Rabu, 23 November 2011
Menata Timbangan Diri
Oleh: Muhammad Nuh
dakwatuna.com – “Sungguh beruntung orang yang
mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS.
Asy-Syams: 9-10)
Maha Besar Allah yang telah menciptakan
dunia begitu indah. Awan pekat berbondong-bondong digiring angin. Hujan bersih
menitik dari langit. Tumbuh-tumbuhan pun menghijau, menyegarkan pandangan mata.
Dan, menyejukkan hati yang gelisah.
Saatnya diri untuk bercermin. Menengok
seberapa kotor wajah karena terpaan debu kehidupan. Saatnyalah, menimbang diri
dengan penuh kejernihan.
Resapilah bahwa diri terlalu banyak
dosa, bukan sebaliknya
Di antara bentuk kelalaian yang paling
fatal adalah merasa tidak punya dosa. Yang kerap terbayang selalu pada kebaikan
yang pernah dilakukan. Dari sinilah seseorang bisa terjebak pada
memudah-mudahkan kesalahan. Bahkan, bisa menjurus pada kesombongan. “Sayalah
orang yang paling baik. Pasti masuk surga!”
Dua firman Allah swt. menyiratkan orang-orang yang lalai seperti itu.
“Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang
paling merugi perbuatannya?’ Yaitu, orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104)
Bentuk lain dari sikap ini, adanya
keengganan mencari fadhilah atau nilai tambah sebuah ibadah.
Semua yang dilakukan cuma yang wajib. Keinginan menunaikan yang sunnah menjadi
tidak begitu menarik. Ibadahnya begitu kering.
Padahal, Rasulullah saw. tak pernah lepas
dari ibadah sunnah. Kaki Rasulullah saw. pernah bengkak karena lamanya berdiri
dalam salat. Isteri beliau, Aisyah r.a., mengatakan, “Kenapa Anda lakukan itu,
ya Rasulullah? Padahal, Allah sudah mengampuni dosa-dosa Anda?” Rasulullah saw.
menjawab, “Apa tidak boleh aku menjadi hamba yang senantiasa bersyukur?”
Beliau saw. pun mengucapkan istighfar tak
kurang dari tujuh puluh kali tiap hari. Setiapkali ada kesempatan, beliau saw.
selalu memohon maaf kepada orang-orang yang sering berinteraksi dengan beliau.
Beliau saw. khawatir kalau ada kesalahan yang tak disengaja. Kesalahan yang
terasa ringan buat diri, tapi berat buat orang lain.
Berlatih diri untuk menerima nasihat,
dari siapapun datangnya
Boleh jadi, sebuah pepatah memang cocok
buat diri kita: gajah di pelupuk mata tak tampak, sementara kuman di seberang
lautan jelas terlihat. Kesalahan orang lain begitu jelas buat kita. Tapi,
kekhilafan diri sendiri seperti tak pernah ada.
Jadi, tidak semua orang yang paham
tentang teori salah dan dosa mampu mendeteksi dan mengoreksi kesalahan diri
sendiri. Rasulullah saw. pernah menyampaikan hal itu dalam hadits yang
diriwayatkan Muslim, “Pada hari kiamat seorang dihadapkan dan dilempar ke
neraka. Orang-orang bertanya, ‘Hai Fulan, mengapa kamu masuk neraka sedang kamu
dahulu adalah orang yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan
munkar?’ Orang tersebut menjawab, ‘Ya, benar. Dahulu aku menyuruh berbuat
ma’ruf, sedang aku sendiri tidak melakukannya. Aku mencegah orang lain berbuat
munkar sedang aku sendiri melakukannya.”
Dari situlah, seseorang butuh bantuan
orang lain untuk menerima nasihat. Cuma masalah, seberapa cerdas seseorang
menyikapi masukan. Kadang, emosi yang kerdil membuat si penerima nasihat banyak
menimbang. Ia tidak melihat apa isi nasihat, tapi siapa yang memberi nasihat.
Dan inilah di antara indikasi seseorang terjebak dalam sifat sombong. Sebuah
sifat yang selalu menolak kebenaran, dan mengecilkan keberadaan orang lain.
Paksakan diri untuk bermuhasabah secara
rutin
Sukses-tidaknya hidup seseorang sangat
bergantung pada kemampuan mengawasi diri. Seberapa banyak kebaikan yang
diperbuat dan seberapa besar kesalahan yang terlakoni. Kalau hasil hitungan itu
positif, syukur adalah sikap yang paling tepat. Tapi jika negatif, istighfarlah
yang terus ia ucapkan. Kesalahan itu pun menjadi pelajaran, agar tidak terulang
di hari esok.
Masalahnya, orang yang cenderung santai,
sulit melakukan muhasabah secara jernih. Timbangannya selalu miring. Yang
terlihat cuma kebaikan-kebaikan. Sementara, dosa dan kesalahan tenggelam dengan
tumpukan angan-angan.
Muhasabah yang tidak jernih kerap
menonjolkan amalan dari segi jumlah. Bukan mutu. Padahal, Allah swt. tidak
sekadar melihat jumlah, tapi juga mutu. Bagaimana niat amal, seberapa besar
kesadaran dan pemahaman dalam amal tersebut. Dan selanjutnya, sejauhmana
produktivitas yang dihasilkan dari amal.
Bahkan boleh jadi, orang justru jatuh
dalam kesalahan ketika proses amalnya menzhalimi orang lain. Atau, amal yang
dilakukan menciderai hak orang lain. Umar bin Khaththab pernah memarahi seorang
pemuda yang terus-menerus berada dalam masjid, sementara kewajibannya mencari
nafkah terlalaikan.
Umar bin Khaththab pula yang pernah
memberikan nasihat buat kita semua. “Hisablah diri kamu sebelum kamu dihisab.
Timbanglah amalan kamu sebelum ia ditimbang. Dan bersiap-siaplah
menghadapi hari kiamat (hari perhitungan).”
Gandrungkan hati untuk tetap rindu pada
lingkungan orang-orang saleh
Rasulullah saw. pernah bersabda,
“Seseorang adalah sejalan dan sealiran dengan kawan akrabnya. Maka, hendaklah
kamu berhati-hati dalam memilih kawan pendamping.” (HR. Ahmad)
Nasihat Rasul ini tentu tidak
mengharamkan seorang mukmin mendekati orang-orang yang tinggal di lingkungan
buruk. Karena justru merekalah yang paling berhak diajak kepada kebersihan Islam.
Tapi, ada saat-saat tertentu, seseorang lebih cenderung berada pada lingkungan
negatif daripada yang baik. Bukan karena ingin berdakwah, tapi karena ingin
mencari kebebasan. Di situlah ia tidak mendapat halangan, teguran, dan nasihat.
Nafsunya bisa lepas, bebas, tanpa batas.
Ketika seseorang berbuat dosa,
sebenarnya ia sedang mengalami penurunan iman. Karena dosa sebenarnya bukan
pada besar kecilnya. Tapi, di hadapan siapa dosa dilakukan. Rasulullah saw.
bersabda, “Janganlah memandang kecil (dosa), tapi pandanglah kepada siapa yang
kamu durhakai.” (HR. Aththusi)
Yang harus engkau ingat dalam benakmu
... Hartamu hanyalah titipan ilahi.
Allah Ta’ala berfirman,
آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا
مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
“Berimanlah kamu kepada Allah
dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah
menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu
dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”
(QS. Al Hadiid: 7)
Faedah dari ayat di atas:
Pertama: Perintah
untuk beriman pada Allah dan Rasul-Nya.
Kedua: Dorongan
untuk berinfak.
Ketiga: Pahala
yang besar di balik, iman dan infak.
Keempat: Al
Qurthubi rahimahullah menjelaskan, “Ayat ini merupakan
dalil bahwa pada hakekatnya harta tersebut milik Allah. Hamba tidaklah memiliki
apa-apa melainkan apa yang Allah ridhoi. Siapa saja yang menginfakkan hartanya
pada jalan Allah sebagaimana halnya seseorang yang mengeluarkan harta orang
lain dengan seizinnya, maka ia akan mendapatkan pahala yang melimpah dan amat
banyak. ”
Al Qurtubhi sekali lagi mengatakan, “Hal ini
menunjukkan bahwa harta kalian bukanlah miliki kalian pada hakikatnya. Kalian
hanyalah bertindak sebagai wakil atau pengganti dari pemilik harta tersebut
yang sebenarnya. Oleh karena itu, manfaatkanlah kesempatan yang ada dengan
sebaik-baiknya untuk memanfaatkan harta tersebut di jalan yang benar sebelum
harta tersebut hilang dan berpindah pada orang-orang setelah kalian. ”
Lantas Al Qurtubhi menutup penjelasan ayat tersebut,
“Adapun orang-orang yang beriman dan beramal sholih di antara kalian, lalu
mereka menginfakkan harta mereka di jalan Allah, bagi mereka balasan yang
besar yaitu SURGA.” (Tafsir Al Qurthubi, 17/238)
Intinya maksud Al Qurthubi, harta hanyalah titipan
ilahi. Semua harta Allah izinkan untuk kita manfaatkan di jalan-Nya dalam hal
kebaikan dan bukan dalam kejelekan. Jika harta ini pun Allah ambil, maka itu
memang milik-Nya. Tidak boleh ada yang protes, tidak boleh ada yang mengeluh,
tidak boleh ada yang merasa tidak suka karena manusia memang orang yang fakir
yang tidak memiliki harta apa-apa pada hakikatnya.
Renungkanlah hal ini ... !
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
Panggang-GK, 25 Jumadil Awwal 1431 H
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar