!"

Namun, malam itu Rachell, putri Rendra dari Sitoresmi, sedang pamit ke Yogyakarta sehingga tak terdengar gurauan liberal yang segar antara bapak dan putrinya.

Suasana di pembaringan Rendra kemudian bahkan agak berubah sendu. Di seberang pandang Rendra, televisi sedang menayangkan siaran langsung prosesi pemakaman Mbah Surip.

Ribuan orang dan ratusan wartawan memenuhi "rumah Rendra". Rendra menatap televisi dengan ekspresi wajah yang tidak segera bisa saya raba. Apakah mereka tahu di mana gerangan tuan rumahnya Mbah Surip berada? Kenapa Rendra tak tampak turut takziah kepada tamunya? Apakah ada yang tahu bahwa si tuan rumah sedang terbaring sakit sejak dua bulan sebelum Mbah Surip meninggalkannya?

Anatomi nilai

Tatkala terbaring di rumah sakit, Rendra pernah berbisik, "Kapan saya pulang, Nun?" Saya agak mengelak, "Kalau pulang, ke mana, Mas?" Ia menjawab, "Ke Cipayung. Itu tanahku, itu hutanku, itu kuburanku...."

Lalu, tatkala diperkenankan pulang, ia mengambil keputusan, akan pulang ke rumah putrinya, A´u. Saya memahaminya sebagai ungkapan kearifan dan kemuliaan hatinya untuk berbagi kegembiraan dan keadilan bagi siapa saja di dalam lingkup keluarganya. Ternyata kemuliaan hati Rendra itu dituntun Tuhan. Sesudah dua hari berbaring di rumah putrinya, ia rebah di "tanahku, hutanku, kuburanku".

Tiba-tiba, tatkala bersama Komunitas Padangbulan saya berbincang di bawah cahaya bulan purnama di Jombang, 6 Agustus pukul 22.05, di panggung saya memperoleh telepon bahwa Rendra telah dijemput oleh Malaikat Izroil karena lamaran cintanya diterima Allah SWT. Beberapa jam sebelumnya, tatkala maghrib, ia memanggil A´u dan Arifin, bertanya, "Kalau aku mati, kamu ikut siapa?" Tentu saja mereka berdua menjawab, "Papa tidak boleh omong seperti itu."

Hati saya mungkin kotor karena spontan yang muncul di benak saya sesudah mendengar kepergian Rendra adalah "apakah akan ada siaran langsung juga sebagaimana Mbah Surip?"

Saya mencoba memaafkan diri sendiri dengan meyakini bahwa pertanyaan itu muncul tidak dari konteks eksistensialisme dan kemasyhuran, melainkan ujian berpikir bagi diri saya sendiri, dan syukur bagi seluruh bangsa Indonesia, khususnya bagi dunia jurnalisme negeri ini. Apakah tidak sebaiknya kita mempertanyakan kembali parameter-parameter nilai kehidupan yang berlaku.

Bagaimana sebenarnya kita menggambar "anatomi nilai" kebudayaan kita? Yang mana dan siapa "kepala", yang mana dan siapa "tangan", "kaki", "otak", "nurani", dan "kelamin"?

Jangan dulu bertanya tentang kaliber karya dan kepribadian Rendra. Kita benahi dulu: yang primer itu akal ataukah nurani, ataukah kelamin? Yang utama bagi informasi dan komunikasi kebudayaan kita ini prestasi akal, pencapaian estetika dan nurani, atau euforia nafsu dangkal kelamin-baik yang diekspresikan dan diperjualbelikan secara eksplisit kelamin maupun yang implisit dan tak kentara bahwa sesungguhnya "rating tertinggi" yang kita imani adalah "packaging" kedangkalan, kekonyolan, kehinaan, dan kerendahan?

Wallahualam. Saya berdebar dari detik ke detik. Di tangan saya tergenggam lembar kertas yang bertuliskan puisi terakhir Rendra yang ia tulis pada 31 Juli 2009 di RS Mitra Keluarga....
(Muhammad Ainun Nadjib/Kompas/Sabtu, 8 Agustus 2009/PadhangmBulanNetDok)
Manusia hidup dari hatinya. Manusia bertempat tinggal dihatinya. Hati adalah sebuah perjalanan panjang. Manusia menyusurinya, menuju kepuasannya, kesejahteraannya, kebahagiannya, & Tuhannya. Berbagai
makhluk menghalanginya, terkadang, atau sering kali, dirinya sendirilah yang merintanginya.

Hati adalah pusat kehendak yang membuat manusia tertawa dan menangis, sedih dan gembira, suka ria atau berputus asa. Manusia mengembara dihatinya: pikiran membantunya, maka pikiran harus bekerja sekeras-kerasnya, pikiran bisa perlu ber-revolusi, pikiran tak boleh tidur, pikiran harus dipacu lebih cepat dari waktu cahaya.

Hati tidak selalu mengerti persis apa yang dikehendakinya. Ia hanya bisa berkiblat ke Tuhannya untuk memperoleh kejernihan dan ketepatan kemauannya.

Pikiran ikut menolongnya mendapatkan kejernihan dan ketetapan itu, tapi pikiran tidak bisa menerangkan apa-apa tentang Tuhannya. Pikiran mengabdi kepada hatinya, hati selalu bertanya kepada Tuhannya. Di
hadapan Tuhan, pikiran adalah kegelapan dan kebodohan. Jika pikiran ingin mencapai Tuhannya, ia menyesuaikan diri dengan hukum dimensi hatinya. Jika tidak, pikiran akan menawarkan kerusakan, keterjebakan dan bumerang.

Jika pikiran hanya mampu mempersembahkan benda-benda kepada hatinya, maka hati akan tercampak ke ruang hampa, dan pikiran sendiri memperlebar jarak dari Tuhannya.

Badan akan lebur ke tanah. Pikiran akan lebur diruang dan waktu. Hati akan lebur di Tuhan. Jika derajat hati diturunkan ke tanah, jika tingkat pikiran bersibuk dengan bongkahan logam, maka dalam keniscayaan lebur ke Tuhan, mereka akan hanya siap menjadi onggokan kayu, yang terbakar tidak oleh cinta kasih Tuhan, melainkan oleh api.

Jika hati hanya berpedoman kepada badan, maka ia hanya akan ketakutan oleh batas usia, oleh mati, oleh kemelaratan, oleh ketidakpunyaan. Jika pikiran hanya mengurusi badan, jika pikiran tak kenal ujung maka ia akan rakus kepada alam, akan membusung dengan keangkuhan, kemudian kaget dan kecewa oleh segala yang dihasilkan.
(Emha Ainun Nadjib/"Dari Pojok Sejarah"/Mizan/PadhangmBulanNetDok)

Karena akan menerima tamu dari Thailand, maka Kiai itu merasa harus menyuguhkan Jawa. Segala yang nampak pada Pondok Pesantren yang dipimpinnya, sebenarnya relatif sudah mengekspresikan tradisional Jawa. Potret desa, model-model bangunan dan irama kehidupannya. Sang tamu besok mungkin akan mendengarkan para santri berbincang dalam bahasa Arab atau Inggris. Tapi itu bukan masalahnya. Yang penting Kiai kita ini tidak akan mungkin menyediakan Coca Cola ke depan hidung tamunya dari tanah Thai itu.

Demikianlah akhirnya sekalian santriyah yang tergabung dalam Qismul Mathbah (Departemen Dapur) bertugas memasak berbagai variasi menu Jawa. Dari sarapan grontol, makan siang nasi brongkos, malam gudeg, besoknya pecel, lalu sayur asem dengan snack lemet dan limpung.

Sang Kiai sendiri “cancut tali wondo” mempersiapkan suguhan siang hari yang diperkirakan bakal terik. Ia dengan vespa kunonya melaju, membawa semacam tempat sayur yang besar. Empat kilometer ditempuh, dan sampailah ia ke warung kecil di tepi jalan. Seorang Bapak tua penjual cendol. Sang Kiai sudah memperhitungkan waktunya untuk sampai pada bapak cendol ini pada dinihari saat jualannya. Yakni ketika stock masih melimpah.

Terjadilah dialog dalam bahasa Jawa krama-madya.

"Masih banyak, pak?"

"Masih Den, wong baru saja bukak beberan"

"Alhamdulillah, ini akan saya beli semua. Berapa?"

Pak Cendol kaget, "Lho, Jangan Den!" jawabnya spontan

Sang Kiai pun tak kalah kagetnya: "Kok jangan?"

"Lho, kalau dibeli semua, bagaimana saya bisa berjualan?"

Sang Kiai terbelalak. Hatinya mulai knocked-down, tapi belum disadarinya.

"Lho, kan saya beli semuanya, jadi bapak nggak perlu repot-repot berjualan lagi disini hari ini."

Pak Cendol tertawa dan sang Kiai makin terperangah.

"Orang jualan kan untuk dibeli. Kalau sudah laku semua kan malah beres?"

Pak Cendol makin terkekeh.

"Panjenengan ini bagaimana tho Den! Kalau dagangan saya ini dibeli semua, nanti kalau orang lainnya mau beli bagaimana! Mereka kan tidak kebagian!"

Knock-Outlah Sang Kiai.

Ia terpana. Pikirannya terguncang. Kemudian sambil tergeregap ia berkata: "Maafkan, maafkan saya pak. Baiklah sekarang bapak kasih berapa saja yang bapak mau jual kepada saya."

Seperti seorang aktor di panggung yang disoraki penonton, ia kemudian mendapatkan vespanya dan ngeloyor pulang.

Sesampainya di Pondok ia langsung memberikan cendol ke dapur dan memberi beberapa penugasan kepada santriyah, kemudian ia menuju kamar, bersujud syukur dan mengucapkan istighfar, lantas melemparkan tubuhnya di ranjang.

Alangkah dini pengalaman batinku gumannya dalam hati. Sembahyang dan latihan hidupku masih amat kurang. Aku sungguh belum apa-apa di depan orang luar biasa itu. Ia tidak silau oleh rejeki nomplok. Ia tidak ditaklukan oleh sifat kemudahan-kemudahan memperoleh uang. Ia terhindar dari sifat rakus. Ia tetap punya dharma kepada sesama manusia sebagai penjual kepada pembeli-pembelinya.

Ia bukan hanya seorang pedagang. Ia seorang manusia!
(Muhammad Ainun Nadjib/“Indonesia Bagian Dari Desa Saya”/Bentang/PadhangmBulanNetDok)
Kalian berdzikir "Subhanallah"
Maha Suci Allah, Maha Suci Allah
Apa benar kalian mensucikan Aku?
Apa benar kehidupan kalian mensucikan Aku?
Apa benar watak dan perilaku kalian, kebudayaan dan kemajuan bangsa kalian - mensucikan Aku?

Kalian berdzikir "Alhamdulillah"
Segala puji bagi Allah, Segala puji bagi Allah
Apa benar perekonomian kalian memuji Aku?
Apa benar gedung-gedung kalian, kantor-kantor kalian, pertimbangan dan keputusan kalian, kasih dan sepak terjang kalian - memuji Aku?

Kalian berdzikir "Wa lailaha illallah",
Tiada tuhan selain Allah
Hai hamba-Ku, apa benar Akulah yang kalian tuhankan?
Apa benar Aku faktor primer dalam bagan strategi sejarah kalian?
Apa benar Aku yang nomor satu di dalam kerangka akal dan susunan pikiran kalian
Apa benar cinta kalian mendasar kepadaKu?
Apa benar Aku sedang menarik hati kalian, dibanding uang, keuntungan dan kekuasaan dunia?

Kalau Aku ikut Kontes Idola, apakah kalian kirim sms untuk memenangkan Aku?
Kalian berdzikir "Allahu Akbar"
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
Wahai hamba-Ku, apa tanda kebesaranKu di negeri penyembah berhala yang kalian bangga-banggakan ini?
Di bagian mana dari kebudayaanmu,
Di sebelah mana dari langkah politikmu
Di sudut mana dari gedung-gedung megah industrimu
Yang mencerminkan keunggulanKu?

Kau lakukan kedhaliman di sana-sini
Merata di seantero negeri
Kedhaliman yang samar sampai yang transparan
Kedhaliman struktural, sistemik
Bahkan kedhaliman yang telanjang dan kasat mata
Kedhaliman bahkan kepada dzatKu
Kepada hakekat dan syariat eksistensiKu
Kemudian kalian ucapkan "Allahu Akbar"
Tanpa sedikitpun rasa malu

Bahkan masjid-masjidmu, yakni rumah-rumah suciKu
Kalian pakai untuk menendangku
Sebagian dari kalian membangun rumahKu dengan sisa-sisa uang perampokan struktural
Sebagian dari kalian menegakkan rumahKu dengan biaya hasil mengemis-ngemis di tengah jalan

Kalian mengemis atas namaKu,
Kalian melantikku sebagai Sang Maha Pengemis
Di masjid-masjid kalian tertulis : Allah yang Maha Fakir Miskin.
Oleh karena itu setiap orang perlu menaruh rasa belas kasihan kepadaKu
Dan jika datang seorang koruptor membereskan semua pembiayaan masjid itu,
dialah yang kau puji-puji dan kau sanjung-sanjung

(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)
Tentu saja kehidupan kita bukannya sedemikian gelap pekat dan tak ada kebaikan, tak ada kejujuran atau kejernihan.
Tapi tulisan ini mengajak kita untuk bercermin.
Dan bercermin yang dimaksudkan bukanlah sejenis narsisisme: kita mengagumi kegantengan dan kecantikan wajah kita.
Yang kita tatap di cermin terutama justru jerawat-jerawat kita.
Jangan khawatir, Anda tidak termasuk para koruptor, pada level mana pun.
Anda orang jujur dan selalu menatap Tuhan berdiri tepat dihadapan Anda setiap saat.
Anda orang yang selalu berdua dengan-Nya dalam kepatuhan dan kejujuran.
Tuhan tidak Anda "letakkan" di samping, tidak Anda perlakukan sebagai "pihak ketiga" sehingga Anda sebut "Ia"--dan bukan "Engkau".
Tapi pandanglah wajah-wajah kami!
Lihatlah ornamen-ornamen jerawat korupsi dan ngembeng-nya wajah korupsi di wajah kami.
Ya, kami-kami yang pejabat tinggi maupun pejabat rendahan.
Kami-kami yang orang sentral maupun orang perifekal.
Kami-kami orang atas maupun orang bawah.
Kami-kami orang penting maupun orang tak penting.
Kami-kami para pemerintah maupun pejuang kepentingan rakyat.
Kami-kami para aktivis, seniman, intelektual, LSM, penyangga demokrasi.
Kami-kami semua, memiliki kadar, sifat dan wilayah korupsi ini?
Mau diilmiah-ilmiahkan dan diakademis-akademiskan bagaimana lagi?
Mau dianalisis kayak apa lagi korupsi ini: "makhluk" bikinan manusia yang jauh lebih besar dan jauh lebih kuat dbanding manusia ini?
Mau dipandang dari macam-macam sudut-sudut pandang dan sisi penilaian sampai berapa dekade sejarah lagi.
Sudut sistem. Sudut budaya. Sudut antropologi.
Atau segala macam latarbelakang yang sebelah mana lagi yang akan kita papar-paparkan demi agar kita tampak serius mengurusi dan memprihatinkan masalah korupsi--untuk kemudian kita kecapekan karena tema satu ini tak pernah usai, tak makin mereda, membosankan untuk dipersoalkan namun menikmatkan untuk terus dilakukan dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Atau bertanya apakah engkau, wahai Emha, sedang marah-marah oleh berita tentang korupsi dan korupsi dan korupsi? Padahal korupsi dan korupsi dan korupsi--yang dibeberkan, yang diurus, yang dibawa ke altar pengadilan--itu sesungguhnya hanya sepersekian persen dari realitas yang sebenarnya dari korupsi dan korupsi dan korupsi?
Emha menjawab: Tidak. Ambillah dunia seluruhnya, genggam di tanganmu, kepalkan, padatkan seluruh harta dunia ini, ngangakan mulutmu, masukkan padatan itu, telanlah, suruh ia mengembara di ususmu yang melingkar-lingkar, kemudian aku doakan: duburmu tidak sobek karena itu.
Ambillah negara ini, tanah ini, tambang ini, aset ini, akses ini, modal ini, perusahaan ini, hutan ini, gedung-gedung ini, nurani rakyatmu ini- -apapun saja, ambillah.
Ambillah, monopolilah, curilah, rampoklah, begallah. Dan aku tak punya urusan pribadi dengan semua itu. Aku tak punya kepentingan pribadi terhadap itu semua.
Bertengkarlah manusia.
Bersainglah pembesar-pembesar.
Sikut-sikutanlah kakap-kakap.
Sabot-menyabotlah kalian kaum raksasa. Aku tak punya urusan pribadi dengan itu semua. Caploklah planet bumi ini, kluwungilah tujuh samudera, rendamlah badanmu di kawah-kawah gunung.
Jaringlah waktu, zaman, kurun. Cengkeramlah kukumu hinga ke 1998, 2003, dan nyanyikan lagu penyair romantik "Aku ingin hidup seribu tahun lagi!"
Itu semua tak menyedihkanku. Tak membuat diriku prihatin atau berang. "Aku pribadi" tak punya urusan dengan keserakahan apapun di sekelilingku. Adapun kalau engkau mendengarkan ada semacam
keprihatinan, kemarahan atau kesedihan--itu tak berasal dari "diri pribadi"-ku melainkan dari "diri sosial".
"Diri pribadi"-ku abadi hingga ke Tuhan. "Diri sosial"-ku terbatas: kalau engkau tiba pada tahap di mana Tuhan mengalungkan tanganmu sendiri di lehermu, sambil menutup mata, hati, dan telingamu, serta membuatmu "tak bisa kembali"--maka diri pribadiku akan tertawa keras-keras karena diri pribadi itu diberi hak oleh Tuhan untuk bersikap acuh dan meninggalkan segala kebodohan, segala ketegangan dan penyakit jiwa manusia di muka bumi.
Orang yang capek-capek menghabiskan hidupnya untuk hanya mencari harta, memeras enerjinya untuk menyabet uang siang dan malam, serta yang menjual harga kemanusiaannya untuk maling hak orang lain alias melakukan korupsi--tak ada julukan lain kecuali, bodoh, tegang, dan sakit jiwa.
Ilmu pengetahuannya tentang dirinya, tentang manusia, tentang dunia, harta, serta tentang hidup dan mati--mengalami kekeliruan dan ketidakilmiahan secara mendasar. Ia sangat tegang terhadap segala yang sudah dimilikinya, yang akan dimilikinya, yang bisa dimilikinya, yang tak bisa dimilikinya, serta yang ingin dimilikinya.
Itu membuatnya sakit jiwa. Dan merusak negara dan rakyatnya.

(Emha Ainun Nadjib/Zaituna/"Titik Nadir Demokrasi, Kesunyian Manusia dalam Negara"/PadhangmBulanNetDok)
Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri
Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
Tak demikian Allah menata
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta
Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
Tak demikian sunnatullah berkata
Maka cerdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
Menjadi kacaulah sistem alam semesta
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya sapakah penindas
Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan
Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
Burung Allah tak sedia bunuh diri
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa orang lalai
Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar
Ialah air yang mengalir ke angkasa
Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
Maka berdusta ia
Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
Orang wajib menebangnya
Agar tak berdusta ia

Kemudian siapakah orang lemah perjuangan
Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
Orang harus menggertak jiwanya
Agar tak berdusta ia

Kemudian siapakah pedagang penyihir
Ialah kijang kencana berlari di atas air
Orang harus meninggalkannya
Agar tak berdusta ia

Adapun siapakah budak kepentingan pribadi
Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
Agar tak berdusta ia

Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta
Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
Nyanyikan puisi di telinganya
Agar tak berdusta ia

1988
(Emha Ainun Najib/PadhangmBulanNetDok)
Korupsi di mana-mana. Korupsi di hampir semua lapisan. Dari pamong-pamong desa hingga yang paling atas.
Korupsi di hampir semua petak-petak di mana uang mengalir, bahkan pun sampai di sekitar koper dan surban ratusan ribu para calon haji.
Korupsi di setiap tahun, bulan, hari, dan mungkin juga jam, menit, dan detik.
Korupsi menjadi salah satu "sahabat" sehari-hari kita. Korupsi menjadi salah satu identitas terpenting dari bangsa yang besar ini, bangsa yang selalu merasa besar ini, bangsa yang selalu membesarbesarkan dirinya ini.
Korupsi atas uang orang banyak.
Korupsi otoritas birokrasi yang sesungguhnya merupakan amanat.
Korupsi hak-hak, yang asal-usul asasinya bahkan dari Allah langsung.
Korupsi kewenangan, di mana para petugas yang digaji rakyat merasa "GR", tak tahu diri dan bahkan yakin bahwa mereka adalah atasannya rakyat.
Korupsi makna atas ratusan kalimat filosofi kebangsaan, prinsip-prinsip dasar kenegaraan, undang-undang, konsep dan aturanaturan.
Korupsi interpretasi di kantor-kantor para buruh rakyat, serta juga di sel-sel dan jaringan otak mereka.
Korupsi penafsiran dalam penataran-penataran, instruksi dan "petunjuk". Kegilaan nasional kita semua dalam menggunakan kosakata "petunjuk"--tak lain tak bukan--adalah perbuatan takabur kepada Tuhan, pemilik tunggal hidayah.
Korupsi keragaman menjadi ketunggalan. Disuruh bersatu tetapi tak boleh ada dua atau tiga. Padahal kalau hanya ada satu maka tak diperlukan persatuan atau pun kesatuan.
Korupsi atas hal-hal yang paling kasar, wadag, materi sampai korupsi atas kasunyatan yang lembut, yang amat.
Korupsi atas batu sungai, tambang tembaga, kata-kata mutiara, gelondongan kayu, sampai korupsi atas informasi mengenai para nabi dan Tuhan.
Korupsi informasi tak hanya di koran-koran yang memasang jargon maha indah di leher penampilannya.
Korupsi dari tingkat yang halus ringan dan hanya merugikan nilai itu sendiri serta yang bersangkutan, sampai korupsi yang besar-besaran yang memotong usus nasib berjuta-juta orang.
Korupsi d kantor kelurahan, kecamatan, kabupaten, gubernur, di rombongan kloter sekian di hotel-hotel Madinah, di batok kepala orang-orang yang setiap saat dijunjung-junjung sebagai pemimpin--sampai si terjunjung sampai percaya bahwa ia memang benar-benar manusia yang tak pernah korup dan layak dijunjung-junjung, dipikul dhuwur dan kelak dipendhem jero.
Korupsi tak terasa korupsi karena milik bersama, dilakukan bersama, ditutupi dengan alibi-alibi bersama, ditaburi harum wewangian retorika dan excusing yang bisa didaftar berpuluh-puluh dari berbagai sudut, sisi, dan disiplin.
Korupsi menjadi kecenderungan sehari-hari.
Menjadi "naluri alamiah" tradisi kebudayaan kita.
Menjadi makanan pokok sehari-hari.
Menjadi candu yang membuat orang merasa rugi kalau tak melakukannya.
Baik karena candu itu sudah menjadi potensialitas kerakusan pribadi, maupun karena secara kolektif tak pernah ada jaminan bahwa kalau seseorang tidak korup maka lainnya pun tidak.

(bersambung ====>>)

(Emha Ainun Nadjib/"Titik Nadir Demokrasi, Kesunyian Manusia dalam Negara"/1999/Zaituna/PadhangmbulanNetDok)

0 komentar:

Posting Komentar