Sesungguhnya segala puji itu milik Allah. Kami memuji-Nya, memohon
pertolongan kepada-Nya dan berlindung kepada Allah dari kejahatan diri
kami dan keburukan amal-amal kami. Barang siapa diberi petunjuk Allah,
maka tidak ada yang dapat menyesatkan. Dan barang siapa disesatkan
Allah maka tidak ada yang dapat menunjukinya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar
taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
keadaan beragama Islam”. (QS. Ali ‘Imran :102)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa
menta'ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar”. (QS. Al Ahzab : 70-71)
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah
menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan
isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu”. (QS. An Nisa’ : 1)
Dan aku bersaksi bahwa tiada llah kecuali Allah saja, tiada sekutu
bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya,
yang telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah dan memberi nasehat
kepada umat. Mudah- mudahan kesejahteraan dan keselamatan dicurahkan
Allah kepada junjungan kita Muhammad saw, kepada keluarganya serta
sahabat-sahabatnya,
Wa ba’du:
Diri seseorang merupakan perintangan pertama bagi mereka yang hendak
melangkah di jalan jihad yang mendaki ini. Sebagaimana ucapan Ibnul
Qoyyim rhm. “Ketahuilah bahwa diri itu merupakan gunung besar yang
merintangi jalan mereka yang melangkah menuju keridloan Allah. Tidak
mungkin seseorang bisa menempuh jalan tersebut sebelum ia melewati
gunung yang besar itu”.
Jalan yang mendaki dan sulit ini… gunung yang besar ini, disertai pula
dengan lembah-lembah, bukit-bukit dan jurang-jurang yang dalam. Syetan
berdiri di atas puncaknya dan memperingatkan dengan maksud
menakut-nakuti orang yang berusaha untuk mendaki puncak ketinggian
tersebut. Perintang yang datangnya dari diri sendiri ini harus kamu
lewati sehingga kamu sampai ke jalan Allah yang aman. Jalan keselamatan
yang diterangi oleh wajah Allah swt.
Maka dari itu kamu harus mendaki gunung ini. Setiap mana seorang muslim
mencoba untuk menaikinya, maka syetan meneriakinya, hawa nafsu
menariknya, syahwat melemahkan kemauannya. Semua bermaksud untuk
melengketkan ke bumi, meski orang tersebut adalah ulama besar. Maka dari
itu harus melepaskan dirinya dari segala macam keterikatan, dari segala
macam ikatan dan belenggu sehingga tubuhnya menjadi enteng dan dapat
mendaki puncak yang tinggi itu. Apabila ia berhasil mendaki puncak itu,
maka ia akan menemukan jalan yang aman, seperti yang difirmankan Allah
Azza Wa Jalla:
“Allah menyeru (manusia) ke negeri keselamatan (surga), dan menunjuki
orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”. (QS. Yunus: 25)
Dan ia adalah jalan yang diterangi dengan cahaya,lurus, aman, lagi
menjamin keselamatan. Yaitu sesudah mana seseorang berhasil melewati
rintangan besar yang menghadangnya. Rintangan itu adalah hawa nafsu yang
selalu mendorong berbuat jahat.
SEBAB YANG MENARIK MANUSIA KEPADA KEHIDUPAN DUNIA
Pertama: Kebodohan
Sebenarnya banyak sekali faktor yang membantu nafsu (yang selalu
mendorong berbuat jahat) untuk mengikat pemiliknya kepada kehidupan
dunia. Diantara yang utama adalah “kebodohan”. Kebodohan adalah kubangan
yang busuk baunya, mengikat setiap yang mempunyai hawa nafsu dengan
kebusukannya sehingga iapun tenggelam dan menyelam dalam lumpurnya yang
berbau busuk.
Kebodohan merupakan faktor terbesar yang merintangi perjalanan seseorang
kepada Allah Azza Wa Jalla. Merintangi kaki dari belenggu yang
mengikatnya. Merintangi ruh yang akan melepaskan diri dari belenggunya.
Kebodohan, apabila telah menimpa diri seseorang, maka terkadang akan
membuatnya mengingkari adanya matahari meskipun ia melihat di siang hari
bolong.
“Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka dan orang-orang
yang telah mati berbicara dengan mereka dan kami kumpulkan (pula) segala
sesuatu ke hadapan mereka niscaya mereka juga tidak beriman, kecuali
jika Allah menghendaki. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti
(bodoh)”. (QS. Al An-aam : 111)
Andaikata orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka, para
malaikat datang, dan seluruh binatang liar datang serta berbicara kepada
mereka; tetap saja mereka tidak beriman. Penyebabnya adalah kebodohan
(akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti).
Bodoh disini bukan berarti kurang pengetahuan, akan tetapi “tidak
mengerti”. Orang yang mengetahui tentang Allah adalah yang takut dan
bertaqwa kepada Nya. Sebagaimana firman Allah :
“Apakah kamu hai orang-orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang
yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan
ia takut kepada (adzab) akherat dan mengharap rahmat Rabbnya?
Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui ? “Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran (QS. Az Zumar : 9)
Orang yang beribadah, berdiri sholat sepanjang malam, mengharap surga
yang dijanjikan Rabbnya, takut terhadap adzab Nya; adalah orang-orang
yang dikatakan `alim (berilmu/mengetahui).
Ibnu Mas`ud r.a. berkata,
” Bukanlah yang dinamakan ilmu itu dengan banyaknya riwayat (yang
dihafalkan), tetapi ilmu adalah sesuatu yang mendatangkan rasa takut”.
Mari kita simak bersama perkataan nabi Yusuf As,
“ Dan jika engkau tidak dihindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu
aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku
akan menjadi diantara orang-orang yang bodoh”. (QS. Yusuf : 33)
Yusuf mengetahui bahwa zina adalah perbuatan keji dan suatu kemaksiatan
yang besar. Namun demikian, pengetahuan nabi Yusuf akan kekejian
perbuatan tersebut tidak menafikan predikat bodoh andaikan ia terjerumus
ke dalamnya. Jadi kebodohan adalah rintangan yang paling besar yang
menghadang di depan jalan mendaki dari gunung yang dinamakan’Hawa nafsu
yang selalu mendorong berbuat jahat’.
Oleh karenanya, Nabi Musa As menjawab perkataan kaumnya ketika ia
menyuruh kepada mereka menyembelih sapi betina dan mereka mengatakan,
“Adakah engkau akan menjadikan kami bahan olok-olokan?”.
“Aku berlindung kepada Allah menjadi diantara golongan orang-orang yang bodoh
(QS. Al Baqarah : 62)
Beliau tidak menjawab dengan ucapan, “Aku berlindung kepada Allah menjadi diantara golongan orang-orang yang mencemooh”.
Oleh karena kebodohan lebih besar bala`nya daripada mencemooh. Bodoh
terhadap Allah sebab yang menjadikan seseorang mencemooh dan
memperolok-olok yang lain.
“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya
dikala mereka berkata, “Allah tidak menaruhkan sesuatu kepada manusia”.
(QS. Al An `aam : 91)
Sikap tidak menghormati Allah serta tidak mengagungkan Nya adalah yang
dinamakan jahil/bodoh terhadap Allah `Azza Wa Jalla. Ma`rifat atau
pengetahuan tidak menafikan kebodohan. Kadang ma`rifat dan kebodohan
bertemu dalam diri seseorang, ilmu adalah lawan dari kebodohan. Dan ilmu
itu sendiri adalah rasa takut. Boleh jadi seseorang banyak mengetahui
sesuatu dan banyak mengerti sesuatu, akan tetapi sebenarnya ia tidak
mengetahui kecuali sedikit saja.
“Aliif lam miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri yang terdekat
(1) dan sesudah mereka dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun
(lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan
di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang
beriman, karena pertolongan Allah.Dia menolong siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
(sebagai) janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan
menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka
hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka
tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar-Ruum : 1-7)
Mereka mengetahui seluk beluk dan rahasia atom, putaran elektron, kapal
terbang, kapal perang, jet-jet tempur serta teknologi tinggi yang lain.
Mereka mengetahui itu, akan tetapi mereka lalai terhadap kehidupan
akhirat. Maka dari itu mereka dikatakan kaum yang tidak mengetahui.
Oleh karena itu para ulama berkata, “Orang yang berolok-olok atau
bersenda gurau dengan ayat Al-Qur’an adalah fasik”. Dan sebagian dari
mereka berpedapat kufur.
Misalnya ada sekumpulan orang yang sedang menghadapi jamuan makanan.
Lalu salah seorang dari mereka maju untuk mengambil makanan seraya
berkata, “Wa nasafnal jibaala nasfaa, artinya : “Dan kami hancurkan
gunung-gunung itu sehancur-hancurnya.” Maka perbuatan seperti itu
tergolong perbuatan fasik menurut jumhur ulama, dan kufur menurut
sebagian di antara mereka. Sebab ayat Al-Qur’an adalah firman Allah,
bukan untuk bahan olok-olokan ataupun senda gurau.
“Katakanlah,“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu
selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir
sesudah beriman.” (QS. At-Taubah : 65-66)
Maka dari itu, waspadalah dari persoalan ini. Kalian jangan menjadikan
hadits-hadtis Nabi dan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai bahan untuk melucu
dan menghibur agar orang-orang tertawa dan senang. Kalian harus
berhati-hati dan tetap mengagungkan Allah, karena Dia adalah Dzat yang
Maha Perkasa, Maha Agung, Maha Suci dan Maha Luhur.
Maka dari itu, ketika Rasulullah saw merasa bersedih hati atas
berpalingnya kaum beliau dan berduka melihat jalan yang mereka tempuh,
maka Allah menegurnya :
“Dan jika berpalingnya mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka
jika kamu dapat melihat lobang di bumi atau tangga ke langit lalu kamu
dapat mendatangkan mu'jizat kepada mereka, (maka buatlah). Kalau Allah
menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk,
sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil.”
(QS. Al-An’am : 35)
Kalau mau membicarakan soal kebodohan, maka pembahasannya akan sangat
panjang. Adapun cara terbaik untuk menghadapi orang-orang bodoh adalah
berpaling dari mereka. Sebab jika kamu berdebat dengan mereka, maka
mereka akan mengalahkanmu –dengan kengototan mereka--. Dan jika kamu
dapat mengalahkan mereka, maka mereka akan membencimu. Dan mereka tidak
akan mau mengakui kebenaranmu. Maka jalan yang terbaik adalah berpaling
dari mereka.
“Maka berpalinglah engkau (wahai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami.” (QS. An-Najm : 29)
Dan….
“Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.” (QS. Al-Hijr : 85)
Berpalinglah kamu dari mereka dan jangan berdebat dengan mereka. Oleh
karena perdebatan itu hanya akan menambah kecongkaan mereka. Imam
Asy-Syafi’i pernah mengatakan, “Tiadalah aku berdebat dengan orang-orang
yang bodoh melainkan ia akan mengalahkanku. Dan tiadalah aku berdebat
dengan orang yang pandai melalinkan aku akan dapat mengalahkannya.”
Tentu saja karena orang bodoh terkadang mengingkari –seperti pernah saya
katakan—cahaya matahari yang bersinar di siang hari bolong dan cahaya
rembulan pada saat purnama.
Maka biarkanlah orang-orang bodoh itu. Mereka akan mati jika kalian
tinggalkan. Dan akan hidup jika kalian ajak mereka berdebat.
Mudah-mudahan dengan jalan meninggalkan mereka, maka mereka akan
tercegah berlaku sombong dan congkak. Dengan menjauhkan diri dan
meninggalkan berdebat dengan mereka, maka mereka akan mengerti kedudukan
mereka sendiri. Ini jika kamu merasa pasti bahwa dia adalah seorang
yang bodoh, mengikuti hawa nafsunya sendiri, tidak mau mengakui
kebenaran dan tidak mau mengikuti sesuatu yang telah pasti kebenarannya.
Kedua: Lalai
Sifat lalai menyebabkan orang terjerumus ke dalam neraka.
Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan)
pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan di dunia serta
merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan
ayat-ayat kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang
selalu mereka kerjakan.” (QS. Yunus : 7-8)
Lalai menyebabkan seseorang berpaling, menyebabkan seseorang menyikapi peringatan ayat-ayat Allah dengan senda gurau :
“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang
mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). Tidak datang
kepada mereka suatu ayat al-Qur'an pun yang baru (diturunkan) dari Rabb
mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main,
(lagi)hati mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka yang zalim itu
merahasiakan pembicaraan mereka, ‘Orang ini tidak lain hanyalah seorang
manusia (jua) seperti kamu, maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal
kamu menyaksikannya." (QS. Al-Anbiya’ : 1-3)
Kamu mendatanginya dengan membawa berita yang sangat penting dan dengan
perkataan yang serius. Kamu ceritakan kepadanya tentang berbagai
pertempuran yang membuat agama Islam menghadapi dua pilihan : lenyap
atau terus bertahan. Kamu ceritakan kepadanya tentang pertempuran yang
sangat dahsyat dan membinasakan. Membinasakan anak manusia sebagaimana
halnya batu penggiling menumbuk halus bulir padi. Namun demikian dia
lalai dan tidak begitu mengacuhkan. Sambutan yang diberikannya padamu
hanyalah senyum hampa atau mengatakan padamu, ‘Saya telah mendengar
cerita mereka, bahwasanya mereka telah melakukan begini dan begitu. Saya
tidak punya waktu untuk mendengar pembicaraan mengenal kaum itu.’
Dia sibuk mengumpulkan uang dan menghitung-hitungnya, dia sibuk dengan
berbagai macam buah-buahan yang hendak dimakannya dan berbagai macam
jenis minuman yang hendak ditenggaknya. Kamu datang kepadanya untuk
mengekang hawa nafsunya, untuk menyadarkannya sedikit dari kelalaian
yang menghinggapi dirinya dari ujung kaki sampai puncak kepala. Kamu
hendak mengalihkan sedikit perhatiannya dari tumpukan uang yang selalu
dihitung-hitungnya dan dari dunia yang ia jadikan tempat
bersenang-senang, dan dari kehidupannya yang ia jadikan sebagai senda
gurau dan main-main belaka. Kehidupan dunia telah menipunya. Dia tidak
punya waktu sedikitpun untuk mendengar perkataan yang bermanfaat bagi
kehidupannya di dunia dan di akhirat.
KITA LEBIH BERHAK TERHADAP PENGGUNAAN WAKTU
Ada beberapa orang bertanya pada Piccaso: “Berapa jam anda tidur dalam
sehari?” “Empat jam.” Jawabnya. “Apakah empat jam cukup bagi anda?”
Tanya mereka. Piccaso menjawab, “Kalian ingin saya tidur delapan jam
sehari hingga sepertiga kehidupan saya terbuang sia-sia untuk tidur?
Kapan saya bisa memuaskan kesenangan saya dan menyalurkan hobby serta
bakat saya? Saya hanya tidur empat jam sehari.”
Siapa yang lebih berhak terhadap waktu? Kalian ataukah mereka?. Kalian
yang berdiri shalat menghadap Rabbul Alamin atau mengikuti jejak
Syahidul Mursalin shallallohu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan lapang dan
sempit, di malam yang gelap gulita dan di siang yang terang oleh cahaya
mentari, ataukah mereka yang berlaku sombong yang tidak mau tidur
delapan jam sehari supaya kesenangan dan keinginan mereka dapat
terpenuhi dan tersalurkan?
Kita diperintahkan untuk menghentikan persahabatan dengan kaum yang
lalai itu. Kita diperintahkan untuk menghentikan pembicaraan dengan
mereka. Kita boleh memberikan kepada mereka sedikit senyuman, sedikit
akhlak dan mu’amalah/perhubungan baik kita. Tetapi kita tidak boleh
membuang-buang waktu kita bersama mereka. Kita tidak boleh menyatukan
suatu pendapat apapun dengan mereka.
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan
dari mengikuti Kami serta memperturutkan hawa nafsunya dan adalah
urusannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi : 28)
Kata “Janganlah kamu mengikuti” dalam ayat ini adalah larangan, sedangkan larangan di situ menunjukkan keharaman.
Adalah urusannya kalau dia melampaui batas, oleh karena mengikuti hawa
nafsu serta kelalaian hanya akan membawa cerai berainya urusan, lepasnya
ikatan di antara manusia, hilangnya pemikiran yang sehat dan lenyapnya
logika yang benar.
Ketiga: Hawa Nafsu
Hawa nafsu adalah kecenderungan manusia untuk memperturutkan
syahwat/keinginannya. Hawa nafsu lawannya adalah kebenaran. Allah
adalah Dzat yang Maha Benar, Dia menciptakan langit dan bumi dengan
alasan yang benar. Firman-Nya :
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah
langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami
telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka
berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. Al-Mukminun : 71)
Hawa nafsu akan membuat seseorang berlaku zhalim dan kezhaliman itu membuat seseorang tersesat dari jalan yang benar.
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu
dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah
akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan.” (QS. Shaad : 26)
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin,
maka Allah lebih tahu kemaslahatan. Maka janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar
balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’ :
135)
Hawa nafsu akan selalu menjauhi keadilan, sedangkan kebenaran akan selalu diikuti keadilan.
Karena itulah hawa nafsu –dalam bahasa Arabnya—“Hawa”() yang berarti
jauh dari tempat ketinggian ke tempat yang rendah. Oleh karena itu ia
menjatuhkan orang yang mengikuti hawa nafsunya dari ketinggian ke tempat
yang rendah. Maka orang yang mengikuti hawa nafsu adalah orang yang
merosot dan jatuh bersama hawa nafsu, kelalaian dan kebodohannya ke
tempat serendah-rendahnya di dunia dan akhirat, di mana ruhnya jatuh ke
neraka Sijjil.
Terkadang hawa nafsu bisa membesar dalam diri seseorang sehingga orang
tersebut tidak menentang kemungkaran yang dilihatnya dan tidak mengikuti
kebaikan yang telah diyakininya. Bahkan bisa menjadi lebih besar lagi
sehingga ia melihat yang mungkar menjadi ma’ruf dan ma’ruf menjadi
mungkar.
“Dan apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan
kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan), ‘Inikah orangnya yang diutus
Allah sebagai Rasul? Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari
sembahan-sembahan kita, seandainya kita tidak sabar (menyembah)nya’. Dan
mereka kelak akan mengetahui di saat mereka melihat azab, siapa yang
paling sesat jalannya. Terangkanlah kepadaku tentang orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi
pemelihara atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka
itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang
ternak itu).” (QS. Al-Furqan : 41-44).
Hawa nafsulah yang menjadikan seseorang cenderung kepada dunia dan
kemewahannya. Dan hawa nafsu pula yang menurunkan kedudukan ulama’ dari
tingkatan di bawah para nabi, yakni tingkatan para shiddiqin ke tingkat
seekor anjing.
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian
dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh
syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang
sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan
(derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan
menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti
anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu
membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka
ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS.
Al-A’raf : 175-176).
Seperti anjing yang tiada henti-hentinya menjulurkan lidahnya, sama saja
di saat dia istirahat ataupun tengah kecapaian. Sungguh alangkah indah
dan mengenanya penyerupaan dan penggambaran yang dilukiskan Allah
melalui firman-Nya.
Di dalam kitab-kitab tafsir diterangkan bahwa ayat di atas mengisahkan
tentang seorang laki-laki Bani Isra’il yang bernama Bal’am bin Ba’ura’.
Dahulunya ia adalah seorang yang sangat alim dan sangat mustajab
do’anya. Ketika tentara Musa a.s. datang untuk menggempur kaum lalim
yang bermukim di Palestina, maka kaumnya datang dan menemui serta
membujuknya, ’Berdo’alah kepada Allah untuk membinasakan Musa dan
pengikutnya’. Maka lelaki ini menyanggupi permintaan kaumnya karena
tamak terhadap dunia mereka. Lalu lidahnya menjulur ke dada dan ia
meninggalkan ayat-ayat Allah. Maka jadilah ia seperti anjing, jika
dihalau, lidahnya menjulur dan jika dibiarkan lidahnya tetap menjulur.
Keempat: Syahwat (Ambisi)
Sebab keempat yang menyebabkan diri manusia bertindak durhaka dan
melampaui batas adalah syahwat. Syahwat menarik diri manusia untuk
melakukan apa saja yang diinginkannya. Syahwat yang pertama adalah
berlaku sombong di muka bumi. Yang menjadikan kebenaran seperti
kebatilan dan menjadikan kebatilan seperti kebenaran. Orang-orang yang
berlaku sombong di muka bumi tidak akan masuk surga.
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan
(yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Qashash :
83).
0 komentar:
Posting Komentar